BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Sepenggal Cerita Di Balik Gulungan Kertas [TAMAT] [Daftar Chapter di P1]

12223252728278

Comments

  • @notas wah semangat broo.. kemarin dateng wisudaan gk? foto-foto sama gebetan gk? *hiks gebetan lulus duluan *eittss gw lulus duluan deng huhu ... Bromance :*

    @LeoAprinata wih, kakek-kakek mana itu? mana orangnya? gw kirim nenek lampir baru tauk rasa tuh kakek! lol

    @balaka danke :) sip dah, yg kali ini gk flat, tp nanti pasti ada ch yg flat, capek soalnya kalo mainan roller coaster terus.. huhu..

  • edited February 2015
    -- Chapter 5 : The Gorgeous Doctor –-


    Thu, February 13th, Senior Year -- 10:06 a.m.

    Aku memilih berjalan kaki dari Stasiun Cikini ke Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo atau yang lebih dikenal dengan RSCM. Rumah Sakit ini terletak di Jalan Diponegoro Nomor 71 dan bersebelahan dengan kampus UI Salemba. Aku ke sini untuk memeriksakan kaki kiriku yang kemungkinan retak tulang atau terkena luka dalam lainnya akibat kecelakaan beberapa bulan yang lalu. Aku sudah beberapa kali merasakan nyeri di bagian pergelangan di sekitar mata kaki, namun aku belum juga menyempatkan waktu untuk memeriksanya. Dan kali ini, aku harus memeriksanya.

    Aku menuju bagian pelayanan spesialis klinik tulang. Setelah mengurus administrasi dan mengantri panggilan, akhirnya giliranku pun tiba. Aku berkonsultasi dengan seorang dokter spesialis yang kemudian menyarankanku untuk mengambil tes roentgen tulang. Jika ditemukan kerusakan pada tulang kakiku, maka pengobatan dapat segera dilakukan. Namun, jika tidak ada kesalahan pada tulangku, maka aku harus menjalani pemeriksaan MRI atau Magnetic Resonance Imaging.

    MRI ini bertujuan untuk mengambil foto organ dalamku seperti otot dan lainnya. Biaya MRI ini cukup mahal, dua juta rupiah untuk foto yang diambil pada satu daerah. Jika ada daerah lain yang perlu diambil fotonya, maka aku harus membayar sejumlah kelipatan yang sama. Aku juga harus menjalani medical check up seminggu dua kali. Setiap check up-nya menghabiskan biaya delapan puluh ribuan. Namun, jika aku menggunakan askes (asuransi kesehatan), biaya tersebut dapat ditekan hingga sepuluh ribu rupiah.

    Dokter spesialis tulang ini akhirnya menjadwalkan tes roentgen-ku. Aku harus kembali lagi ke RSCM esok harinya. Karena tidak ada lagi yang bisa aku lakukan di Rumah Sakit ini, aku bergegas untuk keluar menuju stasiun.

    Aku berjalan menjadi lebih hati-hati. Mengetahui bahwa kakiku bermasalah seolah mampu mensugesti kemampuan gerak tubuhku yang justru membuatku berjalan sedikit ragu. Sesekali aku berusaha berjalan seperti biasa namun justru langkahku tersendat dan hampir terjatuh.

    Dan benar, aku hampir tersentak jatuh saat aku dengan tidak sengaja melewatkan sebuah anak tangga. Namun, sebelum tubuhku mencium lantai, seseorang menangkapku dari samping.

    Orang tersebut mengangkat badanku dan menegakkanku. Aku menatapnya. Seorang pria berkulit putih, bermata sipit, berwajah tampan, dan bertubuh gagah berdiri di sampingku. Dia mengenakan jas putih khas dokter yang tampak sangat elegan di badannya. Pria itu kemudian tersenyum dan berkata, “Hati-hati kalau jalan.”

    Aku mengangguk lalu membalas senyumnya. Sejurus kemudian pria itu menarik lenganku ke pinggir tangga karena aku dan pria tersebut tengah menghalangi jalan waktu itu. Pria tersebut melanjutkan ucapannya, “Kaki kamu sakit ya?”

    Darimana dia tahu? Apakah dia spesial tulang? Apakah dokter bisa sehebat itu mendiagnosa penyakit orang hanya dengan melihatnya?

    “Kamu pernah mengalami kecelakaan ya?” tanyanya kemudian.

    Hebat, tebakannya benar. Aku tidak tahu darimana dia bisa menebak seperti itu. Aku yang penasaran pun langsung menyahutnya, “Wah, kok bisa tahu?”

    “Jadi bener kalau kaki kamu lagi sakit akibat kecelakaan? Aku cuma nebak.” ujarnya santai.

    Aku terdiam. Tak kusangka, trik yang sering aku pakai untuk mengkonfirmasi asumsi ternyata dipakai juga oleh orang lain. Dan tanpa kuduga, aku juga terjebak dalam trik tersebut.

    “Wah, padahal saya sudah kagum loh karena Pak Dokter bisa nebak seakurat itu,” balasku.

    “Jangan panggil bapak, ah. Saya kan masih dua puluhan, meski udah deket dengan angka tiga puluhnya sih. Hehe.”

    “Jadi saya harus manggil apa nih? Padahal saya udah takjub ada dokter yang bisa menebak kondisi saya dengan cepat.”

    “Hahaha, padahal saya kan bukan dokter umum yang biasa mendiagnosa penyakit. Saya dokter forensik. Panggil saja Tomori.”

    “Tomori? Anda keturunan Jepang ya?”

    “Iya.”

    “Pantas, penampilan fisik Anda sangat mirip orang Jepang. Apakah blasteran?”

    “Saya memang blasteran. Ayah saya Jepang, Ibu saya asli Indonesia, Sunda tepatnya. Bahkan, logat saya sudah tidak seperti orang Jepang kan? Saya sejak kecil sudah besar di sini.”

    “Menarik. Kalau boleh tahu, siapa nama lengkap anda?”

    “Tomori Araide.”

    “Araide... Kok mirip sekali dengan dr. Tomoaki Araide ya?”

    “Kamu penggemar Detective Conan ya?”

    “Wah anda tahu kalo Tomoaki Araide itu karakter manga Detective Conan?”

    “Tentu saja. Beberapa orang sering mengira kalau saya masih ada hubungan darah malah sama Araide di manga itu. Padahal itu kan cuma fiksi.”

    “Hahaha. Benar-benar kebetulan yang menarik. Karakter anda dengan dr. Tomoaki memang cukup sesuai.”

    “Yup. Bedanya, saya dokter forensik, bukan dokter umum seperti Tomoaki Araide. Hehe.”

    “Tak apa. Saya justru lebih tertarik dengan dokter forensik. Sangat cocok dengan hobi saya.”

    “Biar saya tebak. Hobi kamu bermain detektif-detektifankah?”

    “Hebat. Tebakan Anda tepat. Oh ya, perkenalkan saya Panji.”

    “Salam kenal, Panji. Oh ya, saya sedang terburu-buru. Saya duluan ya.”

    “Iya. Sampai bertemu lagi, Tomori-kun. Hehe.”

    “Hai! Jama--”

    Aku terdiam memandangi sosok Tomori yang menghilang di balik koridor rumah sakit. Dia pergi begitu saja ketika aku sangat ingin mengobrol lebih lama dengannya. Ah, dia benar-benar pria yang menarik. Kenapa aku jadi ingin menemuinya lagi ya? Sudahlah, aku harus pulang.

    ***


    Fri, February 14th, Senior Year -- 01:45 p.m.


    Aku segera kembali ke RSCM setelah menunaikan sholat jum’at berjamaah di Masjid Arif Rahman Hakim. Sekarang aku tengah duduk di depan ruangan untuk mengambil hasil CT-scan kakiku. Tak berapa lama kemudian, aku dipanggil masuk dan menemui dokter spesialis tulang kemarin.

    Hasil CT-Scan menunjukkan kalau tidak ada masalah dengan tulangku. Yang itu artinya, aku harus menjalani pemeriksaan MRI. Aku bertanya kepada dokter tersebut, apakah mungkin berbahaya. Dia jawab diplomatis, bahwa tingkat bahayanya tergantung luka dalam yang ditemukan nanti. Dokter itu pun mengatur jadwal MRI-ku yang akan dilaksanakan pekan depan. Setelah selesai dengan prosesnya, aku berjalan ke luar ruangan dan duduk di pinggiran koridor rumah sakit.

    Aku sedikit cemas. Tapi aku berharap tetap baik-baik saja. Aku segera menelpon Papa, namun tidak diangkat. Mungkin dia sedang bertugas hari ini. Beberapa konflik daerah sempat mengundang perhatian kepolisian pusat, sehingga Papa mungkin saja ikut terlibat dalam kasus-kasus itu. Aku pun beralih menghubungi Mama. Semoga saja dia tidak sedang mengajar mahasiswanya di jam segini.

    “Assalamualaikum, Ma,” ucapku ketika panggilanku terjawab.

    “Walaykumsalam, Honey. Kamu lagi dimana?” kata Mama kepadaku dengan panggilan khasnya untukku, Honey.

    “RSCM, Ma. Periksa kaki kiriku yang sakit akibat kecelakaan waktu itu,” jawabku.

    “Lalu gimana hasilnya?” sahut Mamaku tenang. Mama memang selalu tenang dalam menghadapi sesuatu, mungkin dari Mamalah sifat tenangku diturunkan.

    “Sudah roentgen tapi tidak ada masalah dengan tulang. Jadi aku harus jalani MRI, Ma,” terangku.

    “Oke, berapa biayanya?” balas Mama.

    “Dua juta-an, Ma. Itu pun untuk satu daerah aja. Kalo nambah, berarti biayanya berlipat.”

    “Well, nanti Mama akan langsung transfer ke rekening kamu. Enam juta cukup ya. Untuk biaya lainnya juga.”

    “Iya. Makasih banyak ya, Mamaku sayang.”

    “Iya. Kamu baik-baik ya di sana. Jangan suka sembrono. Jangan niru Papa yang kadang sok berani tapi malah ceroboh.”

    “Hehe, siap, Ma. Oke udah dulu ya. Assalamualaikum.”

    “Walaykumsalam. Ingat, jangan kayak Papa ya..”

    Tuuut. Aku menutup teleponku. Oh ya, Mamaku itu seorang dosen di Universitas Lampung, dan Papaku bekerja di kepolisian, aku tidak perlu lah ya menyebut pangkatnya apa.

    Aku memasukkan ponselku ke kantong celana. Aku sempat tersenyum mengingat Mama yang sering menyuruhku untuk tidak mengikuti gaya Papa yang sok heroik. Tapi, papa memang heroik, dia seorang pemberani yang cerdas. Mungkin dari Papalah, sifatku yang pemberani dan punya rasa ingin tahu yang besar diturunkan. Meski aku tidak seberani Mayang yang kadang lebih gila kalau menjalani hobinya. Yang tentang Mayang ini akan aku ceritakan nanti.

    Sambil membawa CT-Scan di dalam map cokelat besar, aku berjalan keluar RSCM. Tunggu dulu, aku merasa ada sesuatu yang kurang. Ya, aku belum bertemu dengan Tomori. Dia dimana ya? Padahal sudah dari pagi aku berkeliling di rumah sakit ini tapi tetap tidak menemukannya. Ah, mungkin dia memang ada urusan. Kenapa aku diam-diam penasaran dan ingin bertemu dengannya ya?

    ***


    Wed, February 19th, Senior Year -- 09:55 a.m.


    Aku berjalan pelan memasuki ruangan MRI yang dipenuhi dengan mesin-mesin peralatan medis berukuran besar. Aku lalu disambut dengan seorang petugas medis yang sudah menerima berkas pemeriksaanku. Aku diberi beberapa penjelasan tentang proses pemeriksaan lalu dibekali sebuah tombol yang dapat ditekan untuk memberi sinyal jika terjadi hal darurat yang perlu ditangani cepat. Aku juga disuruh untuk menyalakan mp3 selama pemeriksaan supaya tidak bosan dan tidak pusing dengan bunyi gemuruh mesin MRI.

    Proses MRI pun dimulai. Aku berbaring di atas meja khusus lalu dimasukkan ke dalam sebuah mesin tabung berdiameter sekitar 60 cm. Tak lama kemudian, suara bising mulai terdengar dan sempat membuat kepalaku pusing. Suara itu menyerupai bunyi mesin kendaraan yang benar-benar memekakkan telinga. Untuk itulah, aku diminta mendengarkan lagu dari mp3-ku untuk mengalihkan perhatian.

    Pemeriksaan radiologi MRI ini menggunakan prinsip magnetisasi tanpa operasi, sinar X, maupun zat radioaktif. Ion hidrogen tubuh dimagnetisasi dan gelombang radio dipancarkan ke komputer untuk mendapatkan gambar bagian yang diperiksa, yang dalam kasusku adalah daerah pergelangan mata kaki kiriku. Aku menghabiskan waktu sekitar 24 menit di dalam tabung MRI hingga akhirnya pemeriksaan selesai. Aku bisa mengira-ngira waktu yang aku habiskan itu, karena jumlah lagu yang dengarkan. Aku mendengarkan sampai 6 lagu, dan dengan asumsi tiap lagunya berdurasi 4 menit, maka waktu yang aku habiskan di dalam tabung MRI adalah 24 menit.

    Setelah merapikan beberapa hal, petugas medis mengajakku ke depan layar komputer yang menunjukkan hasil MRI. Akhirnya diketahui bahwa ligamenku robek sehingga aku sering merasakan nyeri apabila salah bergerak dan tanpa sengaja menarik ligamen yang robek tersebut. Aku pun harus menjalani operasi untuk menjahit ligamen yang robek itu. Setelah menerima berkas hasil pemeriksaan, aku diantar ke bagian adminitrasi untuk mengatur jadwal operasi.

    Selesai dengan semua proses pemeriksaan dan penentuan jadwal operasi yang melelahkan itu, aku segera menghubungi Mama. Aku menceritakan semuanya ke Mama sekitar dua puluh menit dan kemudian kami menutup perbincangan di telepon. Dan tiba-tiba ponselku berdering kembali oleh sebuah panggilan masuk. Dari Iril.

    “Bray, gimana hasil MRI-nya? Lo nggak kenapa-napa kan? Lo mau gw jemput?” cerocos Iril cepat seketika aku mengangkat panggilannya.

    “Selow, Ril. Gw gapapa kok,” jawabku tenang.

    “Beneran gapapa? Terus hasilnya gimana?”

    “Ligamen kaki gw robek, Ril.”

    “What!!! Ligamen robek lo bilang gapapa? Lo gimana sih, Nji. Itu bahaya. Lo tauk kan banyak pemain bola yang cidera dan nggak main lagi karena ligamen mereka robek. Gw juga tiap kompetisi sprint atau marathon selalu hati-hati supaya nggak sampe cidera terutama ligamen robek.”

    “Aduh, Iril. Jangan mulai lagi deh lebay-nya.”

    “Gw beneran khawatir, Bray.”

    Iril kembali berkata panjang lebar mengutarakan kekhawatirannya kepadaku. Aku sampai lelah mendengarnya.

    Aku mengarahkan pandanganku ke penjuru ruangan di koridor rumah sakit ini. dan tiba-tiba pandanganku terpaku pada Tomori yang berjalan dekat ke arahku. Aku sempat terdiam. Waktu seperti berhenti. Dan dengan cepat aku kembali tersadar lalu menutup pembicaraan dengan Iril, “Ril, udah dulu ya. Thanks.”

    Tuuuut..

    Telepon aku tutup. Bahkan aku shut down untuk mengantisipasi Iril yang pasti akan menelponku lagi. Aku langsung mengantongi ponselku dan menenangkan emosiku yang tidak karuan. Jantungku berdebar-debar. Darah di tubuhku seolah mengalir cepat dan memanaskan sel-selku. Wajahku memanas, yang biasanya berubah memerah kalau begini. Arrgghhh aku harus tenang.

    “Konnichiwa,” sapa Tomori seraya mengulurkan tangannya ke arahku. (*selamat siang)

    Aku langsung menjabatnya dan membalas sapaannya.

    Tomori tersenyum. Lalu dia duduk di sebelahku. Dia masih mengenakan jas putih yang sama. Dan dengan penampilan yang sama menariknya dengan yang pertama kali aku melihatnya. Hanya saja sekarang, aku mulai menyadari aroma tubuhnya. Dia tidak berbau obat seperti dokter biasanya, dia harum, segar dan maskulin. Ah, badanku kembali memanas. Aku harus bersikap tenang.

    “Ohisashiburi...” gumamku memecah keheningan. Aku sedikit tidak yakin menggunakan frasa itu, apakah aku benar-benar sudah lama tidak berjumpa dengannya. Rasanya baru kemarin bertemu. (*Lama tak jumpa)

    “Hai, ogenki desu ka?” sahut Tomori yang justru meladeni gumamanku itu. (*Apa kabar)

    “Hai, genki desu,” jawabku sembari tersenyum. (*Ya, sehat)

    “Okagesama de. Gimana kaki kamu?” tanya Tomori. (*Syukurlah)

    “Ligamenku robek. Harus dijahit.”

    “Robeknya tidak parah kan?”

    “Iya, hanya robekan kecil. Bagaimana Anda bisa tahu?”

    “Jangan pakai ‘Anda’ lagi. Seolah kita baru kenal saja. ”

    “Hehe, iya. Jadi bagaimana caramu menebak kalau robekan ligamenku tidak parah?”

    “Karena kamu bisa berjalan seperti orang normal. Rasa nyeri hanya muncul saat kamu salah gerak kan?”

    Aku terdiam. Tentu saja dia bisa menebaknya. Orang awam sekalipun bisa melihat kalau ligamenku tidak akan robek parah karena aku masih bisa berjalan normal. Ah, kenapa aku terlihat bodoh seperti ini. Seharusnya aku bisa menebak kenapa dia bisa tahu itu.

    “Kapan jadwal operasinya?” tanya Tomori tiba-tiba. Hebat, dia langsung melompat ke pertanyaan inti. Orang biasa tidak akan langsung menanyakan tentang operasi, mereka pasti akan menanyakan bagaimana pengobatannya, apakah perlu dioperasi, dan baru kapan operasinya.

    “Jum’at ini,” jawabku singkat. Aku masih terdiam dengan rasa kagumku kepada pria ini.

    “Semoga lancar ya. Sekarang kamu memang bisa berjalan normal, tapi setelah dioperasi, kamu pasti akan membutuhkan tongkat,” ujarnya.

    “Apa iya?” timpaku sedikit kaget. Kalau aku harus memakai tongkat untuk jalan, maka akan sangat merepotkan. Wah, bisa kacau rutinitas harianku.

    “Tenang saja. Mungkin awalnya sulit, tapi lama kelamaan akan terbiasa memakainya, dan tidak akan lama sampai akhirnya kamu dibolehkan melepas tongkatmu,” hibur Tomori yang seolah bisa membaca pikiranku.

    “Iya, semoga saja. Aku hanya takut penampilanku jadi tidak menarik,” kataku sembari meringis membuat sedikit humor.

    “Hahaha. Selama kamu tidak memakai tongkat kaki tiga, kamu tetap terlihat menarik kok,” balas Tomori sembari tertawa.

    Aku juga tertawa. Menurutku, ini lucu. Kalian tahu tongkat kaki tiga kan? Itu loh yang sering dipakai manula untuk memapah tubuh mereka. Oke jika kalian sudah tahu, tapi kalian tidak anggap lucu, tidak masalah. Karena buatku, mengobrol dengan Tomori seperti bisa membuatku senang, jadi apapun terasa lucu dan menyenangkan.

    Kami tak bercakap-cakap lama karena sekali lagi Tomori sedang terburu-buru. Aku berpisah dengannya sebelum menanyakan bagaimana caraku untuk bertemunya kembali. Ah, aku menyesal. Mengapa aku bisa melewatkan pertanyaan seperti itu. Aku justru lebih banyak diam. Kenapa aku ini? Apakah aku malu padanya? Ah, Panji, sudah jangan terbawa perasaan seperti ini.

    ***


    Fri, February 21st, Senior Year -- 04:23 p.m.


    Operasiku tidak memakan waktu sampai berjam-jam. Aku juga langsung diperbolehkan pulang setelah beristirahat sekitar lima jam di ruang rawat. Meski aku harus skip sholat jum’at di masjid, aku masih bisa menunaikan ibadah zuhurku.

    Iril dan Ajeng sudah menjemputku. Kami menaiki taksi menuju Stasiun Cikini. Iril sempat menolak untuk membawaku pulang dengan kereta. Dengan alasan kereta tidak akan aman, terlebih waktu sudah menjelang sore yang berarti kereta akan penuh dengan para komuter yang pulang ke arah Bogor. Tapi setelah aku menyanjungnya dengan bilang, “Gapapa, Ril. Kan ada lo yang jagain gw.” Iril langsung diam dan setuju dengan permintaanku untuk menaiki kereta. Malah, Iril semakin bersemangat dan semakin lebay. Ckckck.

    Kami sudah berdiri di belakang garis kuning peron stasiun. Menunggu kereta yang akan berhenti dan membuka pintunya. Sekitar sepuluh menit menunggu, kereta yang dinanti akhirnya tiba. Akan tetapi, kereta tersebut penuh dan dengan cepat kami mengurungkan niat untuk menaiki kereta itu.

    “Tuh, kan, Nji. Gw bilang juga apa. Kereta pasti penuh jam segini. Lo kan masih sakit, jangan sampe desek-desakan kayak gitu,” kata Iril setengah meninggikan suaranya. Dia mungkin kesal, bukan karena aku yang keras kepala, tetapi juga karena beberapa penumpang kereta yang sesekali menyenggolku.

    “Woy!! Kalo jalan pake mata! Temen gw lagi sakit begini masih aja lo senggol!” hardik Iril ke salah seorang penumpang yang dengan tidak sengaja menyenggolku.

    “Woy!! Liat-liat kalo jalan. Jangan asal nyenggol!” teriak Iril ke penumpang lain yang juga menyenggolku.

    “Woy!! Mata lo dimana? Jalannya hati-hati dong!” teriak Iril ke penumpang wanita yang juga menyenggolku.

    “Woy!! Pake mata kalo jalan!” bentak Iril lagi ke seseorang yang menyenggolku dari belakang.

    Aku, Iril, dan Ajeng langsung menoleh ke belakang. Ternyata orang yang dibentak Iril adalah anak kecil. Wajah anak itu berubah ketakutan. Dan dalam hitungan detik, anak itu menangis sejadi-jadinya. Beberapa penumpang di peron stasiun pun jadi memperhatikan kami.

    “Cup, cup. Jangan nangis adek manis,” hibur Ajeng sembari menepuk-nepuk punggung anak itu.

    “Huwaaa, kakak itu jahat!” kata si anak seraya menunjuk ke arah Iril.

    Iril merasa kasihan. Dia melirikku sebentar lalu ikut berjongkok menghadap ke anak kecil itu.

    “Adek manis. Bukan kamu kok yang kakak itu bentak,” lanjut Ajeng.

    “Iya, gw nggak marahin lo kok, Dek. Udah ya berhenti nangis,” timpa Iril dengan wajah tidak enak.

    “Kakak jahat!! Hwaaaa...” teriak si anak semakin menjadi.

    “Cup, cup. Jangan nangis lagi. Kamu mau apa? Kakak kasih permen ya?” tanya Ajeng hati-hati.

    “Iya, lo mau permen nggak, Dek?” sambung Iril.

    “Nggak mau! Aku maunya duit!” teriak anak itu lebih keras.

    Aku, Ajeng, dan Iril langsung terdiam. Dengan cepat Ajeng mengeluarkan lembaran uang sepuluh ribuan, tatapi si anak tetap menangis. Iril pun menambahkan dengan lembaran uang dua puluh ribuan, tetapi tangisnya belum juga berhenti. Hingga akhirnya kesabaran Iril habis dan dia memberikan uang lima puluh ribuan. Anak itu tiba-tiba terdiam dan berhenti menangis. Di tangannya telah digenggam uang total delapan puluh ribu. Dia kemudian tersenyum dan berlari menghilang.

    “Dasar tuyul!!! Bocah mata duitan!!” umpat Iril ke arah anak itu yang sudah menghilang entah kemana.

    “Woy, kenapa lihat-lihat!!” teriak Iril ke penjuru peron karena beberapa penumpang kereta sedang memandangi kami dengan heran.

    Ajeng kemudian berbisik,”Iril, jangan lebay, jangan norak. Lo kayak orang sumatra aja, ngomongnya galak. Lo dari jogja, Ril. Alus dikit kenapa. Jaga tata kramalah. Pake kromo inggil kalo perlu.”

    “Diem lu, Jeng! Jangan rasis! Gw kan tinggalnya pindah-pindah, nggak punya suku!” bentak Iril ke Ajeng yang sukses membuat Ajeng melongo diam.

    Kami pun akhirnya keluar stasiun, berdiri di trotoar jalan dan mencari taksi. Iril kembali mengungkit-ungkit keputusanku yang salah karenag telah memilih kereta. Terlebih lagi dia juga sudah kehilangan uang sampai tujuh puluh ribu dengan sia-sia. Iril menggerutu tidak jelas.

    “Udah, kita jangan naik taksi!” kata Iril tiba-tiba.

    “Lah, gimana sih Ril? Katanya mau naik taksi,” sahut Ajeng nyinyir.

    “Gw nggak mau keluar duit lagi. Gw udah minta Baim buat jemput kita,” balas Iril.

    “Aih, ngerepotin banget, Ril. Nggak enak nih sama Baim, rumah dia kan lumayan jauh dari sini,” ujarku mempertimbangkan keputusan Iril.

    Belum sempat Iril membalas ucapanku, sebuah mobil BMW hitam menepi di depan kami. Kaca jendelanya dibuka dan orang yang di dalamnya adalah Tomori.

    “Panji, ayo naik. Saya anterin ya,” kata Tomori dari dalam mobil.

    Iril dan Ajeng terdiam, sedikit bingung. Aku juga sedikit terkejut karena bisa kebetulan bertemu dengan Tomori di saat-saat seperti ini. Padahal selama di RSCM tadi aku sangat berharap bertemu dengannya. Namun, ketika aku tidak mengharapkannya, aku justru bertemu dengannya.

    “Siapa, Nji?” bisik Iril membuyarkan lamunanku.

    “Kenalan dari RSCM, Ril. Dia dokter,” jawabku.

    Dengan cepat Iril sudah mendekati Tomori dan berjabatan tangan dengannya. Mereka berkenalan sebentar lalu Iril kembali dan mengajakku masuk ke dalam mobil.

    Sempat lama menentukan siapa yang duduk di depan dan siapa yang di belakang. Iril memaksa ingin duduk di sebelahku di jok belakang. Namun, Ajeng menolak, karena akan sangat kikuk bagi Ajeng untuk duduk di samping orang baru. Akhirnya Iril duduk di depan, sedang aku dan Ajeng duduk di belakang. Setelah semua siap, mobil pun mulai berjalan menembus keramaian lalu lintas Jakarta.

    “Ril, lo udah bilang ke Baim belum?” tanyaku ke Iril membuka percakapan.

    “Bilang apaan, Nji?” tanya Iril balik sembari menolehkan wajahnya ke belakang.

    “Bilang supaya nggak jadi jemput kita di Cikini,” jawabku sedikit kesal karena Iril yang semudah itu lupa.

    “Oh iya. Bentar-bentar,” sahut Iril sembari mengetik pesan ke Baim. “Yah, pending. Gw telpon aja deh,” gumam Iril.

    Suasana di dalam mobil sedikit terasa kaku, hanya ada percakapan tidak jelas antara Iril dengan Baim. Percakapan yang diselipi beberapa umpatan dan kalimat saling hina. Ya, begitu lah mereka. Seperti tikus dan kucing. Tunggu dulu, bukan tikus-kucing, tapi kelinci-elang. Itu kan tema hewan mereka. Huhu.

    ***


    Fri, February 21st, Senior Year -- 05:31 p.m.


    “Jadi kalian kenal dimana?” timpa Iril di tengah percakapanku dengan Tomori. Saat ini kami sedang terjebak kemacetan di jalanan Tanjung Barat.

    “Kenal di RSCM, Ril. Kan udah gw bilang tadi,” kataku kepada Iril yang sudah memakai ekspresi cemberutnya.

    “Belum lama kenal kan? Kok udah akrab?” selidik Iril lagi.

    “Memangnya tidak boleh?” balas Tomori sedikit tersenyum.

    “Nggak boleh. Panji ini suka salah gaul. Dia harus hati-hati sama orang asing. Apalagi orang jahat,” ujar Iril.

    “Apakah wajahku terlihat seperti orang jahat?” kata Tomori.

    “Nggak ada jahat-jahatnya sama sekali kok. Ganteng begitu masa dibilang muka jahat. Iril mah matanya kelilipan,” sela Ajeng mencibir Iril.

    “Sok asik lu, Jeng!” bentak Iril ke Ajeng.

    Ajeng langsung terdiam. Dan setelah ini, hanya ada percakapan antara Iril dan Tomori. Karena aku dan Ajeng lebih memilih diam. Tidak baik membuat masalah dengan Iril yang lebay ini di tengah kemacetan jalanan yang bikin stress. Semoga saja Iril tidak macam-macam.

    “Jadi, lo tinggal dimana?” lanjut Iril ke Tomori.

    “Apa perlu aku beritahu?” tanya Tomori santai.

    “Oke itu nggak penting. Jadi menurut lo Panji ini orangnya gimana?”

    “Panji orangnya baik. Dan kawaii...” (*imut/manis)

    Aku sedikit tersenyum mendengar pujian dari Tomori. Iril langsung menoleh ke arahku dan memberiku tatapan aneh. Kenapa sih dia?

    “Lo suka sama Panji?” tanya Iril ke Tomori tiba-tiba. Tomori sempat kaget lalu bersikap tenang.

    “Iya, saya suka sama Panji,” jawab Tomori santai.

    What??? Tomori suka denganku? Apa itu serius?

    “Serius!!??” selidik Iril.

    “Bukannya semua orang juga suka sama Panji. Dia orangnya baik dan menyenangkan. Bukannya kamu juga suka sama Panji?” ujar Tomori ke Iril.

    Huft, aku menelan ludah. Sempat kaget mendengar Tomori menyukaiku. Ternyata suka yang dimaksud adalah rasa suka pada umumnya. Tunggu, kenapa aku berharap lebih ya? Kenapa seolah aku menginginkan Tomori?

    “Iya, gw suka sama Panji! Dia sohib gw. Gw sohib dia. Lo jangan macam-macam ya,” ancam Iril tidak jelas.

    Tomori hanya tersenyum lalu bertanya, “Sohib? Apa itu?”

    “Sohib itu sahabat dekat, dekat banget. More than best friend forever,” ujar Iril lebay.

    “More than friend? Are you guys couple?” balas Tomoki dengan logat Inggrisnya yang khas.

    “Nope! We’re not gay!” tegas Iril.

    “So?”

    “Kan udah gw bilang, gw sama Panji sohib-an.”

    “Oh. Katanya lebih dari teman?”

    “Memang lebih dari teman!”

    “Tapi bukan pacar kan?”

    “Bukanlah. Mana mungkin gw pacaran sama cowok. Jeruk makan jeruk.”

    “Okeee, berarti kalo saya deketin Panji boleh dong?”

    “Nggak boleh. TITIK!!”

    Seketika suasana di dalam mobil menjadi hening. Aku kaget dengan candaan Tomori. Dia ingin mendekatiku? Apakah serius? Tidak, pasti dia hanya bercanda.

    “Hahaha, hanya bercanda kok,” tutup Tomori sembari terkekeh.

    Haaaah, aku menghela napas panjang. Benar-benar melelahkan. Inilah alasan aku ingin naik kereta. Supaya tidak berlama-lama di jalan terkena macet seperti ini. Supaya tidak mendengar keributan Iril di dalam ruangan yang sempit; lebih berisik dibanding berisiknya penumpang kereta. Ah, sudahlah, Nji. Jangan pikir macam-macam.

    Aku menarik tubuhku ke belakang dan merebahkan diri ke sofa mobil. Ajeng melirikku lalu merapikan rambut depanku yang sedikit terkulai ke atas mata. Aku tersenyum memberi tanda terima kasih ke Ajeng. Namun, tiba-tiba Iril berteriak,

    “Ajeng jangan ganjen! Stop flirting with my Panji!”

    “Your Panji?” sahut Ajeng sembari mengeryitkan dahi.

    “Yup! My Panji. My sohib!” tutup Iril.

    Sigh! Aku hanya membuang napas lalu memejamkan mata.
    Namun tiba-tiba, ponselku bergetar. Ada panggilan masuk dari Baim. Aku segera mengangkatnya.

    “Panji, lo dimana sih? Masih di Cikini kan? Gw udah nyampe nih.” tanya Baim cepat.

    “Hah? Gw udah jalan balik, Im,” sahutku.

    “Lah? Katanya Iril minta jemput. Gimana sih?”

    “Bukannya Iril udah ngabarin buat nggak udah jemput.”

    “Belum, Nji!”

    Aku menahan telepon lalu berbisik ke Iril, “Ril, kok kata Baim lo belum ngasih tau dia buat nggak jadi jemput. Lo tadi ngomong nggak?”

    Iril terlihat sedikit kaget lalu menjawab dengan cengengesan, “Hehehe oh iya, gw lupa..”

    Ya Tuhan! Jadi dari tadi ngobrol sama Baim ngomongin apa aja?? Aku segera mengangkat teleponku lagi dan yang kudapati adalah Baim yang marah-marah di ujung sambungan. Dengan cepat aku menarik ponselku dari telinga lalu aku tekan tombol loudspeaker.

    “Panji!! Kasih telepon ini ke Iril!” teriak Baim yang sebenarnya sudah didengar oleh seisi mobil.

    “Udah, Im,” balasku pendek.

    “Iril KAMPRET.. MONYET.. Taik Kelinci!!! Gw udah jauh-jauh ke Cikini ternyata nggak jadi jemput!!! Awas ya lo, Nyet.. Gw samperin ke kosan lo sekarang! Gw bejek-bejek! Gw pastiin lo nggak bisa tidur tenang malam ini!”

    Tuuuuuutt...

    Telepon langsung dimatikan. Aku, Ajeng, dan Iril hanya terdiam.

    “Siap-siap ya, Ril,” bisikku dalam hati.

    ***


    Bersambung ke Chapter 6: The Sweet Distraction
  • nggak sia2 bangun pagi,,ternyata ada apdetan,,,huwaaa tomori orang baruuu bikin penasaran,,wakakaka kocak baim kena tipu iril,,suka suka like like like,, semangat @MarioBros
  • huwaaaa..hahahaha..ga nyangka pas pulang bakal ketemu Dr Tomori..hehehe..

    baru keliatan gay nya si Panji..
  • haha, iril parah banget, mau ikutan baim lah ngebejek si iril .. (^_^)
    panji suka ya ma tomori ..
  • oh my gay.. ternyata panji.. ah sudahlah.. *takut sm iril
  • mulai keliatan panji gay, hihi.. ah jadi galau deh. panji ma iril apa tomori yah? dua duanya boleh ga?
  • edited February 2015
    omg! omg! sukak bingits part ini. panji mulai ada arah belok. dokter & mahasiswa/
    coass di rscm-fkui banyak bingits yang bening, koko2 juga. cocok kedokteran forensik sama kriminologi, mungkin jodoh, lol. iril sableng bingits ya. posesif juga. ndak kebayang marah2 di st cikini pas jam sibuk. baim yg sabar. thank you, muach muach
    berbegas, megulurkan, Siap-sapa ya, dr. dokter, Dr. doktor
  • panji jd baper sama dokter tomori -,-
  • Haiyaa,,asli ngakak bacany bang.
    Eh, Panjiny malu-malu... Cie,cie... :>
    Duh si Iril kebangetan ah, dbilang couple cuma sohib'an. Tapi Panji smpai segituny dproteksi. Sabar Iril, pas sdah sampai aja ributny, kasihan si Panji. Ampun 'dah konyolny...
    XD
  • panji jd baper sama dokter tomori -,-
    iril makin lebay, keliatan cemburunya sma tomori
    Tomori maju terus, pantang mundur... \(^.^)/
  • Huwaaa pake proxy gak bisa klik like,,, gpp deh aq ketik aja like like like like

    Ngakak terus dr tadi sejak kemunculan iril,,, emang di dunia nyata beneran ada ya orang kayak iril gitu? Posesifnya lebay dan nyablak,biasanya kan orang gengsi mengakui kalo cemburu, iril kayaknya type orang yg gak mau memendam perasaan yah,,,semua langsung dikeluarkan apa yg dia rasakan.

    Iril golongan darahnya apa sih??? Aq blm pernah nemuin orang yg kayak iril.
  • Kukukuku..
    Tuh ya, berarti bukan iril donk secret admirernya panji, aku jadi curiga sama ibam ._. *lirik ibam* #ibam apa lo liat-liat?!
  • Iril, lu gue bungkus ya, gue bawa pulang! Haha

    Hmmm bikin dia penasaran maka Panji akan terus kepikiran... Dr. Tomori... Hmmmmm Panji suka apa kagum ya :-? Belom jelas si Panji...

    Si Iril mengidap morethanbestfriendforever complex ~

    Badri :(
Sign In or Register to comment.