BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Sepenggal Cerita Di Balik Gulungan Kertas [TAMAT] [Daftar Chapter di P1]

1161162164166167278

Comments

  • Kena block Mas @4ndh0
  • @Sicilienne panji suka payung teduh n Jason mraz jg (krna iril)

    @Hon3y lg gangguan nih mau ngepostnya -..-

    @Valdi_Ananda23 yoyoi ironman :v

    @harya_key oooh ..
  • keposeliro wrote: »
    Semangat buat dedek @LeoAprinata
    Good luck, semoga ujiannya lancar dan mendapatkan hasil yang terbaik. Break a leg! Roarrrr!!! :*


    Wah premis yang cukup menarik dan kontroversial tuh! @MarioBros
    Kayaknya asyik klo dikembangin jadi cerita. Tapi mending fokus kelarin yang ini dulu, trus ntar lanjut bikin yang baru. Itu goyang dumang kudu masuk dalam bucket list, lol. Semangat dan selalu jaga kesehatan. Jika perlu, konsumsi multivitamin untuk menjaga daya tahan tubuh #berisik #blabbering #kemudiandisumpel #pakebibiriril #eaaak #khayalanbabu :))

    @keposeliro wakaka iyanih masih lama kelarnya lg.. boleh deh aku masukin goyang dumang huhu geloo..
  • gak jadi malem ini Mario?
  • ia @mario.. jng lupa d mention ea *eh dh minta maksa lagi hi hi..
  • Oh... kirain td habis pulsa. Padahal td udah mau aku transfer pulsanya, tapi gak jd ding kan aku gk punya no hpnya io @MarioBross, Hahahaaaa..
  • wah wah ane telat haha.. thx for mention :D
  • -- Chapter 20 : Things Change --


    Sat, August 2nd, Senior Year – 04:20 p.m.

    Aku duduk termenung di teras rumah, memandang kosong deretan motor dan mobil yang berlalu lalang. Sebagian besar mereka bergerak ke arah yang sama, menuju ke Bandarlampung. Berkebalikan dengan kondisi tujuh hari ke belakang.

    Idul Fitri memang sudah memasuki ujung pekan pertamanya, dan jalan raya di depan rumah pun mulai menyajikan pemandangan arus balik para pemudik. Sangat ramai. Sangat kontras dengan perasaanku yang sampai saat ini masih tetap terasa sepi.

    Apa yang orang cari dari Idul Fitri? Selain momen kebersamaan yang menghangatkan hati. Juga esensi utama penghambaan diri kepada Tuhan. Tapi tetap saja, momen kebersamaan adalah yang paling dicari. Banyak yang rela menempuh bermil-mil perjalanan untuk berkumpul bersama orang yang mereka cintai, bersama sanak saudara, bersama keluarga, bersama mereka yang berpisah dan harus kembali.

    Apa mereka senang? Tentu saja. Momen yang tak ada duanya. Seluruh negeri seolah ikut merayakannya.

    Apa ada yang tidak senang dengan momen itu? Mungkin ada. Salah satunya aku. Karena Idul Fitri menyambutku tapi aku belum siap merengkuhnya. Ada rasa bersalah yang menjebakku. Yang membuatku sulit menikmati lebaran dengan sepenuhnya. Yang membuatku terus memikirkan kejadian hari itu.

    Kejadian hari itu tak bisa kujelaskan. Iril yang pergi. Tomori yang terus menanti. Dan aku yang tak bisa memantapkan hati.

    Rasa sayang dan rasa bersalah jelas kualamatkan untuk Iril. Sedang rasa kagum dan tidak enak hati untuk menyakiti adalah bagian untuk Tomori. Untunglah dia mau mengerti kondisiku saat itu. Meski sampai sekarang dia belum juga berhenti mengejarku.

    - Panji. Aku akan terus nungguin kamu. Aku tahu kamu butuh waktu. Tapi aku gak akan berhenti ngingetin kamu betapa sukanya aku ke kamu

    Pesan serupa itu sudah terlalu sering masuk ke inbox-ku. Dari Tomori. Dia tidak henti-hentinya mengejarku, meski aku sudah menolaknya waktu itu. Sangat bertolak belakang dengan Iril yang kutunggu-tunggu. Justru Iril menghilang. Dia tidak ada kabar sama sekali. Nomornya tidak aktif. Begitu pula berbagai media sosialnya yang biasa ramai mendadak sepi. Iril apa kabar?

    Dreet.. Dreet...

    Ponselku bergetar oleh sebuah panggilan masuk. Dari Baim. Langsung kuangkat.

    “Halo, Nji,” sapa Baim dari ujung telepon.

    “Halo, Im,” sahutku cepat.

    “Nji, gw udah denger kabar dari Iril. Dia barusan nelepon gw. Nomernya ganti.”

    “Serius, Im? Terus dia ngomong apa aja ke lo?”

    “Iya, Nji. Cuma ngomongin kabar dan selamat lebaran sih. Dia masih di Jogja katanya.”

    “Kabar dia baik kan, Im? Dia kenapa ngilang sih? Kenapa nggak bisa dihubungin? Dia cerita ke lo nggak?”

    “Kasian Iril, Nji.”

    “Hah? Kenapa emangnya, Im?

    “Mbah Kung Iril meninggal. Dia sampe sempat depresi dan ngurung diri, Nji.”

    “.......”

    “Nji?”

    “.......”

    “Lo masih dengerin gw kan, Nji?”

    “Iya, Im.”

    “Lo kenapa, Nji? Kayak lagi nangis gitu?”

    “Gak, Im. Gw cuma lagi pilek. Jadi dikit-dikit narik ingus.”

    “Ooh. Gw kira lo lagi nangis, Nji?”

    “.......”

    “Nji, jangan bohong sama gw. Lo nangis kan?”

    “Jujur, Im. Gw emang lagi nangis sekarang. Gw ikutan sedih.”

    “Karena Mbah Kung Iril ya, Nji? Sama, gw juga shock banget. Gw ikut sedih. Gw rasanya pengen meluk Iril sekarang.”

    “Gw juga, Im. Tapi dia kenapa sih baru ngasih kabar sekarang? Dia kenapa nggak ngehubungin gw?”

    “Gw juga nanya gitu, Nji. Tapi Iril nggak jawab.”

    “.......”

    “Nji? Lo masih nangis?”

    “Nggak kok, Im. Oh, ya. Terus Iril cerita apa lagi ke lo? Dia bilang gak, kapan dia balik ke Depok lagi?”

    “Dia bilang masih nggak tau, Nji. Dia bahkan nggak tau, bisa ikut wisudaan atau nggak.”

    “Kenapa gitu, Im?”

    “Soalnya nyokap atau bokap dia nggak ada yang bisa dateng wisudaan, Nji. Dia bilang siapa lagi yang mau rayain wisuda dia, kalo ortunya aja nggak dateng. Kakeknya ninggal. Tantenya.. entahlah Iril nggak cerita. Dia bilang dia udah nggak punya siapa-siapa lagi buat diajak ke wisudaan.”

    “Iril bego! Bego! Bego banget! Dia kenapa sih selalu aja mikir kalo dia nggak punya siapa-siapa? Kan masih ada gw, masih ada lo, masih ada temen-temen yang lainnya.”

    “Gw udah bujuk Iril, Nji. Tapi dia masih ragu dan tetep bilang kemungkinan nggak dateng wisuda.”

    “.......”

    “Oi, Nji?”

    “.......”

    “Nji?”

    “Im, kirimin gw nomor baru Iril dong.”

    “Oke, Nji. Matiiin dulu berarti ya. Ini gw kirimin lewat wasap.”

    “Oke, Im. Makasih ya.”

    Tuuuuuut...

    Telepon mati. Whatsapp dari Baim pun masuk. Segera aku save kontak Iril dan kuhubungi nomornya.

    Setelah berkali-kali mencoba, nomornya tetap saja tidak bisa dihubungi. Tidak aktif.

    Aku pun menyerah. Jangan-jangan Iril memang sedang menghindariku. Apa dia benci denganku sekarang? Apa dia udah nggak nganggep aku jadi sohib dia? Kenapa setelah pacaran waktu itu semuanya berubah. Mana kata Iril yang bilang kalo dia dan aku bakal tetep sohib-an dan nggak akan ada yang berubah?

    Tapi apa sampai sebegitunyakah Iril menghindariku? Sampai dia nggak dateng wisuda. Meski nggak didampingin orangtuanya sekalipun, Iril bukanlah tipe yang akan ngelewatin momen kayak gitu. Ya, sepertinya Iril memang berusaha ngejauhin aku.

    Aku kembali menghubungi Baim. Menanyakan kenapa nomor Iril tidak bisa dihubungi. Namun, sama saja. Baim juga baru tahu kalau nomor itu sudah nggak aktif. Mungkin Iril sudah berganti nomor baru sekarang.

    Dreeet... Dreeet...

    Sebuah pesan masuk. Dari Tomori.

    -Ji chan. Kamu lagi apa? Inget ya, kalo sampai saat ini pun aku masih nungguin kamu-

    Aku hanya mendiamkan pesan tersebut. Meletekkan kembali ponsel ke atas meja sebelahku. Kembali menatap jalanan yang ramai kendaraan.

    “Honey, kok bengong gitu?” ujar Mama membuyarkan lamunanku.

    Aku hanya menoleh dan tersenyum sebentar.

    “Honey Mama, kamu habis nangis ya? Kok mata kamu merah begitu?” tanya Mama.

    “Gapapa kok, Ma,” jawabku segera seraya mengusap bekas-bekas air mata.

    “Ah, Mama tahu kok. Ada apa sih? Sini cerita ke Mama,” kata Mama sembari duduk di sebelahku.

    “Iril Ma..” gumamku.

    “Iril kenapa, Nji?”

    “Kakeknya meninggal, Ma.”

    “Innalillahi wa innailaihi raji’un. Dia pasti sedih banget ya? Kamu pernah cerita kan kalo Iril itu cuma punya kakek sama tantenya di sini. Dan dia juga besar sama kakeknya kan?”

    “Iya, Ma.”

    “Terus kamu udah ngehibur dia, Hon?”

    “Jangankan buat ngehibur, Ma. Iril bahkan nggak bisa dihubungin. Kami hilang kontak.”

    “Haduh. Kok bisa, Nji? Kamu ada masalah sama dia?”

    “Ada, Ma. Tapi aku udah berkali-kali minta maaf.”

    “Apa Iril marah sama kamu?”

    “Kayaknya iya, Ma. Iril itu kalo marah pasti ngilang, ngejauhin orang, ngambek gitu lah. Tapi ini ngambek dia yang paling lama, Ma.”

    “Kalian ini temen deket tapi kok marah-marahan sih. Jadi karena ini kamu sedih?”

    “Aku sedih karena aku tahu kalo Iril pasti terpukul banget, Ma. Tapi di saat seperti itu, aku malah nggak ada di samping dia. Nggak bisa bantu apa-apa. Bahkan sekedar ngasih dia semangat.”

    “Hmm.. Tapi dia dateng wisuda kan?”

    “Dia bilang nggak tau, Ma. Orang tuanya nggak bisa dateng soalnya.”

    “Ya ampun. Apa ibu bapak Iril sesibuk itu? Sampai nggak bisa menghadiri wisuda anaknya?”

    “Entahlah, Ma. Panji pengen mastiin dan negubujuk Iril supaya ikut wisuda. Sekalian pengen minta maaf lagi. Tapi ini dihubunginpun aja nggak bisa-bisa.”

    “Kadang memang ada orang tipe-tipe Iril, Nji. Mereka suka menghilang saat kena masalah. Mereka nggak mau orang lain tahu kalo mereka lagi sedih. Karena mereka sudah terbiasa terlihat ceria di depan orang lain.”

    “Iya, Ma.”

    “Kamu harus usaha lagi ya buat ngehubungin Iril.”

    “.......”

    “.......”

    “Oh ya. Aku boleh minta tolong nggak, Ma?”

    “Boleh dong. Kamu mau minta tolong apa?”

    “Kalo aku berhasil ngebujuk Iril buat ikut wisuda, Mama mau nggak sempetin dateng ke wisudaan dia? Tiap wisudawan selalu punya slot undangan untuk orang tua mereka, sayang kan kalo punya Iril kosong karna ortunya nggak dateng?”

    “Kapan memang wisudaanya?”

    “Jumat tanggal 29 bulan ini, Ma.”

    “Oke, kalo akhir pekan, Mama bisa. Pokokny nanti bilang ke Iril kalo Mama bakal dateng ngegantiin ibunya.”

    “Oke. Makasih ya, Ma.”

    Aku tersenyum. Harapanku meninggi. Aku rasa aku bisa membujuk Iril kalau begini. Kan nggak enak kalo Mamaku udah repot-repot mau dateng, tapi Irilnya sendiri nolak buat ikut wisuda. Tapi... Sampai sekarang Iril tetep nggak bisa dihubungi. Bagaimana kalo dia tetep ngilang sampai hari wisuda tiba? Gimana sekalipun aku ketemu dengan Iril, tapi dia sudah berubah?

    Dreeet.. Dreeet...

    Ponselku bergetar. Sebuah panggilan masuk dari Tomori. Aku tidak menjawabnya.

    “Kok nggak diangkat, Honey?” tanya Mama yang melihat HP-ku bergetar di atas meja.

    Aku tidak merespon Mama, dan langsung ku-reject panggilan Tomori.

    Tapi seketika itu pula, aku merasa menyesal, merasa bersalah karena menggantungkan Tomori seperti ini. Ah, aku tidak menggantungkannya. Aku sudah jelas menolaknya. Tapi dia tetap gigih, aku sampai tidak enak hati kalau terus menghindarinya.

    Rasionalitas kepalaku sudah berkali-kali mensimulasikan skenerio terburuk. Bahwa aku akan kehilangan Iril dan juga Tomori bersamaan. Aku tidak mau itu. Apa aku terima saja Tomori yang sudah jelas mengejarku?

    Aku yakin semakin ke sini hubunganku dengan Iril semakin berubah. Bukan perasaan, tapi kedekatan. Hal ini selalu terjadi ketika aku mulai berpisah dengan teman-temanku. Ketika aku berpisah dengan teman SMP atau SMA, juga seperti itu. Dan perubahan itu, aku tahu betul akan terjadi. Pertanyaannya, apa yang harus aku lakukan dengan perubahan itu?

    “Honey, kamu ngelamun lagi?” tanya Mama menyadarkanku.

    “Eh, nggak kok, Ma. Cuma lagi mikirin sesuatu tadi,” elakku.

    “Ya sama aja itu mah. Kenapa sih memang? Ada sesuatu yang ngeganggu pikiran kamu?”

    “Ma. Apa yang harus kita lakuin kalo tiba-tiba kita dihadapkan dengan banyak perubahan?”

    “Apa itu yang lagi kamu pikirin?”

    “Nggak, Ma. Aku cuma nanya kok biar nggak sepi begini.”

    “Perubahan ya? Mama jadi inget sama materi perkuliahan semester kemaren deh.”

    “Wih, boleh tuh, Ma, dishare ke Panji.”

    “Oke dengerin ya. Dalam prinsip biogeografi dasar, ketika makhluk hidup menghadapi perubahan pada lingkungannya, maka pilihannya hanya ada tiga: migrasi, adaptasi, atau mati. Mama umpakan begini. Migrasi, misalnya ketika kita harus pindah tempat kerja karena tempat kerja kita yang sekarang nggak cocok lagi buat kita. Adaptasi misalnya, se-nggak nyamannya tempat itu, kita nggak mungkin pindah, jadi kita harus menyesuaikan diri. Nah, jika kita nggak bisa ngelakuin salah satu dari dua opsi itu, maka tamat sudah riwayat kita.”

    “Apa hal itu bisa juga diasosiasikan ke perubahan hubungan dengan seseorang, Ma?”

    “Aih, anak Mama lagi mikirin seseorang ternyata... Tentu bisa lah. Misal, kamu diputusin seseorang, kalo kamu milih migrasi, itu artinya kamu harus move on dengan cari yang baru. Kalau adaptasi, ya kamu harus berusaha menstabilkan perasaanmu dan menyesuaikan diri dengan perubahan suasana yang terjadi, jalani hidup seperti sebelum kamu bertemu dengan orang itu. Kalau tidak salah satunya, ya kamu bisa mati pelan-pelan dijangkit penyakit galau.”

    “Iya sih, Ma. Panji setuju. Menurut Mama, dari tiga pilihan itu, mana opsi yang paling mudah dilakuin ya, Ma?”

    “Migrasi. Kamu tinggal pindah cari yang baru. Kalo adaptasi butuh waktu yang lama.”

    “Cari yang baru ya, Ma?”

    “Iya. Tapi dengan syarat dengan orang yang baru itu, kamu bisa memastikan kalau dia itu memang pas sama kamu.”

    “Jadi kalo putus dengan seseorang, berarti yang paling mudah dilakuin itu cari pacar baru ya, Ma? Cari yang udah dikenal baik?”

    “Iya. Biar bisa ngelupain yang lama.”

    “Kalo nggak bisa lupa gimana, Ma?”

    “Kalau begitu nggak perlu dilupain. Cukup luapin saja apa yang dipengenin dari yang lama di tempat yang baru.”

    “Hmmm.. Gitu ya, Ma...”

    “Ngomong-ngomong kamu lagi nge-galau-in siapa sih ini? Apa Mama kenal sama orangnya?”

    “Bukan Panji, Ma. Panji cuma nanya karena ada temen yang minta saran begitu tadi.”

    “Oooh, kirain Mama, kamu yang lagi galau. Tapi ingat ya, sekalipun temen kamu itu dapet pacar yang baru, jangan jadikan pacar barunya sebagai pelampiasan. Dan jangan sampai keterlaluan juga meluapkan perasaan yang lama itu ke yang baru. Tetap harus tahu batasannya.”

    “Oke, Ma. Nanti Panji bilang gitu ke orangnya. Makasih ya.”

    “Iya, Honey. Yudah, Mama ke dalam lagi ya. Jangan galau-galau lagi ya. Ntar kesambet setan loh.”

    “Eh, bukan aku yang lagi galau, Ma.”

    “Iya, iya, Mama tahu kok kalo kamu lagi galau. Hahaha.”

    “Ma!!!”

    Mama tidak mendengarkanku. Dia langsung menghilang begitu saja. Meninggalkanku dengan kegalauan.

    Tentang Iril atau Tomori, aku harus segera bikin prioritas. Oke aku sudah putuskan! Nomor wahid, hubungi Iril gimanapun caranya.

    ***


    Fri, August 8th, Senior Year – 07:29 p.m.

    “Belum bisa dihubungin juga, Nji?” tanya Kak Dano sembari menarik kursi mendekat ke araku. Saat ini, aku dan Kak Dano tengah duduk-duduk di area food court Mall Kartini.

    Aku hanya menggeleng. Berkali-kali memandangi layar ponsel yang penuh dengan panggilan tak terjawab. Iril kemana? Kenapa susah sekali dihubungi?

    “Kok lama banget ya? Sampe lebih dari tiga minggu temen lo ngilang begitu,” ujar Kak Dano.

    Aku hanya tersenyum kecut merespon komentar Kak Dano.

    “Terus kapan lo mau balik ke Depok lagi, Nji?” tanya Kak Dano lagi.

    “Belum tau, Kak. Kayaknya akhir pekan depan,” jawabku.

    “Hmm.. gitu ya? Lo yang sabar ya, Nji. Lo aja lost kontak sama temen lo galaunya minta ampun. Apalagi gw, Nji, yang ditinggal Nabil. Udah hampir setahun coba.”

    “Tenang, Kak. Nabil baik-baik aja, kok.”

    “Hah? Lo tau darimana, Nji?”

    “Dia beberapa kali masih ngehubungin gw, Kak.”

    “Serius, Nji? Kok lo nggak bilang sama gw? Hubungin pake apa? Ada nomernya? Minta dong.”

    “Sabar, Kak. Gw jawab satu-satu ya. Itu serius. Gak bilang sama lo karena Nabil yang minta. Hubungin pake telepon. Tapi nomornya private. Jadi gw nggak bisa ngasih ke lo.”

    Kak Dano tiba-tiba diam. Antusiasnya hilang.

    “Sabar ya, Kak. Kata Nabil, dia butuh waktu sebentar lagi.”

    “Iya, Nji. Gw sabar kok nungguin dia.”

    “Gw tau kok, Kak, rasanya nunggu itu gimana. Apalagi kalo yang ditunggu gak ngasih kejelasan. Menderita banget bawaannya.”

    “Setuju, Nji. Terus temen lo itu gimana? Eh, siapa itu namanya? Gw lupa.”

    “Iril, Kak.”

    “Nah, iya sih Iril. Yang dulu nangis heboh karena dibohongin lo meninggal kan, Nji? Gw sampe capek nenangin dia waktu itu. Lebay banget reaksinya.”

    “........”

    “Bener yang itu kan, Nji? Yang setelah gw jelasin semua, dia malah langsung berubah ekspresinya jadi seneng banget. Gw sampe heran deh.”

    Aku hanya diam. Tidak menjawab. Aku jadi berpikir, jika dia saja menangis seheboh itu karena aku dianggap meninggal, apalagi dengan kakeknya yang benar-benar meninggal? Dia pasti lebih parah sedihnya.

    Iril kemana sih? Kenapa dia nggak kasih kesempatan ke aku buat nyemangatin dia?

    “Kak, balik yuk!” ajak Mayang yang tiba-tiba mendekat dengan diikuti Hans di belakangnya.

    “Iya, Kak Alam balik yuk,” tambah Hans.

    Aku dan Kak Dano saling pandang. Ada apa dengan mereka berdua ya? Kenapa tiba-tiba ngajak pulang cepat?

    “Udah, Kak. Nggak usah nanya kenapa tiba-tiba gw ngajak cepet pulang,” ujar Mayang, seolah tahu apa yang aku pikirkan.

    Aku membuang napas. Mengiyakan Mayang.

    Setelah berpamitan satu sama lain, aku dan Kak Dano pun berpisah di parkiran.

    Di dalam mobil, aku melirik Mayang yang fokus menatap pemandangan di luar jendela.

    “Lo kenapa, May?” tanyaku.

    “Gapapa,” sahut Mayang pendek.

    “Ah, gw tau lo lagi galau kan? Karena Hans kah?”

    “Jebakan ini. Gw nggak mau jawab.”

    “Oke, itu cukup mengkonfirmasi kalo jawabannya ‘iya’. Hahaha..”

    Mayang hanya diam. Tetap memandangi arah luar jendela.

    “Kak. Lo masih inget pas gw bilang tentang standar cowok yang gw suka?”

    “Yang soal badboy, May?”

    “Iya, tapi smart, menggemaskan, dan nggak ngebosenin.”

    “Terus?”

    “Terus ternyata gw suka sama cowok di luar kriteria itu. Sial!”

    “Dan cowok itu Hans?”

    “Iya. Dia tipe yang manja, posesif, anak rumahan, dan nggak banget. Tapi entah kenapa gw suka begitu aja.”

    “Jangan-jangan Hans juga suka sama lo, May..”

    “Kok lo bisa bilang gitu?”

    “Untuk mengelak dari perasaan lo yang gak sesuai ekspektasi, lo milih cepet-cepet pulang. Sama dengan Hans. Mungkin dia berharap suka sama cewek yang lembut, baik, penyayang, dan gak licik kayak lo. Tapi apa dikata, dia suka begitu aja sama lo.”

    “Tauk ah. Gw males mikirinnya, Kak.”

    “Rasain tuh, May. Karma kali karena lo udah rusuh nge-PHP-in Ibam dan sampe nyomblangin dia sama Adri. Lo nggak tau kan mungkin aja Ibam galau lebih parah dari lo?”

    “Udah lah, Kak. Sesama korban galau nggak usah saling serang!”

    Aku terdiam. Sial! Padahal dengan menggodai Mayang aku bisa sedikit menghilangkan rasa galau. Tapi malah dibikin ingat lagi. Huft!

    Setelah menempuh perjalanan hampir tiga puluh menit, aku dan Mayang pun tiba di rumah. Tanpa banyak mengobrol, kami berdua menuju kamar masing-masing. Dengan kegalauan masing-masing.

    Dreet... Dreet...

    Ponselku bergetar sesampainya aku di dalam kamar. Dari Ajeng.

    “Halo, Jeng?” tanyaku.

    “Halo, Nji. Lo lagi apa?”

    “Lagi rehat, Jeng. Baru nyampe rumah dari Moka tadi.”

    “Oooh. Oh ya, lo balik ke Depoknya lagi kapan, Nji?”

    “Kayaknya pekan depan, Jeng.”

    “Berarti lo bisa dateng wisudaan tanggal 29 kan?”

    “Iya, Jeng. Kenapa memangnya?”

    “Temenin gw, ya.”

    “Hah? Buat apa, Jeng?”

    “Masa Bang Zaky minta gw jadi pendamping wisudanya dan gw bakal dikenalin sama orang tua dia. Grogi lah gw.”

    “Cie.. Cie.. Makin jadi aja nih sama Bang Zaky. Kenapa nggak minta temenin Lena?”

    “Dia balik ke Depok dipepetin sama jadwal masuk kuliah, Nji. Biar lebih ngirit uang makan katanya.”

    “Hahaha, masih aja ya.. Chandra malah udah nggak ngekos dan nebeng di rumah sodaranya.”

    “Iya, Lena udah cerita kalo Chandra udah pindah. Kayaknya alasannya sama, biar ngirit. Hahaha.”

    “Hahaha. Begitulah mereka.”

    “Oh ya, Nji. Terus Iril gimana? Udah bisa lo hubungin?”

    “Belum, Jeng.”

    “Kok ngilang parah sih dia?”

    “Gak tau, Jeng.”

    “Lo gak khawatir, Nji, kalo dia kenapa-napa?”

    “Khawatir banget gw, Jeng. Tapi gw ngerasa Iril memang berusaha jauhin gw.”

    “Masih karena kejadian lo dicium sama Tomori waktu itu ya, Nji?”

    “Mungkin.”

    “Duh, kalian ini, kayaknya pada saling suka tapi nggak bisa ngungkapin. Apa perlu gw turun tangan, Nji?”

    “Jangan, Jeng. Biar gw slesaiin ini sendiri.”

    “Yaudah. Pokoknya lo kalo ada apa-apa cerita sama gw ya, Nji. Kan cuma gw yang tau soal masalah percintaan lo sama Iril dan Tomori.”

    “Sip, Jeng. Makasih ya.”

    “Iya, sama-sama. Ntar kabarin aja ya, kapan lo ke Depok. Biar gw ada temennya di jalan.”

    “Oke. Daadaaa...”

    “Daadaa...”

    Tuuuuuut...

    Aku melempar tubuhku ke kasur. Memejamkan mataku pelan, menenangkan pikiran.

    Ada yang berubah. Iril berubah menjauhiku. Tapi keadaan tidak juga berubah. Iril tak kunjung menghubungiku. Sampai kapan harus seperti ini?

    Dreet.. Dreeet...

    Ponselku bergetar. Aku segera mengangkat panggilan masuk dari nomor tak dikenal.

    “Halo?” tanyaku memulai.

    “Halo....” suara parau menjawab dari ujung telepon, sedikit familiar.

    “Iya, Halo..” sahutku lagi.

    “Panji?” tanya suara itu.

    “Iya. Maaf ini siapa?” balasku.

    “.......” dia tidak menjawab.

    “Halo?”

    “.......”

    “Iril?”

    “.......”

    “Ini Iril kan?”

    “.......”

    “Ini beneran Iril kan?”

    “Iya, Nji.”

    “Ya ampun. Iril!!!! Lo kemana aja? Kenapa baru ngubungin gw sekarang? Kenapa lo ngilang?”

    “.......”

    “Ril?”

    “.......”

    “Ril, jawab dong. Jangan diem. Gw seneng banget nih lo akhirnya nelepon gw.”

    “Nji...”

    “Iya, Ril?”

    “Gw kangen sama lo.”

    “.......”

    “Maafin gw ya, Nji. Gw belum sempet salam lebaran sama lo.”

    “Ril. Harusnya gw yang bilang gitu. Gw juga kangen banget sama lo. Gw juga mau lebaran ke lo.”

    “Sorry ya, Nji...”

    “Oh ya, Ril. Gw udah denger berita tentang Mbah Kung lo, Ril. Gw turut berduka. Gw tau lo ngerasa kehilangan banget. Gw pengen ada di dekat lo buat ngelewatin masa-masa itu, Bray.”

    “Iya, Nji. Makasih. Gw udah bisa ngerelain dia kok sekarang.”

    “Ril, maafin gw ya kalo gw banyak salah sama lo. Kalo gw udah nyakitin lo. Pokoknya momen lebaran ini kita jadiin awal baru ya, Ril? Mulai dari nol ya, Ril?”

    “Mulai dari nol? Kayak iklan pertamina lo, Nji. Hahaha..”

    “.......”

    “Iya, Nji. Maafin gw juga ya. Gw juga banyak dosa sama lo.”

    “Iya, Ril. Gw selalu maafin lo kok. Pasti.”

    “.......”

    “Ril?”

    “Nji, makasih ya selama ini lo udah selalu ngingetin kesalahan dan kekurangan gw.”

    “Iya, Ril. Jangan sampai kedekatan kita membuat kita nggak peka dengan kesalahan satu sama lain. Lo juga harus ngingetin gw ya kalo gw bikin salah.”

    “Aseeek. Bijak banget lo, Nji. Hahaha.”

    “.......”

    “Nji? Kok diem?”

    “Kebiasaan lu! Gw udah serius juga, eh lo reaksinya malah becanda. Sial!”

    “Hahaha maaf-maaf. Oh ya, Nji. Gw boleh minta tolong sesuatu?”

    “Minta tolong apa, Ril?”

    “.......”

    “Ril?”

    “Nji?”

    “Iya?”

    “Lo mau nggak nemenin gw wisuda nanti? Ortu gw nggak ada yang bisa dateng nih, Nji.”

    “Mau, Ril. Mau banget.”

    “Serius, Nji?”

    “Iya! Gw bahkan udah ngajak nyokap gw buat ikut. Dia bela-belain dateng buat ikut ngerayain wisuda lo, Ril.”

    “Ya ampun. Mama lo sampe beneran ikut, Nji?”

    “Iya, Ril.”

    “Waduh! Gimana dong?”

    “Gimana apanya? Jangan bilang lo berubah pikiran?”

    “Gw harus siap-siap dong nih, Nji? Gw harus tampil ganteng, kece, dan keren di depan nyokap lo.”

    “Hahaha. Iya harus. Gak cuma depan nyokap gw, tapi depan gw juga ya, Ril..”

    “Huhu pasti itumah..”

    “Oh ya, Ril...”

    “Iya kenapa, Nji?”

    “Hmmm....”

    “Nji?”

    “Ril, gw mau ngomong serius nih...”

    “Boleh, mau ngomong apa memangnya?”

    “Gw sayang banget sama lo, Ril. Kita balikan yuk. Pacaran lagi. Lo mau nggak jadi cowok gw lagi?”

    “.........”

    “Ril? Jawab dong..”

    “Hmmm...”

    “Ril?”

    “Kasih cium dulu dong.. Gw pasti mau...”

    “Huh, dasar! Nih kecupan manis dari Panji di Lampung terkirim buat Iril di Jogja. Mmuach muachh..”

    “Kecupan diterima. Iril pun senang, bahagia, dan tersenyum tak henti-hentinya. Apa Iril boleh berteriak sorak soray bergembira untuk merayakannya?”

    “Boleh, silakan...”

    “Huwaaaaa... yeay!!!!”

    “Hahahaha, lebay!”

    “Hahaha biarin!”

    “Tapi kita pacarannya nggak usah lebay kayak sebelumnya ya, Ril. Kita pacaran yang bener. Biasa aja kayak kita sohib-an..”

    “Lah terus apa bedanya dong sama nggak pacaran?”

    “Bedanya, kita bakal banyak ciuman nanti, Ril. Hahaha..”

    “Cuma itu doang?”

    “Banyak mandi bareng juga. Hehe.”

    “Ah, lo mesum nih, Nji..”

    “Huhu..”

    .........

    Obrolan dengan Iril mengalir begitu saja. Hingga tengah malam. Hingga kami baru sadar bahwa hari sudah berganti. Hingga tanpa sadar, kami sudah tertidur dengan HP masing-masing yang masih menyala. Tertidur setelah Iril memintaku menyanyikan lagu untuknya. Tertidur setelah aku mulai mendengar dengkuran Iril.

    Hingga aku bangun keesokan harinya. Dan aku masih ingat tiap percakapanku dengan Iril malam itu. Malam dimana kami berbicara lepas kembali. Malam dimana kami tertawa bersama lagi. Meluapkan rasa rindu dan berbagi banyak cerita. Dan cinta.

    ***


    Sun, August 31th, Senior Year – 04:14 p.m.

    “Tante makasih ya udah mau dateng gantiin orang tua Iril,” kata Iril sembari menyalami dan mencium punggung tangan Mama.

    “Aduh, kok panggil tante lagi sih, Ril? Panggil Mama aja. Kayak Panji. Kamu kan udah Mama anggap jadi anak sendiri. Tuh buktinya Mama mau gantiin orang tua kamu. Hehe,” ujar Mama seraya mengusap kepala Iril.

    “Hahaha, siap, Ma!” sahut Iril riang.

    “Nah, gitu dong. Iril, anak Mama yang paling pinter. Karena udah lulus duluan ngedahuluin Panji. Huhu,” kata Mama.

    “Dih, Mama. Kok ngebanding-bandingin sih?” protesku.

    “Gak kok. Kalian berdua sama-sama pinter. Mama senang punya anak yang pinter-pinter,” elak Mama.

    “Dan manis. Ya nggak, Ma?” timbrung Iril.

    “Ya. Pokoknya paket lengkap. Pinter, manis, ganteng, dan semuanya. Mama seneng deh kalo jalan sama kalian. Jadi bisa banggain,” lanjut Mama.

    “Huh pantes aja sepanjang wisudaan tadi Mama seneng banget. Bangga-banggain Iril lagi,” timpaku.

    “Serius, Nji?” sela Iril.

    “Iya, Ril. Tuh Mama sampe ngaku-ngaku kalo anaknya wisudaan. Bikin gw cemburu aja karena bukan gw yang wisudaan bulan ini.”

    “Hahahaha...” Iril dan Mama justru tertawa bersamaan. Jeez.

    “Oh ya, Ma. Mama habis ini mau langsung pulang ke Lampung atau gimana?” tanya Iril.

    “Mama ke rumah Paman Panji dulu, Ril. Ke rumah adiknya Papa yang kerja di Kemenkeu,” jawab Mama.

    “Hoooh, kapan jalan? Iril anterin ya?” balas Iril.

    “Nggak usah. Ntar Mama disamperin kok di sini,” tukas Mama.

    “Oh gitu ya, Ma. Berarti setelah itu, Iril boleh pinjem Panji-nya?”

    “Boleh. Iril boleh bawa Panji kemana aja, mau bawa pulang, bawa ke Ragunan, atau ke pasar malam. Kemana aja boleh. Panji harus sering gaul sama sarjana muda kayak kamu. Biar makin termotivasi buat ngerjain skripsi dan lulus tepat waktu,” cerocos Mama.

    “Hahaha.. Aseek..” gumam Iril senang sembari merangkulku.

    “Nah gitu ya. Mama mah seneng ngeliat kalian akur. Jangan marah-marahan lagi ya pokoknya,” kata Mama.

    “Aih siapa yang marah-marahan, Ma?” timpa Iril.

    “Tuh, si Panji. Dia sampai galau berminggu-minggu karena hilang kontak sama kamu, Ril,” ungkap Mama.

    “Duh, Mama. Jangan lebay deh. Udah Ril, jangan dengerin Mama. Dia lagi kecapean, suka ngelantur,” alihku. Iril hanya tertawa.

    “Hahaha. Panji, honey Mama. Jangan gitu dong,” lanjut Mama. Iril tertawa semakin keras.

    “Udah, Nying! Jangan ketawa!” kataku cepat.

    Iril langsung diam dan lalu menggantinya dengan senyum. Senyum yang sangat manis.

    “Panji jadi galak ya, Ril? Hahaha. Jangan gitu dong, Honey. Mama ini kan suka kalian berdua. Akur begitu. Pokoknya jangan ngambek marahan lagi ya. Kalian tau, kalian harus mirip landak,” cetus Mama.

    “Tuh kan, mulai ngelantur lagi, masa kita disuruh mirip landak, Ril?” sindirku.

    “Hahaha. Gapapa lah, Nji. Landak kan imut,” sahut Iril. “Oh ya, Ma. Kenapa harus mirip landak?” lanjutnya.

    “Tiap musim dingin tiba, musim yang begitu dingin hingga serasa menusuk tulang, semua hewan akan mencari cara untuk menghangatkan tubuh mereka. Termasuk landak. Yang terpaksa harus berhimpitan menahan dingin sehingga duri-duri mereka malah melukai satu sama lain. Akibatnya mereka menjadi marah, kesakitan, dan saling menyalahkan. Tapi mereka harus memilih menahan sakit dibanding mati kedinginan. Meski harus tertusuk duri temannya, mereka akhirnya saling mengalah dan mengerti untuk tetap bertahan hidup. Hingga akhirnya mereka bisa melewati musim dingin itu. Sama dengan kalian. Kadang untuk mempertahankan hubungan baik, kita harus memahami satu sama lain, yang berarti kadang kita akan menyakiti atau disakiti. Tapi itu lebih baik, karena jika berpisah, maka kita akan mati.”

    “Wiiih.. Keren mamanya... Sumpah!” teriak Iril. “Iril mau deh jadi landak, tapi landak yang imut, ganteng, pinter, sukses, dan menyenangkan. Hahaha..”

    “Hahaha... Boleh-boleh..” gumam Mama.

    “Panji nggak setuju kalo harus disamain dengan landak. Kenapa harus saling menyakiti kalo hal itu bisa dihindari?” komentarku.

    “Ya ampun, selow kali, Nji. Itu kan cuma perumpamaan. Iya nggak, Ma?” sahut Iril.

    “Iya. Ah, Panji honey Mama lagi kenapa sih? Sinis banget dari tadi,” tukas Mama.

    “Datang bulan kali, Ma. Hahaha,” goda Iril.

    “Sial!” umpatku.

    “Hahaha. Kalian berdua emang lucu dah. Mama nyerah. Hehe,” balas Mama.

    Kami pun tertawa bersamaan.

    “Oh ya, Iril habis lulus mau gimana rencananya?” tanya Mama ke Iril.

    “Lanjut S2, Ma,” jawab Iril.

    “Oh ya? Kemana?” selidik Mama.

    “Nottingham, UK, Ma,” sahut Iril.

    “Haduh, jauh banget itu, Ril. Pokoknya kamu jangan lupa sama Mama ya kalo udah kuliah di sana. Main-main lah ke Lampung. Masa’ selama jadi teman Panji baru tiga kali kamu main ke rumah.”

    “Hehe, siap, Ma. Nanti kalo Iril main ke rumah, Iril udah jadi orang yang lebih keren dari Panji. Pokoknya Panji bakal Iril kalahin. Huhu..”

    Mama dan Iril pun tertawa bersamaan. Sial!

    Singkat cerita, mobil Paman pun tiba dan menjemput Mama. Tinggalah aku berdua dengan Iril. Kami pun berpindah dari halte bikun ke tepi danau di dekat balairung UI. Suasananya sepi, sangat kontras dengan pemandangan kemarin yang penuh dengan hiruk pikuk wisuda.

    Di tepi danau. Di sebuah senja. Kami duduk bersebalahan, di atas rumput hijau, ditemani semilir angin.

    “Nji, Mama kita keren ya?” ujar Iril tiba-tiba.

    “Kita?” sahutku sembari menoleh ke arah Iril.

    “Iya. Dia kan udah nganggep gw anaknya juga. Lo juga denger kan tadi? Huhu..”

    “Iya gapapa deh, kita berbagi Mama.”

    Iril tertawa lalu menoleh ke arahku. Aku dan dia saling pandang. Lantas Iril menarik tanganku, membuatku bingung.

    “Sini, pinjem tangan lo,” kata Iril.

    “Buat apa, Ril?” tanyaku.

    Iril tidak menjawab. Dia melebarkan telapak tanganku, mengambil pulpen dari tasnya, lalu menulis sesuatu di atasnya.

    Setelah selesai, Iril menyatukan kembali jari-jemariku lalu tersenyum ke arahku.

    “Apa ini?” tanyaku sembari membuka telapak tanganku.
    BFF.

    Kata itu yang ditulis di sana.

    “BFF? Best Friend Forever?” tanyaku memastikan; Iril sangat sering menggunakan singkatan sesukanya. Bisa jadi artinya lain.

    “Bukan, Nji,” sahutnya.

    “Terus apa, Ril?”

    “BFF. Boy-Friends Forever.”

    “.......”

    “Hahaha. Kok diem, Nji?”

    “.......”

    “Hahaha. Gw becanda kali, Nji. Iya, itu maksudnya Best Friend Forever kok.”

    “.......”

    Aku hanya diam. Hatiku serasa dipermainkan oleh Iril. Apa dia tidak tahu kalo aku lebih berharap Boy-Friends Forever daripada Best Friend Forever??

    Suasana pun menjadi hening seketika. Cukup lama. Membuat kami terpaksa menikmati momen hangat dengan penuh kebisuan. Hingga Iril akhirnya merubah posisi duduknya, menoleh ke arah rumput di belakangnya, sedikit membersihkan dedaunan yang ada di sana, lalu merebahkan tubuhnya di atas rerumputan.

    Iril diam. Aku juga diam.

    “Nji, gw lusa berangkat ke UK. Gw sekalian pindah ngikut ortu gw di Bristol. Kayaknya kita harus putus di sini sekarang deh, Nji,” ujar Iril tiba-tiba.

    Aku kaget. Ku segera menoleh ke wajah Iril yang fokus memandang langit. Melihatnya, juga mendengar kata-katanya, hatiku tiba-tiba merasa sakit. Begitu sakit. Mengetahui bahwa Iril akan pergi, bahwa kami harus putus, sukses membuat mataku berair. Aku pun memalingkan wajahku lagi ke depan, menutupi ekspresi sedihku itu.

    “Jujur gw masih sedih karna kehilangan Mbah Kung. Dan gw juga sedih karena gw bakal kehilangan lo, Nji.”

    Tubuhku bergetar. “Kenapa lo ngomong gitu sih, Ril? Seolah kita nggak akan ketemu lagi?”

    “Kayaknya memang nggak akan deh, Nji. Maksud gw, kita nggak akan ketemu lagi untuk bisa hidup bareng kayak sekarang atau kayak empat tahun ke belakang. Gw akan menetap di Bristol. Tinggal di sana, cari kerja di sana, nikah di sana, dan ngerawat ortu gw di sana. Gw udah nggak ada siapa-siapa lagi di sini. Gw juga pengen berbakti sama ortu gw. Gw pengen deket sama mereka lagi.”

    “Ril...”

    “Nji. Gw belajar sesuatu dari meninggalnya Mbah Kung. Bahwa apa yang kita punya dalam hidup itu cuma titipan. Kita bisa dapetinnya, tapi kita juga harus merelakannya jika suatu saat titipan itu harus diambil dari kita.”

    “........”

    “Mbah Kung seolah udah punya firasat kalo umurnya nggak akan panjang. Makanya dia minta gw segera balik ke Jogja waktu itu. Dia juga minta anak-anaknya yang cuma empat orang, tapi kepencar dimana-mana, buat ngumpul pas lebaran. Salah satunya ortu gw dan Pakde- Bude gw yang tinggal di Macau, yang ternyata nggak bisa pulang ke Indo lebaran tahun ini, nggak bisa menuhin permintaan Mbah Kung itu. Tapi sayang Mbah Kung udah keburu dipanggil gusti Allah sebelum lebaran tiba. Dan hal itu sukses ngebuat ortu gw, tante, dan pakde-bude gw ngumpul buat ngerumat jenasah Mbah Kung. Kalo Mbah Kung bisa lihat dari langit, dia pasti senang karena anak-anaknya akhirnya ngumpul lagi. Dan gw juga senang, karena bisa ketemu orang tua gw lagi. Karena bisa ngerasain momen berkumpul keluarga besar saat lebaran.”

    “........”

    “Jadi, gw belajar sesuatu, Nji. Bahwa untuk dapetin sesuatu, kita kadang harus kehilangan yang lain terlebih dulu. Untuk bisa dapetin momen kumpul bareng keluarga yang terpencar, kami harus kehilangan Mbah Kung duluan. Begitu pula untuk dapetin sesuatu yang ingin kita kejar, cita-cita kita, tujuan hidup kita, kita kadang harus kehilangan yang lainnya. Pun untuk dapetin keluarga gw lagi, juga ngejar cita-cita gw, kayaknya gw memang harus kehilangan lo, Nji.”

    “........”

    “Kita ini manusia lemah, Nji. Tangan kita terlalu kecil untuk minta terlalu banyak. Gusti Allah itu maha baik, dia tau kita nggak akan mampu nerima semuanya. Makanya dia ambil dulu apa yang udah kita genggam terus dia ganti dengan yang baru, dengan yang lebih baik.”

    “........”

    “Dan begitulah seharusnya kita sebagai manusia menerimanya. Supaya nggak serakah. Supaya nggak lupa sama esensi diri.”

    “........”

    “........”

    “Ril?”

    “Iya, Nji?”

    “Apa itu berarti kalo lo harus kehilangan gw buat dapetin hidup lo yang baru?”

    “Mungkin memang jalannya harus begitu, Nji.”

    “Bukannya logika lo itu juga bisa berlaku kebalikannya? Bahwa gw juga bisa dapetin lo dengan merelakan kehilangan yang lainnya?”

    “Jangan ngomong gitu, Nji. Kita ini cuma sahabatan. Sedeket apapun, kita cuma bisa jadi sahabat. Nggak akan lebih. Kehilangan sesuatu itu pahit, Nji. Sedih. Apalagi kalo yang hilang itu adalah sesuatu yang sangat kita sayangi. Kalo lo bilang lo rela kehilangan yang lain untuk tetep bisa bareng gw, gw nggak setuju, karena gw nggak bisa jamin apakah bareng gw adalah hal yang lebih baik. Apakah kita juga akan bisa ngejar cita-cita masing-masing kalo gw terus bareng lo.”

    “........”

    “Gw ini sayang sama lo, Nji. Gw takut gw makin sayang sama lo kalo kita terus bareng. Gw takut kita nggak bisa jalani hidup kita nanti dengan baik kalo terus begini.”

    “Tapi gw juga takut kehilangan lo, Ril.”

    “Kita juga nggak akan benar-benar kehilangan satu sama lain kok, Nji. Kita hanya terpisah dengan jarak.”

    “Tapi jarak itu bikin sakit, Ril. Semakin jauh, semakin sakit.”

    “Ada waktu, Nji. Waktu adalah obat yang paling baik. Waktu menyembuhkan sakit tanpa kita sadari. Satu minggu, satu bulan, satu tahun, lima tahun, sepuluh tahun... Rasa sakit itu pasti akan hilang perlahan. Dan cepat atau lambat, kita akan bisa ngelupainnya.”

    “Apa lo akan tetep inget sama gw, Ril? Satu tahun dari sekarang. Lima tahun lagi. Sepuluh tahun lagi. Dua puluh tahun lagi? Apa lo akan tetep inget sama gw?”

    “Sampai seribu tahun lagi, gw akan tetap ingat sama lo, Nji.”

    “Gw tahu mungkin lo akan terus ingat sama gw, Ril. Dan gw juga akan terus ingat sama lo. Tapi kapan ingatan tentang perasaan gw ke lo akan menghilang?”

    “Tiap pertanyaan selalu berpasangan dengan jawabannya, Nji. Untuk bikin keduanya bertemu, yang dibutuhin adalah waktu. Biarlah waktu yang menjawabnya. Karena gw tahu, gw nggak punya jawaban untuk itu.”

    “Ril, pernah nggak sih kita berhenti sejenak dan berpikir. Kalo kita nggak pernah saling ketemu dalam hidup kita, bakal jadi sebeda apa kita sekarang?”

    “Bakal beda banget pasti, Nji. Tapi kalo bisa milih, antara ketemu atau nggak pernah ketemu sama lo, gw akan tetap milih ketemu sama lo. Meski nyawa gw dicabut dan gw kembali dihidupkan berkali-kali, gw akan selalu milih untuk bisa ketemu sama lo. Lagi dan lagi. Gw nggak pernah nyesel kenal baik sama lo. Gw nggak pernah nyesel jadi sohib lo.”

    “........”

    Tubuhku kembali bergetar. Tak bisa kubendung lagi. Aku mulai terisak. Pelan, air matapun mengalir membasahi pipi.
    Iril tiba-tiba bangkit dari rebahnya. Kembali duduk di sebelahku yang sedari tadi tak berani menatapnya.

    Aku hanya menunduk menahan isak tangis. Sedangkan Iril hanya diam.

    Hingga Iril tiba-tiba merengkuhku dari samping. Memelukku erat hingga membuatku tangisanku semakin menjadi-jadi.

    “Jangan gini, Nji...”

    “........”

    “Jangan nangis. Please...”

    “........”

    “Nji, please berenti nangis...”

    “.......”

    “Jangan bikin semua ini jadi lebih berat, Nji...”

    “.......”

    “Jangan bikin hati gw semakin sakit...”

    “.......”

    “Kita masih bisa temenan meski nggak harus ketemu..”

    “.......”

    “Masih bisa sahabatan meski udah kepisah..”

    “.......”

    “Gw bakal sesekali ke Indo, dan lo juga bisa ke UK...”

    “.......”

    “Jadi please, jangan nangis lagi..”

    “.......”

    Air mataku terus mengalir. Semakin kencang. Sama kencangnya dengan pelukan Iril.

    “Tolong jangan begini, Nji...”

    Iril mengangkatku pelan. Kami berdiri berhadap-hadapan. Lalu Iril menarik wajahku menghadap ke wajahnya. Dia mengusap air mataku dan berusaha tersenyum. Namun aku tak bisa melihat senyumnya dengan jelas. Karena linangan air tetap saja mengaburkan pandanganku.

    “Udah yuk, kita pulang. Bentar lagi Magrib..” ujar Iril sembari menarik tanganku.

    Dengan berat hati, aku mengangguk.

    Iril tersenyum lalu melepas genggamannya dan memalingkan wajahnya ke depan. Dia mulai melangkahkan kakinya pelan.

    Sedang aku hanya diam, masih berdiri di tempat yang sama. Menatap punggung Iril yang mulai terbawa jauh.

    “Berhenti, Ril... Please...” lirihku.

    Iril tetap saja berjalan. Semakin jauh dariku.

    “Please, Ril. Balik. Nengok ke belakang. Gw masih di sini...”

    Tapi Iril tak kunjung berbalik. Dia terus berjalan. Semakin jauh. Meninggalkanku di tempatku yang sekarang. Di tempatku esok hari. Di tempatku, di hari-hari yang akan datang.

    ***

    A pain stabbed my heart. Very painful and severe. It hurts so much that I barely stand to see the guy I love is going to leave me. To see that the guy I love is going away to the opposite direction in this too-big world. Don’t you know, that I can’t endure being separated with you? That it’s always harder to be left behind than to be the one to go? That life must be very difficult when you’re not here beside me.

    ***

    And have you ever just stopped and realized that if you hadn’t met a certain person in your life, your life would be totally different? That if you just can choose in your second life, whether to meet me or not, which one do you want to choose?

    Yes, you did. And you said it. That you’ll keep choosing to meet me. Eventhough life keeps changing, you’ll still choose me. I’m grateful that you’re happy with me being in your life. Thank you.Thank you for not regretting things with me. Thank you, very very much.

    ***


    Bersambung ke Chapter 21 : Ashita Hareru Kana?
  • Berdoa saja ngga gangguan lagi. :)
  • Ya Tuhaan :'') Sedih hati adek, bang. Lol
    Ayoo Panji susul Iril ke UK!!
  • #speechless

    Ada seseorang dalam hidupmu yang ketika ia pergi, maka ia juga membawa sepotong hatimu

    #np KT Tunstall - Other Side of The World

    Besok pasti cerah. Harus cerah
    Ada pelangi di penghujung badai, every cloud has a silver lining #pelukiril #pelukpanji #callingtomori #eh

    Thank you, very very much @MarioBros :*
  • huhu sakiittt bang.. sakiiiiiitttt
  • Habis ngakak2 baca komenan mario yg ngebales komen reader sekarang nangis2 baca adegan perpisahan panji iril,,,
    *cry cry cry*
  • demi apa endingnya itu... ceurik..!! T_T
Sign In or Register to comment.