It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Ck,ck,ck, stlh sekian lama akhirny Panji nemu misteri lagi, yah walau dgn cepat tahu apa yg ingin Tomori smpaikan...
The best wish lah buat Panji dan bang Mario
gak rela- tapi mau gimana lagi , TSnya kan banyak kejutan- - qt tunggu aja nanti kejutannya apa aja--heee
ya pokoknya gakmau tomo-panji -_-
panji lo kok gampangan bgt sih sama tomori?!!
gimana ya reaksi iril kalo tau panji begitu? iril beneran straight kah?,ah gak yakin gw
@ardavaa waah makasih lah kalo ceritaku dibilang komplit *udah kyk toserba aja nih
@muffle banyak pengalamannya dan banyak maunya *apasih
@myl ntar juga tau reaksi iril gmn, pantengin terus ya..
@zeva_21siap, siap
@LeoAprinata waduh, lg kena virus merah jambu juga nih dek? cie cie.. iya, amin buat best wish-nya ke panji..
@Unprince @octavfelix @harya_kei @Adamx @balaka @nick_kevin @bianagustine @Tsunami @Tsu_no_YanYan @cute_inuyasha @d_cetya @Wita @lulu_75 @arifinselalusial @fian_gundah @animan @kiki_h_n @rulliarto @bianagustine @jamesx @ffirly69 @littlemark04 @Rika1006 @Akhira @earthymooned @myl @exomale @AgataDimas @pujakusuma_rudi @yo_sap89 @DoniPerdana @kaka_el @fauzhan @muffle @notas @diodo @DM_0607 @greensun2 @Adhika_vevo @3ll0 @LeoAprinata @uci @kristal_air @MajestyS @nawancio @4ndh0 @daramdhan_3oh3 @Vanilla_IceCream @TigerGirlz @Hehehehe200x @Widy_WNata92 @sonyarenz @RegieAllvano @AvoCadoBoy @Ndraa @arbiltoha @Sicilienne @Rifal_RMR @JimaeVian_Fujo @zeva_21 @ardavaa
Harap beritahu ya kalo ada yg nggak mau keseret lagi. Danke
Wed, March 12th, Senior Year – 09:43 a.m.
People say that doing is always harder than saying. But for me, there’s thing that’s always harder to say.
Seperti mengungkapkan perasaan. Itu kelemahanku. Aku tidak pernah kesulitan mengungkapkan isi kepalaku, tapi jika sudah berkaitan dengan isi hati, aku begitu sulit mengatakannya. Entah kenapa, gengsiku selalu naik jika sudah bicara tentang perasaan. Padahal menunjukkan rasa sayang dengan tindakan sudah sering sekali aku lakukan, namun memang mengucapnya begitu susah. Inilah mengapa sampai saat ini, hubunganku dengan Tomori tidak berubah status, sekalipun kami menjadi semakin dekat. Sekarang aku tahu rasanya, kenapa begitu susah mendorong Kak Dano untuk menembak Nabil saat itu. Ternyata memang susah.
Aku tipe yang cenderung menunggu orang lain untuk mengungkapkan perasaannya kepadaku. Meski aku sudah tahu isi pesan dari Tomori, dan aku yakin dia juga sadar apa yang dia tulis di kertas tersebut, tapi tidak ada hal baru yang terjadi karenanya. Bahkan tidak ada pembicaraan tentang pesan di kertas tersebut sama sekali. Kami tetap seperti biasa seolah tidak terjadi sesuatu. Huft! Aku harus menunggu kalau begini.
Aku kembali fokus pada stand sosialisasi pemilu yang aku jaga saat ini. Menjadi panitia pencerdasan pemilu di kampus terbilang cukup menguras tenaga. Terutama bagian yang aku tangani. Yaitu advokasi hak pilih mahasiswa rantau. Meski sudah bukan pengurus BEM, tetap saja aku dimintai tolong untuk mengurusi hal ini. Aku sendiri tidak masalah dengan ini, bahkan aku senang menyibukkan diri untuk membantu orang lain yang ingin mengikuti pesta rakyat ini. Inilah cara sederhana yang bisa aku berikan untuk bangsa ini. Semoga pesta demokrasi kali ini dapat menghadirkan pemimpin-pemimpin bangsa yang lebih baik.
Hak pilih ini penting. Bahkan memaksimalkan partisipasi rakyat adalah salah satu tujuan demokrasi. Rakyat harus dapat berpartisipasi dalam menentukan siapa pemimpin mereka. Dan lima tahun ke depan, Indonesia akan sangat bergantung pada bagaimana kita memaksimalkan hak pilih kita pada pemilu kali ini.
“Kak, masih bisa pindah TPS kan? Saya dari Samarinda nih, nggak mungkin pulang,” kata seorang mahasiswa laki-laki yang mendatangiku di posko pindah TPS. Mahasiswa itu berdandan sedikit nyentrik dengan kaos v-neck, selendang bunga-bunga, tas cantik, dan celana pensil ketat setengah betis berwarna merah muda. (*TPS = Tempat Pemungutan Suara)
“Masih bisa kok.” balasku dengan cepat, mengakhiri observasiku.
“It’s so nais, so guud. Awalnya saya mawar golput. Rempong sih pake pindah-pindah TPS. Tapi karena rame anak rantau yang ngurusin ginian, kan jadi tengsin kalo nggak. Saya bisa dianggap apatis nanti,” ujar mahasiswa itu.
“Bagus deh kalo kamu sadar. Udah tahu prosedurnya?” tanyaku.
“Belum, Kak. Hehe..” jawab mahasiswa itu sembari cengengesan.
“Kalo gitu kamu urus dulu ke Kak Putro yang berdiri di sana. Dia nanti yang akan jelasin,” ucapku seraya menunjuk ke arah Putro yang tengah nganggur karena tidak ada yang mendatanginya untuk konsultasi.
“Kalo sama Kakak aja boleh nggak?” tanya mahasiswa itu malu-malu.
“Loh, nggak mau sama Putro?” balasku.
“Saya mawarnya sama Kakak, hehe,” kata mahasiswa itu sembari mengedip-ngedipkan bulu matanya dan memutar-mutar kepalanya sedikit kemayu. Huhu.
“Kenapa harus sama saya?”
“Habis Kakanya ganteng. Kan lebih cucok kalo dengerin penjelasan dari orang ganteng. Hehe.”
“Eh, kamu belok ya?”
“Aduh, eike ketahuan! Kagak perlu ditutup-titipin lagi kalo begindang. Kakanya is okey wae kan ngobras bareng eike?”
“Hahaha, sama saya mah santai aja. Jadi, pertama kamu perlu mastiin kalo kamu terdaftar dalam DPT, kamu bisa cek di www.data.kpu.go.id. Setelah itu kamu ke posko ini lagi atau ke ruang bem fakultas sambil bawa fotokopi KTP dan fotokopi KTM, terus ngisi form Surat Permohonan Pindah TPS deh.” (*DPT = Daftar Pemilih Tetap)
“Duh, KTP eike hima layang, ciin!”
“Hilang maksudnya?”
“Ditahan policu sih ciin. Eike sampe gilingan tuh kena rajia. Sebel deutse, padahal eike nggak lagi pecongan.”
“Hahaha, sudah diurus KTP-nya? Lama ya?”
“Ember! Lambreta tuh policu. Padahal udah eike tungguin lama sampe organ tunggal eike yang hamidah lahiran.”
“Minta bayaran berarti. Supaya lancar urusannya.”
“Maharani, cin. Mending eike pake buat belalang-belalang Tasmania deh. Eike aja kalo mawar krimbat carinya salon mursida.”
“Hahaha. Saya sedikit ngerti sih apa yang kamu omongin, tapi jadi pusing begini dengerinnya. Ntar kita dikira apaan lagi kalo ngobrol kayak gini.”
“Ih, Kakanya jangan maluku. Nanda eike cipok loh.”
“Huhu, udah-udah. Jadi buruan cek daftar DPT ke we yang tadi saya kasih. Apa perlu saya lihatin? Nama kamu siapa?”
“Mumun Sandiwara.”
“Bentar ya.. Eh, saya tahu ini nama palsu, iya kan?”
“Ember! Hehe. Sebenarnya sih nama eike Maman Santoso.”
“Waduh, namamu macho banget. Dan jawa banget. Saya kira kamu asli Samarinda.”
“Makara! Eike gantenk deh, eh, ganti maksudnya. Tinta cucok sama eike yang cantik jelita seksi bidadari ulala similikiti.”
“Hahaha. Eh, udah ketemu nih. Kamu pake KTM dulu aja gapapa.”
“Ah, tinta jadi, deh. Eike kesindang cuma mawar ngobras bareng kamyu. Eike mah sirkuit mulas sama politikus hibiskus dedemitus cubitus.”
“Lah? Kok malah nggak jadi?”
“Idih rempong deutse.”
“Biar nggak repot ntar saya bantuin urus ke fakultas deh. Jadi nggak jauh-jauh ke sini. Kamu fakultas apa, Do?”
“Eh, eike tinta kuliah disindang.”
“Hah?”
“Eike bukan mahasiswi. Eike cuma jali-jali cuci mata cari lekong.”
“Jadi bukan mahasiswa?”
“Ember. Ya udin, eike mau capsus dulu ye. Bai bai....”
Mahasiswa lelaki jadi-jadian itu pun menghilang. Sial, ternyata populasi mereka masih saja apatis. Bagaimana bangsa ini bisa maju, jika populasi apatis seperti mereka terus bertambah? Mungkin gerakan mahasiswa perlu mulai merambah ke wilayah mereka. Huft. Semangat pemilu 9 April!
***
Sun, March 16th, Senior Year – 01:16 p.m.
Hari ini aku kembali menghabiskan weekend bersama Tomori sama seperti sebelumnya. Bedanya kami tidak jalan-jalan keluar, aku menemaninya bersantai di apartemennya. Ruang kamarnya rapih dan bersih. Interiornya juga sederhana namun tampak elegan. Di sebelah sofa dan meja berdiri sebuah lemari besar yang berisi buku-buku. Ya, Tomori memang sangat menyukai buku.
“Nih,” ucap Tomori sembari memberikan buku ‘Indonesia X Files’ yang belum sempat dia bawakan setiap bertemu.
“Padahal aku udah lama minjemnya, tapi baru dikasih sekarang,” ujarku seraya menerima buku itu.
“Duh, maaf ya,” kata Tomori.
“Jangan-jangan kamu sengaja lagi?” tanyaku.
“Sengaja untuk apa?” tanya Tomori balik.
“Sengaja ngasihnya nanti-nanti biar aku bisa diajak ke apartemenmu,” godaku sambil tersenyum manis.
“Hahaha, bisa aja kamu, Ji,” balas Tomori sembari terkekeh.
Tomori berjalan ke arah dapur untuk menyiapkan sesuatu. Aku pun mengikutinya. Aku berhenti memandangi Tomori yang sibuk dengan cangkir dan cerek, seperti tengah membuat seduhan teh hijau. Aku terus memperhatikannya yang fokus dengan racikan tehnya.
Dreeettt... Dreeettt...
Ponselku bergetar. Ada sebuah panggilan masuk dan langsung aku angkat.
“Halo, Bu Firda,” sapaku kepada dosen pembimbing yang meneleponku itu.
“Halo, Panji. Oh ya, kamu sudah lihat jadwal seminar proposal?” tanyanya.
“Oh iya, Bu. Saya lupa belum ngecek jadwal. Kalo boleh tahu, kapan ya, Bu?”
“Minggu depan, Nji.”
“Minggu depan banget ya, Bu? Rasanya kok cepat banget.”
“Kamu mau diundur?”
“Kalau bisa sih, mau, Bu. Biar lebih matang persiapannya.”
“Berarti akhir Maret aja kalo gitu. Nanti kamu yang terakhir seminar.”
“Baik, Bu. Makasih ya.”
“Ya. Semoga kaki kamu cepet sembuh ya, Nji.”
“Ya.”
Tuuuuuuutt...
Obrolan di telepon pun berakhir. Aku kembali memandangi Tomori yang masih fokus pada racikan tehnya. Tiba-tiba dia memalingkan wajahnya ke arahku dan tersenyum.
“Kamu mau teh?” tanya Tomori. “Aku sedang menyiapkannya.”
Aku mengangguk.
Tomori pun mengajakku duduk di lantai karpetnya. Di meletakkan meja bundar pendek di tengahnya. Aku dan dia duduk melipat kaki, dengan tangan yang kami letakkan di atas paha kami.
Tomori meletakkan cerek tehnya dan menyiapkan beberapa cangkir keramik yang berukuran kecil dan pendek yang sebenarnya lebih cocok disebut mangkuk. Tomori kemudian meracik beberapa daun teh kering dan menaburkannya ke dalam cerek yang berisi air panas. Cerek tersebut digoyang-goyang dengan pelan lalu diletakkan kembali ke atas nampan. Tak lama kemudian, Tomori menuangkan air tehnya ke dalam mangkuk gelas itu. Seketika aroma sedap daun teh langsung menyeruak lembut ke dalam hidungku.
“Dozo,” kata Tomori sembari menggeser mangkuk gelas teh itu ke arahku. Dia tersenyum yang langsung aku balas dengan senyum. (*Silakan)
“Sankyu,” balasku seraya meraih mangkuk gelas itu. (*Terima kasih)
“Tunggu dulu. Ada yang terlupa,” ucap Tomori tiba-tiba sembari berdiri dan beranjak ke arah dapur. Tak lama kemudian dia kembali dan meletakkan sesuatu ke depanku. Dia pun kembali duduk dan tersenyum ke arahku.
“Apa ini?” tanyaku.
“Coba saja,” jawab Tomori singkat.
Aku langsung mencoba kue yang menurutku mirip dengan kue mochi. Kue itu berwarna hijau dan berisi kacang merah yang sangat manis. Setelah selesai dengan kue itu, aku segera meraih cangkir teh itu. Dengan tenang, aku menyeruput teh hijau yang ternyata rasanya sangat pahit. Aku menahan rasa itu sebentar lalu meminumnya kembali dengan rileks. Aaah, ternyata rasanya benar-benar menenangkan.
Aku dan Tomori hening menikmati teh kami masing-masing. Pandangan kami saling bertemu tapi kami tidak mengatakan apa-apa. Seolah kami tengah berbicara dengan mata kami yang saling menatap. Ya, Tuhan, aku tidak kuat menatapnya lama-lama. Aku pun kembali menyeruput tehku. Aku melempar pandanganku ke sembarang arah. Suasana tetap hening. Dan di antara keheningan itu, pikiranku seolah terbuka ke dunia luas bebas. Dunia yang tidak mengikatku dan membatasiku. Aku merasa bebas. Aku harus membuat pilihan.
***
Thu, March 20th, Senior Year – 07:21 p.m.
Aku berjalan melewati teras kosan dengan sedikit gontai, menghidari gerimis sore yang tiba-tiba datang. Untung saja, aku dan Tomori sudah tiba di kosan, sehingga tidak terjebak hujan lebih deras di jalan. Aku akhirnya sampai di bawah kanopi halaman kosan dan Tomori berjalan menyusulku. Untuk kesekian kalinya, Tomori mengantar dan menjemputku untuk medical check up. Dan aku sangat senang dengan perhatian dan kebaikannya itu.
Aku dan Tomori masih berdiri di teras. Menatap jalanan di depan kosan yang basah oleh hujaman air yang melebat. Tidak ada pembicaraan di antara kami. Kami hanya memandangi rintikan air bersama-sama. Menikmati momen kami bersama.
“Wow wow wow.. Ada yang abis hujan-hujanan nih?” ujar seseorang dari belakang, yang ternyata adalah Iril. Iril mendekati aku dan Tomori, lalu ikut berdiri sejajar dengan kami. Aku dan Tomori hanya diam, sepertinya percuma menanggapi Iril. Duh, kenapa dia datang sih, bisa merusak suasana kalau begini.
Tiba-tiba Iril berjalan ke tepi teras keramik, menengadahkan tangannya ke depan, menerima rerintikan air dari ujung kanopi. Dia menoleh ke belakang ke arahku, sedikit tersenyum, lalu menoleh kembali ke depan.
“Panji, Panji... Jantungku berdebar tiap kuingat padamu ..... ”
Iril bernyanyi! Lagu ini? Ya, Tuhan! Sunny? Bunga Citra Lestari?
“Panji, Panji... Mengapa ada yang kurang saat kau tak ada .....” Iril, seolah tanpa peduli sekitarnya, terus melanjutkan nyanyiannya.
“......” aku hanya terdiam. Begitu pula Tomori.
“Panji, Panji... Melihatmu menyentuhmu itu yang kumau ....”
“......”
“Panji, Panji... Apa kabarmu, kabarku baik-baik saja....”
“......”
“Panji, Panji.... Begitu banyak cerita tak habis tentangmu....”
Aku pun tak tahan untuk berteriak, “Iril monyeeet. Stop woy! Alay banget lu!”
Namun Iril tak acuh dengan umpatanku itu dan justru melanjutkan nyanyiannya. Dia membalik badan dan menatapku.
“Panji, Panjiiiiiiii.... Ingin ku kesana..... Panji, Panji? Pergi menyusulnya....”
Sial! Iril secara sembarangan mengganti lagu Sunny menjadi lagu The Changcuters ‘Hijrah ke London’.
“Woy!! Cangcut! Jangan berisik lu! Kena petir nanti!” bentakku sembari menahan geli ingin tertawa. Aku tak benar-benar kesal ke Iril, menurutku dia konyol.
Iril terus bernyanyi dan sekarang lagunya berubah. Lagu ini?
“Maru maru mori mori omajinai da yo.. Tsuru tsuru teka teka nikkori egao... Ichi ni no san shi de goma shiosan... Takusan da to oishii ne...”
Iril menyanyikan lagu Maru Maru Mori Mori. Lagu ini sangat tenar di youtube, karena dinyanyikan oleh duo anak kecil yang lucu dan imut, Ashida Mana dan Suzuki Fuku. Dan lucunya, Iril menyanyikan lagu itu sembari ikut menirukan gerakan anak-anak itu. Aku tersenyum geli menahan tawa. Dan Iril pun terus melanjutkan nyanyian dan tariannya.
“Maru maru mori mori puka puka ofuro... Tsuru tsuru pika pika goshi goshi burashi... Minasan gunnai mata ashita... Asagohan wa nan desho ne? Dabadua dabajaba.. Dabadua dabajaba dua..”
Jedarr!!!
Tiba-tiba petir menyambar kuat hingga suaranya menggelegar mengagetkanku. Dan seketika itu juga, Iril terdiam, berhenti bernyanyi. Wajahnya terlihat sangat kaget. Pucat. Lucu sekali, membuatku ingin tertawa. Dan tanpa sadar, aku pun tertawa keras.
Oh Shit! Aku baru sadar lagu itu bisa menyinggung Tomori. Aku berhenti tertawa dan langsung melirik ke arahnya. Tomori hanya tersenyum. Senyum yang terlihat dipaksakan. Fake smile!
“Panji, Iril. Saya pulang dulu ya,” kata Tomori tiba-tiba.
Mungkin dia sudah tidak betah dengan adanya Iril di sini. Ya, aku tahu kalau Tomori ini seorang perasa, dia cukup sensitif dan mudah tersinggung.
“Masih hujan loh,” sahutku menahannya.
“Kan pake mobil, Nji,” timbrung Iril.
Tomori hanya tersenyum lalau berpamitan pergi. Dia menerobos hujan lalu langsung masuk ke dalam mobilnya. Mobilnya melaju dan menghilang dari pandangan. Menginggalkan aku dan Iril di teras kosan.
Tomori dan Iril. Mereka benar-benar berbeda. Tomori itu seperti Kakashi. Dia misterius, jenius, peduli, serius, dapat bertindak cepat dan dapat diandalkan. Sedangkan Iril seperti Naruto; ceria, penuh semangat, tapi juga ceroboh dan kekanak-kanakan. Dan entah kenapa, aku kurang tertarik dengan si tokoh utama, aku lebih tertarik dengan Kakashi.
“Nji, masuk yuk. Dingin loh di luar mulu,” ucap Iril tiba-tiba.
“Duluan aja, Ril. Gw mau santai bentar di sini,” sahutku.
“Ntar lo masuk angin gimana, Nji?”
“Gapapa, biar sekalian gw dirawat di RS.”
“Yah, kok lo gitu? Lo seneng ya deket-deket dokter?”
“Deket-deket suster lah. Mereka cantik-cantik, baik-baik.”
“Yeee, kalo itu mah lo tinggal main ke FIK kali, Nji. Gw ada kenalan tuh di situ.” (*FIK = Fakultas Ilmu Keperawatan)
“Mereka mah masih mahasiswa. Belum berpengalaman, Ril. Hahaha..”
“Huhu, sok banget lu! Yudah, sini biar gw aja yang ngerawat lo.”
“Apalagi lo, Ril. Malah yang ada gw makin sakit.”
“Aih! Yang penting gw setia jagain lo, Nji. Ntar gw temenin lo dah ke dokter.”
“Ujung-ujungnya dokter kan, Ril?”
“Tauklah. Gw mah anak HI. Bisanya ngobatin hubungan antarnegara. Huhu.”
“Hahaha, yudah ntar kita kalo nyari istri anak rumpun kesehatan ajalah. Biar dirawat.”
“Ah lo ngikut-ngikut gw, Nji. Gw pas maba kan bilang gitu.”
“Lah, emang salah?”
“Salah. Lo sama anak FISIP aja deh, Nji. Nggak cocok sama dokter.”
“Anah! Kenapa jadi lo yang ngatur-ngatur dah?”
“Ya, gapapalah. Hahaha..”
“Idih! Gaje lo, Ril!”
“Eh tapi btw, Nji. Lo nggak ada apa-apa kan sama si Tomoro itu?”
“To-mo-ri.”
“Iya apapun lah itu si mata sipit.”
“Ril, mata lo juga sipit keleus.”
“Oh iya, hahaha. Yang penting gantengan gw kan, Nji?”
“Gantengan dia lah, Ril.”
“Ih, lo mah gitu, Nji. Sama sohib sendiri nggak memihak.”
“Huhu, ngambek nih ye..”
“Tapi, tapi, kalo suruh milih, lo milih gw atau Tomoro itu, Nji?”
“Idih, pertanyaan macam apa tuh, Ril. Kenapa gw harus milih?”
“Ya, misalnya lo harus nyelametin dua orang sekaligus di waktu yang sama tapi harus pilih salah satu, lo bakal pilih siapa?”
“Hmmmm gw bakal pilih lo, Ril.”
“Serius, Nji?”
“Iya.”
“Aih, sohib gw ini bener-bener setia. Gw seneng banget loh punya sohib sekeren lo.”
“Kayaknya dari awal kita kenal, lo sering banget ngulang kata-kata itu deh, Ril.”
“Biarin. Memang kenyataannya gw seneng. Hahahayy.”
Iril pun berbalik masuk ke dalam kosan sembari bersiul-siul.
Siulannya lambat laun menghilang. Meninggalkanku yang masih menatap hujan.
“Hey, Iril. Saat lo nanya gw milih siapa, dan gw bilang gw milih lo, itu karena gw tahu, kalo lo lebih butuh diselamatin daripada Tomori. Tomori itu beda, dia dewasa. Dia bisa mengurusi dirinya sendiri. Nggak merepotkan orang lain. Independent. Justru pria kayak dia lah yang gw suka. Andai saja pertanyaan lo diubah, siapa yang gw pilih buat temen hidup, gw akan lebih milih Tomori,” kataku dalam hati.
***
Sat, March 22th, Senior Year – 04:28 p.m.
Ini weekend ketiga yang akan aku habiskan bersama Tomori. Aku berjalan dengan sedikit mempercepat langkahku, meski masih kesulitan karena harus memangkai tongkat di bagian kiriku. Tak lama kemudian, aku langsung disambut Tomori yang sudah menungguku di dalam mobilnya. Aku pun duduk, meletakkan tongkat ke jok belakang, dan kemudian menguatkan seatbelt-ku.
Mobil pun dinyalakan dan kami akan langsung menuju rumah orang tua Tomori di daerah Bogor. Ya, akhir pekan ini Tomori mengajakku bertemu orang tuanya. Ini benar-benar gila, aku bahkan sejak kemarin pusing memikirkan harus bagaimana ketika tiba-tiba Tomori mengajakku untuk berkunjung ke rumah orang tuanya. Aku mendadak jadi cemas dengan percakapan seperti apa yang akan terjadi, dan bagaimana jika Tomori menembakku di depan orang tuanya malam ini juga. Ya Tuhan, aku ngos-ngosan, bahkan hanya untuk sekedar memikirkannya.
“Aku grogi, Tomori,” kataku pelan sembari melirik ke arahnya.
“Hahaha, santai saja, Panji. Orang tuaku tidak akan gigit kok. Aku rasa mereka akan menyukaimu malah,” balas Tomori sembari tertawa ringan.
“Kamu serius nih ngajak aku ketemu sama ortumu?” tanyaku sedikit gugup dan meremas jari.
“Iya, Panji. Bukannya kamu tahu kalau aku orangnya tidak suka main-main?”
Aku menelan ludah lalu melempar pandanganku ke jalan tol yang sepi.
“Apa ini nggak terlalu cepat?” tanyaku ke Tomori.
“Justru aku tidak ingin menunggu untuk segera memperkenalkanmu ke orang tuaku.”
Aku hampir sesak menahan napas mendengar kalimat Tomori yang terdengar mantap dan meyakinkan itu.
“Aku nggak malu-maluin kan?” tanyaku lagi.
“Kamu terlihat tampan, Panji. Apanya yang malu-maluin?” balas Tomori santai.
Aku hanya terdiam. Wajahku bersemu merah.
“Kamu kenapa sih? Nggak biasanya seperti ini,” ujar Tomori tiba-tiba.
“Ehmmm aku juga nggak tahu kenapa aku jadi grogi begini,” sahutku.
Aku benar-benar tidak menyangka aku menjadi seperti ini. Menjadi sangat gugup dan kehilangan rasa tenangku. Jujur, aku tidak menyukai diriku yang seperti ini. Mana Panji yang dulu? Yang bisa selalu tenang dalam kondisi apapun. Huft, aku harus mengatur emosiku. Aku tidak boleh membiarkan perasaanku menghilangkan karakterku.
Untuk memecah keheningan, Tomori menyalakan mp3 player miliknya. Sebuah lagu diputar dan tanpa intro musik, bait pertama langsung dinyanyikan. Sebuah lagu Jepang. Lagu ini? Ya Tuhan, aku tahu lagu ini.
-- Sangatsu Kokonoka (March 9th) --
Nagareru kisetsu no mannaka de
Futo hi no nagasa o kanjimasu
Sewashiku sugiru hibi no naka ni
Watashi to anata de yume o egaku
In the middle of this drifting season
I suddenly feel the length of the days
In the midst of these quickly-passing days
You and I dream away
Sangatsu no kaze ni omoi o nosete
Sakura no tsubomi wa haru e to tsuzukimasu
With my feelings on the March wind
The cherry blossom buds continue on into spring
Afure dasu hikari no tsubu ga
Sukoshizutsu asa o atatamemasu
Ookina akubi o shita ato ni
Sukoshi tereteru anata no yoko de
The overflowing drops of light
One by one warm the morning
Beside you, I'm a little embarrassed
After a huge yawn
Arata na sekai no iriguchi ni tachi
Kizuita koto wa hitori ja nai 'tte koto
I'm standing at the door to a new world
What I've realized is that I'm not alone
Hitomi o tojireba anata ga
Mabuta no ura ni iru koto de
Dore hodo tsuyoku nareta deshou
Anata ni totte watashi mo sou de aritai
If I close my eyes
You're behind my eyelids
How strong has that made me?
I hope I'm the same for you
Suna bokori hakobu tsumoji kaze
Sentakumono ni karamarimasu ga
Hiru mae no sora no shiroi tsuki wa
Nanda ka kirei de mitoremashita
The dusty whirlwind
Tangled up the laundry, but
The white moon in the morning sky
Was so beautiful, I couldn't look away
Umaku wa ikanu koto mo aru keredo
Ten o oogeba sore sae chiisakute
There are things that don't go the way I planned
But if I look up to the sky, even they seem small
Aoi sora wa rin to sunde
Hitsuji kumo wa shizuka ni yureru
Hana saku o matsu yorokobi o
Wakachi aeru no de areba sore wa shiawase
The blue sky is cold and clear
The fluffy clouds float by quietly
If I can share with you the joy
Of waiting for the flowers to bloom, I'll be happy
Kono saki mo tonari de sotto hohoende
From now on, I want you to be quietly smiling beside me
Hitomi o tojireba anata ga
Mabuta no ura ni iru koto de
Dore hodo tsuyoku nareta deshou
Anata ni totte watashi mo sou de aritai
If I close my eyes
You're behind my eyelids
How strong has that made me?
I hope I'm the same for you
(9 March, by Remioromen)
Aku dan Tomori hanyut dalam alunan lagu tersebut. Bahkan, kami sempat ikut bernyanyi pada bagian reff-nya. Lagu itu sangat cocok menggambarkan perasaanku saat ini. Angin Maret musim semi yang memekarkan bunga sakura. Langit cerah dan suasana bahagia. Sebuah dunia baru seolah membukakan pintunya untukku, dan saat aku melewatinya, aku tidak sendirian, ada Tomori di sana. Apakah dia memikirkan hal yang sama denganku?
March 9th. Cocok sekali dengan romansaku. Kalian ingat, saat pertama kali Tomori mengajakku jalan ke Kota Tua? Sekitar dua minggu yang lalu, dan tanggalnya tepat 9 Maret. Aku bisa saja menyebutnya kencan pertama. Bahkan ketika itu Tomori memberi sinyal kuat bahwa dia tengah menyukai seseorang. Dan orang itu adalah aku? Tomori memberiku pesan rahasia bertuliskan ‘daisuki desu’. Meski tanpa mengatakannya secara langsung, aku bisa merasakan perasaannya kepadaku. Tidak apa. Aku akan menunggu.
Aku melirik ke arah Tomori yang tersenyum menikmati alunan lagu selanjutnya. Mobil terus melesat hingga akhirnya memasuki wilayah Bogor. Kami pun berpindah dari jalan tol ke jalanan kota. Bogor baru saja diguyur hujan lebat. Langit masih gelap dan jejak-jejak hujan masih terlihat. Suasana ini sangat kontras dengan lagu March 9th yang tadi aku nikmati.
Bahkan, kota hujan ini masih menyisakan rerintikan gerimis dan tetesan air di unjung-ujung bangunan. Semakin jauh ke dalam jalanan kota, semakin lambat pula laju mobil yang kami naiki. Tentu saja karena harus berbagi jalan dengan banyak pengguna lainnya.
Dan tiba-tiba Tomori mengerem mobil dengan cepat seketika mobil di depan kami mendadak berhenti. Beberapa mobil lainnya juga ikut mengerem mendadak. Ada sebuah kecelakaan yang terjadi di depan kami. Sesorang tertabrak mobil yang sedang melaju cukup kencang ketika orang itu menyeberang jalan. Dan kecelakaan itu dalam sekejap mampu membuat seluruh ruas jalanan menjadi sangat macet.
“Panji, aku keluar dulu ya. Naluri dokterku terpanggil nih,” ujar Tomori tiba-tiba.
Tomori kemudian menepikan mobil, membuka pintu, dan berlari ke arah kerumunan orang yang mengerubungi korban kecelakaan itu. Aku yang masih membutuhkan tongkat untuk berjalan pasti akan merepotkan jika ikut keluar. Aku pun hanya menunggu di dalam mobil, memandangi punggung Tomori yang mulai menjauh. Aku semakin kagum dengannya. Dia rela keluar menembus gerimis untuk menolong seseorang. Tomori, dia pria yang baik hati. Dia sempurna. Ya Tuhan, bagaimana ini? Aku semakin suka dengannya. Terima kasih, telah mendekatkanku dengan pria seperti dia, dengan seorang Tomori Araide.
Hanya saja, aku benar-benar kesulitan mengungkapkan perasaan itu. Begitu susah untuk mengatakannya. Sepertinya, aku memang harus menunggu. Menunggu Tomori untuk mengatakannya langsung kepadaku.
***
Bersambung ke Chapter 9 : The March Rain
Maru Maru Mori Mori
https://youtube.com/watch?v=3a_jjHGyIQU
March 9
https://youtube.com/watch?v=3tOAWI4uyTw
Yg March 9 lebih direkomendasikan untuk dengerin versi mp3-nya aja. Lebih mulus nyanyinya. Tapi kalo yg mau video juga gpp, jadi bisa liat vokalisnya. Ya, mirip2 lah sama Tomori. Cuma masih lebih cakepan Tomori. Lebih. Hehehe.
tapi q sadar itu buat dia seneng...
#abaikan curcol ini :v
whaaa~~ cinta segitiga?? hoo~~
atuuh, aku jadi makin bingung sama Panji. Malu malu kucing dih. Tomori juga kenapa kok perasaanku jadi gak enak /heh/. Iril juga makin alay buat narik perhatian Panji.
.___. Atuh, pusing pala barbie.
Apalagi Mumun siapa tadi? Geez == butuh lama buat nerjemahin bahasanya. ==. Jejangan Kakak ini Mumun yaaa? .___.v
panji sikapnya kaya mau ketemu ma camer nih ..