It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
yudah @Ndraa kita selingkuhan aja,, gw tetep ngejer mario
yudah @Ndraa kita selingkuhan aja,, gw tetep ngejer mario
lo gak cepet,, mario gw rebut loh,, apalagi hubungan gk jelas gitu,, taarufan tp juga blm taaruf kan,, lagian taaruf jg blm tentu nikah,, tendang @ArDewa,, hoaaam ngantuk,, tidur dulu biar gw bisa bangun pagi dan baca cerita updatenya,,
@Unprince @octavfelix @harya_kei @Adamx @balaka @nick_kevin @bianagustine @Tsunami @Tsu_no_YanYan @cute_inuyasha @d_cetya @Wita @lulu_75 @arifinselalusial @fian_gundah @animan @kiki_h_n @rulliarto @bianagustine @jamesx @ffirly69 @littlemark04 @Rika1006 @Akhira @earthymooned @myl @exomale @AgataDimas @pujakusuma_rudi @yo_sap89 @DoniPerdana @kaka_el @fauzhan @muffle @notas @diodo @DM_0607 @greensun2 @Adhika_vevo @3ll0 @LeoAprinata @uci @kristal_air @MajestyS @nawancio @4ndh0 @daramdhan_3oh3 @Vanilla_IceCream @TigerGirlz @Hehehehe200x @Widy_WNata92 @sonyarenz @RegieAllvano @AvoCadoBoy @Ndraa @arbiltoha @Sicilienne @Rifal_RMR @JimaeVian_Fujo @zeva_21 @ardavaa @RogerAlpha @sunset @Arie_Pratama @gatotrusman @ragahwijayah_ @Polonium_210 @Hehehehe200x @addaa @JengDianFebrian @rendra123 @SteveAnggara @keposeliro @abiDoANk @RenoF @hendra_bastian @obay @DanniBoy @05nov1991 @ArDewa
Let me know ya buat yg gk ingin kena seret. Danke
Sun, July 6th, Senior Year
03:10 a.m.
Aku membuka mataku pelan. Terbangun oleh seruan sahur dari Masjid terdekat. Kuusap kelopak mataku yang sedikit berat untuk diangkat. Bersamaan dengan itu, aku mengumpulkan segenap tenaga untuk bangkit dari kasur. Kasur yang entah mengapa begitu nyaman malam ini.
Kudapati Iril juga sudah terbangun, sudah membuka matanya. Tapi tidak beranjak dari tempatnya. Dia hanya diam menatapku penuh senyum.
Aku ingat tentang perjanjian berpacaran dengan Iril yang diperpanjang sampai hari ini. Dan entah bagaimana, aku tidak merasa keberatan. Bahkan aku sedikit mulai menikmatinya.
Momen bersama Iril memang menyenangkan, meski sering juga menyebalkan, tapi tetap manis untuk dikenang.
Kumiringkan tubuhku menghadap Iril. Dia masih saja tersenyum menatapku. Matanya tidak lepas dari wajahku. Tatapan itu tak seperti biasanya. Sorotannya tajam dan teduh bersamaan. Seolah berisi lautan kasih sayang yang dapat menghanyutkan.
Dan tiba-tiba, Iril mengecup keningku pelan. Begitu lembut. Dan hangat. Aku hanya terdiam. Menutup mata. Menikmati sensasi yang terasa sedikit berbeda entah darimana.
Iril menggeser kecupannya ke salah satu kelopak mataku. Lalu menggesernya lagi ke pucuk hidung. Bisa kurasakan wajahku yang memulai memanas. Terlebih ketika Iril melabuhkan kecupannya ke bibirku.
Iril mengecup bibirku lama. Cukup lama hingga membuatku kesulitan bernafas dan membuka rongga mulutku. Aku butuh udara.
Tapi Iril tak memberiku kesempatan. Dia justru melumat bibir bawahku. Membuat nafasku tersengal dan sedikit memburu.
Begitu pula dengan nafas Iril. Aku bisa merasakan hembusannya menerpa wajahku. Hembusan hangat. Dan sejuk.
Nafasnya terasa seperti papermint. Sama sepertiku. Kami memang berbagi mouthwash yang sama, juga pasta gigi yang sama. Dan entah kenapa, aroma nafas itu membuat sebuah rasa merasuk ke tubuhku. Tubuhku seolah bergetar. Jutaan kupu-kupu seolah beterbangan di area perutku.
Perlahan, Iril merengkuh pinggangku hingga tubuhku melekat erat dengan tubuhnya. Tangannya bergerak lembut mengusap punggungku. Terus bergerak hingga ke bagian kepala. Dia sedikit meremas rambutku. Mendorong wajahku lebih dekat dengan wajahnya.
Iril masih bermain dengan bibirku. Rongga mulutnya yang sedikit terbuka juga membuatku gila. Aku pun membalas ciumannya. Kulumat bibirnya dan kususupkan lidahku di antara kedua bibir basahnya.
Lidah Iril bertemu dengan lidahku. Saling bersentuhan dan berbagi saliva. Sesekali lidahnya menyentuh titik-titik tertentu. Membuat sebuah rasa geli yang menggetarkan tubuh. Aku pun memejamkan mata, menikmati sensasi manis dari setiap sentuhan dan kecupan Iril.
Tapi Iril tiba-tiba menarik ciumannya. Membuatku membuka mata. Namun, tetap kudapati Iril yang tersenyum manis memandangiku. Aku pun tersenyum menanggapinya. Dan dalam sekejap, Iril kembali mendaratkan kecupannya di bibirku.
Aku memejamkan mataku lagi. Menikmati kecupan Iril yang sekarang berpindah ke pipiku. Bergerak ke samping lalu ke daun telingaku. Pelan, dia menciumi kupingku. Dapat kudengar gemuruh dari nafasnya. Dan entah darimana datangnya rasa itu, tubuhku kembali bergetar.
Kemudian, Iril menggeser kecupannya ke bagian leher. Kecup demi kecup. Membuat sensasi gila yang menjalar ke seluruh tubuh. Iril sedikit menggigit kulit leherku. Sial! Bagaimana kalau dia menginggalkan jejak cupang di sana?
“Ril, jangan sampe ngebekas ya,” sedikit protesku.
Iril tak acuh menanggapi katak-kata itu. Dia justru semakin kuat menekan kecupannya di area leher.
“Bajunya dilepas ya, Beib,” ujar Iril sembari menarik kaosku ke atas, lalu membuangnya. Sejurus kemudian, Iril juga melepas bajunya. Jadilah kami berdua bertelanjang dada bersama.
Aku terdiam memandangi dada bidang Iril. Begitu pula dengan Iril. Pelan, Iril menarik tubuhku dan membaringkanku. Aku terlentang menghadap ke atas. Sedang Iril menindih tubuhku dari atas.
Kami saling berpandangan. Semburat senyum pun muncul memenuhi wajah. Dengan cepat, Iril kembali menciumku. Dan kali ini aku membalasnya. Kami saling melumat dan beradu. Semakin cepat dan cepat.
Iril melepaskan ciumannya lalu kembali mendaratkan kecupannya di area leherku. Aku mengangkat daguku memberinya ruang lebih. Kecupan Iril bergerak turun ke tengah dadaku. Lalu bergeser ke arah kanan, menyentuh ujung nipple. Nipple-ku pun dilumatnya.
Sensasi kejut seketika menyetrum tubuhku. Aku mengejang menerima sensasi itu. Namun, Iril tak memperdulikan itu. Dia terus melumat nipple-ku dengan sedikit mengigitnya pelan. Lalu sesekali dia menghisapnya kuat. Membuat rasa geli baru yang membuatku menegang.
Tangan Iril mulai memainkan nipple kiriku. Ujung jarinya memijit lembut, mebuat rasa baru yang menggairahkan. Tanpa sadar, aku meremas rambut belakang Iril.
“Duh, jangan ngejambak dong, Beib,” tukas Iril tiba-tiba.
Aku sedikit kaget. Langsung aku lepaskan remasan jariku dari rambut Iril. Iril berhenti sebentar. Lalu memindahkan bibirnya ke nipple yang kiri. Meninggalkan nipple kananku yang sudah basah. Rasa yang sama pun kembali muncul dari lumatan Iril. Membuatku semakin menegang.
Pelan, Iril menurunkan kecupannya ke area perutku. Rasanya lebih geli. Jutaan kupu-kupu yang bersarang di sana seolah beradu badan. Menggelitiki semua saraf tubuhku. Aku pun hanyut. Mendesah. Menikmati jutaan rasa yang memeluk tubuhku itu.
Kecupan itu terus bergerak turun hingga ke ujung atas celana pendekku. Melewati area pusar dan menyentuh milikku yang sudah menegang.
Tangan Iril sudah berlabuh di atas gundukan milikku. Mengusap pelan dibalik kain tipis celana.
"Aaaah..."
Desahan itu muncul begitu saja. Membuat Iril semakin kuat meremas milikku.
Remasan berganti usapan. Usapan berganti remasan. Mengirim impuls kejut yang menggairahkan.
Celanaku pun ditarik pelan ke bawah. Hingga akhirnya...
Kriiiing... Kriiiiing.... Kriiiing... Kriiiiing.... Kriiiing... Kriiiiing....
Aku dan Iril berhenti seketika. Bersamaan, kami menoleh ke arah datangnya suara itu. Alarm HP Iril berbunyi. Kami pun melirik ke arah layar waktu yang ditunjukkannya.
“Ya ampun! Bentar lagi IMSAK!!!!” Teriak Iril panik.
Iril segera beranjak bangun. Dia menarik lenganku dan mengangkat tubuhku untuk ikut bangun.
“Beib, buruan pake baju kamu,” ujar Iril sembari melembar bajuku. Dia pun mengambil baju miliknya lalu memakainya.
Aku hanya terdiam.
“Buruan, Beib. Kita cari makan di luar ya. Ke warteg,” tutur Iril cepat.
Masih terdiam.
“Kok malah bengong. Buruan dipake bajunya. Keburu imsak nih,” lanjut Iril.
Aku tetap diam. Entah kenapa aku merasa sangat kosong.
Seolah ada sesuatu yang hilang sebelum mencapai puncaknya.
“Beib, ayuk!” teriak Iril menyadarkanku.
Dengan cepat, Iril menarik tanganku. Dia memakaikan bajuku. Lalu membawaku keluar kamarnya. Dan kami pun berjalan berburu waktu, mengejar kesempatan sebelum waktu shubuh tiba.
“Pokoknya kita harus sahur. Biar pacaran nanti nggak lemes!” tegas Iril.
***
10:40 a.m.
Aku dan Iril memutuskan untuk mencari buku di Gramedia Margonda. Awalnya aku mengajak Iril untuk ke TM Bookstore di Detos saja, karena buku-buku di sana lebih murah. Tapi kata Iril, ada yang ingin dia lakukan di Gramed.
Kami sudah berada di lantai dua Gramed Margonda. Sembari melihat-lihat buku, Iril sesekali merangkulku dan berbisik-bisik nakal. Sialnya dia seolah sengaja mencari perhatian orang. Dia nggak sadar apa kalau dari tadi aku dan dia sudah jadi pusat perhatian, terus dilihatin orang karena baju yang aku pakai bermotif sama dengan bajunya.
Ya, aku dan Iril memakai kaos couple yang Iril belikan kemarin. Meski motifnya sama, harusnya tidak semencolok itu karena warnanya berbeda. Tapi tetap saja, terlebih karena Iril yang sebentar-sebentar merangkulku.
“Beib, tadi kamu belum puas ya?” bisik Iril tiba-tiba.
Aku tidak menjawab. Abaikan.
“Ih, kamu kok diem aja. Kamu malah keliatan mupeng, muka pengen, huhu,” sambung Iril.
Dengan cepat aku menyikut lengannya. Iril mengaduh dan tersenyum manja.
“Idih, sok manja, sok kesakitan. Biasa aja dong, Nying!” cibirku ke Iril.
“Udah atuh, bilang aja kalo belum puas,” sahut Iril terus menggodaku.
“.......” aku hanya diam.
“Bisa bahaya tauk kalo tadi pagi kita terusin. Bisa kebablasan. Gak sempat sahur. Bahkan kita perlu mandi wajib dulu yang kemungkinan gak kekejar karna azan duluan. Bisa gak puasa kita kalo kayak gitu.”
“......”
“Tapi kita bisa lanjutin ntar malam. Abis buka. Gimana?”
“Diem deh, Ril. Kamu berisik banget sih. Udah sana pergi!” bentakku ke Iril.
Iril hanya tersenyum lalu menjulurkan lidahnya. Dia pun berjalan menjauhiku. Mau kemana sih dia? Aku kok jadi nyesel ya bikin dia pergi?
Aku mengikuti Iril dari belakang. Dia tiba-tiba berhenti. Aku segera ngumpet mencari tempat bersembunyi sebelum Iril menoleh ke belakang. Dan benar, Iril menoleh ke belakang. Untungnya aku cepat bersembunyi.
Iril melanjutkan langkahnya. Aku terus membuntutinya. Hingga ia berhenti dan berdiri di depan dinding kaca. Menatap Jalanan Margonda yang ramai dari posisinya.
Dia berdiri cukup lama di sana. Hanya diam. Membuatku tak sabar menunggu. Aku penasaran apa sih yang dia lakukan di sana?
“Lagi ngapain, Ril?” tanyaku datar sembari mendekatinya.
Iril terlihat kaget lalu menoleh ke arahku. Iril menjawab, “Aku lagi bayangin kalo jadi Tania rasanya kayak apa.”
“Tania siapa?” tanyaku clue-less.
“Itu loh, Tania yang di novel-nya Tere Liye, Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin,” sahut Iril.
Aku langsung teringat dengan novel tersebut. Sebuah novel menyayat hati yang mengisahkan seorang gadis kecil yang mengais rejeki di jalanan Margonda. Dialah Tania, yang kemudian dipungut dan dibesarkan oleh seorang pria muda bernama Danar. Pria yang begitu baik hingga membuat Tania sukses dan jatuh hati padanya. Cinta Tania ke Danar saban hari kian tumbuh, begitu pula dengan Danar yang terus memperlakukan Tania seperti orang yang spesial, lebih dari sekedar adek ketemu gede.
Namun, Tania sadar diri, bahwa ia hanyalah anak jalanan yang tak pantas mendapatkan cinta malaikat penolongnya itu. Meski akhirnya mereka tahu bahwa mereka saling mencintai, tapi takdir tak menyatukan mereka. Danar menikah dengan wanita lain, yang justru wanita itu menjadikan Tania sebagai sahabat curhatnya. Tania pun bertemu dengan Danar setelah sekian lama, mereka membicarakan isi hati mereka dan menerima bahwa mereka memang tak akan bisa saling memiliki.
Dan di situlah, di tempat Iril berdiri, Tania menghabiskan waktunya untuk mengenang masa-masa indah dan gundah ketika bersama Danar. Meski Danar telah membawa Tania terombang-ambing bak daun yang terbawa oleh angin, Tania tak pernah membenci Danar. Mereka berpisah, meski cinta mereka saling menginginkan. Mereka berpisah justru ketika rasa cinta mereka semakin merekah. Kadang, cinta memang harus merelakan. Cinta yang tak harus saling memiliki. Ah, bisa jadi galau kalau mengingat-ingat isi cerita di novel itu.
“Daun yang jatuh tak pernah membenci angin. Dia membiarkan dirinya jatuh begitu saja. Tak melawan. Mengikhlaskan semuanya,” ujar Iril yang masih menatap ke luar, ke jalanan Margonda.
“......” aku hanya terdiam mendengar ujaran Iril itu.
Iril tak acuh dengan keberadaanku. Dia terus mengutip bagian dari novel tersebut, “Orang yang memendam perasaan seringkali terjebak oleh hatinya sendiri. Sibuk merangkai semua kejadian di sekitarnya untuk membenarkan hatinya berharap. Sibuk menghubungkan banyak hal agar hatinya senang menimbun mimpi. Sehingga suatu ketika dia tidak tahu lagi mana simpul yang nyata dan mana simpul yang dusta.”
“......” aku masih terdiam.
“Aku merasa seperti mereka. Entah Tania atau Danar. Ada seseorang yang aku sukai, tapi hanya bisa aku pendam. Ya, aku hanya bisa memendam perasaan itu. Namun, setiap kali aku berusaha membunuh setiap pucuk perasaan itu, justru pucuk baru bermunculan. Tumbuh satu langsung aku pangkas. Bersemi satu langsung kuinjak. Menyeruak satu langsung kucabut tanpa ampun. Aku tak pernah memberinya kesempatan. Namun, semakin aku berusaha, pucuk itu justru tumbuh semakin banyak, semakin berlipat. Membuatku semakin sulit untuk memendamnya.”
“.....” aku terpaku. Entah kenapa aku merasa Iril sangat serius mengatakan itu. Apa dia benar-benar sedang memendam perasaan? Dan kenapa aku berpikir kalau perasaan itu untukku? Mungkinkah? Iril serius?
“Beib?”
“Iya, Ril?”
“Gimana aktingku tadi? Udah dramatis belum? Udah mirip Tania belum?”
Aku terdiam. Sialan! Iril mengerjaiku. Dasar Unying! Huh, aku kira yang dia katakan itu serius. Sigh!
“Beib, geser yuk,” kata Iril sembari mengajakku berpindah tempat.
Bruuuuk..
Iril tiba-tiba menabrak seseorang hingga dia jatuh dan buku-buku yang dibawahnya berserakan di lantai. Dengan cepat Iril membantu memunguti buku-buku itu. Iril meminta maaf lalu tersenyum pada orang itu. Dan entah kenapa, aku merasa panas melihat adegan tersebut. Terlebih karena aku tahu bahwa orang itu adalah laki-laki. Dan dia lumayan tampan.
“Makasih, Kak. Perkenalkan, aku Bian. Kakak siapa namanya?” tanya lelaki itu yang ternyata bernama Bian. Cih! Namanya saja sudah terdengar ‘binan’. Pantas saja dia kecentilan.
“Gw yang harusnya minta maaf malah. Gw, Iril. Lo anak UI ya?” sahut Iril.
“Kok, Kak Iril tahu?” balas Bian.
“Tuh, lo pake kaos angkatan UI. Jadi lo angkatan 2012 ya?” ujar Iril sembari menunjuk baju Bian yang bermotif UI 2012. Ya, dia junior kami memang, wajar memanggil kami kakak. Tapi tunggu, dia kan belum tahu angkatan kami lebih tua, memangnya kami terlihat lebih tua darinya ya? Ah, memang dasar Bian yang modus kecentilan. Sok manis, sok manggil Iril kakak.
“Oh iya, ya, Kak. Hehe,” sahut Bian cengengesan.
“Tapi kok lo udah langsung manggila gw ‘kakak’? Emang lo yakin kalo gw lebih tua dari lo?” tanya Iril. Ah, akhirnya Iril sadar juga kalo nih bocah lagi modus.
“Yang pasti Bian masih muda sih kak. Lahiran 96. Masuk kemudaan dan aksel dua kali,” jawab Bian.
“Wih, masih kecil dong lo! Masih ABG gitu,” komentar Iril.
“Yes, I’m still teenager. But it doesn’t mean that we can not have any adult conversation, right?” rayu Bian. What?? Adult conversation? Anjis, centil banget sih nih bocah.
“Really? Are you trying to seduce me, right now?” timpa Iril.
“Hahaha. Becanda kali Kak. Habisnya Kak Iril ini keliatan ramah dan hangat banget. Bian jadi suka. Oh ya, by the way, Kak Iril UI juga? Jurusan apa? Angkatan berapa?” serbu Bian.
“Iya. Gw HI. Tapi udah lulus. Tinggal nunggu wisuda Agustus nanti. Lo jurusan apa?”
“Wah, HI ya? Berarti Kak Iril pinter banget dong. Makin keren aja nih kakaknya. Hehe. Kalo Bian jurusan Farmasi, Kak.”
“Ah biasa aja kok. HI overrated tauk. Lo juga pinter berarti. Farmasi kan susah. Kerjaannya bikin obat.”
“Hehe, iya kak. Banyak prkatikum dan ribet bikin laporannya. Apalagi kalo bikin obat, salah komposisi dikit harus ngulang, beratnya beda dikit juga harus ngulang. Capek banget deh.”
“Hahaha kalo capek istirahat atuh. Mau gw temenin?”
“Aih, Kak Iril bisa aja. Bian mau dong ditemenin sama Kak Iril. Hehe.”
“Huhu, Iril gitu loh. Eh btw, nanti lulusan Farmasi biasanya kerja dimana sih, Bi?”
Ya ampun. Kenapa Iril manggil Bian pake ‘Bi’ sih? Kan kesannya kayak Liebe/Lieby yang artinya ‘sayang’; itu kan panggilan becandaan yang Iril sering pake ke aku. Huh!
“Biasanya jadi apoteker, Kak. Kami bisa kerja di rumah sakit untuk membuat obat buat pasien, bisa juga di laboratorium perusahaan obat. Ada juga yang jadi pengawas obat-obatan sebelum dikeluarkan ke pasar. Apoteker juga dibutuhkan di Depkes dan BPOM terutama untuk mantau adanya penyalahgunaan obat dan makanan.”
“Wih, keren!”
“Iya, Kak. Pokoknya kalo punya pacar anak Farmasi, aman deh kalo sakit, selalu ada obatnya. Dan Kak Iril juga jangan khawatir karena kami gak cuma bisa ngobatin penyakit fisik, tapi kami juga bisa ngobatin sakit hati. Hehe.”
“Hahaha, lo bisa aja, Bi. Btw, gw makin kepo nih. Obat itu kan banyak jenisnya, apa anak farmasi harus bisa ngapalin semuanya?”
“Nggak, Kak. Obat yang dibuat tiap perusahaan memang beda-beda. Tapi kalo ngelihat komposisinya banyak yang sama. Jadi para apoteker gak perlu menghafal merek, tapi cukup komposisi yang ada di dalamnya. Terus tinggal ngelihat deh, apakah komposisi yang digunakan bisa menyembuhkan yang diderita pasien.”
“Wih, mantap!”
“Selain itu, Kak. Kami juga ahli loh ngelihat komposisi perasaan orang lain. Jadi kalo punya pacar anak farmasi, dijamin dia orangnya pengertian. Dijamin bisa jagain mood supaya terus bagus seharian. Hehe.”
“Ehem!” aku langsung menimbrung. Entah kenapa kupingku panas banget mendengar percakapan mereka. Banyak banget modusnya tuh Binan!
“Oh iya, sampe lupa. Kenalin nih, Panji,” tukas Iril sembari menarikku ke sampingnya.
“Oh, halo Kak Panji. Kenalin aku Bian,” ujarnya sembari mengulurkan tangan mengajak bersalaman.
Aku tidak menjawab dan langsung meraih jabatan tangannya. Dengan cepat aku melepasnya.
“Kak Panji ini temennya Kak Iril ya?” tanya Bian tiba-tiba. Buat apa coba nanya begitu?
“Bukan,” jawab Iril cepat.
“Sodara?” selidik Bian.
“Bukan juga,” sahut Iril.
“Terus siapanya Kak Iril?” tanya Bian.
“Pacar! Dia pacar gw. Manis kan?”
Anjis! Iril bego! Kenapa sesantai itu bilang aku pacar dia? Duh aku jadi malu nih. Tapi bagus deh. Biar tahu diri tuh Binan.
“Hahaha, Kak Iril bisa aja becandanya.” Bian malah tertawa. Sial, dia nggak percaya. Duh, rasanya aku mau ikut menekankan hubunganku dengan Iril, tapi gengsi.
“Hahaha, Iril gitu loh,” balas Iril.
“Oh ya, Kak. Bian kayaknya harus duluan deh. Hmmm boleh minta pin BB Kak Iril gak?”
“Ah, gw gak main BB, Bi.”
“Kalo gitu Bian minta nomor Kak Iril aja deh.”
Bian menyodorkan HP-nya ke Iril. Iril pun mengetik nomornya yang langsung di-save oleh Bian. Kenapa sih pake acara minta nomor Iril segala nih Binan. Buat apa coba?
“Oke, thanks, Kak. Bian duluan ya. Dada Kak Iril, Kak Panji.”
Bian pun berjalan meninggalkanku dan Iril. Akhirnya enyah juga tuh binan.
Iril tiba-tiba mengangkat HP-nya. Ada sebuah panggilan masuk. Dari Bian. What the f*ck??
“Halo, Bian... Iya... Lo lagi ngantri di kasir ya? .... apa? .... mau ngajak ketemuan nih... kapan? ... hmmm boleh deh .... hahaha.... oke oke .... siap .... sip hati-hati ya ... bye...”
Sial! Baru aja ketemu tapi udah sok asik banget tuh binan. Iril juga! Kenapa dia malah ngeladenin sih?
Aku berbisik ke Iril, “Ril, kamu kenapa sih sok asik begitu sama orang baru. Mana mau aja lagi dimodusin sama dia.”
“Aih kenapa emangnya? Ada yang salah?” tanyanya santai.
“Nggak sih. Tapi risih aja ngeliatnya,” dengusku.
“Wait, kamu cemburu ya, Beib?”
“Idih! Cemburu? Ge-er kamu, Nying!”
“Hahaha beneran nih gak cemburu? Aku telepon balik nih si Bian.”
“Terserah kamu deh.”
“Tuh kan, kamu cemburu, Beib. Tapi kok jadi makin manis ya?”
“Tauk ah! Bete nih.”
“Aduh, jangan bete dong, Beib. Hari masih panjang. Masa pacaran jadi bete gini, kan gak asik.”
“Kamu tuh, Ril, yang gak asik. Ngapain coba sok-sok nanya tentang farmasi?”
“Dih, aku mah lagi pengen banyak tahu soal dunia kesehatan. Termasuknya farmasi dan obat-obatan, Beib.”
“Buat apa coba? Kurang kerjaan!”
“Kan saingan aku dokter, Beib. Aku mah nggak mau kalah, Beib. Dikit-dikit harus ngerti lah soal dunia kesehatan. Biar bisa jagain pacar aku supaya tetep sehat.”
Aku terdiam. Sial! Aku kena serang.
Setelah puas berkeliling mencari buku, yang pada akhirnya tidak ada buku yang kami beli, aku dan Iril pun metusukan untuk pulang. Untuk apa? Untuk tidur siang, kata Iril.
“Kita kudu bobo siang, Beib. Biar ntar malam kita kuat begadang,” ujar Iril sesampainya kami di kosan.
“Kenapa emangnya? Ntar malem kan nggak ada match, Ril?”
“Kalo nonton bola mah bisa ditunda, bisa lihat hasilnya di twitter, atau nonton siaran ulangnya nanti. Kalo ntar malem, spesial buat kita berdua, Beib.”
Aku terdiam. Awas, ini jebakan!
“Eh, Beib. Kok Depok panas banget ya siang ini. Gila dah, global warming makin parah nih,” ujar Iril lagi serangan awal yang gagal.
“Hmm...” aku hanya menggumam berusaha tak acuh.
“Uh, jadi pengen buka baju deh kalo gini. Kamu jangan nafsu ya, Beib. Inget puasa,” lanjut Iril sembari membuka kaosnya dan melemparnya sembarang.
Aku tak menanggapi dan langsung meletakkan tas selempangku ke kursi. Berusaha tak melihat Iril yang sekarang shirtless.
“Eh, Beib, sini. Kita bobo yuk,” ajak Iril yang saat ini sudah rebahan di kasur. Dengan senyum mematikan, Iril menepuk-nepuk sisi kosong di sebelahnya.
Aku tidak mengikuti permintaannya, aku rebahan saja di karpet.
“Aih, Beib. Kok di situ sih tidurnya?” tanya Iril.
“Ntar makin gerah, Nying. Kan kata kamu siang ini lagi panas-panasnya,” jawabku membalikkan klaim awal Iril.
“Ah iya, ya. Gila dah, panas banget nih. Global warming keeps getting worse ya, Beib. Especially, because you’re here, it’s getting worse and worse,” sambung Iril yang ternyata mulai memutar serangannya.
Aku tidak menjawab. Aku sudah tahu ujungnya. Gombal!
“It’s your fault, Beib, that global warming is getting this freaking bad. Because you know? You’re so hot that I’m melting now. Kyaaaa..”
Ku lirik Iril dan dia pun terdiam. Jujur, aku menahan diri untuk nggak tersipu dengan gombalan Iril lagi. Dan kali ini berhasil.
“Yah, kok diem aja sih, Beib. Sial rayuanku makin nggak mempan aja nih,” gumam Iril.
“See? Jadi sekarang jangan gombal-gombal mulu. Kayak pacaran anak SMA tau nggak?” balasku.
“Yah, gapapa kali, Beib. Kalo nggak gombalin kamu, ntar aku gombalin yang lain loh. Kamu mau kalo aku gombalin Bian?”
Aku terdiam. Dengan tenang aku menjawab, “Silakan sana, gombalin siapapun yang kamu suka, Nying. Aku gak peduli.”
“Aih, beneran ya? Ntar jangan cemburu ya, Beib?”
“Ya, terserah deh.”
“Dih, sekarang aja udah mulai ngambek nih?”
“.......”
“Yaudah deh, bobo yuk. Biar ntar jam tiga bisa bangun. Kita nobar Belanda-Kosta Rika ya.”
“Iya, iya.”
“Ish, kok masih jutek gitu sih, Beib. Kalo kamu gitu, aku ntar mimpi buruk loh.”
“Yaudah yuk, bobo. Cepetan,” tutupku ramah. Gila, kalo aku biarin, ujung-ujungnya bakal ngegombal lagi nih si Iril. Bisa lama tidurnya kalau begini. Huft!
“Nah, gitu dong, Beib. Aku bisa mimpi buruk kalo kamu masih ngambek kayak tadi. Yudah sini, kelonan sama Ayang Iril...”
Sigh!
***
09:52 p.m.
“Beib, kamu marah lagi sih?” tanya Iril sembari mengejar langkah gontaiku.
“Nggak kok. Kenapa harus marah?” balasku ketus.
“Serius nih nggak marah?” kejar Iril.
“Nggak!” tegasku.
Jujur aku sangat marah. Betapa tidak, kalau sepanjang makan malam tadi Iril terus saja digangguin sama si Binan itu. Kenapa sih masih telepon-telepon Iril? Ganggu orang pacaran aja.
Tapi tunggu! Kenapa aku begitu kesal ya melihat Iril yang asik mengobrol dengan si Binan itu. Apa aku cemburu? Aih, ini kan cuma pacar-pacaran. Cuma untuk menebus kesalahanku ke Iril. Kenapa aku begitu terbawa suasana ya?
“Beib, kamu cemburu ya?” tanya Iril lagi.
“Idih, buat apa cemburu? Nggak penting,” sahutku.
“Kalo gak cemburu, jangan manyun gitu dong, Beib.”
“Tauk ah, Ril. Aku capek!”
“Sini deh aku pijitin biar capeknya hilang. Tapi ntar ya, kalo udah nyampe kamar. Biar aku bisa pijitin bagian kamu yang lainnya. Hehe.”
“.......”
“Tuh, kan. Kok bebeb aku diem aja sih? Makin manyun lagi.”
“.......”
“Ayo dong senyum.”
“.......”
“Ah, jelek ah kalo ngambek gitu. Ntar manisnya hilang loh.”
“.......”
Aku masih diam. Melanjutkan langkah cepatku. Namun Iril tiba-tiba tidak ada di sampingku. Dia berhenti di tengah jalan.
Aku ikut berhenti dan berbalik memandanginya yang tertinggal di belakang. Iril duduk berjongkok membelakangiku. Mau ngapain sih dia?
Aku berjalan mendekat ke arah Iril. Aku penasaran dengan apa yang sedang dia lakukan tapi aku gengsi untuk bertanya. Jadi, aku cari tahu sendiri saja.
“Hey, manis. Kamu lagi ngapain di sini?” ujar Iril yang ternyata sedang berbicara dengan seekor kucing. Kucing itu bertubuh sedang, berbulu oranye, dan berwajah sedikit bulat. Terbilang imut dan menggemaskan. Tapi yang bikin lebih gemas adalah si Iril yang dengan kurang kerjaannya mengajak kucing itu mengobrol.
“Manis, kok kamu diem aja sih? Kamu nggak mau ngobrol sama aku?” tukas Iril sembari mengelus-elus leher si kucing.
“Meooong,” tanggap si kucing.
“Nah, gitu dong. Aku kan nggak suka kalo didiemin.”
“Meeoong.”
“Duh, kamu manis banget sih. Kamu nyuri dari pacar aku ya?”
“Meeoong.”
“Ayolah ngaku, abisnya pacar aku jadi manyun begitu. Manisnya jadi ilang. Dan sekarang kamu yang jadi manis. Kamu nyuri dari dia kan?”
“Meeoong.”
“Ah, jangan gitu dong. Aku mah nggak mau negbiarin dia manyun terus. Aku kan sayang sama dia.”
“Meeoong.”
“Iya kan? Menurut kamu, aku sama dia serasi kan?”
“Meeoong.”
“Thanks. Terus gimana ya bikin pacar aku itu senyum lagi?”
“Meeoong.”
“Apa? Aku harus nyium dia?”
“......”
“Kok kamu diem sih?”
“Meeoong.”
“Hah? Kamu takut karena dilihatin sama pacar aku ya? Wah, kamu aja takut, apalagi aku. Pasti aku udah dipelototin sama dia sekarang.”
“Meeoong.”
“Iya aku sayang banget loh sama pacar aku itu. Dia orangnya baik banget, pinter, manis, soleh, perhatian, dan pengertian. Paling oke deh sedunia.”
“Meeoong.”
“Nggak boleh! Dia cuma boleh buat aku. Huhu.”
“Meeoong.”
“Apa? Kamu mau tahu siapa namanya?”
“Meeoong.”
“Mau tau aja atau mau tau banget nih?”
“Meeoong.”
“Yaudah deh, aku kasih tahu aja ke kamu. Tapi rahasia ya, cuma kamu aja yang boleh tahu.”
“Meeoong.”
“Iya, abisnya kata pacarku, pacarannya harus backstreet. Jadi harus rahasia.”
“Meeoong.”
“Hmmm kalo yang itu aku nggak bisa rahasiain. Aku bener-bener sayang sama dia.”
“Meeoong.”
“Iya, iya, aku bakal kasih tahu deh siapa nama pacarku itu. Kamu udah siap?”
“Meeoong.”
“Namanya Panji. Adrian Panji Adiwijaya.”
“Meeoong.”
“Namaku? Namaku Iril. Chairil Gibran.”
“Meeoong.”
“Kamu mau aku bilang itu?”
“Meeoong.”
“Okelah aku bakal bilang kalo gitu. Kamu udah siap buat dengerinnya?”
“Meeoong.”
“Oke denger baik-baik ya. Aku, Chairil Gibran, sayang banget sama pacar aku, Adrian Panji Adiwijaya.”
“Meeoong.”
“Apa? Pacar aku lagi ada di belakang aku? Kok kamu baru bilang sih?”
Iril segera bangkit dan berdiri menghadapku. Aku terdiam seketika. Semburat merah menghangatkan wajahku. Aku segera memalingkan wajahku, menghindari tatapan Iril. Ya, Tuhan, rasanya malu banget. Rasanya aku ingin menutupi seisi wajah dengan tangan, tapi justru bakal makin kelihatan kalau aku lagi malu.
Tiba-tiba Iril menarik pelan pipiku untuk menghadap ke arah wajahnya. Aku menurut saja.
“Beib, dengerin aku ya. Yang paling ngerusak suasana saat kita jalan adalah prasangka. Dari mana datangnya prasangka? Dari ketidakjelasan. Makanya aku mau bikin semuanya jelas sekarang. Bahwa apapun yang kamu lihat dan pikirin tentang aku, ingatlah kalo aku jelas sayang banget sama kamu,” ujar Iril.
Aku diam terpaku mendengar perkataan Iril. Sangat mantap. Sangat dewasa. Seolah bukan Iril yang biasanya aku kenal. Tapi Iril yang aku suka. Yang aku juga menyayanginya.
“Yaudah, Beib, balik yuk,” kata Iril membuyarkan lamunanku.
Iril tersenyum kepadaku. Aku pun tersenyum balik kepadanya. Sejurus kemudian Iril mengenggam tanganku. Kuat. Dan mantap. Iril menarikku untuk kembali berjalan pulang. Tapi sebelum aku ikut melangkahkan kakiku, Iril tiba-tiba berhenti, lalu berbalik dan memandangi si kucing.
“Hey, manis. Makasih ya buat sarannya. Sekarang pacar aku udah mau senyum. Aku dan pacar aku pamit dulu ya. Kami mau bobo. Kamu juga bobo ya. Udah malam. Dadaaa..”
Aku dan Iril kembali berjalan pulang hingga akhirnya tiba di kosan. Malam ini kami kembali tidur bersama. Tapi kali ini di kamarku supaya memberi suasana berbeda.
Setelah cuci kaki dan gosok gigi, aku dan Iril pun berduaan di kamar. Sedikit kikuk. Mungkin karena aku yang masih malu, mengingat tingkah gemas Iril yang mengajak kucing bicara. Ckckck ada-ada aja sih dia.
“Beib, kita nyanyi yuk,” ujar Iril tiba-tiba. Buset dah, nggak ada angin nggak ada topan, si Iril dengan random ngajak nyanyi.
“Hah nyanyi gimana, Nying?” tanyaku.
“Karokean gitu, Beib. Kita dubbing lagu dari laptop aja,” jawab Iril.
“Lagu apaan, Ril?”
“Lagu dari penyanyi favoritku, Beib. Coba kamu tebak!”
“Jason Mraz. I’m yours?”
“Hmm bukan yang I’m yours. Kalo itu mah udah jelas, I’m yours, you are mine! Hehe..”
“Ish, serius, Nying.”
“Yang biasa aku kasih denger ke kamu loh, beib. Yang bisa buat duet.”
“Ooh, yang duet bareng Colbie Caillat ya? Yang judulnya Lucky?”
“Iya, Beib. Kan cocok tuh buat duo. Aku jadi Jason-nya, kamu jadi Colbie-nya ya, Beib.”
“Anah! Kok aku yang jadi cewek, Nying?”
“Gapapa lah, kamu kan manis. Lebih manis dari semua cewek yang pernah aku temui. Huhu,”
“Dih, gombal mulu. Serius, Ril. Kasih aku alasan rasional atau aku gk mau ikut nyanyi.”
“Pas padus dulu kamu kan sopran, Beib.” (*Padus = paduan suara. Saat ospek, semua mahasiswa baru UI wajib mengikuti padus yang ujungnya akan ditampilkan pada acara wisuda. Sopran = Suara tinggi wanita)
“Ngasal banget kamu, Nying. Kok sopran sih? Tenor kali!” (*Tenor = suara tinggi pria)
“Hahaha. Iya aku juga tau kalo kamu tenor. Cuma pengen aja ngatain kamu sopran. Abis kamu gak kalah manisnya sih sama cewek-cewek sopran.”
“Ih, ogah ah. Masa aku dikatain mirip cewek. Lagian kamu juga kan tenor, Nying.”
“Aku mah dulu pilih tenor biar bisa satu grup sama kamu, Beib. Padahal aslinya aku mah bass.” (*Bass = suara rendah pria)
“Boong! Justru nada suara kamu bisa lebih tinggi dari aku, Ril. Kamu yang jadi Colbie aja deh ya.”
“Nggak mau, Beib. Aku lagi nggak mau narik suaraku tinggi-tinggi. Kamu yang jadi Colbie. Aku jadi Jason. TITIK!”
“Dasar Unying! Oke deh.. Terserah.”
Aku akhirnya mengalah dan menuruti Iril. Dengan cepat Iril menyalakan laptopku dan mencari folder musik. Awalnya di laptopku nggak ada tuh lagu-lagu Jason Mraz, tapi gegara Iril, sekarang folder itu malah dipenuhi sama lagu-lagu Jason. Sigh!
“Gimana, Beib. Udah siap?” tanya Iril sembari menarikku berdiri menghadapnya. Aku mengangguk.
Iril lalu memegang kedua tanganku dengan kedua tangannya. Mata kami saling menatap. Intro musik pun mulai terdengar.
Dep dep dep dep dep...
Iril mulai bernyanyi, “Do you hear me, I’m talking to you.. Across the water, across the deep blue ocean.. Under the open sky oh, my, baby, I’m trying...”
Sekarang giliranku, “Boy I hear you in my dreams.. I feel you wishper across the sea.. I keep you with me in my heart.. You make it easier when life gets hard...”
Kami berdua bernyanyi, “Lucky I’m in love with my best friend.. Lucky to have been where I have been.. Lucky to be coming home again.. Oooh... They don’t know how long it takes... Waiting for a love like this... Every time we say goodbye.. I wish we had one more kiss.. I’ll wait for you.. I’ll promise you.. I will.. Lucky I’m in love with my best friend.. Lucky to have been where I have been.. Lucky to be coming home again.. Lucky we’re in love in every way.. Lucky to have stayed where we have stayed... Lucky to be coming home someday..”
Iril, “And so I’m singing through the sea.. To an island where we’ll meet.. You’ll hear the music, feel the air.. I put a flower in your hair..”
Aku, “And through the breeze is through trees.. Move so pretty you’re all I see.. As the world keep spinning round.. You hold me right here right now..”
Aku dan Iril, “Lucky I’m in love with my best friend.. Lucky to have been where I have been.. Lucky to be coming home again.. Lucky we’re in love in every way.. Lucky to have stayed where we have stayed... Lucky to be coming home someday.. Oooh...”
Musik akhirnya berhenti. Aku dan Iril diam sejenak.
Pelan aku merasakan tangan Iril menyentuh lembut pipiku. Dia menarik wajahku ke arahnya, menghadap wajahnya. Pandangan kami saling bertemu. Aku tak bisa menghindarinya.
Wajah Iril semakin dekat. Mata kami saling menatap. Hembusan nafas kami saling merapat.
Aku pun memejamkan mataku. Menutup semua rasa malu yang masih memelukku.
Cup!
Sebuah kecupan mendarat di bibirku. Kecupan itu bertahan. Sepuluh detik. Tiga puluh detik. Satu menit. Dua menit. Dua menit tiga puluh detik. Ah, aku tak benar-benar bisa menghitungnya. Waktu seolah berhenti. Berhenti begitu lama.
Ya, Tuhan, lama sekali, kecupan itu masih saja berlabuh di bibirku.
Lembut, kecupan itu berubah menjadi lumatan manis. Sensasi yang sama yang aku rasakan tadi pagi kembali muncul. Aku mulai menggila, tak kuat untuk tidak membalas lumatan itu. Dan kami pun hanyut dalam lumatan bibir yang lama.
Bibir dan lidah kami saling memagut. Diiringi dengan berbagai rengkuhan pinggang dan usapan punggung.
Hanyut dalam ciuman yang kian memanas.
“Beib, ke kasur yuk,” ujar Iril yang aku baru sadar kalau dia sudah melepas ciumannya dari bibirku.
Aku terdiam. Berdiri mematung. Menyentuh bibirku pelan. Meraba jejak-jejak manis yang Iril tinggalkan. Kenapa rasanya seperti ini ya? Kenapa aku menjadi sangat sayang sama Iril? Perasaan macam apa ini? Apa aku jadi jatuh cinta dengannya?
Iril mengangkat daguku tiba-tiba. Dia tersenyum memandangiku. Tanpa sadar, aku juga ikut tersenyum membalasnya.
“Kita lanjutin di kasur aja yuk, Beib...”
***
Bersambung ke Chapter 19 : Because I Like The Way You Smile
*jambakRambutKeteknya @MarioBros
*lol
tadi malam post jam berapa?
*kucek2mata
*keluarinBelek
terus kapan lagi postnya??
*lupaJadwal
*nyengirSokImut