It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@Unprince ssstttt jangan teriak2, lg di rumah sakit ini.. lol.
@3ll0 wakaka siapa tau nabil jd lebih suka brondong *lirik ello
@DM_0607 lanjuuuut, cuma tinggal share kok.
@3ll0 wakaka siapa tau nabil jd lebih suka brondong *lirik ello
@DM_0607 lanjuuuut, cuma tinggal share kok.
Tapi, okairinasai nii'san, good to see you again ^^
Salam buat mamany ya, moga cepat pulih. Amin
@Unprince @octavfelix @harya_kei @Adamx @balaka @nick_kevin @bianagustine @Tsunami @Tsu_no_YanYan @cute_inuyasha @d_cetya @Wita @lulu_75 @arifinselalusial @fian_gundah @animan @kiki_h_n @rulliarto @bianagustine @jamesx @ffirly69 @littlemark04 @Rika1006 @Akhira @earthymooned @myl @exomale @AgataDimas @pujakusuma_rudi @yo_sap89 @DoniPerdana @kaka_el @fauzhan @muffle @notas @diodo @DM_0607 @greensun2 @Adhika_vevo @3ll0 @LeoAprinata @uci @kristal_air @MajestyS @nawancio @4ndh0 @daramdhan_3oh3 @Vanilla_IceCream @TigerGirlz @Hehehehe200x @Widy_WNata92 @sonyarenz @RegieAllvano @AvoCadoBoy @Ndraa @arbiltoha @Sicilienne @Rifal_RMR @JimaeVian_Fujo
Jika ada yg tidak ingin keseret, bilang ya. Maaf mengganggu.
NB: Kalo suka jangan lupa like ya, biar aku tahu ceritaku bagus atau gk.. danke
Mon, February 24th, Senior Year -- 07:05 p.m.
“Konbanwa,” sapaku ke Tomori seketika aku mengangkat telepon darinya.
“Hai, konbanwa. Panji, kamu lagi di kosan?” sahut Tomori.
“Iya. Ada apa Mori-kun?” tanyaku.
“Hmmm kebetulan aku lagi di Depok. Apa kamu bisa menemaniku makan malam?”
“Boleh. Aku juga lagi suntuk karena nggak keluar-keluar dari kemarin. Kamu bisa jemput aku di kosan?”
“Ya, tentu. Aku sudah di depan kosanmu.”
Aku terdiam sebentar lalu bergegas meraih tongkatku untuk berjalan ke depan kosan. Sebelum keluar, aku merapikan rambutku, meraih jaket cokelatku, dan berkaca sebentar ke cermin. Aku tidak menyangka akan bertemu dengan Tomori secepat ini. Baru saja aku memikirkannya, dan ternyata orang yang kupikirkan tiba-tiba saja mengajak bertemu. What a coincidence! Apa ini jodoh? Eh!
Aku pun berjalan tertatih-tatih menyusuri koridor kosan. Entah kenapa, aku sedikit tidak peduli dengan luka bekas operasiku. Rasanya sudah tidak begitu sakit sekarang. Setelah beberapa langkah, aku akhirnya melihat sosok Tomori berdiri di depan teras kosan, bersandar di pintu BMW hitamnya. Dia menatapku lalu tersenyum, yang langsung aku balas dengan senyuman. Aku pun berjalan mendekatinya.
“Mau makan apa?” tanyaku sembari membuka gerbang kosan.
“Aku lagi pengen ramen. Ada rekomendasi?” balas Tomori.
“Mau ke Ranjang 69? Ada banyak pilihan ramen dengan berbagai spicy level di sana,” saranku.
“Boleh. Ayuk, Panji. Silakan masuk,” ajak Tomori sembari membukakan pintu depan mobilnya dan mepersilakanku masuk dengan gerakan tangannya.
Mobil pun melaju ke luar gang dan memasuki Jalan Margonda. Kami harus memutar arah di Jalan Lenteng Agung Raya sampai akhirnya kembali ke Jalan Margonda dan menepi di depan resto Ranjang 69. Kami pun masuk, duduk, dan memesan makanan. Dua porsi ramen level dua dan dua gelas jus buah segar.
Selama makan, tidak ada perbincangan antara aku dan Tomori. Mungkin karena sudah cukup banyak yang aku tanyakan ke Tomori selama dia mengantarkanku pulang dari operasi tempo hari. Meski sebenarnya masih banyak juga sih yang ingin aku bicarakan, tapi entah kenapa aku sedikit gengsi untuk memulainya. Untuk membunuh waktu, aku pun mengamati sekelilingku; hal yang memang sudah menjadi kebiasaanku.
Ranjang 69 ini cukup ramai dengan pengunjung mahasiswa. Terlihat darimana? Dari tampilan mereka yang khas dan obrolan mereka yang tidak jauh dari kehidupan kampus. Resto ini terasa hangat karena memakai tema dengan dominasi warna interior merah bata. Selain menyesuaikan dengan kesan makanan Jepangnya yang pedas, warna merah bata ini juga dimaksudkan untuk menggugah selera makan. Ya, aku tahu kalau warna-warna memang disesuaikan dengan tujuannya. Bicara soal warna, aku jadi dapat topik pembicaraan. Tidak apalah aku yang memulainya.
“Hey, meski ngambil forensik, apa kamu pernah melakukan operasi?” tanyaku memulai pembicaraan.
“Ya. Aku dulu pernah bergabung di tim bedah. Meski sekarang aku lebih banyak membedah mayat daripada manusia hidup. Hahaha,” jelas Tomori.
“Hahaha. Ngomong-ngomong kenapa ya baju operasi berwarna hijau? Padahal kan baju khas dokter berwarna putih,” ujarku. Pertanyaan bodoh! Aku sudah tahu jawabanya, tapi aku sedang tidak terpikirkan topik yang lain. Tidak apalah, terkadang menjadi bodoh itu perlu untuk membuka pembicaraan.
“Saat melakukan operasi, mata akan terasa lelah jika terus-menerus melihat warna merah darah di bawah cahaya. Jika dokter melihat dokter lainnya atau perawat memakai baju putih, mata akan pusing. Warna hijau menjaga konsentrasi dokter agar tetap fokus. Tidak hanya baju, topi bedah dan masker semuanya juga berwarna hijau,” terang Tomori.
Aku mengangguk-angguk. Meski aku sudah tahu jawabannya, aku tetap terpesona dengan cara Tomori menjawab. Lugas dan tidak berbelit. Bahkan dari caranya berbicara, sudah terpancar sekali kekuatan karakternya. Aku semakin kagum.
“Besok kamu mulai check up ya?” tanya Tomori tiba-tiba.
“Iya,” jawabku singkat.
“Besok aku jemput ya,” ujar Tomori tenang.
“Hah? Apa tidak merepotkan?” sahutku sedikit kaget.
“Tentu saja tidak. Besok aku berangkat dari Bogor. Dari rumah orang tuaku. Jadi sekalian saja aku samperin kamu. Kamu nggak keberatan kan?”
“Pertanyaanmu terbalik. Harusnya aku yang menanyakan itu.”
“Jadi, bagaimana, Panji? Kamu mau?”
“Ya, aku mau.”
***
Tue, February 25th, Senior Year -- 08:45 p.m.
“Honey, gimana hasil check up kamu tadi?” tanya Mama dari ujung lain telepon.
“Tadi hanya diperiksa, Ma. Dokter sih menawarkan untuk fisioterapi, tetapi setelah diperiksa ternyata tidak terlalu perlu,” jawabku.
“Baguslah kalau begitu. Apa berarti luka kamu bisa cepat sembuh?”
“Nah, yang itu belum tentu, Ma. Katanya sih butuh sekitar dua bulan buat nggak perlu lagi weekly check up dan lepas tongkat.”
“Hmmm lumayan lama juga ya. Kamu harus banyak istirahat dan jaga kesehatan kalau begitu.”
“Siap, Ma.”
“Oh ya, gimana skripsi kamu?”
“Proposal sih tinggal submit, Ma. Tapi Panji jadi ragu bisa nyelesaiinnya semester ini atau nggak,”
“Karena kaki kamu ya?”
“Iya, Ma.”
“Tapi dicoba dulu lah. Sambil bimbingan dan ngumpulin data sekunder dulu.”
“Aku pasti coba, Ma. Tapi kan metode penelitianku perlu survey lapang, Ma.”
“Iya, Mama ngerti kok. Intinya jangan nyerah dulu. Sambil penyembuhan, sambil nyicil juga.”
“Oke, Ma. Makasih ya, Mamaku sayang.”
“Hehe. Oh ya, Akhir April depan Mayang mau ke UI. Mau ikut lomba katanya.”
“ALSA UI ya?” (*Kompetisi bahasa Inggris berbagai cabang untuk pelajar & mahasiswa yang diselenggarakan oleh asosiasi mahasiswa hukum FH UI)
“Nah, iya itu. Nanti tolong bantu akomodasi di sana ya.”
“Beres, Ma. Lagian dia ngewakilin SMANDA kan? Pasti akomodasi udah disiapin sama pihak sekolah.”
“Iya, maksud Mama nanti kamu jagain dan bantuin dia lah pokoknya. Terutama jagain deh, Mayang mah lebih sembrono dari kamu. Mama sering was-was sama dia.”
“Siap, aku pasti jagain dia biar nggak macem-macem. Ya udah ya, Ma. Aku revisi proposal skripsiku dulu. Senin besok udah batas akhirnya nih.”
“Ya udah. Good night, Honey. Wassalamualaikum.”
“Walaykumsalam.”
Aku menutup teleponku lalu membaringkan tubuhku ke kasur. Duh, rasanya malas sekali, padahal aku sudah berniat untuk segera merevisi proposalku. Dan malah pikiranku kembali melayang ke pria itu, dr. Tomori Araide. Kenapa ya aku terbayang-bayang dia terus? Apa aku suka dengannya? Apa aku udah ketularan Nabil dan Ibam, ikutan jadi belok? Huft!
Tok tok tok tok....
Tiba-tiba pintu kamarku diketuk dari luar. Pasti Iril. “Masuk, aja, Ril!” teriakku dari dalam. Pintu langsung dibuka dan benar Iril. Dia cengengesan sembari berjalan mendekat ke arahku.
“Lagi apa, Nji?” tanyanya.
“Lagi tiduran nih,” jawabku sedikit ketus.
“Wah, berarti lagi nganggur dong. Bantuin gw mau nggak?”
“Benerin format proposal ya?”
“Iya. Canggih banget lah, lo, Nji. Bisa nebak tepat gitu.”
“Panji gitu loh. Hahahay.”
“Haha dasar! Eh, tapi lo nggak lagi capek kan? Kaki lo nggak lagi kumat kan? Ntar kalo lo kecapean gw pijitin deh. Lo mau gw temenin tidur, ntar juga temenin. Lo mau apa aja pasti gw turutin.”
“Gw mau lo nggak berisik, Ril.”
“Hehehe, iya. Nih, Nji. Tolong periksain ya.”
Aku segera duduk dan meraih laptop Iril. Tanpa banyak bicara, aku langsung memeriksa dan merapikan format proposal skripsinya. Entah kenapa aku tidak malas untuk yang satu ini. Mungkin karena hanya memeriksa, jadi tidak melibatkan kerja otak yang berat seperti memunculkan ide dan membuat kalimat. Iril menepati janjinya untuk diam selama aku bekerja dengan proposalnya. Dia hanya memandangi layar laptopnya sembari sesekali memandangiku. Butuh sekitar lima belas menit sampai akhirnya selesai.
“Ah, kelar nih,” ujarku sembari meregangkan otot-otot tanganku.
“Gila! Cepet banget lo, Nji meriksanya. Makasih banyak ya, Bray,” sahut Iril dengan diikuti senyuman lebar.
“Soalnya tulisan lo udah lumayan rapih sih, Ril. Jadi nggak perlu banyak yang diedit.”
“Iya gw sekarang berusaha rajin, Nji. Gw sekdil sama lo soalnya.” (*Sekdil/Secdil/Security Dilemma : istilah dalam ilmu HI, merujuk pada situasi dimana suatu negara berusaha untuk menambah kapasitas militernya karena merasa keamanannya terancam/tersaingi oleh negara lainnya. Iril sering memakainya untuk menunjukkan perasaan tidak aman dan keinginan mengejar ketertinggalannya dari orang lain).
“Kalo sekdil, harus konsisten ya, Ril, rajinnya.”
“Oke siap, Nji!”
“Nah gitu dong, Ril. Lo yang semangat ya. Jangan suka deadliner kayak begini lagi.”
“Pasti, Nji. Gw kan pengen lulus semester ini dan wisuda bareng lo.”
“Jangan cuma omdo ya. Yang serius, Ril.”
“Siap, Bray.”
“Yudah, ada lagi nggak nih? Kalo nggak ada gw mau istirahat.”
“Btw, Nji. Gw mau bilang sesuatu.”
“Sesuatu apa, Ril?”
“Gw mau bilang kalo lo itu keren banget. Sumpah! Keren! Keren! Hahaha..”
“........”
“Sumpah bray, lo keren banget dah.”
“........”
“Dih, mukanya merah nih gw bilangin keren.”
“........”
“Halo? Halo? Adakah Panji keren di sana? Spada?”
“Hahaha. Udah ah, Ril.”
“Muka lo lucu gitu, Nji kalo gw puji-puji.”
“Huh! Dasar!”
“Tapi lo seneng kan, Nji?”
“Gw lebih seneng kalo lo juga keren. Makanya jangan cuma gw doang yang keren, gw juga kan pengen punya sohib yang keren. Lo harus berkembang jadi lebih baik, Ril. Jangan kayak sekarang ini, males-malesan, suka sembarangan, dan kekanak-kanakan.”
“Mulai lagi deh, diceramahin Pak Ustad Panji. Udah kayak Azzam lu!”
“Huhu, gapapa lah bisa masuk surga berarti.”
“Tapi belum tentu, Nji.”
“Aih, kenapa gitu?”
“Lo belum sama kayak Azzam karna lo belum gw cium, Nji.”
“Idih! Lo sok lupa ya, kalo dulu lo juga pernah nyium gw? Parah banget, itu first kiss gw malah lo yang ambil. Apa kata istri gw nanti kalo dia nanya first gw sama siapa. Huhu.”
“Lo masih inget, Nji? Hahaha. Padahal gw ngarepnya lo lupa, biar gw bisa modus nyium lo lagi. Hahahay. Gapapa lah, Nji. Itu juga first kiss gw.”
“Hahaha. Sial banget dah gw.”
“Sialan gw lah, Nji. Sampe harus nyiumin tujuh bibir cowok. Ih, bergidik geli gw kalo nginget-nginget itu.”
“Hahaha. Lucu ya, Ril, kalo inget jaman-jaman dulu.”
“Iya, sekarang mah kita makin sibuk. Bentar lagi kita juga lulus, cari kerja, dan ngejalanin hidup kita masing-masing. Gw pasti kangen masa-masa itu, Nji.”
“Ah, lo bikin gw galau, Ril.”
“Hahaha sorry sorry. Yaudah deh, gw malam ini mau mulai ngertiin lo. Lo butuh istirahat kan? Gw nggak akan gangguin lo lagi deh mulai sekarang.”
“Nah, bagus kalo gitu.”
“Tapi jangan sungkan ya kalo lo tiba-tiba kangen pengen kelonan sama gw, Nji.”
“Hahaha ngarep lu! Udah sana!”
“Hahaha yaudah ya. Makasih banyak, bray.”
“Yup, sama-sama, Ril.”
Iril pun keluar kamar dan menutup pintu. Sekarang hanya ada aku di ruangan ini. Ada rasa baru yang seolah mendekap jiwaku. Seperti rasa cemas, gelisah, ketidakpastian, insecure, rindu, gundah, dan rasa yang jarang sekali aku miliki. Ah, ada apa denganku?
Aku mengingat lagi percakapanku dengan Iril. Apa benar Iril bisa berubah. Iril yang ngocol seperti itu apa bisa serius? Aku memang meragukannya, tapi Iril jika sudah bertekad sesuatu, dia akan getol mengerjakannya.
Aku kembali merebahkan badanku ke kasur. Aku menatap langit-langit kamar. Kenapa aku terus kepikiran Tomori ya. Padahal aku baru bertemu dengannya beberapa kali. Tapi perhatianku sudah teralihkan begitu saja olehnya. Arghhhh... aku menjerit dalam hati. Kenapa aku jadi galau begini?
***
Fri, February 27th, Senior Year -- 04:18 p.m.
“Kita ngopi sebentar, yuk,” ajak Tomori sebelum memutar jalur ke arah kosanku.
“Hayuk,” jawabku sembari tersenyum.
Mobil Tomori pun melaju menembus Jalanan Margonda yang sudah mulai padat oleh arus balik para komuter. Ini kali kedua Tomori mengantar jemput aku untuk medical check up mingguanku. Dia tidak keberatan untuk bolak balik Depok-Salemba. Aku pernah bertanya apakah aku merepotkan, dia menjawab tidak, karena dia suka menghabiskan waktu denganku. Ah, aku jadi gede rasa kalau begini.
Mobil akhirnya berhenti di depan sebuah kedai kopi di Jalan Margonda, Ranah Kopi namanya. Tomori membukakan pintu dari sisiku duduk, lalu membantuku berdiri dengan tongkatku.
Aku dan Tomori kemudian berjalan memasuki Ranah Kopi. Kedai ini memiliki dua lantai dengan interior bergaya casual tetapi elegan. Kedai ini memakai konsep “Boutique Cafe” alias vintage yang dipadukan dengan sisi modern. Uniknya seluruh perabotannya dibuat dari barang bekas yang didaur ulang dengan cantik. Setelah menyapu pandang ke penjuru tempat di lantai satu ini, kami pun mendapatkan tempat di sudut kedai yang cukup nyaman.
“Kamu mau pesan apa? Mau coba kopi lampung?” tawarku ke Tomori. Kedai Ranah Kopi ini memiliki ciri khas dengan menawarkan kopi hitam khas Indonesia, seperti kopi lampung, kopi aceh gayo, kopi toraja, kopi bali, kopi mandheling, kopi priangan, kopi flores, hingga kopi papua. Tomori tampak berpikir sejenak untuk menentukan pilihannya.
“Apakah enak?” tanyanya.
“Ya, kopi itu dari daerahku. Kopi robusta yang diracik apik dan rasanya kuat. Memang sih aromanya tidak sesedap arabica aceh gayo, tapi kamu belum pernah mencobanya kan?”
“Baiklah, aku pesan itu. Kalo begitu kamu juga pesan kopi pilihanku saja ya. Jadi, kamu juga bisa merasakan kopi kesukaanku seperti apa.”
“Tentu. Memangnya kamu mau pesan apa?”
“Hazelnut-latte.”
“Wah, tepat sekali. Itu menu favorit di sini. Tapi aku memang belum pernah mencobanya sih.”
“Nah, kalau gitu jadi pas berarti.”
Setelah memesan, seorang barista segera mengantarkan pesanan kami. Selain kopi, kami juga memesan beberapa kudapan lezat khas kedai ini, yaitu seporsi Klappertart dan Apple Pie. Kami pun mulai menikmatinya.
“Oishi desu ka?” tanyaku ke Tomori yang sedang menyeruput Kopi Lampungnya. (*Apakah enak?)
“Oishi desu. Aku suka. Aroma robusta ini lebih lembut, namun dengan rasa asam-pahit sangat terasa, terasa pas buat penikmat kopi sepertiku. Pilihan kamu memang tepat. Bagaimana dengan Hazelnut latte-nya?” tanya Tomori balik.
“Aku juga suka racikan ini. Kamu memang punya high-taste ya.”
“Selera kamu juga bagus. Oh ya, kamu mau dengar ceritaku kenapa aku mengambil bidang forensik?”
“Asal kamu tidak membicarakan autopsi dan visum dalam momen seperti ini, aku mau dengar.”
“Hahaha, tentu saja tidak. Jadi gini ceritanya. Awalnya aku ingin mengambil spesialis lain, seperti jantung atau yang lainnya yang menurutku lebih komersil. Namun, sekitar tiga tahun tahun lalu, aku memutuskan untuk memutar haluan ke ranah forensik. Aku menyadari tentang ketertarikanku dengan dunia misteri, seperti mengungkap identitas mayat atau menganalisis kondisi tubuh mereka. Lalu, semakin ke sini, aku semakin suka dengan dunia forensik ini.”
“Wah, bagaimana bisa rasa suka itu tumbuh seiring waktu?”
“Karena aku menjalaninya. Aku bersentuhan langsung dengan apa yang aku suka. Oleh karena itu, aku percaya kalau aku sering bersama sesuatu atau seseorang yang aku suka, maka semakin lama aku akan semakin suka.”
“Duh, bahaya nih. Kalo kamu semakin sering ketemuan sama aku, bisa-bisa kamu jadi suka sama aku. Hehe.”
“Hahaha, bisa jadi.”
“Oh, ya. Teruskan ceritamu.”
“Oke. Sebenarnya aku sempat jenuh dengan urusan forensik. Tapi sekitar tengah tahun yang lalu, aku membaca sebuah buku yang ditulis oleh salah seorang ahli forensik paling tersohor di negeri ini.”
“Dr. Abdul Mun’im Idries bukan? Yang menulis buku ‘Indonesia X Files’ kan?”
“Wah, hebat. Kamu juga tahu ya, Panji?”
“Ya. Sayang ya orang sehebat dia sudah meninggal sekarang.”
“Iya. Lalu, kamu sudah pernah baca buku itu?”
“Belum sih. Kamu punya ya? Kapan-kapan aku pinjem ya?”
“Tentu. Yang aku mau ceritain dari buku itu adalah tentang misteri kematian Soekarno. Apa kamu keberatan kalau aku ceritakan sekarang, Panji?”
“Tidak, Tomori-kun. Aku tetap mau mendengarkan ceritamu, juga tetap ingin membaca buku itu.”
“Dalam buku itu, Dokter Mun’im berpendapat kalau Soekarno meninggal karena pembiaran negara terhadapnya. Pada akhir hidupnya, dia justru diasingkan pemerintah Orde Baru ke Istana Bogor. Itu sangat tidak cocok dengan karakternya yang dinamis dan aktif, karena mendadak dia harus terkungkung di balik tembok Istana. Dan perubahan suasana itu diduga besar berimbas fatal pada kondisi kesehatannya.”
“.....” aku diam memperhatikan cerita Tomori dengan seksama. Sudah lama sekali aku tidak terlibat pembicaraan yang seserius dan semenarik ini.
“Dengan kata lain, perlakuan Orde Baru terhadap Bung Karno sedikit-banyak punya andil atas kematiannya. Meski dia sakit-sakitan, sakit fisik seharusnya hanyalah menjadi penyebab minor. Penyebab utama kematiannya adalah karena dia diisolir dari bangsanya sendiri.”
“.....”
“Kamu lihat kan, seorang dokter forensik bisa menganalisis kasus seperti itu meski tanpa melakukan pemeriksaan langsung pada jasadnya. Kejernihan pikiran dan ketajaman analisis seperti itu tumbuh karena dunia forensik mengajari kami untuk mencari inti terdalam sebuah misteri. Dari situlah, aku semakin suka menjalani profesiku itu.”
“Wah, aku takjub dengan Dokter Mun’im sekaligus miris mengetahui kenyataan kematian Bung Karno. Tapi, aku salut sama kamu. Kamu ini keturunan Bangsa Jepang, tapi sangat nasionalis,” kataku berkomentar.
“Walau bagaimanapun, Ibu yang melahirkanku berdarah Indonesia. Dan aku juga tumbuh besar di sini. Jadi aku juga sayang sama bangsa ini. Jadi, hikmah apa yang bisa kamu dapatkan?” tanya Tomori sembari mengangkat potongan kecil Apple Pie ke arahnya.
“Aku jawab asal ya. Bahwa mengabaikan seseorang bisa membuatnya menderita bahkan mati. Terlebih jika dia sangat ingin memberi perhatian tapi justru diabaikan,” jawabku sedikit bernada bercanda. Terus terang ini kode. Apakah Tomori bisa mengerti maksudnya?
“Hahaha, kamu bisa saja, Panji. Aku ngerti itu. Aku juga belajar kalau mengabaikan perasaan orang lain itu tidak baik,” ujar Tomori sembari mengunya potongan Pie-nya.
Bingo! Teriakku dalam hati. Apakah itu berarti Tomori akan segera membalas perasaanku kepadanya? Apakah dia tidak akan mengabaikan perhatianku kepadanya? Ah, aku mulai menggila. Aku benar-benar menaruh harapan kepadanya.
Obrolan manis di kedai kopi ini pun akhirnya berakhir. Tomori memaksa untuk membayar semua pesanan kami. Dan setelah itu, kami kembali ke mobil dan Tomori mengantarkanku ke kosanku.
Setelah berpamitan, aku berjalan pelan melewati koridor kosan yang cukup sepi. Ah, aku tidak peduli kemana perginya anak-anak kosan. Untuk sekarang, aku hanya ingin menikmati rasa baru yang aku dapatkan dari Tomori.
Siapa yang tidak percaya kalau kopi dapat menumbuhkan rasa cinta? Meski aslinya terasa pahit, cerita bersama secangkir kopi selalu terasa manis. Secangkir kopi hangat yang dapat membuat mood menjadi baik sekaligus menenangkan hati. Dan tak ku sangka, efeknya bisa membuat hatiku hangat seperti ini. Ya ampun, aku sampai tersenyum-senyum sendiri.
***
Sat, March 1st, Senior Year – 07:23 p.m.
“Halo, selamat malam,” kataku menerima telepon dari Bu Firda, dosen pembimbingku.
“Halo. Panji?” sahut Bu Firda.
“Iya, ada apa Bu?”
“Ibu mau ngabarin kalau proposal skripsi kamu masih perlu direvisi. Harus kelar secepatnya ya atau kamu susah untuk bisa lulus semester ini.”
Aku terdiam sebentar. Skripsi? Ya ampun, aku sampai mengabaikannya.
“Kapan memangnya, Bu?”
“Pokoknya minggu kedua Maret harus udah seminar proposal.”
“Berarti revisiannya harus minggu depan banget dong, Bu?”
“Iya, ini udah kesepakatan dari Departemen. Kamu bisa kan?”
Aku berpikir sejenak. Mengela napas lalu menjawab pertanyaan sulit itu, “Iya, saya usahakan, Bu.”
“Yaudah, semangat ya.”
“Oke, makasih banyak, Bu.”
Bu Firda segera menutup teleponnya. Aku terduduk diam di depan laptopku yang menyala. Aku hanya menatap layar Microsoft Word-ku. Memandang jenuh ke arah barisan paragraf proposal skripsiku. Rasa malas belum kunjung pergi. Aku sangat tidak bergairah untuk mengetik saat ini. Mataku lelah. Sulit untuk konsentrasi. Jika dipaksakan, bisa-bisa aku sakit kepala.
Sekitar dua puluh menit berikutnya aku masih terdiam memandangi layar laptop-ku. Aku mencoba meng-edit beberapa bagian tapi tetap terasa kurang cocok, jadi aku menghapusnya lagi. Aku mengetik lagi lalu menghapusnya lagi. Huft! Aku bosan! Aku pun merebahkan dan meregangkan tubuhku sebentar. Lalu aku bangun dan menonton anime, satu episode saja. Untuk memperbaiki mood-ku.
Selesai dengan satu episode, aku malah jadi penasaran dengan episode selanjutnya. Tanpa bisa membendungnya, aku akhirnya memutar video selanjutnya. Habislah dua jam-ku untuk menonton anime tersebut. Aku hampir saja memutar video yang ketiga, tapi aku menahannya. Aku sadar, aku tengah mencari-ari kesibukan tidak penting untuk menunda penyelesaian revisi skripsi. Tapi apa daya, rasanya sangat malas.
Aku kembali merebahkan tubuhku. Jarum jam sudah hampir menyentuh angka sepuluh. Ah, aku menghela napas panjang. Kenapa aku semalas ini ya? Aku justru tergoda untuk menonton anime. Duh, ingat anime jadi ingat Tomori deh. Dia sedang apa ya sekarang?
Dreeettt... Dreeeeetttt....
Tiba-tiba saja ponselku bergetar. Dari Tomori. Kenapa jodoh sekali ya? Baru saja aku memikirkannya, dan panggilan darinya pun tiba. Dengan cepat, aku meraih ponselku dan mengangkat teleponnya.
“Konbanwa..” ucapku.
“Konbanwa. Kamu belum tidur kan, Panji?” tanya Tomori.
“Belum kok. Kamu lagi apa?”
“Aku lagi baca novel. Sudah selesai, dan tetiba aku tidak tahu mau ngapain. Apa aku mengganggumu?”
“Nggak kok. Novel apa memangnya?”
“The 100-Year-Old Man Who Climbed Out of The Window and Disappeared.”
“Karangannya Jonas Jonasson kan ya? Wah, itu buku bagus.”
“Kamu sudah pernah baca?”
“Iya. Oh ya, kamu belum jadi minjemin aku buku Indonesia X Files nih.”
“Oh iya. Nanti aku bawain deh..”
“Sip. Kamu udah makan?”
.......
Obrolan di telepon berlangsung cukup lama, hingga jarum jam menyentuh angka sebelas. Benar-benar lama hingga berbagai obrolan kami habiskan di dalam telepon. Setelah mengakhiri pembicaraan, aku meregangkan tubuhku dan berbaring menatap langit-langit kamar. Tanpa sadar, aku telah melewatkan waktu produktifku untuk mengerjakan proposal skripsi. Ah sudahlah. Aku yakin aku bisa menyelesaikannya besok. Aku pun mulai memejamkan mataku. Sayup-sayup rasa kantuk mulai menyerang. Dan tanpa sadar, aku pun terlelap nyenyak.
Tok tok tok tok...
Sebuah ketukan pintu tiba-tiba membangunkanku. Sial! Siapa itu? Sudah selarut ini masih saja mengganggu. Pasti Iril.
“Masuk!” teriakku.
“Nji, lo ada indomie? Boleh minta?” tanya orang yang ternyata adalah Chandra. Aku kira Iril. Eh, Iril kemana ya? Kok udah jarang kelihatan di kosan?
“Boleh ambil aja,” sahutku sedikit kesal.
“Wuhuuu.. Makasih banyak ya, Nji. Gw ambil ya,” ujar Chandra sembari mengambil beberapa bungkus indomie dari kardusnya. Kenapa banyak sekali sih, kenapa nggak ambil satu aja? Jeez.
“Btw, Chan. Lo tahu Iril kemana nggak? Kok jarang keliatan?” tanyaku ke Chandra.
“Dia sibuk bimbingan, Nji. Dia akhir-akhir ini nginep di kosan seniornya yang ngasdos dan bantuin skripsi dia,” terang Chandra.
“Oh ya, Nji. Dia nitip salam buat lo. Katanya, tolong jagain sohib gw, ya Chan. Wakaka lebay banget tuh orang. Padahal kan tinggal sms atau nelpon lo,” lanjut Chandra sembari tertawa ringan.
“Hahaha Iril kan memang lebay,” sahutku seraya tersenyum miris.
“Tumben banget tuh si Iril. Jadi rajin banget dia,” tukas Chandra yang sudah berada di dekat pintu keluar.
“Iya kah?” tanyaku datar.
“Iya, Nji. Katanya dia harus lulus semester ini. Biar bisa wisuda bareng lo.”
Deg!
Dadaku serasa tertohok parang ketika mendengar ucapan Chandra. Iril. Di saat dia menjadi rajin, aku justru terdistrak dan bermalas-malasan. Aku juga harus semangat. Semangat Iril. Semangat Panji!
***
Bersambung ke Chapter 7 : The Love Signal