BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Sepenggal Cerita Di Balik Gulungan Kertas [TAMAT] [Daftar Chapter di P1]

16970727475278

Comments

  • pantesan tadi rada bingung .. (^_^)
    butuh aqua nih ts nya, biar ngga typo .. *malah jadi korban iklan :D
  • telat baca 2 part --"
    iril kocak bner cman di ajak kemalang aj lngsung kagak ngambek wkwkwk :))
    #kalo iril kemalang mampir nang omahku ya
    mau berguru jadi orng lebay wkwkwk
  • siip. ditunggu yee
  • dih kok lo gampangan bgt sih ril?!!
    rasanya pengen blg ke panji seharusnya dia tuh sadar kalo iril syg bgt sm dia, jd gak bisa ngambek lama2. #masihemosidrkmrn
    coba sih nyiksa panjinya agak lamaan gitu... kak @mariobros kyknya kok lo pilih kasih gitu deh sm panji, sm hubungan tomo-panji jg hmm. gw sebagai penyayang iril gak terima lah pokoknya, tp makasih loh udah bikin mereka baikan *ketjup
  • @Hehehehe200x biruhitam? ckckck.. yudah deh aku berenti nge-stalk. hahaha..

    @DM_0607 wakaka yudah sini akuanya.. eh mizone kali biar be 100%. >_<

    @RenoF wakaka padahal itu ngambekny udah berhari hari loh. udah pecah rekor ngambek terlama.. hehe.. boleh deh nanti mampir nang umahmu..

    @myl haduuh.. blm waktunya nyiksa panji.. heuheu.. dan aku gk pilih kasih loh.. ceilah bahasanya sbg penyayang iril..
  • -- Chapter 13 : Time For Friends --


    Thu, May 8th, Senior Year – 09:21 p.m.

    Rencana jalan-jalan ke Malang akhirnya tereksekusi juga. Meski terbilang mendadak dan tanpa persiapan yang matang, kami sepakat untuk merealisasikannya sekarang daripada menunggu-nunggu waktu yang tepat, tapi pada akhirnya tidak jadi dilakukan. Kadang rencana selintas yang impulsif itu diperlukan untuk mengubah wacana menjadi realita.

    Meski demikian, persiapan menuju Malang ini terbilang cukup heboh, secara ada Iril yang super rempong kalau mau pergi-pergi jauh. Di grup Whatsapp, yang isinya hanya bertiga (i.e. Aku, Iril, dan Baim), Iril ribet banget nanyain bawa baju berapa, bawa uang berapa, mau ngapain aja, nanti ini-itunya bagaimana, dan masih banyak lagi. Sebagai anak semata wayang yang jarang pergi-pergi jauh selain dengan orang tuanya, Iril memang sangat berlebihan jika berhubungan dengan kata bepergian jauh; ralat, Iril memang sangat berlebihan dalam banyak hal.

    Saat ini, aku, Iril, dan Baim sudah berada dalam perjalanan menuju Malang dengan menaiki KA Ekonomi Matarmaja. Perjalanan dengan kereta yang belum lama jalan ini, karena baru berangkat pukul 14:10 dari Stasiun Senen dan baru saja melewati Cirebon, sudah terasa sangat melelahkan karena tiga hal.

    Pertama, ada Iril yang rempong bin lebay yang nggak pernah diam, dari panik karena belum nge-jamak sholat sampai karena lupa membawa autan. Kedua, ada tiga penumpang lain di blok tempat duduk kami yang tidak kalah ramainya dengan Iril -- kami mendapatkan bangku yang berisi tiga orang saling berhadapan, aku dan Baim berhadapan di sebelah jendela, sedangkan Iril duduk di tengah di dekatku. Ketiga, terjadi sebuah insiden besar yang membuat sekitar area blok tempat duduk kami menjadi sangat gaduh dan berisik.

    Karena kalian sudah tahu bagaimana hebohnya Iril, kita langsung bahas saja yang kedua, yaitu tiga orang ramai yang ada di blok tempat duduk kami. Orang pertama, duduk di sebelah Baim, adalah om-om girang yang kerjaannya aneh-aneh dari memutar Adult Video terang-terangan, menyalakan lagu dangdut keras-keras (headset-nya kemana sih om?), sampai menggodai Baim habis-habisan (Ckckck). Dampaknya ada tiga: yang pertama Baim jadi emosian tapi cuma bisa diam; kedua dilihatin penumpang lain dan bahkan ada yang sampai bacain UU Anti-pornografi yang sepaket dengan ayat kursi; dan ketiga, dua orang lainnya yang duduk di paling pingir bangku kami jadi menggila tidak karuan.

    Dua orang gila itu adalah ciban alias laki-laki jadi-jadian. Mereka sangat reaktif dengan setiap lagu dangdut yang Si Om putar keras-keras. Berbagai jenis goyangan dipertunjukkan yang membuat mata penontonnya berhalusinasi dan sulit dipejamkan. Dan puncak itu semua yang membuat malam semakin seperti anak gadis kesetanan adalah duo-ciban yang berantem membandingkan dan memperebutkan pacar mereka masing-masing, dari adu mulut, saling jambak, sampai silet-silet-an (Lebay, efek duduk deket Iril yang reaksi dan bahasanya berlebihan banget ngelihat drama duo-ciban itu).

    “Ye, bintil kayak ye jangan kegatelan ya pake dekte-dekte-in laki ey,” cibir salah seorang ciban ke ciban lainnya yang ternyata adalah Mumun Sandiwara aka Maman Santoso – Yup, dunia memang sempit.

    Ciban yang mencibir ini menamai dirinya Celana Gomez, yang entah apa nama aslinya. Dari tampilannya, Mas Celana Gomez ini lebih ekstrim dari Mas Mumun Sandiwara yang masih terlihat seperti cowok biasa (hanya beberapa aksesorisnya memang berlebihan seperti selendang, jepit rambut, kalung rantai, gelang sampai ke lengan, dan sepatu cantik bling-bling). Sedangkan Mas Celana Gomez secara ekstrim memakai seragam dinasnya: baju sanghai merah selutut, stocking jala gambar kembang, wig panjang sebahu berwarna kuning, kacamata berwarna ungu (tidak dipakai di mata, tapi diselipkan di wig-nya), dan bulu mata anti tsunami. Ckckck. (Maaf ya, part ini memang harus diceritakan dengan lebay, supaya seru. Panji yang asli tidak seperti ini kok. Salahin Iril kalau mau. Huhu.)

    “Ihh, males banget eike goda-goda laki kamyu! Laki kamyu tuh yang tinta tahan lihat pesona eike,” balas Mas Mumun Sandiwara.

    “Yeeee, ey tau ya kalo ye pake susuk kental manis. Kalo tinta main dukalara, laki ey tinta mawar dektein ye,” lanjut Mas Celana Gomez.

    “Maharani kali cin bayar dukalara. Mending eike pake buat krimbatan,” sahut Mas Mumun Sandiwara.

    “Rambutan ye tinta numbuh begindang tinta perlu krimbatan, yey. Ye tau laki ey lebih kece dari laki ye, makanya ye dekte-dekte laki ey kan?” sambung Mas Celana Gomez.

    “Asal kamyu tau ya, laki kamyu itu kampung! Dia sutra bikin stoking eike rusiaaa. Mawar belalang kupu-kupu lagi tapi tinta ada duit,” timpa Mas Mumun Sandiwara.

    “Aduh, makanya dengerin kata ey, ye kudu beli stoking yang kayak ey pake nih. Anti selip, anti melilit. Jadi, kalo ye nanda maen di panggung en banyak yang meges-meges, tinta bakal rusiaaa,” jawab Mas Celana Gomez.

    “Oh iya ya, cin. Kamyu nyolong dimana sih tuh stoking, awet banget. Eike suka rempong cin kalo mawar berangkat dines, stoking eike sutra robeka-robeki,” ujar Mas Mumun Sandiwara.

    “Ey belalang di Malaysiong, pas ey jadi TKW. Tapi kata temen ey, stoking kayak punya ey ini juga ada di Tanah Abang boo.”

    “Serina? Kamyu ada berapa setel? Nanda eike pinjem ya. Kita kan mau konferensi bintil se-nasioanal di Solo, masa stoking eike pada rusiaa.”

    “Ember! Tapi ey tinta mawar. Abisnya ye sutra dekte-in laki ey.”

    “Ihhh, laki kamyu aja yang kegatelan sama eike!”

    Dengan cepat Mas Celana Gomez menarik selendang Mas Mumun Sandiwara dan putaran kedua pertempuran antar ciban pun terjadi. Saking ramainya, masinis kereta berseragam sampai turun tangan. Tapi akhirnya pertengkaran justru berakhir dengan diputarnya lagu dangdut oleh Si Om, dari Belah Duren-nya Jupe sampai Nelangsa yang aku gak tahu siapa penyanyinya, yang pasti lagu itu sukses membuat mereka tiba-tiba bergoyang bersama seolah tidak terjadi apa-apa.

    Namun, karena tetap ramai, si masinis pun geram dan mengamankan mereka, yang justru disambut meriah oleh duo ciban itu. Mereka pun dibawa entah kemana dan gerbong pun akhirnya tenang. Kebetulan juga HP Si Om low-bat dan dia nggak bawa casannya, jadi nggak ada lagi lagu dangdut yang diputer keras-keras. Syukurlah.

    Malam semakin larut namun perjalanan masih panjang. Setelah banyak bersenda gurau dengan Iril dan Baim, kami pun mulai diserang rasa kantuk. Korban pertama adalah Baim yang tanpa sadar menjatuhkan kepalanya di bahu Si Om dan membuat Si Om tersenyum kegirangan. Sedangkan korban kedua adalah Iril yang dengan tanpa dosa menyandarkan kepalanya ke bahuku dan sempat berbisik, “Good night, Panji.” Jeez.

    Aku menyandarkan kepalaku ke kaca jendela kereta. Berusaha memejamkan mata namun tidak bisa. Sesekali kulirik pemandangan gelap di luar kaca. Pemandangan malam Pulau Jawa yang tak begitu berbeda dengan Sumatra. Namun, entah bagaimana cukup terasa berbeda saat ini. Ada kehangatan yang tidak aku rasakan dari Sumatra. Mungkin karena aku bersama teman-teman dekatku saat ini. Begitu dekat hingga kami tidak sungkan berbagi banyak hal yang kami miliki. Begitu dekat hingga rasanya sedih mengetahui bahwa suatu saat kami akan berpisah. Akan menjalani hidup kami masing-masing. Ah, sebaiknya aku tidak memikirkan tentang perpisahan seperti ini, karena perjalanan baru saja dimulai.

    Aku membenarkan posisi dudukku supaya lebih nyaman. Aku juga menyesuikan posisi kepala Iril yang disandarkan ke tubuhku. Namun, hampir semua posisi terasa kurang nyaman. Hingga akhirnya aku juga ikut menyandarkan kepalaku ke kepala Iril. Kepala kami saling menopang satu sama lain. Nah, kalau begini jadi lebih nyaman. Meski begitu, pikiranku masih saja berkecamuk, kepalaku tak benar-benar berhenti memikirkan kekhawatiran jika suatu saat harus berpisah dengan Iril dan Baim.

    Tiba-tiba Iril bergerak, mungkin sedikit terbangun karena aku menyandarkan kepalaku ke kepalanya. Namun, Iril hanya membenarkan posisi duduknya supaya lebih nyaman. Malahan, Iril menyilangkan lengan kirinya ke lengan kananku dan menggenggam tanganku. Telapak tangan kami saling bersentuhan dan jari jemari saling bertautan.

    Aku membiarkannya dan tidak berusaha melepas genggaman tangan Iril itu. Genggamannya hangat. Seolah mengatakan kepadaku untuk tenang dan tidak perlu mengkhawatirkan apapun. Aku tersenyum kecil. Dengan cepat, aku meraih jaket dari pangkuanku untuk menutupi tanganku dan tangan Iril yang saling bergandengan. Aku pun mulai memejamkan mata dan menenangkan pikiranku. Lambat laun, aku mulai bisa terlelap hingga akhirnya hilang dalam dekapan senyap.

    ***


    Fri, May 9th, Senior Year – 01:34 p.m.

    Aku, Iril, dan Baim sudah tiba di Malang dan kami akan menginap di rumah kerabat dekat Baim. Baim memang sengaja Iril ajak karena keberadaan kerabatnya yang dapat menampung kami, sehingga akan lebih menghemat biaya akomodasi. Kereta tiba di Stasiun Malang Kota sekitar pukul setengah delapan pagi tadi, dan total menghabiskan 18 jam perjalanan.

    Meski sempat risih dengan rekan seperjalanan kami, si om dan duo ciban, kami tetap berpisah baik-baik dengan mereka. Duo ciban turun terlebih dulu karena mereka ada konferensi di Solo, sedangkan Si Om berpisah dengan kami tidak lama setelah duo-ciban itu. Sesampainya di Malang, kami langsung dijemput oleh kerabat dekat Baim alias Paman Baim yang merupakan dosen di Universitas Brawijaya.

    Setelah selesai menunaikan Sholat Jum’at, kami mulai bersiap untuk berkeliling dan berwisata kuliner di Kota Malang.

    “Oh ya, sebelum jalan, gw mau kita bikin aturan,” ujar Baim tiba-tiba yang membuat aku dan Iril memandanginya.

    “Aturan apa, Im?” tanya Iril sembari meletakkan tasnya kembali ke tempat tidur.

    “Jalan-jalan kita cuma sebentar. Gw mau enjoy dan bikin ini berkesan. Jadi aturannya, nggak boleh ada di antara kita yang bawa-bawa urusan dari Jakarta. Entah itu kosan, skripsi, atau gebetan yang setau gw kalian nggak punya,” kata Baim tegas.

    “Oke,” sahutku dan Iril bersamaan.

    “Ada yang mau nambah aturan lain?” tanya Baim meneruskan.

    “Gw mau kita pulang dengan selamat, jadi nggak ada yang boleh melakukan kekerasan apalagi sampe babak belur. Huhu,” ucap Iril seraya menyindir Baim.

    “Nggak bisa! Terutama buat lu, Ril, yang suka selengean, biar jalan-jalannya mulus, lu harus dikerasin. Atau lu nggak boleh nginep di rumah ini!” gertak Baim.

    Iril langsung terdiam menyadari posisinya. Aku terkekeh pelan.

    “Oh ya. Gw mau jalan-jalan kita ini meninggalkan kenangan berharga, dan gw mau menawarkan sesuatu,” usulku ke mereka. Ya, aku baru saja terpikir sesuatu dan menurutku ini menarik.

    “Sesuatu apa, Nji?” tanya Baim penasaran.

    “Kita memang udah temenan dari Maba. Kita udah tauk banyak tentang kelakuan dan aib kita masing-masing. Tapi gw yakin, belum semua hal kita ceritain. Mungkin karena kita belum menemukan waktu yang cocok, atau karena kita memang nggak bisa nyeritain secara langsung. Nah, sebelum kita pulang, gw pengen kita nulis curhatan di kertas yang isinya adalah rahasia kita terdalam. Kertas itu nanti di puter secara acak yang artinya satu orang dapet satu rahasia. Misal, gw dapet punya Baim, Baim dapet punya Iril, Iril dapet punya gw. Gimana?” terangku.

    “Kayak nulis diari gitu, ya, Nji?” tanya Iril yang langsung aku jawab dengan anggukan. “Yah, gw nggak jago nulis gituan lagi,” gumam Iril.

    “Oke! Gw setuju. Lo gimana, Ril?” kata Baim mantap.

    Iril pun mengangguk yang berarti usulan ini diterima. Ya, aku sudah memikirkan hal ini sejak di perjalanan. Apa yang bisa mengikat kami untuk tetap dekat meski berpisah adalah dengan memegang rahasia satu sama lain. Selain kami menjadi lebih saling kenal, kami juga lebih saling menghargai karena rahasia terpenting kami dipegang oleh orang lain.

    “Oh ya. Tapi rahasia apapun yang kita tulis nanti, nggak ada yang boleh ngebeberin ke orang lain, atau bahkan make rahasia itu buat black-mail,” ujar Iril sembari mengangkat-angkat alisnya.

    “Berarti kalo gw dapet punya Panji, gw juga nggak boleh nyeritain rahasia Panji itu ke lo, Ril?” tanya Baim memastikan yang langsung disambut dengan anggukan kepala Iril.

    “Oke!” Baim dan aku pun menyetujuinya.

    Kami pun keluar mengelilingi Kota Malang dengan meminjam mobil Paman Baim, tentunya Baim yang menyetir. Sepupu Baim juga ikut, namanya Abdul, setipe dengan Baim, agak jutek dan hobi marah-marah. Meski begitu, Abdul orangnya baik dan bahkan dia mau menjadi tour guide kami selama jalan-jalan ini. Abdul duduk di depan bersama Baim, sedangkan jok belakangnya ditempati olehku dan Iril.

    “Kita cari eskrim ke Toko Oen dulu ya,” usul Abdul. Toko Oen adalah gerai eskrim yang melegenda di Malang, dan cukup cocok untuk dinikmati di siang hari yang terik seperti ini.

    Beberapa menit kemudian, kami pun sampai di Toko Oen yang terkenal itu.

    “Ril, jangan pesan banyak-banyak es krim ya. Ingat kan terakhir kali lo banyak makan eskrim jadinya gimana?” kataku ke Iril yang ternyata berniat memesan banyak varian es krim.

    “Gapapa lah, Nji. Waktu itu kan gw sakit karna gw makan blue cheese juga,” sahut Iril.

    “Sama aja, lo ini kan disuruh ngehindarin eskrim dan blue cheese,” timpaku.

    “Yah, sekali ini aja, Nji. Banyak gapapa lah,” rengek Iril.

    “Ril, ntar kalo lo sakit kita bakal repot. Ke sini kan niatnya mau seneng-seneng,” sambungku.

    “Tapi, Nji...” Iril terus menawar.

    “Iril, dengerin kata Panji, atau lo bakal gw habisin di sini!” ancam Baim ke Iril seraya memberi simbol tangan memotong leher.

    Sorenya, kami mengunjungi Bakso President yang terletak di pinggiran rel kereta Jalan Batanghari. Bakso President memang sangat populer dengan sajian baksonya yang lezat dan bervariasi. Bahkan, banyak artis ibukota yang pernah singgah di tempat ini dan kedatangan mereka diabadikan dengan foto-foto yang dipajang di dinding restoran. Tempat ini sangat ramai pengunjung karena memang terkenal dengan citarasanya yang nikmat dan harganya yang terjangkau.

    Malamnya kami bergeser ke Jalan S Parman untuk mencicipi minuman STMJ (Susu Telor Madu Jahe) yang sangat terkenal di Kota Malang. Tempat makan yang diberi nama STMJ Glitung ini mengambil tema outdoor yang memanfaatkan teras bangunan. Selain STMJ yang nikmat dan menghangatkan badan, kami juga memesan roti dan pisang bakar yang pas menemani STMJ.

    Sebelum pulang, kami menyempatkan mampir ke Masjid Jami’ untuk menunaikan sholat Isha yang sempat tertunda. Selesai sholat, kami bersantai sebentar di alun-alun kota yang terletak tepat di depan masjid tersebut. Suasana alun-alun cukup ramai, terutama oleh remaja yang berpacaran. Beberapa pasangan lalu lalang di depan kami sambil berangkulan atau berpegangan tangan.

    Baim dan Abdul pergi senbentar ke parkiran mobil untuk mengambil snack yang sudah dibeli selama jalan-jalan tadi. Jadilah aku dan Iril berduaan di taman alun-alun. Dan tiba-tiba saja Iril merangkulku, membuatku sedikit kaget. “Lepasin, Ril!” pintaku ke Iril yang sudah mulai berlebihan karena menyenderkan kepalanya ke bahuku.

    “Andai gw jalan-jalannya sama pacar. Kan bisa mesra-mesraan kayak mereka ya, Nji,” ujar Iril.

    “Yaudah cari pacar, gih! Sebenarnya banyak tauk cewek yang mau sama lo, Ril. Gw sering denger tuh mereka kasak kusuk ngomongin lo. Tinggal gandeng siapa gitu, Ril. Indah kek, kayaknya dia masih suka banget sama lo,” balasku.

    “Hmmm Indah ya? Cantik sih. Baik juga. Tapi belum cocok aja, Nji,” lanjut Iril.

    “Emang lo nyari yang kayak gimana sih? Mau gw bantuin nyari, Ril?”

    “Yang kayak lo, Nji. Hahahay.”

    “Adek gw dong? Ah, gak restu gw kalo lo sama adek gw, Ril.”

    “Yudah sama lo aja kalo gitu. Huhu.”

    “Hahaha ngarep lu! Lagian emang lo-nya mau, Ril, pacaran sama cowok?”

    “Cuma sama lo aja, Nji. Gw mau banget lah. Hahaha. Kita ini kan udah sooo gay banget, Nji. Icip-icip dikit gapapa lah.”

    “Icip-icip gimana, Ril?”

    “Ya, main pacar-pacaran aja. Buat seru-seruan. Mau nggak lo, Nji?”

    “Hahaha, gila lu!”

    “Ayoklah, buat iseng doang. Gak perlu lama-lama. Ntar abis pulang dari Malang kita putus deh.”

    “Hmmm gimana ya...”

    Aku mengulur jawaban. Tiba-tiba aku teringat Tomori. Ya, aku sudah jatuh cinta dengannya. Kenapa aku merasa sedang berselingkuh ya? Padahal Tomori dan aku belum jadian. Huft sepertinya aku terlalu berharap.

    “Jadi, gimana, Nji?” desak Iril membuyarkan lamunanku.

    “Pacaran sama lo nih?”

    “He-eh.”

    “.......”

    “Ayok lah, Nji.”

    “Hmmm sulit...”

    “Yah..”

    “.......”

    “Buat iseng doang kok, Nji. Hehe.”

    “Gila banget lah, Ril kalo kita pacaran.”

    “Memang gila! Hahaha. Gw becanda kali, Bray..”

    “......”

    “Hahaha muka lo sampe merah gitu.”

    “......”

    “Jangan-jangan lo beneran pengen pacaran sama gw lagi, Nji. Huhu.”

    “Ah udah ah. Dasar lu, Ril! Becandaan mulu.”

    “Loh loh. Kok jadi ngambek gitu sih, Beib?”

    “......”

    “Duh, ayang says sorry deh. Sini, sini ayang peyuk duyu.”

    “......”

    “Aih, jangan ngambek atuh. Nanti ayang makin gemes liat wajah imut kamu, kan jadi nggak tahan buat nyium. Padahal lagi di tempat umum.”

    “......”

    “Hahaha, lo lucu banget sih, Nji. Selow selow, Bray. Gw tau kok kalo lo gak suka sama gw. Gw juga tauk kalo lo sukanya sama si jepang itu. Tapi gw harap nggak ada yang berubah di antara kita. Kita tetep sohib-an kan, Bray.”

    “......”

    “Eh, Nji. Kok gw jadi pengen wisuda semester depan juga ya? Biar bisa bareng sama lo.”

    “Jangan, Ril. Lo jangan kek gitu. Lo kan udah berjuang banget buat lulus semester ini, jadi lo harus terus semangat, Ril.”

    “Kadang gw nggak tega, Nji, ninggalin lo begini. Apalagi gw sama Baim kan bakal lulus semester ini. Ntar lo sendirian lagi.”

    “Gapapa, Ril. Gw mah dukung kalian buat sukses. Jangan karena gw, langkah kalian jadi terhambat.”

    “Tapi, Bray..”

    “Ssssttt pokoknya lo harus terus semangat sama skripsi lo, Ril. Lo harus semangat kejar cita-cita lo. Gw pengen ngeliat sohib gw ini sukses. Gimana, Ril? Lo sanggup kan menuhin permintaan gw ini?”

    “Sanggup, Nji. Tapi apa lo juga sanggup menuhin permintaan gw?”

    “Permintaan apa, Ril?”

    “Permintaan buat selalu jadi sohib gw, Nji. Pokoknya sampai hari itu tiba, lo akan jadi orang pertama yang akan gw peluk.”

    “Pasti, Ril. Gw pasti akan selalu jadi sohib lo. Gw akan selalu dukung lo.”

    “Sip. Janji ya..”

    Aku tersenyum dan mengangguk menanggapi Iril. Iril tersenyum balik ke arahku. Kami pun berangkulan dan tertawa bersama.

    “Kalian ngapain?” tanya Baim yang tiba-tiba datang.

    Aku dan Iril segera melepas rangkulan kami dan hanya tersenyum manis menanggapi pertanyaan Baim.

    “Jancuuk!” teriak Abdul tiba-tiba akibat tersenggol seseorang hingga snack yang dibawanya jatuh.

    Aku, Iril, dan Baim menengok bersamaan ke orang itu yang saat ini sedang dimarah-marahi oleh Abdul. Baim mendekat berusaha melerai namun justru dagunya tersikut lengan orang itu. Dan dalam hitungan detik, Baim pun ikut memahari orang itu. Suasana pun menjadi gaduh tak terkendali. Huft!

    ***


    Sat, May 10th, Senior Year – 08:12 a.m.

    Hari ini kami memutuskan untuk mengunjungi Stadion Kanjuruhan di Kabupaten Malang, terutama untuk memenuhi rasa penasaran Iril yang ingin melihat seperti apa kandang Arema Malang itu. Aku juga ingin membandingkannya dengan Stadion Gelora Sriwijaya di Jakabaring Palembang yang pernah aku datangi dulu. Jadilah, aku, Iril, Baim, dan Abdul berangkat menuju Stadion Kanjuruhan tersebut.

    Namun, kali ini kami tidak menggunakan mobil, karena masih digunakan Paman Baim. Kami pun memakai motor, Baim boncengan dengan Abdul memakai motor Abdul. Sedangkan aku dan Iril dipinjami motor tetangga Abdul yang bekerja di kantor kecamatan dan motornya itu sebenarnya bukan motor miliknya tetapi motor dinas berplat merah. Iril yang memboncengku karena khawatir kakiku masih belum sepenuhnya sembuh. Setelah semua siap, kami pun melaju bersama menuju Stadion Kanjuruhan.

    “Ril, kok lo pelan banget sih bawa motornya? Ntar kita ketinggalan Baim nih,” protesku ke Iril.

    “Jangan ngebut-ngebut lah, Nji. Ntar kenapa-napa. Nih motor juga bogrek. Gak ada spion, gak ada klakson, dan rem-nya dalem banget,” sahut Iril.

    “Tapi ini lambatnya keterlaluan, Ril,” lanjutku.

    “Ter-la-lu huhu,” pleset Iril.

    Plaak!

    Aku menepuk pelan helm Iril. Dia malah terkekeh.

    “Serius woy! Ngebut dikit lah,” desakku.

    ”Hehe. Gw bisa aja sih ngebut dikit. Tapi lo peluk gw yang kenceng ya, Nji. Ntar kalo lo jatuh kan bisa kiamat dunia!”

    “Aih, lebay! Udah nih!”

    “Nah gini dong, Nji. Kan jadinya anget. Hahahayy.”

    “Cepetin dikit, Ril. Ini masih aja lambat.”

    “Duh, jangan cepet-cepet lah. Romantis begini harus dinikmati.”

    “Eh, nyet. Buruan gak? Atau gw lepas nih pelukan!”

    “Duh duh. Ayang jadi galak. Hahaha. Iya iya, nih gw cepetin.”

    “Nah gitu dong!”

    “Pegangannya lebih kenceng dong, Nji.”

    “Ah, modus lu!”

    “Hahaha... Gapapalah modus, kan sekarang gw udah tauk kalo lo doyan cowok, Nji. Bisa gw modusin deh.”

    “Sial! Kayak biasanya lo nggak modus aja, Ril.”

    “Hehehe, iya juga ya? Eh, ini bener jalannya gak ya, Nji?”

    “Gak tau deh, Ril.”

    “Kayaknya kita nyasar deh, Nji.”

    “Nyasar? Sial banget sih jalan sama lo, Ril.”

    “Jangan ngomong gitu ah, Nji. Coba hubungin Baim dong. Kita beneran nyasar nih,” kata Iril setengah berteriak saat kami tahu kalau kami tertinggal dari motor Abdul.

    “Bentar, Ril,” sahutku seraya mencoba menghubungi Baim.

    “Nggak diangkat-angkat, Ril,” lanjutku.

    “Duh gimana ya?” gumam Iril bingung namun tetap melajukan motor kami menembus jalanan Kecamatan Kepanjen.

    “Tanya orang saja, Ril,” usulku.

    Motor pun mulai melaju lambat dan Iril terlihat mencari-cari seseorang di tepi jalan untuk ditanyai. Ada seorang laki-laki yang berdiri di pinggir jalan dan Iril mulai menepikan motor kami mendekatinya. Lelaki itu tidak menunggu motor kami berhenti tapi langsung menghentikannya dengan menahan bagian depan motor. Lelaki itu bertubuh ceking, berambut gondrong, memakai rompi jeans tanpa lengan, dan ada tattoo di lengannya.

    “Koe wong ngendi?” tanya lelaki itu ketus.

    Iril tidak langsung menjawabnya tapi justru bertanya hal yang lain,“Pak, kalo ke Kanjuruhan lewat mana ya?”

    “Kalian orang mana?” tanya lelaki itu dengan mata yang dibuat melotot.

    “Orang Jakarta, Pak. Sekarang lagi liburan di Malang Kota,” sahutku cepat.

    Lelaki itu melirik ke arah depan motor, sepertinya dia melihat plat motor ini yang berwarna merah

    “Motor pejabat nih? Ngambil dari mana?” tanya lelaki itu.

    “Dipinjemin orang kecamatan, Pak,” jawab Iril.

    “Hebat ya. Masih muda udah kenal orang dalem,” ujar Lelaki itu. “Kalian nggak bohong kan?” tanya lelaki itu lagi.

    “Nggak, Pak!” jawabku dan Iril bersamaan.

    “Awas aja kalo kalian ternyata orang Bonek. Nggak akan selamat kalian kalo main-main di kandang Aremania!” tegas lelaki itu.

    Ya Tuhan. Ternyata ini masalahnya. Huft, aku dan Iril menghela napas panjang. Lelaki itu akhirnya menunjukkan arah ke stadion tetapi tetap dengan wajah ketusnya. Untung saja motor yang kami ber-plat merah, jadi lelaki itu tak berani macam-macam. Dengan cepat, kami melaju kembali menuju Stadion.

    Di stadion, aku dan Iril bertemu dengan Baim yang anehnya kenapa dia yang marah-marah karena kami tertinggal. Padahal, Abdul yang terlalu gila membawa motornya tanpa mempedulikan kami yang mengikutinya. Motornya saja sudah beda. Motor ninja melawan motor bebek bobrok. Wajar dong ada kesenjangan kecepatan. Sigh!

    Singkat cerita, kami segera kembali ke kota sebelum zuhur dan langsung melanjutkan perjalanan ke Museum Angkut yang baru-baru ini dibuka. Tentunya dengan berganti moda terlebih dulu di rumah Paman Baim. Sesampainya di Museum Angkut, kami tidak masuk karena harus mengantri lama, jadi kami hanya berkeliling di sekitarnya saja dan bersantai di Pasar Apung. Selepas dari Museum Angkut, kami beranjak ke destinasi lain di kawasan Jatim Park, namun langsung mengubah tujuan ke Kota Batu. Destinasi pertama adalah Selecta yang menyuguhi pemandangan taman bunga. Kami hendak bermain air namun ditolak mentah-mentah oleh Iril yang tidak bisa berenang.

    Bosan dengan Selecta yang begitu-gitu saja, kami melanjutkan perjalanan ke alun-alun Kota Batu. Kami tiba di sana menjelang Magrib dan suasana alun-alun sudah sangat ramai. Kami berhenti sebentar di tepi jalan untuk mencicipi beberapa jajanan seperti ketan aneka rasa dan nasi jagung. Tertarik dengan Bianglala besar di alun-alun kota, kami pun memutuskan untuk menaikinya. Ketika roda bianglala membuat kami berada di atas, kami dapat melihat pemandangan alun-alun yang ramai dan kota batu yang indah. Puas bersantai di alun-alun, kami melanjutkan perjalanan ke BNS (Batu Night Spectacular).

    Di BNS, kami mencoba berbagai wahana dari Flying Swinger sampai Rumah Hantu. Di bagian rumah hantu, Iril yang biasanya ketakutan ketika berhubungan dengan hantu, kali ini sedikit memaksa untuk ikut masuk. Meski ketika di dalam, si Iril tetap saja berteriak ketakutan dan sempat membuat Baim kesal. Adegan adu mulut hingga saling pukul antara Iril dan Baim pun terjadi yang membuat perjalan di dalam Rumah Hantu sedikit tertahan. Aku tersenyum menahan tawa melihat beberapa hantu-hantuan yang diam melongo melihat mereka berantem. Kami pun diusir paksa oleh petugas wahana yang justru ikut kena marah Baim karena merasa sudah membayar tapi hantunya tidak seram. Tentu saja karena hantu yang ditawarkan tidak seseram hantu-hantu di kampus, sepertinya mereka perlu studi banding dulu ke UI. Ckckck.

    Kami tiba di rumah Paman Baim sekitar jam sebelas malam dan langsung beristirahat karena besoknya sudah harus kembali ke Jakarta. Kasur di kamar terlalu sempit untuk bertiga oleh karena itu kami tidur di karpet di ruang keluarga. Kami pun berbaring bersamaan dengan posisiku berada di tengah antara Iril dan Baim. Suasana mulai hening. Aku pun mulai terlelap.

    “Nji, Im. Kalian udah tidur?” bisik Iril sedikit keras yang tentu saja membangunkanku dan Baim yang belum sepenuhnya tertidur.

    “......” Aku dan Baim hanya diam.

    “Perasaan baru kemarin ya kita tiduran bareng bertiga begini di kosan Panji. Nggak kerasa aja bentar lagi kita bakal pisah,” ujar Iril melanjutkan.

    “......”

    “Gw memang lebay tapi gw nggak lebay kan kalo nanti gw kangen kalian?” sambung Iril.

    “Gw juga bakal kangen kalian, guys,” timpa Baim.

    “Ya, gw juga,” selaku.

    Kami bertiga kemudian terdiam. Mata kami terbuka menatap langit-langit rumah. Aku pun tiba-tiba terpikirkan sesuatu.

    “Ril, Im, sorry ya,” gumamku.

    “Sorry kenapa, Nji?” tanya Iril.

    “Gw nggak bisa lulus semester ini. Gw nggak bisa wisudaan bareng kalian. Tapi kalian yang semangat ya. Jangan pada males ngerjain skripsinya,” terangku.

    “Lo juga yang semangat, Nji. Lulus duluan bukan berarti sukses lebih dulu kan?” balas Baim.

    “Iya, Im. Terutama buat Iril. Lo tetep semangat ya buat ngejar cita-cita lo,” kataku sembari melirik ke arah Iril.

    “Pasti, Bray. Kan ada lo yang nyemangatin gw,” gumam Iril.

    “Pokoknya nanti kalo kita udah pada hidup masing-masing, kita tetep temenan ya,” ucap Baim.

    “Ya, pasti!” sahutku mantap.

    “Gw kadang pengen nangis deh. Dulu kita masih sering main bareng, hang out bareng, makan bareng, belajar bareng, seru-seruan bareng. Tapi lama-lama kita makin sibuk sama urusan kita masing-masing. Dan nggak kerasa waktu berjalan secepat ini. Sorry ya kalo gw lebay kayak begini, Hiks,” ujar Iril.

    “Hahaha, kitorang tahu kok, Ril, kalo lo emang lebay,” sahutku sedikit tertawa.

    “Gw juga lebay, Ril. Cuma nggak gw tunjukkin. Gw sering kok ngerasa insecure sama masa depan gw. Sering ngerasa sekdil sama kalian berdua. Soal S2 gw, soal kerjaan, soal nikah, dan lainnya. Apa gw bisa jadi orang yang gw ingini. Apa gw bisa bahagiain ortu gw dan istri anak gw nanti. Apa kita masih bisa seneng-seneng kayak gini lagi. Kalo gw pikirin, gw juga jadi pengen nangis,” ungkap Baim.

    “Pokonya nanti jangan ada yang sombong ya. Tetep kasih kabar. Jangan ada yang left group Whatsapp kita. Dan kalo nikah harus undang-undang. Bahkan kita kalo bisa ngadain reuni tahunan,” tambahku.

    “Setuju, Nji. Gw juga sering mikir gitu. Gw jujur ya, guys. Gw seneng banget bisa kenal deket sama kalian. Sama seorang Panji dan seorang Baim. Gw dari dulu nggak pernah bener kalo temenan. Gak pernah berkesan. Gw dulu pernah takut pas masuk kuliah, apa hidup gw bakal sama aja. Jadi Iril yang kesepian seperti sebelumnya. Hahaha. Pokoknya gw seneng banget deh bisa temenan kalian,” terang Iril.

    Aku dan Baim hanya terdiam. Entah apa yang menggerakkan mereka, Iril dan Baim tiba-tiba memelukku bersamaan. Kami tersenyum dan saling menepuk-nepuk punggung satu sama lain. Sejurus kemudian, aku pun mengangkat tanganku ke belakang lalu melingkarkannya ke pungung mereka. Aku menarik pelukan badan mereka erat.

    “Bro Hug!” ujar kami bertiga bersamaan.

    ***


    Sun, May 11th, Senior Year – 11:23 a.m.

    “Jalan , Yuk,” kata Baim sembari mengangkat tas punggungnya.

    “Yuk!” sahutku dan Iril bersamaan.

    Kami pun diantar ke stasiun Malang Kota untuk bersiap kembali ke Jakarta. Liburan pendek yang mengesankan. Setelah lama menunggu, akhirnya kereta kami tersedia, lalu kami pun berpamitan dengan Paman Baim dan Abdul.

    Di dalam kereta, kami duduk di bangku yang untuk dua orang saling berhadapan. Baim merasa senang karena bangku di sebelahnya kosong sehingga dia bisa pakai buat selonjoran.

    “Oh ya, kalian udah selesai kan nulis curhatan kalian?” tanyaku yang tiba-tiba teringat dengan kesepakatan berbagi rahasia di awal.

    Iril dan Baim mengangguk. Mereka mengambil tas mereka mencari-cari kertas curhatan yang sudah mereka tulis. Begitu pula aku.

    Aku langsung mengeluarkan tiga buah amplop kosong lalu membagikannya ke Iril dan Baim. Kami melipat kertas curhatan masing-masing dan memasukkannya ke dalam amplop.

    “Bacanya kalo kita udah nyampe di Jakarta ya,” usul Iril yang langsung kami setujui.

    Kami pun memutar acak amplop-amplop itu. Setiap amplop sudah ditandai dengan inisial huruf masing supaya tidak terambil tulisan milik sendiri. Setelah lama memutar-mutar acak amplop-amplop tersebut, namun tanda di amplop itu masih saja terlihat, membuat mekanisme acak jadi tidak objektif. Kami pun memutuskan untuk menggulung amplop tersebut lalu mengocoknya.

    Setelah dikocok acak, akhirnya kami mendapatkan satu amplop untuk satu orang. Aku mendapatkan amplop milik Iril, Baim mendapatkan amplopku, sedangkan Iril mendapatkan amplop Baim. Kami segera memasukkan amplop yang sudah didapat ke tempat penyimpanan masing-masing.

    Sepanjang perjalanan, kami tetap bersenda gurau, meski tidak seheboh perjalanan berangkat. Bahkan, kami banyak tertidur karena kelelahan selama liburan di Malang. Yosh! Kami akan segera kembali ke Jakarta. Kembali ke realita kehidupan. Dan semoga kami masih bisa menemukan kesempatan seperti ini di masa mendatang.

    Waktu pun berjalan begitu saja. Tak terasa, sebentar lagi kami akan tiba di Jakarta. Kami mulai bersiap-siap dengan barang bawaan masing-masing. Sedikit melakukan peregangan untuk mengembalikan kekuatan otot yang kaku selama perjalanan.

    “Coy, masih inget sama Si Om yang suka nyalain musik keras-keras nggak?” tanya Iril tiba-tiba yang sedikit lama ditanggapi anggukan olehku dan Baim.

    Dengan cepat, Iril menyalakan music playernya. Ia memutar sebuah lagu dengan volume keras. Sebuah lagu yang merangkum kebersamaan kami. Sebuah lagu riang yang membuat rindu kami mengembang. Ingatlah hari ini.

    - Ingatlah Hari Ini -

    Kawan dengarlah yang akan aku katakan
    Tentang dirimu stlah selama ini
    Ternyata kepalamu akan selalu botak
    Kamu kayak gorilla

    Cobalah kamu ngaca tuh bibir balapan
    Daripada gigi lu kayak kelinci
    Yang ini udah gendut, suka marah-marah
    Kau cacing kepanasan

    Tapi ku tak peduli
    Kau slalu di hati

    Kamu sangat berarti, istimewa di hati
    Slamanya rasa ini
    Jika tua nanti kita t’lah hidup masing-masing
    Ingatlah hari ini

    Ketika kesepian menyerang diriku
    Gak enak badan resah tak menentu
    Ku tahu cara sembuhkan diriku
    Ingat teman-temanku

    Don’t you worry just be happy
    Temanmu di sini

    Don’t you get sad, don’t be angry
    Mending happy-happy

    Kamu sangat berarti, istimewa di hati
    Slamanya rasa ini
    Jika tua nanti kita t’lah hidup masing-masing
    Ingatlah hari ini

    (Ingatlah Hari Ini by Project Pop)


    ***


    Mon, May 12th, Senior Year – 08:19 a.m.

    Aku, Iril, dan Baim akhirnya tiba di Jakarta. Iril memilih turun di Stasiun Jatinegara karena harus mampir ke rumah saudaranya yang ada di Bekasi. Berikutnya Baim turun di Stasiun Pasar Minggu. Sedangkan aku melanjutkan perjalan terakhir ke Depok.

    Selama perjalan di dalam kereta ke Depok, aku kembali teringat dengan keseruan bersama Iril dan Baim. Ketika Baim mengatai Iril karena gigi kelincinya. Ketika Iril mengatai Baim yang suka marah-marah. Ketika kami bercanda ria bersama-sama. Aku pun tersenyum-senyum sendiri mengingat momen-momen tersebut.

    Sesampainya di kosan, aku langsung meletakkan tasku dan merebahkan badanku di lantai kamar. Rasanya sangat nyaman. Namun juga lengang. Seolah rasa berubah begitu cepat, dari ramai penuh senang-senang tiba-tiba menjadi sepi sendirian. Huft, aku menggeliat meregangkan badan.

    Aku menatap ke arah tas ranselku dan teringat akan kertas curhatan Iril. Aku menarik tas lalu mengambil gulungan amplop yang berisi kertas tersebut. Dengan pelan aku membacanya.

    Deg!

    Sebuah rasa kejut seketika menyengat badanku. Ada rasa sesak yang merasuk dadaku ketika aku membaca curhatan Iril. Rasa yang seolah mengiris hatiku. Sebuah kenyataan yang tak pernah aku sangka. Sebuah tulisan yang membuat mataku ingin meneteskan airnya. Dan di saat itu pula, aku menjadi sangat ingin bertemu Iril. Tiba-tiba aku ingin melihatnya dan memeluknya. Erat.

    ***


    Bersambung ke Chapter 13 : The Hidden Truth
  • ngakak :'v
    pas di bagian Duo Ciban, san di alun" yg akhirnya berantem, sigh! :'v

    hmmm keknya itu surat cintanya Iril dehh 8->
    sotoy kumat :p
  • huhuuu..
    *udh segitu aja komennya*
  • Apa isinyaaaaaaaa??
    @MarioBros lanjutin dooong
  • Apa isinyaaaaaaaa??
    @MarioBros lanjutin dooong
  • Berhenti stalking, tapi masih nebak-nebak hahaha
    Biar ga penasaran mending bang @MarioBros PM-in aku nomor handphone biar nanti liat sendiri di PP whatsapp, warna makaraku apa
  • ya ampun, si ts kayanya paham bener bahasanya duo ciban .. (^_^)
    eh, kenapa dengan iril ?? (´・_・`)
  • tingkat akhir kuliah itu emang masa2 paling emosional dan insecure sejagatjagat deh yaa..huhuhu..
  • Beuuhhhh ngakak guling2 pas bagian di dalam kereta. Parah banget lah kalo sampe ada yg muter bokep di kereta terang2an. Dan duo ciban yg heboh,,, jadi teringat kenangan pas naik matarmaja sendirian,magh q kumat,di depan aq ada suami istri yg baik banget, beloin aq obat,istrinya mijitin aq. Perbedaan besar antara naik kereta ekonomi dan executive adalah kebersamaannya. Kalo kereta executive mah duduk hadap2an palingan sibuk baca koran atau sibuk sendiri main gadget masing2. Kalo di kereta ekonomi tuh bisa ngobrol2. Oh ya, kalo malam biasanya pada gelar koran buat tiduran di bawah jadi kalo mau ke kamar mandi musti lompati orang2 yg tidur dibawah.

    Yahhh ke kanjuruhannya sayang banget gak ditulis ngapain aja,,, aq dan kakak q pas kesana pernah tuh kakak q pengen pipis dan pipis disemak2 deket kolam renang.hohoho

    Penasaran banget lah sama curhatan iril,,, apa ya isinya,,, jangan2 "aku mencintai panji" heu heu heu.
Sign In or Register to comment.