It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
gak tau. gw rasa pendek aja. apa karena gw nikmatin bgt ini part yee?
amiiin. ditunggu
@leoaprinata amiiin. iya panji serba salah dan iril kasian.
btw kau dukung ipan apa pantom nih?
Oh ayolah jangan sakiti hati Iril, huaaaa gue sediiiiih T-T
Updatean sekarang ini greget banget! Sakitnya Iril tuh kerasa banget! Sakitnya tuh lebih ke 'merasa dikhianati oleh orang yang di dunia ini cuma dia yang paling diharapkan untuk gak akan pernah menorehkan luka di hati' hmhmhm
Hehehe tetiba pengen cengar-cengir nih, kenapa ya ??? .-.
@LeoAprinata wakaka oke deh dek selow aja..
@Tsu_no_YanYan waduh kok malah cengar cengir?? hmmm aku tau, pasti lg sambil karokean lagu Sakitnya Tuh Di Sini di dalam hatiku Sakitnya tuh di sini di sini di sini.. #plaak
jangan2 iya lg klo pas kejadian km lg di situ tp gk ngeh aja.. huhu..
@Unprince @octavfelix @harya_kei @Adamx @balaka @nick_kevin @bianagustine @Tsunami @Tsu_no_YanYan @cute_inuyasha @d_cetya @Wita @lulu_75 @arifinselalusial @fian_gundah @animan @kiki_h_n @rulliarto @bianagustine @jamesx @ffirly69 @littlemark04 @Rika1006 @Akhira @earthymooned @myl @exomale @AgataDimas @pujakusuma_rudi @yo_sap89 @DoniPerdana @kaka_el @fauzhan @muffle @notas @diodo @DM_0607 @greensun2 @Adhika_vevo @3ll0 @LeoAprinata @uci @kristal_air @MajestyS @nawancio @4ndh0 @daramdhan_3oh3 @Vanilla_IceCream @TigerGirlz @Hehehehe200x @Widy_WNata92 @sonyarenz @RegieAllvano @AvoCadoBoy @Ndraa @arbiltoha @Sicilienne @Rifal_RMR @JimaeVian_Fujo @zeva_21 @ardavaa @RogerAlpha @sunset @Arie_Pratama @gatotrusman @ragahwijayah_ @Polonium_210 @Hehehehe200x @addaa @JengDianFebrian @rendra123
Harap beritahu ya kalo ada yg nggak mau keseret lagi. Danke
Thu, April 17th, Senior Year -- 08:21 p.m.
Tok tok tok..
Aku mengetuk pintu kamar Chandra yang tidak lama kemudian langsung dibuka oleh pemiliknya.
“Ada apa, Nji?” tanya Chandra yang masih memakai singlet dan boxer leceknya.
Aku langsung bereaksi melihat penampakan Chandra yang seperti itu, “Gila lo Chan. Boxer singlet dari jaman maba masih aja lo pake. Udah lecek banget tuh. Bahkan buat sumbangan sosial aja bakal ditolak. Huhu,” ejekku.
“Eh, belum tentu ya. Masih bisa diterima kali. Tapi dijadiin lap, keset, atau serbet. Hahaha,” ujar Chandra meladeniku. Well, meski Chandra tampang kere begitu, dia masih anak FE yang otaknya lumayan. Tapi dia memang orangnya pelit banget. Sangat kontras dengan lanskap anak FE UI yang royal dan hedon.
“Hahaha, bisa aja lu!” hardikku seraya beranjak masuk ke kamar Chandra.
Sesampainya di dalam, pandanganku langsung tertuju pada botol-botol air mineral bekas, termasuk botol fanta, yang tertata rapih di sudut kamar Chandra. Hah, jangan-jangan..
“Chan, lo koleksi botol bekas buat apa? Bikin hasta karya?” tanyaku asal.
“Anjrit lo! Itu mau gw jual keleus. Lagi butuh duit nih. Rejeki nomplok yang dulu udah nggak ada lagi,” ujar Chandra sembari duduk di kasurnya.
“Ooh, gw kira lo ada hubungannya sama surat kaleng yang neror gw. Tuh, lo punya botol fanta bekas yang mirip sama yang di kamar gw,” selidikku.
“Ah iya! Lo masih nyimpen tuh botol bekas kan ya? Buat gw ya,” sahut Chandra yang sejurus kemudian berlari ke kamarku. Tak lama kemudian, dia sudah kembali sembari membopong tujuh botol fanta bekas dari kamarku.
“Lah, gw belum bilang boleh, udah lo samber aja, Chan,” cibirku.
“Halah! Buat apa coba nyimpenin kayak gini. Mending dijual!” balas Chandra cuek.
“Jadi lo nggak ada hubungannya nih sama surat kaleng itu?” lanjutku.
“Apasih, nggak penting, Nji. Lo kenapa kesini dah? Tumben,” sela Chandra ngeles.
“Gw mau nanya sesuatu. Lo tauk Iril kemana nggak? Dia kok sering nggak ada di kosan sih sekarang? Gw hubungin juga nggak bisa-bisa,” jelasku.
Oke, sebenarnya aku tahu jawabannya. Iril sepertinya sangat kecewa setelah mendengar obrolanku dengan Ajeng minggu lalu. Pertama, dia kecewa karena sebagai sohib dia bukan orang pertama yang aku beritahu. Kedua, dia kecewa karena masih kesal dengan kejadian hari sebelumnya yang aku tidak jadi menemani Iril, tapi justru makan bersama Tomori. Pasti dia merasa dikhianati. Meski dia jarang sekali terbawa suasana, cukup wajar jika untuk yang satu ini dia sangat kecewa denganku.
“Eh, Chan! Jawab dong pertanyaan gw,” kataku setengah berteriak ke Chandra yang mengabaikan pertanyaanku dan malah fokus menghitungi botol bekas yang dia punya. Jeez.
“Oh iya. Hmmm dia palingan di tempat seniornya yang bantuin skripsi dia,” jawab Chandra sekenanya.
“Lo tau siapa senior itu?” tanyaku lagi.
“Tauk, Nji. Tapi nggak gratis!”
“Ah, lo mah gini aja dibisnisin. Kalo gw mau, gw nagih bayaran nih buat indomie-indomie gw yang udah lo jarah.”
“Eh eh, iya duh duh jangan dong, Nji. Gw nggak tauk sih sebenarnya. Hehe.”
“Huh, kampret lu!”
Tiba-tiba ponselku berdering. Sebuah panggilan masuk. Aku langsung mengangkatnya.
“Halo, Bam. Ada apa?” tanyaku ke Ibam yang meneleponku.
“Kak Panji... Gw galau nih..” tukasnya.
“Karena Arjun? Katanya mau move on?” balasku sembari berjalan kembali ke kamarku.
“Susah banget, Kak. Dia mah baik banget orangnya. Bikin gw makin sayang. Bikin gw makin nyesel. Bikin gw gagal move on,” rengek Ibam.
“Untuk sekarang jangan bertingkah berlebihan dulu, Bam. Ntar bisa kebablasan lagi loh.”
“Gw coba deh, Kak.”
“Oh ya Bam, lo weekend ini kosong nggak?”
“Kosong kayaknya, Kak. Ada apa emangnya?”
“Gw mau minta tolong dong, Bam.”
“Tolong apaan, Kak?”
“Adek gw mau ke sini. Lo bisa temenin dia nggak? Dia sama kayak lo. Masih kelas dua SMA sekarang.”
“Boleh, boleh.”
“Sip, makasih deh, Bam.”
“Eh, btw, adek lo cowok atau cewek, Kak?”
“Cewek, Bam.”
“Yaaah, nggak jodoh nih, Kak. Hehe..”
“Huh dasar. Pasti ngarepnya cowok.”
“Iyalah, Kak. Nggak kebayang deh kalo cowok gimana, pasti imut banget, Kak Panji aja manis begitu, apalagi adeknya yang lebih muda. Brondong cucok lah.”
“Hahaha. Gatel banget lu, Bam. Gw malah nggak rela kalo adek gw cowok gw temuin sama lo. Bisa kenapa-napa ntar. Huhu..”
“Yaaah. Yaudah deh.”
“Tapi adek gw juga manis kok. Dan siap-siap aja ya. I think you’re out of her league!”
“Ah, nggak nafsu , Kak. Tapi orangnya asik kan?”
“Yah, liat aja nanti. Eh, udah dulu ya, Bam.”
“Oke deh, Kak. Nanti gw curhat lagi boleh ya.”
“Sip. Daaa...”
Pembicaraan dengan Ibam di telepon pun berakhir. Aku masih kepikiran dengan Iril. Juga kepikiran dengan Chandra yang ternyata mengoleksi botol fanta bekas. Apa mungkin Chandra yang selama ini menerorku. Hmm, dia bukan orang seperti itu, dia selalu membuat cost benefit analysis, kalau cuma neror begini nggak akan ada keuntungan ekonomi untuknya. Tapi mungkin saja dia melakukannya untuk orang lain. Mungkin dia dibayar? Ya, mungkin saja.
***
Sun, April 20th, Senior Year -- 07:12 p.m.
“Ibam, kenalin ini adek gw, namanya Mayang.”
Aku memperkenalkan Mayang ke Ibam. Baim memang sudah mengenal adekku itu saat dia dan Iril ke Lampung tahun lalu. Jadi Baim tidak masalah kalau aku mengajak Mayang bergabung di perayaan kecil ulang tahun susulan Baim malam ini.
Awalnya aku dan beberapa anak BEM berniat mengerjai Baim kemarin, tapi kami membatalkannya dan hanya membuatkannya pesta seadanya. Bisa habis kalau Baim marah karena dikerjai. Bukanya senang-senang malah babak belur. Ckckck.
Mayang dengan anggun menyambut jabatan tangan Ibam. Dia hanya tersenyum manis tanpa mengeluarkan kata-kata. Itulah kesan pertama yang Mayang selalu buat ke orang baru, menjadikan dirinya gadis pendiam yang menarik dan misterius. Ya, aku sudah tahu trik first impression dia.
Tempat perayaan ultah Baim ini berada di salah satu kedai kopi di Jalan Margonda, Depok, yang kebetulan baru dibuka hari ini. Baim juga mengundang Iril, namun dia berhalangan hadir dengan alasan yang aku tidak tahu. Aku, Mayang, Baim, dan Ibam pun duduk bersama di salah satu meja kedai kopi. Kedai kopi ini baru saja di-launch malam ini. Meski namanya sudah besar, ini adalah gerai pertama yang dibuka di Kota Depok.
Nama kedai yang aku bicarakan adalah Coffee Toffee. Grand Opening sudah dimulai sejak pukul tiga sore tadi, yang dimeriahkan dengan beberapa kompetisi musik dan bintang tamu jebolan Akademi Fantasi Indosiar (AFI) yang lebih komersil dipanggil DREE.
Setelah melakukan sedikit ritual tiup lilin dan potong kue, kami pun mengobrol dan menikmati hidangan khas kedai baru ini. Karena masih periode promo, kedai ini memberikan diskon hingga 10% dan menyugui live concert. Pilihan kopi yang ditawarkan memang beragam, namun kedai ini menitikberatkan produknya pada kopi lokal. Tanpa babibu, Mayang tiba-tiba beranjak dari bangkunya, lalu kembali dengan empat cangkir kopi yang tampak sedap menggoda lidah. Ibam dan Baim segera mengucap terima kasih ke Mayang seketika cangkir kopi itu disuguhkan ke mereka, namun Mayang hanya menanggapinya dengan tersenyum manis.
“Ngomong-ngomong Mayang kesini untuk urusan apa? Bukannya sekolah belum libur?” tanya Baim membuka percakapan.
Mayang tidak menjawab dan fokus menikmati kopinya. Ah, aku tahu trik ini. Dia ingin aku yang menjelaskan. Aku pun menjawab pertanyaan Baim,“Dia ikut ALSA, bray. Memang sih lombanya masih ntar tanggal 24, tapi dia udah duluan ke sini.”
Baim dan Ibam mengangguk-angguk.
“Ikut lomba apa?” tanya Ibam penasaran.
“Model United Nation,” jawab Mayang singkat.
Ibam kembali mengangguk-anggukan kepalanya lalu bertanya kembali, “Mayang sama Kak Panji satu sekolah ya?”
Mayang menggeleng lalu tersenyum. Aku pun menjawab dengan sedikit bercanda, “Beda SMA, Bam. Sekolah Mayang lebih terkenal dengan orang-orang pinternya. Kalo sekolah gw terkenal dengan orang-orang kece-nya. Huhu.”
“SMANDA ya?” sahut Ibam cepat, yang langsung ditanggapi dengan senyuman manis Mayang.
Ibam berusaha ramah namun hanya ditangapi dengan senyuman atau sepatah dua patah kata saja oleh Mayang. Baim tiba-tiba keluar untuk menerima telepon dan tinggalah kami bertiga di meja ini.
“Kok lo diem mulu, May?” tanya Ibam akhirnya.
“Apa gw harus secerewet lo?” Mayang akhirnya angkat bicara.
“Anjiss.. Ya nggak asik aja kalo kita diem-dieman mulu kek gini,” ujar Ibam sembari menelan ludah.
“Bukannya jadi asik?” tanya Mayang balik.
“Asik gimana orang pertanyaan-pertanyaan gw cuma lo kacangin,” lanjut Ibam.
“Apa setiap pertanyaan harus selalu dijawab dengan kata-kata?” balas Mayang.
“Nggak juga sih. Tapi kan jadi garing. Sepi. Gw juga jadi nggak tau jawaban lo apaan,” sahut Ibam.
“Apa bahasa senyum dan mata gw nggak cukup?” ujar Mayang seraya menatap tajam ke arah Ibam sembari tersenyum manis. Ibam mulai tampak gagu dan grogi.
“Eeeee, cukup sih. Tapi kan.. Jadi nggak cocok kalo pertanyaan nggak dijawab dengan pernyataan..”
“Bukannya malah cocok karena saling melengkapi?”
“Melengkapi gimana, May?”
“Karena lo yang banyak bicara bertemu dengan gw yang banyak mendengar. Saling melengkapi bukan?”
“Anjiisss... Gw digombalin nih?”
“Kenapa gw harus ngegombalin lo, Bam?”
“Karena mungkin lo suka sama gw, karena tampang gw oke. Ya nggak May?”
“Apa tampang gw kalah oke? Apa ada untungnya buat gw kalau tampang lo oke?”
“Eh, ada lah. Jadi kita bisa cocok kalo jalan bareng, May. Hehe.”
“Apa lo yakin bisa jalan bareng gw?”
“Maksudnya, may?”
“Memangnya lo suka cewek, Bam?”
“Hah?”
“Lo gay kan?”
“Anjiss lo kok tau, May?”
“Gw cuma nebak. Ternyata benar. Untung gw nggak keburu suka sama lo, Bam. Lega deh sekarang.”
Ibam terdiam kikuk. Wajahnya menjadi murung seketika. Mungkin karena ada orang yang dengan mudahnya menebak orientasinya. Mungkin juga karena dia tidak bisa membuat perbincangan yang setara dengan Mayang. Ah, aku sudah tau trik mayang. Trik kedua untuk membuat dirinya terlihat misterius dan menarik yaitu menjawab pertanyaan dengan pertanyaan. Sampai di sini, Mayang berhasil membuat Ibam penasaran dengan dirinya.
Tiba-tiba Mayang beranjak dari bangkunya lalu berjalan menuju ke arah panggung live concert. Setelah berbincang-bincang dengan seseorang di depan panggung, mayang pun naik dan memegang microphone. Mayang menyapu pandang lalu berhenti ketika arah tatapannya tertuju pada Ibam. Ibam hanya terdiam memperhatikan.
“Selamat Malam, pengunjung Coff-Toff sekalian. Perkenalkan saya Mayang, dan saya ingin menyumbangkan sebuah lagu untuk pria manis di ujung sana,” ujar Mayang sembari menunjuk ke arah Ibam yang langsung disambut dengan sorakan dan tepuk tangan pengunjung lainnya.
Ibam terlihat kaget. Namun sejurus kemudian dia tersenyum melihat Mayang yang tersenyum ke arahnya. Mayang memang selalu penuh kejutan. Dengan tenang, Mayang memegang batang microfone, mengayunkan badannya pelan, memenjamkan mata, dan tersenyum. Musik merdu mulai dimainkan dan pengunjung pun dengan gembira mendengarkan senandung lagu yang dibawakan Mayang.
Aku beranjak keluar untuk menemui Baim yang tak kunjung kembali. Aku menelusuri area di luar kedai, namun aku tak langsung menemukan sosoknya. Setelah beberapa langkah menjauhi kedai dan berjalan ke tepian Margonda, akhirnya aku melihat Baim. Ternyata dia tengah mengobrol dengan Iril.
Namun, Iril langsung berpamitan pergi ketika aku berjalan mendekati mereka. Iril sempat tersenyum dan menepuk bahuku, sesuatu yang tidak bisa aku artikan. Dan rasa sakit yang pernah aku taruh ke Iril kembali terasa menjangkit tubuhku.
Aku hanya memandangi Iril yang berjalan menjauhiku. Aku melihatnya punggungnya mulai menghilang. Aku pun memutuskan untuk mengejarnya.
“Iril!” teriakku memanggil si pemilik nama itu.
Iril pun berhenti lalu menoleh ke belakang. Dengan cepat dia berjalan mendekat ke arahku hingga akhirnya dia berdiri tepat di depanku. Dengan senyuman khasnya dia pun berucap pelan,
“Jangan di sini, Bray. Ntar ketabrak lo.”
Aku tersadar bahwa aku berdiri terlalu jauh dari tepian jalan dan bahkan hampir berada di tengahnya. Aku mengikuti Iril yang menarikku kembali ke tepi jalan.
Aku dan Iril saling diam. Hanya mata yang berbicara namun tak saling menjawab. Aku segera mengatakan apa yang ingin aku ucapkan ke Iril, “Maaf--”. Ucapan itu segera dihentikan dengan telunjuk Iril yang diletakkan vertikal di depan bibirku.
“Ssstttt... Lo nggak ada salah sama gw, Bray,” ujarnya sembari mengelengkan kepalanya. Sejurus kemudian dia tersenyum dan melepas telunjukkan dari bibirku. Aku kembali terdiam. Dan kali ini aku tidak mengejarnya. Tubuh Iril pun menghilang dari pandangan.
“Ril, maafin gw yang gak bisa nepatin janji sama lo. Juga maaf karena gw nggak ngasih tauk lo soal skripsi dan orientasi gw lebih dulu,” bisikku dalam hati.
***
Tue, April 22nd, Senior Year -- 04:37 p.m.
“Kak Iril, temen kosan lo yang katanya anak HI mana, Kak? Aku mau minta dia ngelatih persiapan MUN-ku,” ujar Mayang saat dia tiba di depan kosanku.
“Orangnya lagi nggak di kosan, May,” jawabku sedikit miris.
“Oh. Gw boleh nebak sesuatu nggak, Kak?" tanya Mayang.
“Nebak apa, May?”
“Kak Panji lagi ada masalah ya sama Kak Iril?”
“Ah, Kakak tahu ini cuma trik lo. Lo mau bikin kakak kelepasan terus mengklaim seolah itu tebakan lo kan? Trik itu nggak akan mempan ke Kakak, lagian siapa yang ngajarin lo trik itu. Huhu.”
“Nggak kok, gw nggak lagi mainin trik itu. Gw nebak begitu karena gw ketemu sama Kak Iril tadi pagi.”
“Oh ya? Dimana? Dia bilang apa?”
“Dia bilang lagi nggak bisa ketemu Kak Panji.”
“Masa sih, May?”
“Nggak percaya nih, Kak?”
“Hmmm jadi dia masih belum bisa maafin kakak ya...” gumamku.
“Tuh kan, bener, kalian lagi ada masalah. Huhu. Padahal gw cuma nebak, gak bener-bener ketemu sama dia loh,” ucap Mayang keras. Sial, dia memancingku. Ya sudah lah, memang tidak ada yang perlu aku tutupi ke Mayang.
Mayang seolah tahu bagaimana bereaksi, dia hanya tersenyum tenang lalu duduk di bangku teras kosan dan memainkan ponselnya. Dia tidak membahas urusanku dengan Iril berlebihan seolah dia tahu kalau aku juga tidak sedang ingin membahasnya. Aku pun mendatangi Mayang dan duduk di dekatnya.
“Mau latihan kan? Ke rumah Ibam aja, yuk. Baim juga anak HI, dia bisa tuh bantuin lo latihan,” saranku ke Mayang yang langsung disetujuinya.
Aku dan Mayang segera bersiap mengambil angkutan umum menuju rumah Baim. Setelah menempuh sekitar empat puluh menit perjalanan, kami pun sampai di depan komplek perumahan Baim dan langsung dijemput olehnya. Sesampainya di rumah Baim, kami disambut oleh Ibam yang terlihat sangat jelas mencari perhatian. Aku hanya mengamati Mayang yang tengah konsultasi dan simulasi menyampaikan speech-nya. Hingga akhirnya adzan magrib berkumandang dan kami pun beranjak sholat berjamaah.
Selesai sholat, makan malam sudah disiapkan oleh Bi Inah, pembantu rumah tangga di rumah Baim. Orang tua Baim-Ibam memang sangat sibuk. Mereka biasa berangkat pagi dan pulang larut malam. Oleh karena itu, kami pun dinner lebih dulu tanpa menunggu kepulangan ortu duo Ibrahim ini.
“Bahasa Inggris lo jago banget ya, May,” puji Ibam tiba-tiba.
“Thanks,” balas Mayang singkat sembari tersenyum manis.
“Gw suka deh sama orang yang jago bahasa Inggris,” tambah Ibam.
“Oke. Gw jago bahasa Inggris dan lo suka sama yang jago bahasa Inggris. Terus?” kata Mayang santai sembari menikmati santap malamnya.
“Ya gapapa sih,” jawab Ibam mati gaya.
Selesai makan malam, Ibam mengajak Mayang mengobrol tentang kehidupan sekolah. Aku dan Baim pun menyingkir ke teras depan rumah.
“Adek-adek kita cocok nggak sih, Nji? Kita jodohin aja apa?” tanya Baim setengah bercanda.
“Wakaka, gw nggak tau bakal berhasil atau nggak hubungan mereka,” candaku.
“Yah, bisa lah. Jangan remehin Ibam, Bray,” tekan Baim.
“Gw nggak ngeremehin. Tapi menurut gw, Ibam bukan tipe Mayang. Gak level buat Mayang,” ejekku.
“Kampreet, lo jangan jelek-jelekin adek gw lah. Gitu-gitu gw sedarah sama Ibam,” kata Baim dengan suara yang mulai meninggi.
“Ah, bilang aja lo insecure. Karena adek lo yang lebih bening dari lo aja nggak level sama adek gw, apalagi kakaknya. Ckckck,” lanjutku tertawa ringan.
“Kampreet,” teriak Baim yang dengan sekejap sudah mendekapku dan memiting leherku.
Jeez. Mulai lagi deh adegan KDRT. “Ampun, ampun, Im...” rintihku menahan gelitikan Baim.
Baim tertawa puas lalu melepaskanku. “Awas ya, kali ini gw cuma gelitikin, kalo lo ulangin lagi, ini tinju gw bakal melayang ke tubuh lo, Nji!” ujar Baim.
Tiba-tiba ponsel di kantungku bergetar. Ada sebuah panggilan masuk. Dari Tomori. Baim mengerti kalau aku harus mengangkatnya. Dia pun melepaskan dekapannya.
“Halo, Mori-kun,” sapaku dengan panggilan baru yang aku berikan untuknya beberapa hari lalu.
“Hai, Ji-chan,” balasnya. Ji-chan? Itu panggilan baru untukku? Jeez, terdengar sedikit aneh. Huhu.
“Ada apa nih?” tanyaku ke Tomori.
“Aku mau kasih kabar, kalau dua pekan ini aku akan ke Jepang. Ada urusan keluarga di sana,” terang Tomori.
“Wah, kapan berangkat?” timpaku.
“Lusa. Ji-chan ingin nitip sesuatu kah?” lanjut Tomori.
“Hmmm apapun dari kamu deh. Aku pasti suka. Huhu,” sahutku.
“Oke deh, beres!” tegas Tomori.
Obrolan dengan Tomori di telepon berlangsung cukup lama. Bahkan sampai Baim keluar masuk rumah dan menghabiskan sekantung kacang kulitnya. Aku pun mengakhiri panggilan karena sudah merasa cukup dan tidak enak mengabaikan Baim.
“Udah kelar, Nji? Siapa yang nelpon? Kok lama banget,” ujar Baim dengan nada mencibir ketika melihatku menutup telepon.
“Iya, Im. Buat siapanya gw belum bisa kasih tauk,” sahutku.
“Someone special nih, Nji? Lo suka ya sama dia?” tanya Baim.
“Sepertinya iya, Im. Tapi gw nunggu dia ngajak jadian sih,” jawabku diplomatis.
“Hmmm gitu ya. Selamat ya, Nji, akhirnya lo nemuin orang yang lo suka juga,” gumam Baim.
“Hehe, makasih ya, Im,” balasku.
“Tapi siapa emang, Nji? Gw penasaran nih?” kejar Baim.
“Kapan-kapan deh kalo waktunya tepat gw bakal kasih tauk. Eh, kacang udah abis aja nih? Kok cepet banget, Im?” kataku mengalihkan pembicaraan tentang telepon barusan.
“Iya, lah. Siapa suruh lo ngacangin gw!” sahut Baim sedikit sewot. Sigh! Aku harus hati-hati bicara atau aku bakal kena pukul nih.
“Waduh, terserah lo aja deh. Oh ya, Lo kemarin sama Iril ngomongin apaan, Im?” selidikku yang tetiba menjadi penasaran dengan percakapan Baim dan Iril.
“Ngomongin biasa aja lah. Ngalor ngidul nggak penting,” jawab Baim ngasal.
“Ooh, gitu..” Aku menggumam seraya melempar pandangan ke langit.
“Gw nggak tauk masalah lo sama Iril apa sih, Nji. Tapi gw bisa ngerasain ada yang nggak beres sama kalian. Aneh aja ngeliat Iril nggak ngintil lo lagi,” terang Baim.
“Lo mulai ketularan Iril ya, Im? Jadi lebay gini omongannya,” ejekku.
“Kagak, nyet. Gw mah udah kenal kalian. Gw tauk lah gimana kalo kalian ada masalah,” sambung Baim.
“Ya gitu lah, Im. Iril nggak tau kenapa jadi ngejauhin gw.”
“Lo ada salah sama dia, Nji?”
“Mungkin.”
“Apaan, Nji?”
“Hmmm gw nggak pengen cerita sih, Im. Tapi intinya sama aja kayak dulu, masalah kecil gitu lah.”
“Dulu yang mana, Nji? Yang Iril ngambek sama lo karena nggak kita ajak ke KL?” (*KL = Kuala Lumpur)
“Nah, iya yang itu. Sampe agak lama kan dia pundung.”
“Iya, wakaka. Lebay banget dah tuh orang.”
“Ya itulah Iril. Sekarang sih gw diemin dulu, Im.”
“Tapi yang ini beda nggak sih, Nji? Biasanya kalo dia ngambek mah semua orang kena. Sampe dia berantem sama seluruh isi kosan kan waktu itu. Tapi yang ini dia ngambeknya cuma sama lo kayaknya. Sama gw, dia masih biasa aja.”
“Oh, gitu ya. Mungkin dia udah gak selebay dulu. Udah bisa milih-milih kalo ngambek. Huhu.”
“Ya lo tauk dia kan, Nji. Gw yakin lo bisa ngatasin ini lah.”
Baim menepuk-nepuk bahuku. Memberiku semangat. Baim memang selalu menjadi pihak mediasi jika Iril sedang bermasalah denganku. Meski Iril nggak pernah ngambek lebih dari dua hari, Baim selalu menjadi orang pertama yang nggak betah kalau Iril tengah ngambek. Iril yang biasanya terima-terima aja dianiaya Baim, kalo lagi marah bisa bikin Baim diem.
Makanya, Baim selalu berusaha mencarikan solusinya yang biasanya adalah mempertemukanku dengan Iril untuk menyelesaikan masalah. Dan kalian tahu cara apa yang aku lakukan untuk meredam rajukan Iril? Aku cukup mengajaknya tidur bareng dan dia pun cepat berubah.
Namun, kali ini beda. Aku tidak bisa melakukan itu. Aku sudah mencoba menawarinya, namun aku selalu tertahan dengan suasana yang serius. Suasana yang sangat tidak pas untuk tiba-tiba mengajaknya bobo bareng. Mungkin aku memang harus menunggu. Sigh!
***
Tue, April 29th, Senior Year -- 01:19 p.m.
“May, barusan Ibam curkat ke Kakak. Dia bilang dia galau kenapa dia bisa suka sama lo. Padahal dia kan gay,” kataku ke Mayang ketika kami lunch bersama di KFC Margonda --kompetisi yang diikuti Mayang selesai hari ini, namun dia tidak menunggu pengumumannya. Dia bilang dia sudah tahu hasilnya, dia yakin dia menang. Huft, optimis sekali si Mayang.
“Gw tauk kok, Kak,” jawab Mayang santai sembari memakan spagetti-nya.
“Lah terus? Lo mau gimana, May?”
“Ya, nggak gimana-gimana. Gw cuma main-main. Cuma mau ngelatih skill baru. Huhu.”
“Hah? Skill baru apaan, May?”
“Ngubah cowok gay jadi straight, Kak. Gw lagi nyoba apakah sex appeal gw bisa mempan ke cowok belok. Dan ternyata berhasil. Hahaha.”
“Duh, jail banget lo, May. Kok bisa berhasil gimana caranya, May?”
“Analisis target, Kak. Ibam itu tipe-tipe yang suka dibaikin. Makanya gw baik-baikin dia. Tapi di saat yang sama, dia juga sangat penasaran. Makanya gw pasang karakter misterius. Gw jawab tiap pertanyaan dia dengan pertanyaan. Gw gantung semua kodenya. Dengan begitu dia jadi kepikiran sama gw, dan lama-lama jadi suka. Tapi di luar itu, gw yakin fisik gw memang ini mendukung. Mau straight atau belok, mereka tetep akan setuju kalau gw ini manis. Ditambah dengan paket lain yang gw juga punya: cerdas, terampil, dan penuh kejutan. Huhu.”
“Widih, kacau banget lo, May. Terus gimana? Kamu nggak mau tanggung jawab?”
“Gila. Gw nggak mau kali sama cowok belok. Meski Ibam cakep, dia terlalu naif, labil, dan melankolis. Bukan tipe gw. Gw suka yang badboy.”
“Dasar badgirl. Bukannya harusnya badgirl kayak lo cocoknya sama goodboy, May?”
“Goodboy? Boring! Serba predictable.”
“Hahaha, iyadeh selera lo memang gitu. Tapi hati-hati sama badboy, seberani apapun lo, dia masih bisa ngejahatin lo, May.”
“Kak Panji lupa ya kalo gw sabuk hitam yang udah pernah ngalahin tujuh preman di umur 12 tahun?”
“Idih, sombong. Huhu. Terus gimana tuh si Ibam. Lo tega bikin dia kayak gitu?”
“Tenang. Gw sudah handle, Kak.”
“Oh ya. Handle gimana, May?”
“Itu tuh!”
Mayang menunjuk seseorang yang baru masuk ke dalam KFC. Dia bersama beberapa temannya mencari tempat duduk, lalu memesan makanan. Orang itu, sepertinya aku kenal. Dia pun menoleh ke arahku. Sedikit terkejut. Lalu memalingkan pandangannya kembali ke pesanannya.
“Kak Panji kenal dia, Kak?” tanya Mayang tiba-tiba.
“Tauk sih. Namanya Adri bukan?” sahutku.
“Badri, Kak. Dia juga ikut ALSA. Dia senior gw.”
“Senior?”
“Yup. Gw tau apa yang lo pikirin, Kak. Lo pasti bertanya-tanya kenapa anak kelas tiga yang bentar lagi UN masih aja ikut-ikut lomba ke luar kota begini. Well, ini alasannya. Pertama, dia itu orangnya memang ambisius, jadi nggak mau lewatin kesempatan. Kedua, dia itu orangnya pinter banget soal pelajaran, jadi nggak perlu rempong lagi buat persiapan UN. Ketiga, dia itu longing banget pengen masuk UI. Padahal menurut gw, dengan isi kepalanya yang se-encer itu, dia harusnya bisa nyari kampus yang lebih berat dari UI.”
“Gaya ngomong lo, May. Sok banget dah.”
“Biasa aja kali, Kak. Gw aja yang ngerasa nggak sepinter dia, dalam pelajaran ya, masih optimis bisa masuk NUS. Dan gw pastinya gak setergila-gila itu buat ke UI kalo gw bisa dapetin lebih.” (*NUS = National University of Singapore)
“Eh, maksud lo tadi apaan? Kok nunjuk dia pas gw tanya cara ngatasin Ibam?”
“Gw bakal jodohin mereka. Buat compensate kejahilan gw yang udah mainin si Ibam. Hahaha.”
“Hah? Dia juga belok, May?”
“Nggak. Nggak tau sih. Tapi kayaknya iya. Huhu.”
“Jangan ngasal, May.”
“Cowok cakep sekarang mah bisa banget dicurigaiin kalo belok. Gw pake pembuktian terbalik, Kak. Jadi gw anggep semua cowok cakep itu gay sampe dia bisa buktiin kalo dia itu straight.”
Tiba-tiba Mayang beranjak dari kursinya. Dia berjalan mendekat ke rombongan teman-teman SMA-nya. Mayang dan teman-temannya saling bersenda gurau. Dan tak lama setelah itu, Mayang dan Badri terlihat kasak-kusuk yang entah apa yang sedang mereka bicarakan.
Aku menyeruput mangofloat milikku. Floatnya sudah larut karena sudah aku aduk bersama soda 7up-nya.
Trrrttt.. trrrrt...
Ponselku bergetar dan ada sebuah panggilan masuk yang langsung aku angkat.
“Panji, kita beneran nih ke Malang weekend depan?” tanya si penelpon yang ternyata adalah Iril.
Aku tidak langsung menjawab. Menunggu Iril melanjutkan apa yang ingin dia utarakan.
“Kata adek lo, lo ngajakin gw buat ke Malang weekend depan ini,” tambah Iril.
Nah ini dia! Jadi Mayang yang berulah. Aku hanya geleng-geleng kepala melihat Mayang yang tersenyum menatapku. Dia mengangkat jempolnya, lalu berbalik mengobrol dengan Adri.
“Yup, jadi!” jawabku mantap. Aku rasa kesempatan seperti ini jangan sampai terlewatkan. Ada hubungan yang harus aku perbaiki dengan Iril. Karena yang kali ini cukup parah, belum pernah Iril merajuk selama ini. Terlebih aku memang sudah janji dengan Iril untuk jalan-jalan ke Malang sebelumnya. Jadi memang harus segera terbayarkan hutang janji itu.
Iril diam cukup lama, namun tiba-tiba berteriak sangat keras, “Yippieee!!! Fix ya kita jalan Kamis depan!! Pasti bakal seru parah lah!! Gw udah lama pengen ke Malang!! Dari dulu nggak kesampean masa!! Hahaha lo siap-siap ya, Nji!!!”
“Iya, iya, Ril. Santai dong. Hehe,” timpaku sedikit tertawa mendengar keceriaan Iril yang muncul kembali.
“Hahaha, iya. Gw udah nggak sabar, Bray. Kita aja Baim juga ya..”
“Boleh. Tapi apa dia nggak sibuk skripsian?”
“Ah, gw dan Baim sama aja. Sama-sama suntuk sama skripsi. Mau refreshing dulu. Lagian kan jalan-jalannya cuma empat hari. Bisa lah diatur-atur.”
“Yudah, ntar lo cepet kabarin si Baim ya, Ril.”
“Beres, Bray!!”
“Sip.”
Aku merasa sangat senang mendengarkan celotehan Iril di telepon. Tapi bagaimanapun, aku harus meminta maaf ke Iril.
“Oh ya, Ril. Gw minta maaf banget banget banget sama lo ya, Bray. Sumpah gw ngerasa bersalah banget sama lo. Gw udah gak bisa nepatin janji gw buat wisuda bareng lo. Dan gw belum sempat cerita soal orientasi gw ke lo. Gw cuma belum siap buat ngasih tauk lo semuanya, Ril. Tapi ternyata, lo tauk duluan dengan cara yang kek gitu. Gw nyesel banget jadinya. Lo mau maafin gw kan, Bray?” terangku.
“Gw udah gapapa kok, Nji. Tapi lo janji ya jangan bikin gw kecewa lagi?”
“Iya, Ril. Gw janji.”
“Good. Eh, Nji. Lo lagi dimana sekarang?”
“Di KFC Margonda, Bray. Kenapa?”
“Gapapa. Malem ini kita kelonan yuk. Hehe..”
“Huh dasar! Gak mau ah.”
“Bodo. Pokonya harus mau, gw maksa. TITIK!”
“Hahaha, terserah deh..”
“Azeeek. Yudah ya, gw mau siap-siap dulu.”
“Ya elah, Ril. Kan jalannya masih lama, masih kamis depan, masa udah rempong aja?”
“Biar highly prepared, Bray. Udah ya, sini sini kecup dulu.”
“Idih..”
“Hahaha mmmuaaachh. Ayang Panji tunggu Ayang Iril malam ini ya.. Hahahay..”
“Dih, Ngarep!”
Aku menarik napas lega. Semburat senyum perlahan mengembang di wajahku. Aku merasa sangat senang mendapati Iril yang seperti itu. Akhirnya, Iril telah kembali.
***
Bersambung ke Chapter 13 : Time For Friends
lanjut baca!
@MarioBros makasih lho udah bikin cerita sekeren ini. tetep dlanjut yaaaaaa
*pelukdankecupkening ts
mayang.. mayang.. pinter banget yah, ga kalah sama panji. keluarga jenius.
ternyata iril ga lama ngambeknya, syukur deh. semoga iril panji awet...
mayang.. mayang.. pinter banget yah, ga kalah sama panji. keluarga jenius.
ternyata iril ga lama ngambeknya, syukur deh. semoga iril panji awet...
(TS turun langsung, divisi marketing @cute_inuyasha kmn sih? makasih loh bang @Adamx udh bantuin huhu)..
Btw bang @Adamx Believe me, there's always a guy like Badri in Lampung or other isolated places in indonesia (Seputih Mataram asal kampungny Badri itu jauh beud), they're annoyingly genious, talking more with their brain than with other people; I know some yg mereka bahkn sampe meninggal gegara pecah pembuluh otak saking pinternya tuh kepala. But Badri won't be that tragic, cm mau emphesize klo dia itu pinter (siapa tau kan ada hubungannya sm plot cerita heuheu).. Duh Mayang ini cuantik manis dia juara Muli-Mekhanai Lampung (bayangin gebetan yg namanya Mayang).. Thx lah bang masih setia ngikutin cerita ini.. perjalanan masih panjang. mohon bimbingannya. hehe.
@JengDianFebrian masama aku jg gk suka panji-iril marahan lama2.. Mayang berhasil tuh bikin ibam terpesona tp gatau deh bisa beneran lurus ato gak..
@bianagustine huaaa makasih ya buat *pelukdankecupkening-nya .. iya tetep dilanjut kok..
@fian_gundah aw aw ada yg makin suka sm iril nih..
@kiki_h_n waduh.. cinta gk harus memiliki, termasuk gk harus memiliki pin bb n no wasap, hahaha.. Mayang mmg pinter/cerdik (aaak jd pengen macarin mayang beneran).. iya semoga awet ya..