It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
wakakaka... iya sih hiks
tapi kan gak php an lol ahaha
@andi_andee masih belum :v
@balaka ah saya sukak panji, bukan sukak kayak panji, bang, huhu..
@muffle tuh barusan ngelak :v
Happy reading all.
@Unprince @octavfelix @harya_kei @Adamx @balaka @nick_kevin @bianagustine @Tsunami @Tsu_no_YanYan @cute_inuyasha @d_cetya @Wita @lulu_75 @arifinselalusial @fian_gundah @animan @kiki_h_n @rulliarto @bianagustine @jamesx @ffirly69 @littlemark04 @Rika1006 @Akhira @earthymooned @myl @exomale @AgataDimas @pujakusuma_rudi @yo_sap89 @DoniPerdana @kaka_el @fauzhan @muffle @notas @diodo @DM_0607 @greensun2 @Adhika_vevo @3ll0 @LeoAprinata @uci @kristal_air @MajestyS @nawancio @4ndh0 @daramdhan_3oh3 @Vanilla_IceCream @TigerGirlz @Hehehehe200x @Widy_WNata92 @sonyarenz @RegieAllvano @AvoCadoBoy @Ndraa @arbiltoha @Sicilienne @Rifal_RMR @JimaeVian_Fujo @zeva_21 @ardavaa @RogerAlpha @sunset @Arie_Pratama @gatotrusman @ragahwijayah_ @Polonium_210 @Hehehehe200x @addaa @JengDianFebrian @rendra123 @SteveAnggara @keposeliro @abiDoANk @RenoF @hendra_bastian @obay @DanniBoy @05nov1991 @farizpratama7 @andi_andee @meandmyself @NanNan @Bun @rone @momon_ombinx @Polonium_210 @ArDewa
Let me know ya buat yg gk ingin kena seret. Danke
Mon, July 7th, Senior Year – 03:11 a.m.
“Beib, bangun, Beib...”
Sebuah suara sayup-sayup terdengar membangunkanku. Aku membuka mataku pelan. Menggeliat meregangkan badan.
Aww, pinggulku masih sedikit sakit. Sepertinya aku harus menggerakkan tubuhku hati-hati.
“Beib, ayok bangun, kita mandi dulu terus cari sahur, keburu imsak nanti...”
Aku melirik ke arah pemilik suara itu. Dialah Iril, pacarku yang entah kenapa menjadi sangat aku sayangi. Rasanya aku ingin segera bangun lalu memeluknya erat. Tapi, aku justru kesulitan untuk bangkit dari kasur ini.
“Beib, kamu masih sakit ya?” tanya Iril sembari membantuku berdiri. Rautnya terlihat sendu, seolah menunjukkan rasa bersalah. Ah, aku tak suka rautnya yang seperti itu.
“Nggak kok, Ril. Aku udah bisa diri. Cuma kayaknya pinggangku masih rada pegel sih,” ujarku seraya menyelipkan senyum di wajah. Iril tersenyum balik.
“Duh, maaf ya, Beib,” tutur Iril.
“Gapapa, Ril. Selow,” timpaku.
“Yudah, yuk. Kita mandi dulu. Biar puasanya sah,” ajak Iril sembari menarikku berjalan ke kamar mandi.
Selesai mandi, aku dan Iril segera keluar mencari makan sahur. Kami membawa pulang makanan tersebut dan menyantapnya berdua di kosan.
“Beib, cobain ini deh,” ujar Iril sembari menyuapi makanannya ke mulutku. Aku menerimanya. “Gimana rasanya? Enak kan?” tanya Iril selanjutnya.
Aku mengangguk.
“Aku bilang juga apa, Beib. Enakan beli yang ini aja tadi. Tapi kamu malah ngeyel. Kamu gak tau sih, kalo yang ini bisa jadi makin enak enak enak banget banget banget kalo dimakannya sambil ngeliatin kamu.”
Aku kaget, hampir saja tersedak makananku. Sial! Iril masih saja menggodaku.
“Beib. Beib. Kamu masih sakit ya? Pinggang kamu masih pegel? Aku juga nih masih lumayan. Kamu gila ya mainnya. Panas banget. Huhu.”
“Kamu, Nying, yang gila! Udah ah, gak usah dibahas lagi.”
“Serius tapi, Beib. Kamu itu semalem gila banget, sampe kita tukeran gitu. Permainan panas Ayang Iril bersama Ayang Panji. Hahahay..”
“Dih.. Gelo!”
“Tapi bener-bener panas ya, Beib. Heran deh. Gara-gara global warming lagi nih.”
“Yeee, mulai lagi nih, gombalan global warming.. Basi, ah.”
“Wait, aku nggak lagi pengen ngegombal kok, Beib. Tapi beneran deh. Dulu isu global warming sempat santer banget. Banyak banget kan summit-summit yang diselenggarain paska kegagalan Kyoto Protocol? Tapi sekarang udah nggak rame lagi ya?” (*Kyoto Protocol = Konvensi Rangka Kerja PBB tentang perubahan iklim yang berisi kesepakatan internasional untuk mereduksi emisi gas rumah kaca)
“Mungkin orang-orang, terutama media, udah bosan dengan isu itu, Ril. Toh, proses pemanasan global dampaknya nggak langsung dirasain kan? Tapi meski begitu udah banyak loh produk summit yang mulai berjalan. Kayak mekanisme REDD+ misalnya.” (*REDD+ (Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation) = skema insentif/pendanaan dari negara maju ke negara berkembang yang bisa menjaga hutan mereka)
“Iya sih, Beib. Tapi ya jadi kurang gimana gitu antusias orang-orang sekarang sama isu itu. Padahal udah banyak kan laporan IPCC yang dirilis buat trigger awareness di masyarakat?” (*IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) = panel ilmiah perubahan iklim yang berdiri tahun 1988 yang terdiri dari para ilmuan dari seluruh dunia)
“Mungkin karena komunikasi ilmiah yang disampaiin IPCC kurang merakyat. Let’s say jurnal atau laporan studi, masyarakat kebanyakan mana mau baca, Ril. Harusnya lebih disesuaiin juga buat orang awam gimana, buat petani dan nelayan gimana, jadi gak cuma bisa diakses sama akademisi atau ilmuwan lain.”
“Setuju sih, Beib. Tapi kamu sebenarnya tahu IPCC nggak sih?”
“IPCC? Tauk lah, Nying.”
“Serius tau? Apa coba?”
“Intergovernmental Panel on Climate Change kan?”
“Bukan, Beib.”
“.......”
“I-Pe-Ce-Ce, Beib. Bukan, Ai-Pi-Si-Si.”
“.......”
“IPCC itu Iril Panji Cayang Celalu..”
“.......”
“Iril Panji Celalu Cinta..”
“.......”
“Iril Panji Cinta n Cetia..”
“.......”
“Dan... Iril Panji Cetia Celamanya..”
“........”
“Hahaha..”
“Alay!”
“Alaymak, ayang Iril sayang banget lah sama ayang Panji..”
“Dasar Unying! Lebay!”
“Huhu.. Tapi kamu seneng kan, Beib, yang lebay kayak aku? Cintaku bahkan sampe berlebih-lebih buat kamu.”
“Huh! Udah ah. Aku nggak mempan digombalan lagi!”
“Yah, kalo nggak mempan, nggak seru lagi dong pacarannya..”
“Yaudah, putus aja kalo gak seru lagi...”
“Duh duh, bebeb marah nih? Makin manis aja kalo lagi pundung begitu..”
“.........”
“Oh ya, Beib, setelah imsak nanti, kita harus udahan nih main pacar-pacarannya. Aku rasanya nggak rela banget loh buat mutusin kamu.”
“........”
“Ternyata seru banget ya pacaran sama kamu, Beib. Makasih ya udah mau nurutin permintaan gilaku ini.”
“........”
“Suatu saat, aku pengen cari cewek yang mirip sama kamu, Beib. Nah sampai saat itu tiba, aku pengen latihan dulu kayak gimana memperlakukan dia nanti. Simulasi yang bagus kan? Menurutmu gimana? Aku sukses gak jadi pacar kamu?”
“........”
“Beib, kok diem aja sih?”
“........”
“Yah, aku dikacangin.”
“........”
“Beib, jawab dong. Gimana rasanya dua hari pacaran sama aku?”
“Pacaran sama kamu rasanya lebay, Ril.”
“Hahaha. Lebay gimana nih, Beib?”
“Lebay banget!”
“Yah, aku kira aku sukses jadi pacar yang baik, ternyata cuma bisa jadi pacar yang lebay. Gapapalah. Oh ya, hari ini agendamu apa? Aku seharian mau di kampus nih. Ngurusin persiapan yudisium.”
“Aku belum tau, Ril.”
“Hmmm gitu ya. Oh ya, aku akhir minggu ini udah harus balik ke Jogja nih, Beib.”
“Hah? Kok cepet banget?”
“Pengennya sih lama-lama dulu di sini. Tapi udah telanjur dibeliin tante tiket pulangnya akhir pekan ini. Mbah Kung udah kangen banget sama aku katanya. Aku juga sih.”
“.......”
“Tuh, bookingan tiketnya aku taruh di meja kamu, Beib. Ntar ingetin ya buat ngambil. Takutnya aku lupa.”
“.......”
“Aduh, bentar lagi imsak nih, Beib.”
“.......”
“Karena aku udah nembak kamu baik-baik, aku pengen mutusin kamu baik-baik juga.”
“.......”
“Kamu inget ya, Beib. Setelah kita putus nanti, itu bukan karena aku udah puas pacaran sama kamu. Bukan juga karena aku nggak sayang lagi sama kamu. Tapi karena, aku takut aku semakin kecanduan sama kamu. Aku takut aku jadi nggak bisa hidup tanpa kamu, Beib.”
“.......”
“Dan kamu juga inget ya, Beib. Buat aku, pacaran sama kamu adalah pengalaman paling menyenangkan dalam hidup aku. Dan akan aku simpan jadi kenangan manis yang nggak akan pernah aku lupain. Huhu. Makasih banget ya, kamu udah mau jadi pacar aku.”
“.......”
“Meski berat, janji adalah janji ya, Beib. Pria sejati harus berani pegang janjinya. Harus pegang kata-katanya. Mau nggak mau kita harus putus. Dan sekarang aku mau kita putus baik-baik.”
“.......”
“Beib, mulai hari ini kita putus ya? Maafin aku kalo selama kita pacaran, aku bikin banyak salah ke kamu. Maaf kalo aku sering bikin kamu kesel. Maaf juga kalo kamu jadi ilfeel sama aku. Kita tetep sahabatan ya. Kita sohib-an lagi.”
“.......”
“Oke, Nji?”
“.......”
“Nji...?”
“.......”
“Kita putus ya..?”
“.......”
***
Tue, July 8th, Senior Year – 09:21 p.m.
“Ril, lo dimana? Nggak pulang ke kosan?” tanyaku ke Iril yang sejak kemarin tidak ada di kosan.
“Di rumah Alex, Nji. Ada acara bukber tapi kemaleman nih kayaknya. Gw disuruh nginep di sini akhirnya,” jawab Iril.
“Lo cuma berdua sama Alex di sana?” selidikku.
“Ya nggak lah, Nji. Di sini banyak cowok HI yang lain kok yang akhirnya jadi ikutan sleepover di rumah Alex,” jelasnya.
“Hmmm siapa aja emangnya?” kejarku.
“Ada Iwan, Razi, Ahmad, Ghazi, Radit, dan pastinya Baim. Kenapa memangnya, Nji?,” sebut Iril.
“Gapapa kok, Ril,” sahutku.
“Oh. Oh, ya, Nji, ada apa nih nelpon?”
“Gak ada apa-apa sih, Ril.”
“Yakin? Kalo gak ada apa-apa, ntar lagi aja ya teleponannya, nggak enak soalnya lagi sama yang lain.”
“Eh, jangan ditutup dulu, Ril!”
“Kenapa, Nji?”
Aku terdiam sebentar. “Hmmmm boleh ngomong sama Baim nggak, Ril?”
“Boleh, boleh... Bentar ya...”
Setelah menunggu beberapa detik akhirnya Baim bicara juga, “Halo, Nji. Ada apa nih?”
“Halo, Im. Gapapa gw cuma pengen denger suara lo, Im.”
“Idih, random banget lu, Nji.”
“Hahaha iya nih, Im. Oh ya, kalian lagi ngapain sekarang?”
“Lagi maen kartu tuh, Nji.”
“Oh, gitu ya? Kalo Iril dia lagi apa, Im?”
“Lagi ikut main kartu juga lah, Nji.”
“Hehehe, iya, iya. Eh, bisa balikin teleponnya ke Iril lagi nggak? Gw mau ngomong sama dia nih, Im.”
“Aih, jadi lu mau ngomong sama gw karena apa dah, Nji?”
“Gapapa, Im. Kan gw udah bilang gw pengen denger suara lo. Hehe..”
“Hahaha. Yudah, tunggu bentar ya, Nji.”
Aku menunggu hampir satu menit sampai akhirnya Iril berbicara di telepon, “Hai, Nji. Ada apa lagi nih?”
“Eh, kalian lagi apa sih, Ril?”
“Aih, kok gw nanya, lo balik nanya? Lagi main kartu nih, Nji.”
“Anah! Kok parah sih, Ril, bulan puasa gini malah pada judi kek gitu.”
“Gak judi kali, Nji. Kan cuma main kartu dan nggak pake taruhan. Palingan yang kalah mukanya dicoret sih pake bedak. Hehe.”
“Hahaha tuh kan, sama aja kalo gitu. Gw tebak ya, pasti sekarang muka lo udah penuh sama bedak, Ril?”
“Hahaha iya, Nji. Gw udah kayak penyanyi dangdut mau manggung nih, menor banget muka gw. Payah dah, gw kalah mulu. Huhu.”
“Hahaha gw kebayang muka lo gimana sih, Ril. Lain kali gw ajarin deh tips-trik supaya bisa menang, Ril.”
“Wow, tumben lo nawarin, Nji. Dulu-dulu pas gw minta ajarin, lo pelit banget. Sekarang malah nawarin diri.”
“Emang nggak boleh, Ril?”
“Boleh-boleh aja lah, Nji.”
“Eh, Ril. Lo udah makan?”
“Udah, Nji.”
“Hmmm udah pada sholat terawih kan, Ril?”
“Udah.”
“Hmmm....”
“.......”
“Ril?”
“Iya, Nji?”
“........”
“Eh, Nji. Sorry banget. Gw ditarik lagi nih sama anak-anak buat maen. Berisik banget mereka. Udahan dulu ya teleponannya. Gak enak sama yang lain soalnya.”
“Ya udah deh, Ril.”
Tuuuuuuuut...
Aku langsung memutus sambungan telepon sebelum Iril melakukannya. Merebahkan tubuh dan menatap langit-langit.
***
Wed, July 9th, Senior Year – 03:11 p.m.
“Iril, lo dimana? Sore ini ngabuburit dan bukber bareng yuk,” kataku cepat ketika Iril mengangkat teleponku.
“Gw lagi di bikun, Nji. Duh, maaf banget nih. Gw sore ini harus ke Bekasi. Ada acara bukber di rumah tante gw,” jelas Iril.
“Oh gitu ya, Ril. Yaudah deh.”
“Maaf banget ya, Nji.”
“Oh ya, lo kapan mau ke kosan lagi?”
“Belum tau nih, Nji. Ada apa emangnya?”
“Gak ada apa-apa sih.”
“Eh, udah ya, Nji. Gw udah harus turun dari bikun nih. Ntar ngobrol lagi deh ya.”
“Yaudah deh, Ril. Lo hati-hati ya.”
“Pasti. Makasih ya, Nji.”
Aku menutup telepon. Kembali terbaring dan menatap langit-langit kamarku. Aku jadi sering memikirkan Iril sekarang. Kenapa aku jadi makin susah ketemu dengan Iril ya? Kenapa seolah Iril berusaha menghindariku? Apa ada yang salah denganku?
***
Thu, July 10th, Senior Year – 01:38 p.m.
“Halo, Ril. Lo masih di Bekasi?” tanyaku ke Iril di dalam telepon.
“Iya, Nji. Masih. Tante gw minta bantuin gw beres-beres rumah soalnya. Dan gw juga lagi gak ada urusan di kampus. Kenapa emangnya?” balas Iril.
“Ini sih, gw mau ngajakin lo di bukber anak-anak BEM sore ini. Siapa tau lo mau gabung.”
“Gw kan bukan anak BEM, Nji. Gak enak lah.”
“Yaelah, selow aja kali, Ril. Lo kan juga pernah nimbrung di bukber tahun lalu kan?”
“Hahaha, kali ini gak deh, Nji. Gw tau diri ajadeh. Gak enak ganggu kalian.”
“Hmmm gitu ya, Ril. Oh, ya, lo lagi apa sekarang?”
“Lagi mau tidur siang nih, Nji.”
“Ooh. Gw ganggu lo mau tidur dong?”
“Selow aja kali, Nji.”
“Oh yaudah, deh. Met bobo siang, Ril.”
“Yudah, Nji.”
Tuuuuuut....
Aku menutup telepon lalu berjalan ke tepi dinding kaca lantai tiga perpustakaan kampus. Menatap keluar memandangi danau dan taman melingkarnya. Kenapa seolah banyak berubah ya? Kenapa Iril jadi susah sekali kutemui? Dan kenapa aku rindu banget sama dia?
***
Fri, July 11th, Senior Year – 08:12 a.m.
“Pagi, Ril. Lo udah bangun?” sapaku lewat telepon.
“Pagi, Nji. Kalo gw belum bangun, gw nggak bisa ngangkat telepon lo keleus. Ada apa nih?” tanya Iril.
“Eh, Ril. Lo sebelum balik ke Jogja besok, gak pengen ke kosan dulu apa?”
“Jauh, Nji. Lo tau kan Bekasi di planet lain. Harus cari roket nih. Huhu.”
“Gak mau packing dulu memangnya?”
“Gw udah packing, Nji. Lagian banyak baju gw yang masih ada di rumah Mbah Kung.”
“Oooh. Terus lo berangkat yang penerbangan malam kan ya?”
“Iya, Nji. Tengah malem malah. Moga aja Soetta gak serem. Hahahay.”
“Hahaha. Gak akan serem lah. Pun kalo serem gak akan lebih serem daripada mpok kunti bergaun merah. Ya, nggak, Ril?”
“Yoyoi..”
“.......”
“.......”
“Oh, ya, Ril...”
“Iya? Kenapa, Nji?”
“.......”
“Nji?”
“.......”
“Panji? Haloo spada...?”
“Eh, iya, Ril. Sorry kenapa?”
“Gw mau ngomong sesuatu nih, Nji?”
“Apaan, Ril?”
“Hmmm...”
“Ril?”
“Nji, gw kebelet boker nih. Udahan dulu ya teleponannya. Bye..”
Tuuuuut.....
***
Fri, July 11th, Senior Year – 11:42 p.m.
Aku menutup pintu kamar lalu menguncinya. Berjalan pelan menyusuri koridor kosan yang semakin terasa sepi.
“Panji, mau kemana?” tanya Mamy yang kebetulan berpapasan denganku.
“Mau nyari makan nih, My. Tadi cuma buka sama bubur. Masih laper,” sahutku.
“Sendirian, Nji?” tanya Mamy lagi.
“Iya, My. Anak-anak pada di luar semua,” jawabku.
“Ooh, yudah deh,” gumam Mamy.
Setelah berpamitan, aku kembali berjalan, keluar menyusuri tepian Jalan Margonda. Jalanan sudah lumayan sepi sekarang, tidak seramai saat detik-detik menjelang waktu berbuka. Dan entah kenapa, melihat Jalan Margonda yang sepi membuat hatiku terasa sedikit sesak.
Ah, tidak juga. Masih banyak juga tempat makan yang ramai. Meski aku tahu sebentar lagi pasti banyak yang akan tutup karena sudah semalam ini. Resto itu dan yang itu. Juga angkringan di pinggir jalan itu. Apa aku kesana saja ya?
Setidaknya angkringan itu tutupnya masih lebih lama. Aku pun mendatangi angkringan di tepi jalan Margonda itu. Setelah memesan, aku langsung mencari tempat untuk duduk. Cukup banyak pengunjung juga nih angkringan. Sepertinya mereka juga sama denganku yang belum sempat makan besar saat berbuka. Hanya bedanya, mereka datang kesini tidak sendiri, tapi beramai-ramai dengan teman mereka. Ah, sial! Tau gini mending aku makan di warteg saja. Supaya tidak merasa tersudut dengan keasyikan mereka.
Pikiranku pun melayang. Beberapa hari ini aku sering sendirian. Sahur sendiri. Buka puasa sendiri. Sekalipun beramai-ramai, entah kenapa aku tetap merasa sendiri. Ada apa ya? Kenapa seolah aku sedang merasa kehilangan sesuatu? Atau seseorang?
Aku mengalihkan pandanganku ke seberang jalan. Ke Margonda Residence. Tapi tetap saja aku merasakan hal yang sama. Aku mengalihkannya lagi ke penjuru angkringan.
Angkringan Panjer Wengi. Selalu ramai dengan pengunjung yang mereka bilang sebagai anak-anak muda kampus.
Sejumlah mahasiswa terlihat duduk lesehan dan bergerombol. Mereka asik bercengkerama dengan ditemani segelas susu jahe dan nasi kucing mereka. Ditemani pula dengan beberapa tahu tempe bacem dan berbagai tusuk sate-satean. Suasana sangat hangat di sana. Mengingatkanku pada saat-saat masih seperti mereka, hang out bareng bersama temen kampus atau teman kosan. Ah, aku jadi merasa sendiri lagi.
Untuk mengalihkan perhatian lagi, juga untuk menghilangkan kebisuan karena aku tak punya teman bicara, aku meraih headset lalu menyalakan musik dari ponselku. Lagu demi lagu pun kudengarkan. Menemaniku menikmati santapan di angkringan ini.
Masih dengan headset di telinga, aku iseng membuka Whatsapp. Masih saja dipenuhi dengan notifikasi dari berbagai grup yang aku bergabung di dalamnya. Aku hanya mengeceknya hingga notifikasi itu hilang. Dan tanpa sadar, aku men-scroll down daftar pembicaraan di Whatsapp hingga aku berhenti pada percakapanku dengan Iril. Aku membukanya lalu membacanya. Isinya penuh dengan gombalan Iril saat aku pacaran dengannya. Diam-diam, aku tersenyum-senyum sendiri. Benar-benar kocak si Iril ini. Benar-benar bikin kangen. Kenapa rasanya udah kayak lama banget nggak ketemu Iril ya?
Aku menarik pandanganku dari layar ponsel lalu mengalihkannya ke jalanan Margonda yang semakin sepi. Di angkirngan ini ramai tapi di jalanan sana terlihat sepi. Di sekitarku ramai, tapi di hatiku terasa sepi. Aku hanya termenung sendiri. Memandang kosong ditemani alunan lagu-lagu dari ponselku. Dan lagu yang aku sedang dengarkan ini, kenapa membuatku semakin sesak ya?
- Kucari Kamu -
Kucari kamu dalam setiap malam
Dalam bayang masa suram
Kucari kamu dalam setiap langkah
Dalam ragu yang membisu
Kucari kamu dalam setiap ruang
Seperti aku yang menunggu kabar dari angin malam
Aku cari kamu
Di setiap malam yang panjang
Aku cari kamu
Kutemui kau tiada
Aku cari kamu
Di setiap bayang kau tersenyum
Aku cari kamu
Kutemui kau berubah
Kucari kamu dalam setiap jejak
Seperti aku yang menunggu kabar dari matahari
(Kucari Kamu by Payung Teduh)
Dreeet ... Dreeet....
Tiba-tiba ponselku bergetar oleh sebuah panggilan masuk. Dari Tomori.
“Konbanwa, Ji-Chan,” sapa Tomori cepat.
“Konbanwa, Mori,” sahutku.
“Ji, aku udah di Changi nih. Tapi penerbangan ke Indonesianya baru besok. Besok aku langsung ke tempat kamu ya.”
“Oh, iya, iya.”
“Good. Aku udah nggak sabar pengen ketemu kamu nih, Ji. Aku udah bawa oleh-oleh kok.”
“Hmmmm aku juga. Wah, sampe ngerepotin gitu jadi nggak enak.”
“Ah, kamu ngomong apa sih? Kan kamu yang minta aku bawain oleh-oleh, Ji.”
“.......”
“Eh, Ji. Udah dulu ya. Aku cuma mau ngabarin aja kalo besok aku nyampe di Indo.”
“Yaudah. Hati-hati ya.”
“Pasti! Dada Panji...”
“Daaaa...”
Tuuuuuut...
Panggilan terputus. Ah, aku baru ingat kalau masih ada Tomori. Tapi kenapa ya, perasaanku ke Tomori tak sekuat dulu? Aku dulu begitu suka dengannya, tapi semakin kesini aku semakin merasa biasa saja.
Memang aku masih merasa nyaman dengannya, tapi perasaanku ke dia tidak seperti yang dulu. Apa karena Iril ya? Apa karena main pacar-pacaran sama dia aku jadi berpaling dari Tomori? Sepertinya status pacaran memang sanggup mengubah perasaan. Coba dari awal Tomori langsung memintaku jadian dengannya, pasti perasaan itu akan awet, karena aku bisa bebas mengekspresikan rasa cintaku ke dia.
Tapi sayang, dia menungguku yang juga menunggunya. Ah, sudahlah, aku tak perlu memikirkannya.
***
Sat, July 11th, Senior Year – 05:07 p.m.
Aku segera bergegas pulang ke kosan ketika Tomori mengabariku kalau dia sudah tiba dari Jepang dan sekarang sedang menungguku di kosan. Dengan langkah gontai, aku menyusuri jalanan gang hingga ponselku tiba-tiba bergetar. Aku pun berhenti untuk mengeceknya.
Aku menerima sebuah pesan panjang di WhatsApp. Dari Iril! Dengan cepat, aku langsung membukanya.
Tuhan tak menjanjikan,
Langit yang selalu biru,
Bunga yang selalu mekar,
Dan mentari yang selalu bersinar.
Tapi, Ia memberi pelangi di antara terik dan hujan,
Tawa di setiap air mata,
Hikmah di setiap musibah,
Berkah di setiap cobaan,
Dan jawaban dari setiap doa.
Pun aku yang ingin berdoa meminta maaf,
Atas kesalahanku kepada-Nya dan kepadamu,
Maaf karena telah membawamu ke dosa itu,
Maaf karena aku tak bisa menjaga diriku dan juga dirimu.
Selamat berpuasa. Semoga Ramadhan kali ini lebih baik, serta dapat menyucikan semua kealfaan dan kekhilafan kita.
~Iril
Aku termenung sebentar, memandangi pesan Iril itu. Aku membacanya berulang-ulang. Tidak tahu akan menjawab apa. Juga tidak tahu kenapa Iril begitu random mengirimiku pesan seperti itu. Dan entah kenapa dadaku serasa bergetar tiap kali aku membaca isinya.
Lalu tiba-tiba sebuah pesan baru pun masuk. Masih dari Iril.
Nji, gw malam ini pulang ke rumah kakek gw di Jogja. Mbah Kakung udah kangen banget sama gw katanya. Bahkan dia minta gw stay di Jogja lebih lama. Jadi gw ke Depoknya lagi palingan menjelang wisuda. Gw pasti kangen banget sama lo. Lo baik-baik ya. Jangan suka kelewat sahurnya. Oke, Nji? Sampai ketemu lagi ya, Nji, sohib gw yang paling baik sedunia.
Apa? Iril mau pergi nanti malam? Kenapa aku merasa keberatan ya? Padahal aku udah diberi tahu dari awal pekan kalau hari ini Iril akan berangkat pulkam.
“Panji !!!”
Seseorang memanggilku dari kejauhan. Dia Tomori. Dia tersenyum sembari berjalan mendekatiku. Aku membalas senyumnya.
“Kenapa berdiri di tengah jalan lama banget, Ji-chan?” tanyanya.
“Oh, nggak kok. Tadi ada pesan penting jadi langsung aku baca,” jelasku.
“Yudah yuk. Ke kosanmu aja. Jangan di sini,” ajak Tomori.
Dengan berat, aku melangkahkan kaki menuju kosan. Tomori terus tersenyum kepadaku. Dan entah kenapa aku kembali merasa tenang berada di dekatnya. Ah, aku jadi ingat kalau hatiku sudah memilihnya.
Aku dan Tomori pun akhirnya sampai di kamar kosanku. Kami langsung masuk dan melanjutkan pembicaraan yang sempat terpotong di jalan barusan.
“Kamu kangen nggak sama aku?” tanya Tomori tiba-tiba.
Aku mengangguk.
“Aku ada oleh-oleh nih buat kamu,” kata Tomori sembari memberikan sebuah bungkusan paper bag kepadaku.
Aku langsung menerimanya lalu membukanya. Isinya satu set action figure Detective Conan, Shonen Jump Mags, Sengoku Astray Gundam dan beberapa mainan keluaran Ban Dai lainnya. Ada juga beberapa bungkus kue beras khas Jepang dan oleh-oleh makanan lainnya.
Aku pun mengeluarkan isinya satu per satu.
“Makasih ya,” ucapku ke Tomori.
“Yang ini dimakan nanti ya. Bentar lagi kamu buka puasa kan?” sahut Tomori.
“Iya. Ini kue yang sama dengan yang kamu kasih waktu itu nggak sih?” tanyaku.
“Sama. Cuma yang ini lebih enak,” jawab Tomori.
“Oh ya, kue ini mochi kan ya? Aku masih ragu sama namanya,” ujarku.
“Iya. Kue mochi ini terbuat dari beras ketan, beras lilin, beras manis, dan nasi mochi. Beras ditumbuk menjadi pasta terus dibentuk jadi bentuk yang dipengenin.”
Aku tersenyum lalu meletakkan oleh-oleh dari Tomori ke meja. Kami pun mengobrol banyak hal tentang pengalaman Tomori selama di Jepang. Hingga tak lama kemudian, adzan magrib mulai terdengar. Dengan cepat aku meraih segelas air lalu meneguknya melepas dahaga.
Aku segera berbuka dengan kue beras dari Tomori. Dan aku tengah duduk menikmati kue mochi ketika tiba-tiba Tomori duduk berlutut di depanku.
“Ji. Aku lihat kamu masih nyimpen gulungan kertas dariku ya?” tanya Tomori.
“......” aku kaget, tak memberi jawaban; fokus pada kue mochi yang sedang aku kunyah.
“Kamu sudah baca isinya kan?”
“......”
“Daisuki desu! Kamu mau nggak jadi pacarku?”
“Uhuk!”
Aku langsung tersedak mendengar kalimat Tomori itu. Aku benar-benar kaget. Tenggorokanku pun tercekat oleh kunyahan kue mochi hingga membuat nafasku terasa tersengal.
Tiba-tiba Tomori menarikku untuk berdiri.
“Kamu tersedak kue beras ya?” tanyanya.
Aku tak menjawab. Fokus memegangi leherku yang terasa tercekik hingga membuatku sulit bernafas.
“Kalau saluran pernapasanmu tercekat kue beras begini, kamu bisa mati tercekik,” ujar Tomori sembari berjalan memutar lalu berdiri di belakangku
“......” aku hanya diam.
“Kalau ada yang seperti ini, letakkan salah satu kakimu di antara kedua kaki orang yang tersedak dan posisikan kaki yang satu lagi di belakang tubuh kita,” kata Tomori seraya mempraktikanya.
“......” aku tetap diam. Sejurus kemudian, Tomori merengkuh pinggangku dari belakang dan melingkarkan kedua tangannya di perutku.
“Letakkan kedua tangan di atas pusar orang yang tersedak dan satukan kedua telapak tangan,” tuturnya.
“Hemmpp,” aku menahan napas menerima tekanan dari tangan Tomori.
“Setelah posisinya mantap, tekan perutnya dengan cepat seperti gerakan mengangkat ikan di pancingan.” Tomori dengan cepat menekan perutku, membuatku memuntahkan potongan kue mochi yang menyumbat tenggorokanku.
Aku bernafas terengah-engah. Mengumpulkan oksigen yang sempat habis dalam paru-paruku. Benar-benar mengerikan, kepalaku sampai pusing dan dadaku terasa sesak.
“Nah, sekarang udah beres kan? Udah bisa lancar bernapas lagi,” lanjut Tomori sembari berjalan menghadapku.
“......” aku diam memandanginya.
“Ya ampun, bibir kamu jadi kotor begini. Aku bersihin ya,” ujar Tomori yang dengan cepat sudah mendaratkan jari-jarinya di bibirku.
Dengan pelan, Tomori mengusap ujung bibirku, menghilangkan remah-ramah kue mochi di sekitar bibirku.
Usapannya semakin lama. Jari-jarinya menyentuh bagian tengah bibirku. Aku sampai berdebar-debar merasakannya. Terlebih tatapan Tomori yang begitu tajam menyorot mataku. Membuatku semakin tegang.
Cup!
Tiba-tiba bibir Tomori berlabuh di bibirku. Dengan lembut, dia melumatnya. Pelan lalu semakin cepat. Membuatku kesulitan untuk melepasnya.
Tanpa sadar, tangan Tomori sudah merengkuh punggungku dan tangan satunya menekan kepalaku dari belakang. Aku semakin kesulitan untuk melepaskannya. Entah kenapa aku tidak begitu suka dengan ciuman Tomori yang tiba-tiba ini. Tapi aku tidak tahu harus bagaimana.
“Panji!!??”
Sebuah suara parau familiar tiba-tiba mengagetkanku. Sontak aku menarik wajahku menjauhi Tomori. Sejurus dengan itu, aku menoleh ke belakang ke arah suber suara itu, melihat siapa orang yang memanggilku.
Deg!
Iril!
Iril berdiri di depan pintu. Wajahnya datar. Napasnya terlihat terengah-engah. Beberapa peluh keringat tampak membasahi wajah dan bajunya.
“Maaf, Nji, kalo gw ganggu. Tiket gw kayaknya ketinggalan di kamar lo deh,” ujar Iril membuyarkan lamunanku.
Iril melirik ke arah meja. Ya, tiket penerbangannya masih tergeletak di sana. Dengan segera, Iril berjalan melewatiku lalu meraih tiket itu. Dia lewat begitu saja, memalingkan pandangannya dariku, pun aku yang tak berani menatap wajahnya.
Iril kembali berjalan pelan melewatiku yang masih berdiri mematung di tempat yang sama. Dia berjalan menunduk hingga akhirnya tiba di depan pintu. Apa dia mau pergi begitu saja? Apa yang harus aku jelaskan?
“Nji, gw pamit pulang ya,” kata Iril lirih yang tiba-tiba berhenti membelakangiku.
Kata-kata itu terasa sangat menyayat hati. Dengan cepat, aku berlari mengejar Iril. Tapi Iril semakin mempercepat langkahnya.
Aku berlari lebih cepat hingga aku bisa meraih tangan Iril dari belakang. Aku menggenggam tangannya kuat. Menahannya untuk tidak pergi.
Iril pun berhenti. Dia lalu berbalik badan dan menatapku.
Aku mengatur nafas, memberanikan diri mengeluarkan isi perasaanku. Aku bersedia membuang semua gengsiku kali ini.
“Ril, dengerin gw dulu. Please,” pintaku.
Iril hanya diam.
“Lo masih inget kan apa yang lo bilang ke gw tentang prasangka? Bahwa prasangka itu ngerusak hubungan dan dia datangnya dari ketidakjelasan. Gw juga mau jelasin sesuatu ke lo, Ril, kalo gw nggak ada hubungan apa-apa sama Tomori. Tadi itu cuma salah paham. Tomori tiba-tiba nyium gw dan gw nggak bisa ngehindar. Yang jelas, gw nggak menginginkan ciuman itu, Ril,” terangku.
“Dan yang jelas, kita cuma sahabatan kan, Nji? Selow. Gw gapapa kok. Karena gw tahu satu hal dengan jelas, kalo kita berdua juga cuma sahabatan. Lo jangan ngerasa nggak enak sama gw. Lo berhak bahagia dengan apa yang lo pengenin. Sebagai sahabat, gw sadar kok tentang batasan gw,” sahut Iril.
Aku terdiam. Melihat Iril melepaskan genggaman tanganku dan berbalik melangkahkan kakinya menjauhiku.
Tapi tiba-tiba Iril berbalik kembali menghadapku.
“Oh iya. Ada yang terlupa ya, Nji. Gw belum ngasih pelukan perpisahan ke lo,” ujar Iril sembari meraih bahuku lalu memelukku.
Aku menyambut pelukan Iril. Ada rasa bersalah yang tak bisa aku jelaskan kepadanya. Yang bisa kulakukan hanya membenamkan wajahku di dadanya.
Dengan pelan, tangan Iril menepuk-nepuk bahuku. Membuatku ingin memeluk Iril lebih erat lagi. Namun sejurus kemudian, Iril justru melepaskan pelukannya.
Iril menjabat kedua tanganku. Aku dan dia berdiri berhadap-hadapan. Terjebak diam dalam tatapan. Matanya berkaca-kaca. Begitu pula dengan mataku. Ada kata yang ingin kuungkap tapi bibirku terasa kelu, sangat sulit untuk aku gerakan. Aku pun hanya diam. Berharap Iril mengerti dengan bahasa mataku.
“Iya, Nji. Gw ngerti kok. Selamat ya buat lo sama Tomori. Lo baik-baik ya sama dia. Kalo dia jahatin lo, lo bilang ke gw ya, biar gw hajar tuh orang! Hehe. Maaf banget ya, Nji, gw harus buru-buru pulkam duluan,” Iril menarik mundur badannya. Melepaskan genggaman tangannya dari tanganku.
“Sampai ketemu lagi, Nji,” ujari Iril sembari berjalan meninggalku.
Reflek, kuraih tangan Iril lagi. Kugenggam tangannya lebih kuat. Dan Iril pun menghentikan langkahnya.
Iril diam. Aku pun diam.
Iril berbalik menghadapku. Aku pun menatapnya lekat.
Iril berjalan mendekat. Aku pun ikut mendekat.
Iril memandangi wajahku. Aku pun memandangi wajahnya.
Iril tersenyum. Dan aku pun membalas senyumannya.
“Nah, gitu dong, Nji. Masa gw mau pergi lo sedih gitu. Ntar yang gw inget selama gw nggak ketemu lo cuma muka sedih lo gimana coba? Gw kan pengen liat dan inget senyuman lo sebelum gw pergi,” lirih Iril.
“......”
“Keep smiling ya, Nji. Because I like the way you smile. And I want to see you stay like this before I go.”
“......”
“Oke, Nji?”
“......”
“Well. See you then...”
Waktu pun sekejap berhenti. Dan di sinilah aku. Hanya berdiri termangu memandangi sosok Iril yang perlahan melangkah pergi. Pergi menghilang. Menghilang dariku.
***
Bersambung ke Chapter 20 : Things Change
Yaaaaaah Iril pergi
Duuuh Tomori pasti denger percakapan Panji-Iril tu.udah pasti dia tau klo ditolak Panji.
Awas aja kalo lo sampe terima tomori
#sambil ngacungin golok
Awas aja kalo lo sampe terima tomori
#sambil ngacungin golok