It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@LeoAprinata heyy take it easy, aku gk nyalahin siapapun kok.. hehe..
@balaka sepertinya agak gk cocok klo aku nulis cerbung ya. cocokny bikin yg mini2 aja. ntar capek bacanya klo kebanyakn bersambung *kayak tersanjung & cinta fitri sampe bikin season-season huhu.
@cute_inuyasha aamiiin
@Adamx siaaap, nanti porsinya dibikin ajijah dah huhu.
gw gak akan pernah bosen baca kok. selama gw suka
Ga nyangka kita pernah panas-panasan bareng, jangan2 kita sebelahan waktu.bikin borderline lagi
Arrgghhh #meleleh
@balaka yup this is my first time writing such story.. semoga tetap suka deh..
@Hehehehe200x widih iya jangan2 sebelahan tuh pas bikin border. ada kerasa aura panji gk pas aksi?
Oke dengan begitu saya nyatakan jika ikat kepala bekas aksi dulu akan disimpan untuk selamanya supaya bisa inget terus sama panji
*lebay kaya iril
@Unprince @octavfelix @harya_kei @Adamx @balaka @nick_kevin @bianagustine @Tsunami @Tsu_no_YanYan @cute_inuyasha @d_cetya @Wita @lulu_75 @arifinselalusial @fian_gundah @animan @kiki_h_n @rulliarto @bianagustine @jamesx @ffirly69 @littlemark04 @Rika1006 @Akhira @earthymooned @myl @exomale @AgataDimas @pujakusuma_rudi @yo_sap89 @DoniPerdana @kaka_el @fauzhan @muffle @notas @diodo @DM_0607 @greensun2 @Adhika_vevo @3ll0 @LeoAprinata @uci @kristal_air @MajestyS @nawancio @4ndh0 @daramdhan_3oh3 @Vanilla_IceCream @TigerGirlz @Hehehehe200x @Widy_WNata92
Jika ada yg tidak ingin keseret, bilang ya. Maaf mengganggu.
Tue, January 28th, Senior Year -- 09:37 p.m.
“Ril, lo tahu siapa yang naruh botol fanta di sini?” tanyaku ke Iril ketika aku hendak membuka kunci kamar kosanku.
“Siapa emangnya, Nji?” tanya Iril balik.
“Lo gimana sih? Gw nggak tau makanya gw nanya,” sahutku sedikit kesal.
“Santai, Brayy. Gw kira lo cuma mau pamer,” balas Iril santai.
“Pamer pala lu!” cibirku sembari masuk ke dalam kamar. Aku langsung menutup pintu dan meletakkan botol fanta bekas yang aku pegang ini ke bawah meja. Sampai yang ini, sudah ada empat botol fanta bekas dengan pesan aneh yang aku terima. Dan semuanya berisi surat-surat tidak jelas.
Aku langsung membuka gulungan kertas yang keempat lalu membacanya.
I think I love you.
Kamu jangan lupa makan dan istirahat yang cukup ya. Jaga kesehatan. Apalagi sebentar lagi kamu mulai kuliah kan? Jangan terlalu memaksakan diri dengan kesibukan kampus.
Sincerely,
Your secret admirer
Sigh! Aku menghela napas panjang. Surat keempat yang isinya tidak jauh berbeda dengan surat-surat sebelumnya. Apa si pengirim surat ini ada hubungannya dengan anonim yang suka bertanya tentangku di sosmed Iril ya? Atau dia juga ada hubungannya dengan Matryoshka yang dulu?
Kalau diingat-ingat, aku kadang sering merasa sedang diikuti. Seolah ada yang sedang memperhatikanku dari jauh. Apakah dia orangnya?
Ah, sudahlah. Meski aku suka hal-hal misterius, aku sedang tidak ingin memikirkannya. Masih ada yang lebih penting yang harus kukerjakan. Proposal skripsi ini harus segera selesai sebelum pendaftaran proposal ditutup. Huft. Beginilah derita mahasiswa tingkat akhir. Aku jadi bisa bersimpati kenapa Bang Zaky nggak lulus-lulus. Karena begitu banyak godaannya. Aku nggak mau kayak dia. Oke, fokus, Nji.
***
Tue, February 4th, Senior Year -- 11:13 p.m.
“Apaan tuh, Nji?” tanya Bang Zaky mengagetkanku.
“Makanan ya?” timpa Chandra tanpa menunggu jawabanku.
“Bukan! Cuma surat kaleng,” sahutku. Wajah Chandra sedikit kecewa, mungkin karena yang aku masukkan ke dalam platik bukanlah makanan.
“Surat kaleng? Dari secret admirer lo lagi?” lanjut Bang Zaky.
“Iya, Bang,” jawabku pendek.
“Masih aja dia gangguin lo?” sahut Bang Zaky.
“Mending kalo ngasihnya makanan. Udah jangan dipikirin lah, Nji,” ujar Chandra seolah tidak ingin membahas surat kaleng ini. Chandra pun nyelonong ke kamar begitu saja sembari mencari-cari sesuatu.
“Cari apa, Chan?” tanyaku ke Chandra.
“Indomie lo dimana, Nji? Gw minta dong. Gw lagi mager nih buat beli di luar,” jelas Chandra, masih mencari-cari kardus indomie-ku.
“Minta mulu, lu! Nggak tau malu!” teriak Iril yang muncul tiba-tiba. Chandra dan Bang Zaky tampak kaget, sedangkan aku biasa saja. Sudah terbiasa maksudnya.
“Berisik lu, Ril! Lu juga kerjaannya mintain indomie-nya Panji kan?” serang Chandra.
“Yee, gw juga tahu diri keleus. Nggak tiap minggu mintanya. Lo mah tiga minggu sekali mintain indomie Panji. Nggak tau diri itu mah,” hardik Iril ke Chandra.
“Kok lo yang rempong sih, Ril? Yang punya Panji, dia juga biasa aja. Sesama peminta jangan saling serang lah,” terang Chandra.
“Idih, nggak malu lu, namain diri lu peminta-minta. Mana sini duit lo, katanya mager beli makan di luar. Gw yang beliin deh,” kata Iril sembari mendekat ke arah Chandra dan mengulurkan tangannya.
Chandra terdiam. Ekspresi wajahnya sedikit berubah. Dan tiba-tiba dia memegangi perutnya, lalu menggumam, “Duh, perut gw mules nih.” Chandra pun kabur ke toilet.
Aku, Iril, dan Bang Zaky tertawa bersama melihat tingkah Chandra yang seperti itu.
“Gila! Jangan mau lagi ngasih-ngasih mie ke Chandra, Nji. Dia mah nggak tau terima kasih orangnya. Seluruh aliansi mahasiswa kosan se-Depok juga udah nge-black list nama Chandra, Hahahay,” ujar Iril sembari terkekeh.
“Masih ada kali, Ril, yang belum nge-black list Chandra,” sahutku.
“Hah? Siapa?” tanya Iril penasaran.
“Lena!” jawabku singkat.
Aku, Iril, dan Bang Zaky kembali tertawa bersama mengingat betapa cocoknya Chandra dengan Lena. Mereka berdua hampir sama. Sama-sama pelit, perhitungan, dan suka minta-minta.
“Eh, tapi, Nji. Lena itu kayaknya suka sama lo deh,” ucap Bang Zaky tiba-tiba.
“Oh ya? Kok gw ngeliatnya biasa aja ya?” balasku.
“Iya, Nji. Lena itu ganjen. Sumpah dah gw nggak akan rela tujuh turunan sampe lo jalan sama Lena,” timpa Iril.
“Jangan-jangan dia secret admirer lo lagi?” gumam Bang Zaky.
“Ih, amit-amit. Langsung tolak, Nji. Bahkan gw ngga rela sampe dia jadi secret admirer lo,” cela Iril.
“Lebay lu, Ril. Yang dikagumi siapa, yang rempong siapa,” hardik Bang Zaky ke Iril.
“Hahaha, sudah-sudah. Kalo Lena suka sama gw, Ajeng pasti udah cerita ke gw. Lena kan sismance Ajeng,” kataku sedikit terkekeh.
“Sismance?” tanya Iril dan Bang Zaky bersamaan.
“Yup! Itu countername buat bromance. Kata Ajeng, kalo brother bisa bromance, kenapa sister nggak bisa sismance?” jawabku sedikit geli.
“Hahaha, ada-ada aja si Ajeng. Berarti bisa dipastiin ya kalo Lena bukan secret admirer lo?” lanjut Bang Zaky.
“Belum tentu sih. Tapi nggak penting lah,” tutupku santai.
Aku kembali memandangi surat dan botol fanta bekas itu. Itu adalah surat kaleng yang kelima. Orang yang melakukannya pasti sangat tahu kebiasaanku. Karena dia selalu berhasil menaruhnya di depan pintuku tanpa aku ketahui, yang berarti dia sudah menunggu waktu yang tepat.
Aku diam-diam mengambil gulungan kertas kelima itu lalu membacanya.
Rose is red. Jasmine is white.
Bunga-bunga memiliki warna yang beragam. Mereka mewarnai taman dengan indah. Lebih indah lagi jika aku menikmati keindahan taman itu bersamamu. Meski harus menunggu, aku tidak masalah. Karena mengagumimu saja sudah berhasil membuat hatiku berbunga-bunga.
Sincerely,
Your secret admirer
Semakin penasaran, aku juga mengambil dua surat yang aku terima sebelumnya. Aku langsung membaca surat yang kedua.
Howdy, Panji!
Aku harap hari-harimu akan menyenangkan. Karena aku akan sangat melihatmu senang. Selamat beraktivitas.
Sincerely,
Your secret admirer
Lalu, aku melanjutkan dengan membaca surat yang ketiga.
Are you fine?
Jangan terlalu memaksakan dirimu. Tetap jaga kesehatan dan makan yang teratur. Aku ingin melihatmu baik-baik saja. Ya, karena aku tidak ingin hal-hal buruk terjadi padamu. Aku ingin kamu baik-baik saja.
Sincerely,
Your secret admirer
Huft, isinya benar-benar picisan. Pengagum rahasia ini benar-benar mengganggu. Sudah ah, aku abaikan saja.
***
Wed, February 12th, Senior Year -- 01:04 p.m.
Aku tiba-tiba teringat dengan kaleng biskuit Matryoshka ketika aku bertemu dengan Baim di Takor, kantin kampusku. Baim berjalan mendekat lalu duduk di depanku.
“Makan, Im,” tawarku ke Baim.
“Iya, ntar dulu. Gw lagi nunggu Putro. Dia yang ngajakin makan bareng soalnya,” jawab Baim.
“Ooh.. Btw, lo darimana, Im?”
“Dari Nusantara Dua. Ada urusan tadi.”
“Eh, btw lagi, yang beliin biskuit ultah gw waktu itu siapa ya, Im?”
“Patungan itu mah.”
“Oooh, terus kaleng biskuitnya kemana ya?”
“Masih ada tuh. Di atas lemari arsip.”
Aku terdiam. Sedikit kaget dengan jawaban lugas Baim. Jika benar ada di sana, berarti orang yang sempat aku curigai berhubungan dengan Matryoshka bukanlah si Baim. Lalu siapa?
Tiba-tiba pikiranku buyar oleh sebuah panggilan masuk. Dari nomor yang tidak dikenal. Aku langsung mengangkatnya.
“Halo, ini siapa?” tanyaku ke pemilik panggilan.
“.......”
“Halo?”
“.......”
“Maaf, ini siapa ya?”
“.......”
Sekitar semenit tetapi tidak ada jawaban. Hanya suara ramai lalu lintas yang aku dengar dari ujung telepon. Apa sih maunya orang ini? Aku pun langsung memutus panggilan tersebut.
“Siapa, Nji?” tanya Baim seraya memandangi gerakan tanganku yang meletakkan HP ke atas meja.
“Salah sambung, Im,” jawabku ngasal.
Belum juga aku mengangkat sendok dan melahap makananku, ponselku kembali berbunyi untuk kedua kalinya. Siapa lagi sih?
Aku melihat layar yang menunjukkan nomor yang sama dengan yang sebelumnya. Aku langsung mengangkatnya, namun telepon itu segera terputus. Oke, ini jelas orang iseng. Namun, ponselku terus berbunyi oleh panggilan yang sama.
Hingga untuk kesekian kalinya, ponselku kembali berdering. Tanpa pikir panjang aku langsung mengangkatnya.
“Woyy, mau apa lo?” teriakku sembari menempelkan ponsel ke pipiku.
“Eh, maaf. Ini Panji bukan?” ucap sebuah suara di ujung sambungan telepon.
Aku menarik ponselku dan melihat layarnya. Nomornya berbeda dengan nomor yang menerorku sebelumnya. Nomor siapa ini?
“Iya. Maaf, ini siapa ya?” tanyaku.
“Panjuuull. Ini Nabil!”
“Nabil Fachri Ramadhan!! Aih, apa kabar lo?”
“Baik, Njul. Lo apa kabar?”
“Gw juga baik, bray. Lo ngumpet dimana sih?”
“Ada deh.”
“Nggak mau cerita sama gw nih?”
“Untuk sementara gw belum bisa ngasih tau, Nji.”
“Parah, lo! Kasian Kak Dano tuh. Jadi galau mulu.”
“Iya, gw juga jadi sering galau. Tapi gw harus belajar menahan diri supaya nggak ketergantungan sama dia, Nji.”
“Terus gimana perkembangannya?”
“Syukur, Nji. Gw mulai bisa ngeredam emosi dan pikiran jahat gw. Hidup gw di tempat baru ini ngajarin gw banget buat banyak instropeksi.”
“Bagus deh. Ah, seneng banget gw, lo mau ngehubungin gw.”
“Iyalah. Lo kan sahabat baik gw, Nji. Oh ya, jangan kasih tau nyokap gw atau Kak Dano ya kalo gw ngehubungin lo.”
“Iya, pasti. Btw, kuliah lo gimana, bray?”
“Gw nggak tau, Nji. Gw udah nggak pikirin lagi.”
“Eh, jangan gitu lah, Bil. Kalo lo DO gimana?”
“Mungkin itu salah satu suratan takdir gw, Nji. Kadang, gelar sarjana juga nggak ngejamin kita sukses kan?”
“Gila lo, Bil. Lo sampe segitunya ngorbanin masa depan lo cuma buat mendewasakan diri?”
“Gw harus berani total, Nji.”
“Sayang kali, Bil. Padahal kita tinggal skripsian kan?”
“Kalo lo mungkin tinggal skripsian, Nji. Tapi kalo gw mah masih lama. Semester kemarin gw parah banget. Kuliah gw udah telanjur ancur.”
“Tapi sayang aja, Bil.”
“Iya sih. Gw sering mikir gitu. Tapi gw udah nggak semangat lagi buat kuliah. Gw lagi nyoba usaha kecil-kecilan sekarang. Belajar bisnis lah itungannya.”
“Oh ya? Jadi pengusaha lo?”
“Iya.”
“Pengusaha apa, Bil?”
“Masih serampangan lah, Nji. Yang penting gw bisa makan. Kalo tinggal, kebetulan ada kenalan yang mau nampung gw di sini.”
“Wah, semoga sukses ya, Bil.”
“Makasih, Nji. Oh ya, gw mau bilang sesuatu ke lo.”
“Apaan?”
“Gw mau minta maaf lagi sama lo. Gw bener-bener nyesel pernah jahat sama lo, Nji.”
“Udah, jangan dipikirin lagi. Gw kan udah maafin lo, Bil.”
“Tapi gw selalu kepikiran, Nji. Gw ngerasa berdosa banget. Gw menyesal.”
“Rasa sesal itu bukan masalah, Bil. Selama dia mampu membawa kita menjadi insan yang lebih baik.”
“Iya, Nji. Gw pegang banget kata-kata lo. Gw akan berusaha keras mulai sekarang.”
“Sip. Lo yang semangat ya, Bil.”
“Iya, Nji. Makasih banyak ya.”
“Iya. Lo baik-baik ya di sana.”
“Pasti. Lo juga ya. Nji, gw harus pamit nih. Ada yang mau diurus. Gw lega banget bisa ngehubungin lo.”
“Gw juga seneng bisa denger kabar dari lo, Bil. Hubungin gw lagi ya kalo ada apa-apa.”
“Pasti. Oke gw tutup ya.”
“Daaaa...”
Aku tersenyum sembari meletakkan telepon genggamku ke atas meja. Baim yang sebelumnya hanya memandangiku mengobrol di telepon, akhirnya angkat bicara, “Itu si Nabil temen lo yang ngilang itu, Nji?”
“Iya,” jawabku pendek.
Baim hanya meng-oooo panjang sembari mengangguk-anggukan kepalanya.
Aku kembali mengangkat sendokku. Namun, tiba-tiba ponselku kembali berdering. Aku melirik layarnya dan kudapati nomor asing itu lagi. Dengan cepat, aku langsung mematikannya.
“Kok dimatiin, Nji?” tanya Baim.
“Cuma nomor iseng, Im. Palingan mau ngerjain gw.”
“Ooh. Oh ya, lo udah dikasih tau Putro belum?”
“Dikasih tau apaan emang?”
“Itu proposal acara yang kemarin kita rapatin harus dikelarin malam ini juga.”
“Serius? Kok cepet banget?”
“Iya, soalnya mau cepet di-email ke sponsor.”
“Gila banget dah. Kita udah nggak jadi pengurus BEM tapi masih ngurusin ginian. Harus lembur di sekre dong malam ini?”
“Iya, kan biar bisa langsung cetak, cap, dan scan. Kecuali kalo lo punya peralatannya di kosan lo.”
“Nggak punya sih. Lo temenin gw ya, Im.”
“Beres itu mah. Oh ya, lo udah tau juga belum kalo deadline proposal skripsi dimajuin?”
“Yang buat bulan Maret? Serius dimajuin?”
“Iya, Nji. Jadi tanggal dua puluhan. Gw juga sempat kaget.”
“Anjirr.. Gw beloman lagi.”
“Iya, Nji. Sama kok.”
“Lo mah enak, Im. Krim agak ribet penelitiannya. Gila, makin stres aja gw!”
Arrggghhh.. Baru saja aku gembira mendengar kabar dari Nabil, tapi seketika moodku berubah gegara dua proposal yang harus beres sesegera mungkin. Baim tersenyum iba melihatku sembari menggumam, “Semangat, Nji.”
Dan seperti tidak tahu sikon, nomor asing yang menerorku kembali menelponku. Kali ini aku biarkan, dan dengan sendirinya telepon itu dimatikan. Namun, tak berapa lama, ponselku kembali berdering. Sial, bikin kesal saja orang ini.
Dengan cepat, aku menonaktifkan ponselku. Aku pun menghela napas panjang dan menyelesaikan makanan di piringku.
***
Wed, February 12th, Senior Year -- 11:56 p.m.
“Siapa itu?” teriakku seketika aku mendengar suara benda jatuh di belakangku.
Aku berbalik ke belakang namun tidak menemukan siapapun.
Aku kembali melangkah ke depan. Suasana kampus malam hari sungguh mencekam. Aku jadi ingat kejadian dulu. Ketika aku bertemu berbagai penampakan makhluk halus yang tidak karuan. Semoga tidak terjadi lagi kali ini.
Aku berjalan gontai menyusuri trotoar jalan dari FISIP ke FH. Lagi-lagi aku pulang malam karena harus membereskan berapa proposal kegiatan. Terakhir, Baim menemaniku tapi mendadak dia harus pulang. Dia tidak membawa mobil hari ini, jadi dia harus mengejar kereta katanya. Ya jadilah aku sendirian di sekre sampai selarut ini.
Aku berhenti sebentar. Aku merasa ada yang mengikutiku. Perasaanku tidak enak. Lagi-lagi aku teringat dengan berbagai cerita pembegalan yang sering terjadi di Kota Depok. Ya Tuhan, jangan sampai deh kejadian seperti itu menimpaku.
Aku pun mempercepat langkahku. Dan dengan sigap aku berhenti dan membalikkan badan. Ekor mataku sempat menangkap bayangan sesorang yang dengan cepat menghilang ke balik semak-semak. Siapa itu?
Aku tidak mau bermain-main. Kemananku lebih penting sekarang. Aku harus segera pulang ke kosan.
Aku mempercepat langkahku. Dan hampir saja, aku terjatuh karena kaki kiriku kembali terasa nyeri. Aku jadi teringat sesuatu, kalau aku harus segera memeriksanya ke rumah sakit. Tapi untuk sekarang, aku harus segera sampai di kosan.
Aku terus berjalan. Aku fokus menatap trotoar di depanku. Sedikit lega karena ada lampu penerangan menyala terang sehingga membuat sekelilingku tidak terlalu gelap. Semakin lama, aku semakin jauh dari tiang lampu tersebut. Sehingga bayanganku terlihat semakin memanjang di tanah.
Namun, tiba-tiba aku merasa ada sesuatu yang aneh. Ada bayangan lain selain bayanganku. Langkahku pun terhenti seketika aku melihat ada bayangan orang yang juga memanjang hingga ke depan kakiku. Bayangan orang, bayangan siapa ini?
Aku segera menoleh ke belakang.
Deg!
Mataku terbelalak mendapati seseorang berdiri segaris di belakangku. Wajahnya tidak jelas karena ditutupi oleh kain. Dan tanpa memikirkan kemungkinan untuk melawan, aku memilih mempercepat langkahku. Aku berlari kencang. Hingga aku tidak peduli apakah orang itu mengejarku atau tidak.
Bruuuk.
Aku terjatuh tersandung gundukan tanah. Rasa nyeri di kaki kiriku kembali kambuh. Aku berdiri pelan. Menoleh ke belakang memastikan apakah orang itu mengikutiku atau tidak. Namun, aku segera mengurungkan niat itu. Aku harus segera bangun dan melanjutkan langkahku.
Dan syukurlah, akhirnya aku tiba di kosan dengan selamat. Kosan sudah mulai sepi karena para empunya kamar sudah mulai tertidur. Saat aku hendak membuka pintu kamarku, aku menemukan botol fanta bekas berisi gulungan surat. Ini botol yang ketujuh. Siapa sih orang yang melakukannya?
Aku terdiam sebentar di depan pintu. Aku tengah memandangi botol beserta gulungan kertas di dalamnya ketika tiba-tiba seseorang yang memegang pundakku dari belakang. Aku terperanjat kaget. Dengan cepat, aku menangkis tangan itu, menghindar, lalu membalikkan badanku untuk melihat siapa orang itu. Ternyata Iril.
“Ah, lo, Ril. Ngagetin gw aja,” gerutuku.
“Kenapa lo, Nji? Botol fanta lagi?” tanya Iril.
“Iya nih. Kurang kerjaan banget.”
“Secret admirer memang begitulah. Kerjaannya meneror orang yang mereka admire, Nji.”
“Semoga aja sih dia nggak ada niat jahat ke gw. Tapi lo nggak liat apa ada orang asing lewat koridor sini, Ril?”
“Nggak liat gw, Nji. Sebelumnya pernah ada yang bilang sih kalo ada cowok yang suka mondar mandir depan kosan.”
“Oh ya? Siapa yang bilang?”
“Mamy. Tapi dia juga nggak tauk. Dan lo tau lah, Mamy itu orangnya pelupa. Percuma kalo lo tanyain.”
“Iya juga sih. Bahkan karna lupa, kadang dia nggak protes kalo Chandra belum bayar kosan sampe tiga bulan. Hahaha.”
“Hahaha. Itumah Chandra-nya yang nggak tau diri. Eh, lo besok jadi ke RSCM?”
“Iya, Ril. Gw harus periksa kaki deh.”
“Harus, Nji. Lo mau gw temenin?”
“Bukannya besok lo ada kuliah?”
“Yaelah. Gampang itu mah. Bisa diatur.”
“Mau titip absen lo, Ril?”
“Nggak lah. Gw kan anak baik-baik. Huhu.”
“Jangan sering-sering cabut kelas lah, Ril. Belajar yang bener. Katanya lo mau lulus semester ini? Lo bisa batal sidang kalo ada matkul lo yang nggak lulus.”
“Ah, udah jangan ngurusin gw, Nji. Besok gw temenin ya.”
“Eh, nggak perlu.”
“Woles, bray. Besok itu matkulnya Pak Cipto. Udah friend gw sama dia.”
“Tapi hargailah, Ril. Lo mah katanya pengen jadi diplomat tapi males-malesan gitu.”
“Nggak kok. Gw bener-bener pengen nemenin lo, Nji.”
“Cari-cari alasan kan lo biar bisa cabut kelas. Terus, ntar gw dijadiin alasan kenapa lo nggak masuk. Karena nemenin temen yang sakitlah, atau apalah.”
“Ya ampun, Nji. Kok lo mikir gitu sih?”
“Hehe, habisnya lo mageran banget sih, Ril. Bisa-bisa kita nggak wisudaan bareng semester ini.”
“Udah deh. Gw bisa urus diri gw sendiri.”
“Sok lu! Biasanya aja rempong minta bantuin gw kalo lo kepepet sama deadline tugas.”
“Idih, ngungkit-ngungkit lagi. Nggak baik, Nji.”
“Gw tuh cuma pengen yang terbaik buat lo, Ril. Lo itu pinter, cita-cita besar, lo harus rajin, lo kudu perjuangin. Gw mah nggak suka sama orang omdo, omong doang.”
“Iya, iya. Tumben lu cerewet.”
“Lo dengerin kata gw, ya Ril. Lo itu nggak banyak tuntutannya. Kalo bukan lo sendiri yang menuntut diri lo buat maju, siapa lagi?”
“Siapa lagi? Kan ada lo, Nji. Hehe.”
“Tauk ah. Sulit ngomong serius sama lo.”
“Idih, jangan ngambek dong. Makin imut deh. Ntar gw cium lo.”
“Iril! Gw serius nih!”
“Gw juga serius! Hehe.”
“Gw capek, Ril. Lagi pusing nih. Jangan becanda lagi ya.”
“Iya, sini ayang pijitin biar pusingnya ilang. Hehe.”
“Ril, kalo lo begini terus, gw bisa kesel beneran loh.”
“Sabar, brayy---”
Aku langsung membanting pintu dan melempar botol fanta bekas ke sudut kamar. Rasanya lelah sekali. Harus was-was sepanjang hari, dikejar tugas ini itu, dan masih harus menghadapi teman kosan yang nggak peka benar-benar membuatku sedikit naik darah.
Aku tidak bisa tidur. Aku kembali melirik ke arah botol-botol fanta dan kaleng biskuit di bawah meja. Aku pun mengambil kembali gulungan kertas ketujuh yang baru saja aku dapatkan. Aku lalu membacanya.
LOVE. The word that always fills my heart. And it comes from you.
Apa kamu sudah tahu siapa aku? Ya, kamu seharusnya tahu siapa aku. Aku akan menunggu, sampai kamu mendatangiku dan mengatakan kata yang sama untukku. LOVE.
Sincerely,
Your secret admirer
Aku menelan ludah. Isi surat yang benar-benar misterius dan ambisius. Iseng, aku juga mengambil dan membaca surat keenam yang aku dapatkan empat hari sebelumnya.
I want you.
Hanya itu yang ingin aku katakan jika kamu menanyaiku apa yang benar-benar aku inginkan. Ya, benar-benar menginginkanmu.
Sincerely,
Your secret admirer
Semua isinya sangat aneh. Seolah ingin mengatakan perasaan sukanya kepadaku. Seolah pengirimnya mengenalku. Atau aku juga mengenalnya ya? Hmmm, kalau diperhatikan dari tanggal pengirimannya, aku bisa melihat pola kalau surat kaleng ini selalu muncul empat hari sekali. Sejak tanggal 16 Januari hingga hari ini. Total sudah tujuh surat kaleng. Jika mengikuti pola itu, maka surat kaleng berikutnya akan muncul pada 16 Februari. Oke tunggu saja hari itu.
Argggh!! Sudahlah, persetan dengan surat kaleng itu! Persetan dengan botol fanta bekas! Persetan dengan Matryoshka! Persetan dengan siapa stalker dan secret admirer-ku itu. Aku capek memikirkannya. Pengen istirahat. Pengen fokus pada skripsiku. Aku tutup saja misteri yang tidak penting ini. Setelah ini aku akan buat cerita baru saja. Oke, good night everyone.
Tok tok tok...
Tiba-tiba pintu kamarku diketuk dari luar. Siapa lagi?
Dengan malas aku berjalan ke arah pintu dan membukanya. Ternyata Iril. Ada apa lagi sih?
“Nji, masih marah ya sama gw?” tanya Iril memelas.
“Iya,” sahutku ketus.
“Aih, jangan gitu atuh. Gw nggak bisa tidur nyenyak nih kalo lo masih marah sama gw.”
“Gw nggak peduli, Ril.”
“Kok gitu sih? Gw kan jadi kepikiran.”
“......”
“Lo lagi ada masalah ya?”
“......”
“Yaudah kalo nggak mau cerita. Tapi jangan ngambek lagi ya.”
“Ril, lo tahu kan kalau gw ini lebih dewasa dari lo?”
“Iya gw tauk. Gw juga tauk lo selalu anggep gw ini kekanak-kanakan.”
“Jadi?”
“Jadi gw bakal nangis loh, kalo temen deket gw nyuekin gw.”
“......”
“Gw minta maaf deh. Iya, besok gw akan masuk kuliah. Gw nggak akan bolos lagi.”
“Nah, gitu dong. Dengerin kata-kata gw. Itu semua juga demi kebaikan lo, Ril.”
“Tapi lo hati-hati ya besok.”
“Iya, gw bakal jaga diri kok.”
“Jadi kita baikan ya?”
“Memangnya kita lagi berantem?”
“Tapi lo tadi pundung, Nji.”
“Gw akting tadi.”
“Huh, dasar tukang akting! Gw sampe percaya loh kalo lo lagi marah.”
“Hahaha. Gw gitu loh.”
“Huhu, mulai lagi. Tapi lo kalo lagi ngambek malah keliatan makin imut deh, Nji.”
“......”
“Hehe, yaudah ya. Gw tidur sini ya.”
“Lah? Kamar lo kenapa emangnya?”
“Karena besok gw nggak bisa nemenin lo ke RSCM, gw mau nemenin lo tidur malam ini. Hahahay.”
Tanpa menunggu jawaban dariku, Iril langsung melemparkan badannya ke kasur. Dia tersenyum lalu membenamkan wajahnya ke bantal. Aku pun segera menutup pintu kamar dan bergabung dengan Iril. Aku berbaring di sebelahnya, dan tiba-tiba Iril merangkulku. Dia berbisik, “Met tidur, bray.”
Ah, Iril memang sering seperti ini. Tingkahnya benar-benar gay. Tapi karena karakternya yang easy going dan tidak pernah serius dengan perasaannya, dia tetap santai sekalipun dituduh orang lain kalau dia itu gay. Dia justru meladeni tuduhan orang tersebut dan bersenang-senang dengan tuduhan itu. Katanya, “Karena gw bukan gay, gw selow ajalah.”
Aku mencoba memejamkan mataku. Kembali bersiap melepas lelah yang sudah bertumpuk sepanjang hari. Aku membuka mata sebentar dan melirik ke arah Iril yang sudah terlelap. Cepat sekali!
Wajah Iril yang terlelap terlihat berbeda dengan ketika dia terjaga. Ada nuansa tenang dan hangat yang dipancarkan dari tidurnya. Ah, aku berbohong ketika aku bilang kalau aku akting marah ke Iril. Aku memang ngambek dengannya. Satu hal yang tak biasa aku lakukan ke orang lain dan hanya ke Iril adalah, aku terkadang ikut bersikap kekanak-kanakan. Seperti pundung barusan. Apakah aku mulai tertular karakter Iril yang kekanak-kanakan?
Aku membenarkan posisi badanku dan mengangkat tangan Iril yang melingkar di dadaku. Aku memejamkan mataku kembali. Mencoba mengumpulkan semangat positif untuk esok hari. Mulai besok, tidak ada lagi urusan tentang Matryoshka, botol fanta bekas, stalker, ataupun secret admirer. Mungkin, aku juga perlu meniru Iril untuk yang satu ini. Menjadi easy going. Ya, I need to take things easy. Good night (again) everyone.
***
Bersambung ke Chapter 5 : The Gorgeous Doctor
Tapi, kok Panji blm bisa nebak siapa orgny ya ? Nice one, bang !