BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Sepenggal Cerita Di Balik Gulungan Kertas [TAMAT] [Daftar Chapter di P1]

1119120122124125278

Comments

  • sorry tripple post -..-
  • sorry tripple post -..-
  • dopost -_-"
  • main apaan @Ndraa ?? ikut dunk,, hehe
  • Kita rundingan dulu ya, kalo boleh yg extreme mainnya @AgataDimas *eh
  • @Ndraa ayuklah gw bawa silet nih,,
  • @Ndraa @AgataDimas biar gk oot, gw bentar lg update chap 17.3 :)
  • Iril cium aku donh :-* :))
  • akhirnya panji sama iril jadian, senangnyaa
  • -- Chapter 17.3 : Before Mid Night --


    Sat, July 5th, Senior Year

    08:01 p.m.

    Aku dan Iril tengah bersiap untuk keluar mencari makan. Kami baru saja sholat isha dan terawih berdua di kamar kosan. Takut kelamaan jika terawih di Masjid, sehingga waktu untuk pacaran menjadi lebih sedikit katanya. Terlebih jika semakin malam, makin banyak tempat makan yang tutup.

    Kami berdua memang belum makan berat sejak berbuka, hanya mengganjal perut dengan takjil seadanya. Karena kami mau khusyuk pacarannya jadi tak apalah bikin jamaah sendiri di kamar biar waktu di luar lebih panjang. Demi pacaran, kata Iril. Huft!

    “Beib, kita mau cari makan di mana nih?” tanya Iril sembari menggandeng tanganku.

    “Ke Ranjang 69 aja yuk, Ril. Aku lagi pengen makan kari nih,” jawabku.

    “Ah, gak mau ah. Aku kan kurang suka makanan Jepang, Beib,” sahut Iril.

    “Tapi aku lagi beneran pengen kari nih, Nying.”

    “Ke warkop aja dah. Cari mie rebus kari ayam, Beib.”

    “Payah. Aku kan pengennya makan di Ranjang 69, Nying.”

    “Kamu kenapa pengen banget sih, Beib? Kamu lagi ngidam ya? Belum juga aku apa-apain, masa uduh bunting duluan. Huhu.”

    “Huh! Sial! Terus kemana dong? Cari tempat cozy susah, Nying, banyak yang penuh pasti. Ranjang 69 aja ya.”

    “Duh, bebeb aku yang paling manis sedunia. Kamu kenapa sih pengen banget makan di Ranjang 69? Kamu lagi pengen dibikin basah-basahan? Mau dibikin gelisah, mendesah-desah, menggelinjang, nggak kebayang? Kita nggak usah keluar kalo gitu, kita main di kamar aja. Hahahay.”

    Dengan cepat aku menginjak kaki Iril. Dia mengaduh seketika.

    “Jangan vulgar, I-ril. Bulan puasa woy, jaga pembicaraan.”

    “Hehe, ampun, Beib. Jangan galak-galak atuh.”

    “Yudah, kita makan dimana nih? Ke Takarajima aja yuk, Ril.”

    “Ogah ah. Kamu kan tauk kalo aku gak suka sushi, Beib. Ih, kamu mah nyarinya yang jepang-jepangan terus.”

    “Yudah, terus kita kemana, Nying?”

    “Ke sebelahnya Takarajima aja. Mie Ayam Fajar. Lagi pengen mie ayam nih, Beib.”

    “Hmmm not bad. Yudah, yuk.”

    Aku dan Iril berjalan menyusuri tepi jalan Margonda. Aku agak kesulitan mengatur langkah, karena Iril yang jalannya begitu mepet ke badanku. Kadang, aku sampai mau terjatuh. Hingga Iril sadar, tapi bukannya jaga jarak, tapi malah merangkulku. Jeez.

    “Yah, penuh nih, Beib. Pasti ngantri deh,” ujar Iril ketika kami mendapati Mie Ayam Fajar yang dipenuhi pengunjung.

    “Yudah cari yang lain kalo gitu,” sahutku.

    “Hmmm kita ke Mie Ayam Berkat aja yuk,” saran Iril.

    “Itu yang di seberang jalan yang deket kober kan, Nying?” tanyaku.

    “Iya. Yuk!”

    Aku dan Iril pun menyeberang jalan Margonda yang tidak terlalu ramai. Meski begitu, Iril tetap menggandeng tanganku, seolah aku anak kecil yang baru belajar menyeberang.
    Na'as adalah begitu sampai di Mie Ayam Berkat, tempat yang dituju sudah tutup.

    “Apa kita ke WarPas aja, Beib? Eh, tapi bakal penuh juga sih. Kemarin aja bukber di situ ngantri parah. Duh kemana ya?” cerosos Iril bingung.

    Aku mediamkannya. Selama tiga puluh menit, kami lontang-lantung di jalanan Margonda untuk mencari makan. Sumpah, rempong banget. Ini adalah acara cari tempat makan terempong sedunia. Lebay!

    “Aku desperate nih, Beib. Kita ke warteg Moro Senang aja ya. deket kok dari gang masuk kober,” keluh Iril.

    “Yudah terserah deh. Yang penting cepetan. Aku udah nahan laper dari tadi,” tukasku.

    Aku dan Iril pun akhirnya memesan makanan di warteg yang menu-menunya didominasi oleh ayam. Oke, sebenarnya Moro Seneng ini buka warteg, karena semua makanannya real time cooking, tapi memang tampilannya yang lumayan mirip. Aku pun memesan ayam penyet, sedang Iril memesan ayam bakar madu. Dengan dua jus buah, aku jus mangga, dan Iril jus apel. Dan biar romantis, Iril memesan segelas jus sirsak untuk berdua. Romantis dari mananya coba?

    Sembari menunggu pesanan, yang lumayan lama karena warteg yang ramai, Iril sibuk memandangiku. Apasih yang dia lihatin. Sumpah, aku jadi salah tingkah.

    “Udah, Nying. Kamu malah ngeliatin aku terus,” dengusku.

    “Buat appetizer, Beib,” sahut Iril asal.

    “Idih, mulai lagi nih.”

    “Beib, jangan duduk di situ deh. Di sini aja deket aku.”

    “Kenapa emang, Ril?”

    “Kalo di situ nanti bisa dirubungin semut. Kamu manis banget soalnya. Tuh lihat, semutnya udah mulai dateng.”

    Sigh! Aku menghela nafas panjang. Memalingkan wajahku ke arah lain, menutupi semu merah yang entah datang dari mana.

    Iril, sialan! Dia makin bikin aku salah tingkah! Aku pun melempar pandanganku ke segala arah. Tidak ada yang menarik untuk diamati. Duh, mati gaya banget nih. I'm barely staying cool.

    Tapi untungnya ada sebuah drama yang terjadi tiba-tiba. Sepasang kekasih bertengkar meributkan sesuatu. Sangat mencolok. Bukan hanya karena suara mereka yang keras tetapi juga pakaian mereka yang alay. Ya, sepertinya mereka pasangan alay. Aku dan Iril pun mau tidak mau jadi memperhatikan drama mereka itu.

    “Yang, kamu kok mau sih jalan sama dia?” tanya Si Cowok setengah berteriak.

    “Memangnya kenapa? Dia kan anak perlap, wajarlah bantuin aku angkat-angkat barang,” jawab SI Cewek tak kalah tinggi suaranya.

    “Kamu nggak tahu ya kalo dia itu modus ke kamu? Seluruh kampus juga tahu kalo dia lagi ngincer kamu!” teriak Si Cowok.

    “Jangan lebay deh, Yang. Kamu harusnya malu karena bukan kamu yang bantuin aku. Aku capek jadi anak acara, tapi gak ada yang inisiatif bantu. Kamu kemana?” balas Si Cewek.

    “Kalo kamu bilang, aku pasti bantuin, Yang. Tapi intinya aku nggak suka ngeliat kamu jalan sama dia! Aku tahu kok kalo dia itu punya niat jahat sama kamu,” timpa Si Cowok.

    “Kamu jangan berpikir picik begitu dong sama temen aku. Kamu tahu apa?” sela Si Cewek.

    “Biarin! Biar cuma aku sama Tuhan yang tahu!” bentak Si Cowok kesal.

    “Kok kamu jadi sensi begini sih?” lanjut Si Cewek.

    Tapi Si Cowok hanya diam. Dia mengabaikan si cewek dan membuat si cewek tersebut jadi merasa bersalah.

    “Yang, kok kamu jadi marah beneran. Jangan ngambek dong. Jangan diemin aku,” ujar Si Cewek.

    “.......” Si Cowok tetap diam.

    “Yang, ngomong sesuatu dong, jangan ngambek,” kejar Si Cewek.

    “.......” Si Cowok tetap bergeming.

    “Tauk ah. Kalo kamu ngambek, aku juga ikut ngambek!” ancam Si Cewek.

    Menit berikutnya giliran si Cewek yang ngambek. Dia hanya diam dan memasang wajah kesal. Hal itu membuat si cowok yang sebelumnya ngambek merasa bersalah.

    “Duh, jangan ngambek dong, Yang,” bujuk Si Cowok.

    “.......” Si Cewek hanya diam.

    “Ayolah, jangan marah. Aku minta maaf deh,” sambung Si Cowok.

    “.......” Si Cewek tidak menanggapi.

    “Jangan marah dong. Nih, lihat deh instagram aku. Aku ada foto lucu loh,” bujuk Si Cowok.

    “Apa!! Kamu punya instagram? Kok kamu nggak bilang-bilang?” Si Cewek justru semakin marah.

    “Ah, aku kira kamu udah tahu, Yang,” bela Si Cowok.

    “Kamu jahat tau gak! Dulu kamu bikin twitter juga gak bilang-bilang ke aku,” bentak Si Cewek.

    “Kenapa aku harus bilang? Kamu juga main foursquare dan path gak pernah bilang-bilang ke aku!” balas Si Cowok.

    “Pokoknya kamu jahat!!” maki Si Cewek.

    Drama itu pun harus terhenti karena pihak warteg yang akhirnya melerai alias mengusir mereka pergi. Jelas sekali karena mereka sangat mengganggu pengunjung warteg lainnya. Adapun aku tersenyum dan Iril terkekeh menertawai mereka.

    “Anjir, kocak banget dah mereka. Mana pakaian si cewek begitu banget lagi. Baju kuning, rok ijo, ikat pinggang merah, blazernya ungu. Gila! Fashion Crime banget ya Beib,” komentar Iril tiba-tiba. (*Fashion Crime = memakai pakaian yang tidak cocok alias terlihat konyol dan membuat mata tidak nyaman jika melihatnya lol)

    “Hush! Jangan komentar sembarangan, Nying,” sahutku cepat.

    “Hahaha, iya iya. Betewe, kita mau bikin drama kek gitu juga nggak, Beib?” ujar Iril.

    “Buat apa? Pacaran cuma sehari, nggak ada waktu buat berantem,” sahutku.

    Belum sempat Iril merespon, pesanan pun akhirnya tiba. Dengan cepat aku dan Iril menyambut makanan itu dan melahapnya. Tapi tiba-tiba Iril menghentikanku. Ada ritual yang terlewat katanya.

    “Apaan, Ril?” tanyaku.

    “Kita belum minum segelas berdua, Beib. Kamu ambilin dua sedotan itu dong,” pinta Iril yang dengan malas harus aku turuti.

    Gila! Aku dan Iril menyedot Jus Sirsak bersamaan. Mau tidak mau mata kami saling pandang. Sial! Aku jadi salah tingkah.

    Selesai makan, kami duduk-duduk santai sebentar untuk menurunkan isi perut. Rasanya begah karena kekenyangan. Sangat tidak direkomendasikan buka puasa dengan makan berat yang dilahap seketika. Jadinya perut kaget dan terasa sangat penuh.

    Dreet..

    Sebuah notifikasi Whatsapp masuk. Aku langsung membukanya. Dari Iril. Jeez. Padahal orangnya ada di depanku.

    Iril : " hey hey ”

    Panji: “ knp lagi sih? Tinggal ngomong, repot bgt pake wasapan begini ”

    Iril : “ duh, kok sewot sih beb ”

    Panji: “ iyalah, orang kita adep2an gini knp masih wasapan? ”

    Iril : “ ninggalin jejak beb, biar ada kenang2annya kalo kita pernah pacaran, huhu ”

    Panji: “ zzz ”

    Iril : “ beb, tau gak knp malam ini gelap gak ada bulan? ”

    Panji: “ masih awal puasa, nying, bulannya belum penuh, jadi gk keliatan ”

    Iril : “ aih, bukan itu beb ”

    Panji: “ ah aku tahu, km pasti mau ngegombal, mau bilang kalo bulannya udah pindah ke mata aku kan? ”

    Iril : “ widih, jago nih bisa nebak ”

    Panji: “ iyalah #gombal #gak #akan #mempan #lagi ”

    Iril : “ yaaaah  ”

    Panji: “ :p

    Iril : “ beb, nyanyi dong ”

    Panji: “ ogah ah, bisa dikira pengamen kalo nyanyi di sini ”

    Iril : “ yudah, nyanyi di wasap ini aja ”

    Panji: “ lagu apa nih? ”

    Iril : “ bebas deh ”

    Panji: “ #mikir ”

    Iril : “ cepetan atuh ”

    Panji: “ #sing #ambilkanbulanbu ”

    Iril : “ ih, kok lagu itu sih? ”

    Panji: “ knp emang? gk suka? #mampus ”

    Iril : “ kalo lagu itu mah km gak perlu repot2 minta ibu km buat ngambilin bulan, biar aku aja yg ngambilin buat km, huhu ”
    Panji: “ jeez, gk perlu repot2 ril, bulannya kan udah pindah ke mata aku ”

    Iril : “ aih, sial, km jadi jago nih, gak mempan lagi sama gombalanku ”

    Panji: “ iyalah #kedipinmata ”

    Iril : “ duh, jangan ngedipin mata beb, ntar bulannya jatoh, lol ”

    Panji: “ gpp, bulannya jatohin km, biar mampus! ”

    Iril : “ yah, daripada bulan, mending km yang jatoh ke badanku aja gmn?”

    Panji: “ omes! ”

    Iril : “ *hemuh *hemuh *hemuh ”

    Panji: “ hueeek ”

    Iril: “ :v ”

    Panji: “ udahan yuk, balik ”

    Iril : “ Tunggu dulu, beb ”

    Panji: “ apalagi? ”

    Iril : “ desert-nya belum ”

    Panji: “ km mau pesen lg? masih kuat tuh perut? ”

    Iril : “ ih, desert yg ini mah gak pernah bikin kenyang, padahal manis bgt sampe bikin diabetes meletus ”

    Panji: “ ??? ”

    Iril : “ desert-nya kan km beb, aku belum puas2 nih ngeliatin km ”

    Panji : “ gombal! ”

    Iril : “ tuh kan, km makin manis aja ”

    Panji : “ hueek ”

    Iril : “ hu eeke sayang bgt sama pacar eke ”

    Panji : “ ciban! ”

    Iril : “ ci, ban-tuin aku bikin pacar aku senyum dong ”

    Panji: “ hey, stop it! ”

    Iril : “ i can’t stop loving you, beb ”

    Panji : “ geli banget lo! ”

    Iril : “ hah? apa? gigolo? ”

    Panji : “ bukan, tp gremo! ”

    Iril : “ gremo = grepein monyet *apasih ”

    Panji: “ dasar iril monyet ”

    Iril : “ u-a-ak u-a-ak *sambil gelantungan di pohon ”

    Panji: “ Dasar MONYET !!! ”

    Iril tiba-tiba bangkit dari kursinya. Dia berjalan ke arah meja kasir lalu mengambil sebuah pisang.

    “Beb, bukain dong,” pinta Iril sembari menyodorkan pisang itu ke arahku.

    “Ih, buka sendiri lah. Buat apaan coba pisang begini pake minta bukain?” sahutku.

    “Kan katamu aku monyet. U-a-ak u-a-ak!” balas Iril.

    “Yudah sini,” aku langsung menyambar pisang itu lalu ngelupasin kulitnya.

    “Nah gitu dong. Bebeb aku baik banget lah. Jadi makin sayang kalo gitu,” ujar Iril.

    “......” Aku hanya diam.

    “Kamu pinter banget sih, Beib, bukain kulit pisangnya,” ujar Iril.

    “......” Aku tak mau menanggapi.

    “Kamu mau gak, ntar bukain pisang aku juga?”

    “What the---”

    “Yudah, ntar aku yang bukain sendiri, tapi kamu yang makan ya, Beib.”

    “Ril?”

    “Iya, beib.”

    “Nih pisang kamu!”

    Aku melempar pisang yang sudah terkelupas ke arah Iril. Tapi Iril berhasil menangkapnya.

    “Duh, Beib. Kalo mau lempar-lemparan pisang jangan di sini ya,” goda Iril.

    Sial! Sial!

    Udah ah, aku nyerah.

    Tanpa basa-basi aku segera membujuk Iril untuk pulang. Kami pun akhirnya beranjak dari Moro Seneng dan bergegas berjalan ke kosan. Tapi lebay-nya, Iril mengajakku lewat jalan memutar. Supaya lebih lama berduaan katanya. Lagi –lagi aku tak bisa menolak selain menurutinya.

    “Beib, kayaknya kita nyasar deh,” kata Iril sembari celingukan memperhatikan sekeliling gangkecil yang kami lewati.

    “Nggak kok. Aku pernah lewat sini, Ril,” sahutku.

    “Kamu yakin, Beib?” tanya Iril.

    “Udah tenang aja,” hiburku.

    “Iya deh kalo gitu,” timpa Iril.

    “Yuk, lebih cepet lagi jalannya,” desakku.

    “Eh, Beib. Biasanya nyasar itu kan sial ya. Tapi aku malah beruntung karena nyasarnya ke hati kamu,” goda Iril tiba-tiba.

    “......” aku hanya diam tak acuh.

    “Tapi ini tempat kok serem ya. Bikin aku jadi merinding,” gumam Iril.

    “Salah kamu sendiri kenapa ngajak lewat jalan memutar,” gerutuku.

    “Yudah, kita ambil jalan balik yang tadi aja, ya,” ajak Iril sembari menarik lenganku.

    “Nggak ah. Udah telanjur jauh nih,” tolakku.

    “Ntar kalo ketemu setan gimana, Beib?”

    “Ini bulan puasa, Nying. Setan-setan lagi pada diiket biar nggak gangguin manusia.”

    “Iya, sih, tapi kan tetep aja serem, Beib.”

    “Yudah kamu maunya gimana deh?”

    “Kita balik ke jalan tadi aja, yuk.”

    “Nggak ah. Capek!”

    Iril hanya terdiam dan memasang muka memelas. Duh, sepertinya dia mulai ketakutan.

    “Udah, yuk. Lanjut aja jalannya,” seruku ke Iril.

    Aku pun berjalan bergandengan dengan Iril. Lebih tepatnya Iril yang menggamit lenganku kuat karena ketakutan. Sumpah nih orang kenapa banci banget sih sama setan.

    Deg!

    Tiba-tiba langkah kami terhenti. Ada sebuah bayangan yang muncul lalu menghilang.

    “Apa itu!” teriak Iril kaget.

    Aku hanya diam. Dalam sekejap, aku merasa merinding.

    “Nji, jangan nengok ke kiri,” gumam Iril.

    Aku bukannya menurut malah jadi penasaran. Dengan cepat aku menoleh ke arah kiri.

    Deg!

    Sebuah kuburan!

    “Kok ada kuburan sih di situ?” ujarku berusaha santai.

    “Nji, aku baru inget kalau di sini tempatnya Sumanto ngubur salah satu korban mutilasinya. Katanya arwah korban masih penasaran dan menghantui daerah sini,” jelas Iril setengah berbisik.

    “Anjiss, jadi hantu homo dong tuh arwah!” alihku.

    Iril hanya diam tak berkomentar. Aku menarik lengannya dan memaksanya melangkah. Aku dan Iril pun berjalan dengan tempo yang semakin cepat. Jalanan gang semakin gelap dan sepi. Benar-benar menyeramkan.

    “Apa itu!” teriak Iril, membuatku menghentikan langkahku.

    Aku melihat ke depan. Ada sebuah bayangan berjalan pelan. Bukan, bukan sebuah. Tapi dua buah. Apa itu?

    Dua bayangan itu semakin mendekat. Terdengar alunan sebuah lagu yang ikut mendekat bersama bayangan itu. Lagunya terdengar semakin jelas. Begitu pula dua bayangan itu.

    Tak bisa kuhindari, badanku merinding. Hawa dingin terasa tak ramah membuatku menggigil. Begitu pula Iril yang memeluk lenganku erat.

    Tapi tanpa berkompromi, bayangan itu terus mendekat. Hingga aku tak bisa mencari cara lain selain memejamkan mataku. Ya, aku memejamkan mataku. Membiarkan pemilik bayangan itu lewat.

    Apa bayangan itu sudah lewat?

    Belum! Lagunya justru terdengar semakin jelas.

    “Hey ciiin, ngapain kalian peluk-pelukan begitu?”
    Hah? Dengan cepat aku membuka mata. Dan ternyata dua bayangan itu adalah duo ciban! Mumun Sandiwara dan Celana Gomez!

    Ya Tuhan. Aku kira hantu!

    Aku menyikut lengan Iril. “Ril, buka mata kamu, Ril.” Iril langsung membuka matanya.

    “For God’s sake! Gw kira hantu!” teriak Iril lega.

    Aku dan Iril melepaskan pegangan tangan kami. Kami membuang napas lega.

    “Biasa, boo. Pasti mereka lagi pecongan. Duh, ey jadi pengen cepet-cepet pulang nemuin laki ey kalo begini,” ujar Mas Celana Gomez.

    “Ih, heran deutse. Bulan puasa begindang masih aja ngewong,” timpa Mas Mumun Sandiwara.

    “Heh! Gw juga heran keleus, kenapa bulan puasa begini makhluk jadi-jadian kayak kalian masih gentayangan. Kalian gk takut kena tangkep FPI?” umpat Iril kesal.

    “Mau dong ditangkep. Biar ey ajak orgy aja tuh lekong-lekong yang nangkepin ey,” gumam Mas Celana Gomez.

    “Kalian abis dari mana sih?” tanyaku ke duo ciban.

    “Biasa ciin. Abis dines. Meski puasa, kerjaan tetep lanjuut,” sahut Mas Mumun.

    “Oooh. Emang laku kalo puasa-puasa begini?” tanya Iril.

    “Ye katrok ye. Justru puasa begini, banyak om-om kelaperan yang nyari kucing en kelelawar kayak ey. Maklum lah mereka sutra nahan-nahan seharian. Jadi makin laris deutse,” jelas Mas Celana Gomez.

    “Ember! Eh udah yuk ciin, kita pulang. Katanya kamyu udah ditunggingin sama lakimyu. Eike ikut nimbrung bolah ya,” timpa Mas Mumun.

    “Tinta parabola! Kalo ye berani dekte-dekte-in laki ey, ye bakal ey kirim ke neraka bintil jahanam!” sahut Mas Celana Gomez.

    “Ampyuuun, eike kan cuma bucanda, ciin,” bela Mas Mumun.

    “Sssst, jangan pada berantem di sini. Ntar bisa ketempelan setan loh. Kan di sini angker,” sela Iril.

    “Ye, Ey malah pengen ketempelan setong sini, boo. Terakhir tuh setan nempelin ey, ey malah jadi kesetanan di ranjang. Laki ey makin suka,” ucap Mas Celana Gomez.

    “Ember ciin. Setan disindang mah homo, doyan ngewe. Ih, eike juga mawar sekali-kali kena tempel tuh setan. Tapi yang kena selalu si kelelawar ini,” kata Mas Mumun sembari melirik temannya itu.

    “Duh, pesona ey sampe ke alam baka kali ya, boo. Bahkan makhlus halus aja sampe nempel sama ey,” sahut Mas Celana Gomez.

    “Alah kalo pesonamyu oke, kenapa lakimyu masih deketin eike?” cibir Mas Mumun.

    “Yeeee, itu ye yang make dukalara sejagat raya,” balas Mas Celana Gomez.

    Dan perang bintil kesekian pun terjadi. Mereka saling cerca, jambak, dan joged bareng. Huft!

    “Nji, kita jalan lagi yuk. Gak ada selesainya nih kalo sama mereka. Bisa-bisa kita ikutan kena razia kalo lama-lama sama mereka,” pinta Iril.

    “Yudah, yuk. Gak usah pamitan ya. Kita langsung cau,” sahutku ke Iril.

    Dengan cepat aku dan Iril meninggalkan duo ciban itu. Tak lama kemudian, kami sampai di ujung gang dan akhirnya keluar ke Jalan Margonda. Haaaah, kalo di sini udah rame. Tak perlu cemas.

    Sesampainya di kosan, aku dan Iril langsung cuci kaki dan gosok gigi. Setelah selesai, Iril langsung menarikku ke kamarnya.

    “Sekarang kita mau ngapain, Ril?” tanyaku, mulai gugup.

    “Kita basah-basahan ala Ranjang 69 yuk, Beib,” jawab Iril asal.

    “Woy!! Bulan puasa, Nying! Jangan aneh-aneh!” umpatku seraya menoyor jidat Iril.

    “Kayaknya kamu yang mikirnya aneh-aneh deh, Beib. Huhu. Ternyata Panji aku pikirannya kayak gitu ya,” ujar Iril sembari bersiul-siul dan melempar tubuhnya ke kasur.

    “Damn!” teriakku kesal.

    Setelah mematikan lampu kamar, aku pun bergabung dengan Iril di kasurnya yang begitu sempit untuk dua orang. Mau tak mau, badan kami saling bersentuhan. Aku bergerak ke sana kemari membetulkan posisi tubuh. Tapi tetap terasa kurang nyaman.

    “Kalo begini nyaman gak, Beib?” tanya Iril sembari melingkarkan tangannya ke bawah kepalaku. Sekarang aku berbantalkan lengan Iril.

    Aku tidak menjawab. Hanya tersenyum manis.

    “Beib. Kamu ingat nggak pelajaran di mata kuliah pengantar ilmu politik dulu? Atau mata kuliah apa gitu, aku agak lupa. Pokoknya yang bahas tentang hubungan pemerintah dan rakyatnya,” ujar Iril random.

    “Iya aku juga agak lupa matkulnya apa. Kenapa memangnya?” sahutku.

    “Kalo dipikir-pikir, hubungan kita kayak Pemerintah dan Rakyat di negara maju yang miskin sumber daya alam nggak sih, Beib? Kayak US, UK, Ausie, Singapur, dan lainnya?” lanjut Iril.

    “Kenapa bisa kayak gitu, Ril?”

    “Aku agak susah jelasinnya. Coba, Beib, kamu jelasin ke aku dulu bedanya partisipasi rakyat di negara yang maju tapi miskin sumber daya alam dengan di negara berkembang yang kaya akan sumber daya alam.”

    “Di negara berkembang yang kaya akan sumber daya alam alias SDA, partisipasi rakyatnya umumnya cenderung lemah. Karena penghasilan utama negara diperoleh dari kekayaan alam, dan bukan dari pajak rakyatnya. Negara sudah merasa cukup dan bahkan berlebih menggali kekayaan dari alamnya sehingga nggak terlalu butuh pajak dari rakyatnya. Rakyat pun merasa tidak terbebani oleh pemerintah sehingga mereka cenderung pasif dalam menagih pelayanan publik. Toh mikirnya pemerintah nggak ngambil duit rakyatnya kan? Jadi rakyat nggak ambil pusing itu uang dari kekayaan alam mereka mau dialokasiin buat apa.”

    “Nah, setuju, Beib. Terus bedanya sama negara yang maju tapi miskin SDA gimana?”

    “Kalo di negara yang miskin SDA, penghasilan utama negara diambil dari pungutan pajak rakyatnya, Ril. Semakin tinggi pungutan pajak maka semakin tinggi kualitas dan kuantitas pelayanan publiknya. Pasalnya, rakyat yang merasa diambil uangnya oleh negara, punya kepentingan lebih untuk mengawasi bagaimana uang mereka dialokasikan oleh pemerintah. Sehingga rakyat akan cenderung aktif dalam menagih pelayanan publik yang baik.”

    “Itu artinya social contract berjalan dengan baik ya, Beib?” (*Social contract/ kontrak sosial = trade off antara rakyat dan pemerintah dimana rakyat menyerahkan sebagian haknya ke negara [misal dalam bentuk pajak dan tunduk kepada hukum] sebagai ganti pemenuhan hak yang lebih besar [misal hak atas pelayanan publik yang baik, akses kepada fasilitas pendidikan dan kesehatan, perlindungan dari kejahatan, kebebasan mengeluarkan pendapat dll] yang harus dipenuhi oleh pemerintah)

    “Iya, Ril. Pelaksanaan kontrak sosial di negara maju yang miskin SDA umumnya lebih baik daripada di negara kaya SDA.”

    “Bahkan lebih parah nggak sih, Beib? Kasus di negara yang kaya SDA, biasanya pemerintahnya jadi opresif, otoriter, dan bahkan diktator. Itu karena mereka mengeruk kekayaan alam negara dan jadi insecure kalau rakyat suatu saat memprotes hal itu. Sehingga sebagian penghasilan pemerintah akan disisihkan buat dana militer yang akhirnya dugunakan untuk menekan rakyat supaya nggak bebas meminta dan mengeluarkan pendapat mereka.”

    “Iya, Ril. Itulah sebabnya kita lihat di negara-negara Afrika dan Timur-Tengah yang kaya SDA masih aja konflik antara rakyat dan pemerintahnya.”

    “Yoi, Beib. Ambil contoh Zimbabe yang kekayaannya dikeruk sama presiden mereka, Robert Mugabe, dan justru dipake buat mendanai militer untuk menekan rakyatnya. Ada pula Tunisia dengan Zen El Abidin Ben Ali-nya. Dan yang masih tegang sampe saat ini, misalnya Suriah dengan presiden mereka, si Bashar Al Ashad.”

    “Yup. Bener banget, Ril. Makanya biasanya sebelum ada intervensi militer dari negara lain buat ngamanin negara-negara yang lagi konflik kayak gitu, komunitas internasional bakal nerapin sistem sanksi, salah satunya embargo atau pembatasan perdagangan sehingga negara opresif akan terputus penghasilannya dari ekspor dan impor. Nah, untuk ngehindari intervensi luar, harusnya negara semacam itu sadar kalo mau gimana pun, kekayaan mereka tetap asalnya dari rakyat, sehingga harus tetap dialokasikan buat rakyat. Konflik pun bisa dicegah kalo gitu.”

    “POI, Beib!” (*POI [baca: pi-o-ai] = Point of Information; istilah dalam sistem debat parlementer yang merujuk pada permintaan izin untuk memberikan interupsi)

    “Iya, kenapa, Ril?”

    “Kembali ke awal, Beib. Dari sekian panjang diskusi tentang dua tipe negara itu, jadi kamu setuju nggak kalo hubungan kita ini mirip sama hubungan antara rakyat dan pemerintah di negara maju tapi miskin SDA?”

    “Hmmm... Maksudnya gimana sih, Ril? Jujur, aku nggak lihat korelasinya deh.”

    “Gini, Beib. Kamu itu ibarat pemerintah dan aku adalah rakyatnya. Aku akan selalu aktif ngawasin kamu dan aku bisa demo kalo kamu nggak menuhin hak-hak aku. Kan kamu udah mungut pajak yang tinggi dari aku.”

    “Hah? Pajak? Coba, Ril, definisikan pajak yang kamu maksud itu apa.”

    “Cinta, Beib. Pajak yang aku maksud itu cinta. Kamu udah mungut cinta dengan rate yang sangat tinggi dari aku. Padahal itu kan hak aku untuk bebas aku pake buat apapun. Tapi aku harus rela ngasih itu ke kamu. Karena aku tahu, kalo kamu sebagai pemerintah sangat butuh pajak dari aku, butuh cinta dari aku.”

    “Hmmmm nice try....”

    “Tapi kamu tau nggak, Beib. Bedanya pajak sama cintaku itu apa?”

    “Apaan coba?”

    “Kalo pajak itu kewajiban, Beib. Dia mengikat yang kadang wajib pajak merasa terpaksa buat ngebayarnya. Tapi kalo cinta, aku rela ngasih itu ke kamu secara sukarela.”

    “Wih, makin dalem nih gombalannya...”

    “Aku serius, Beib. Dan kamu tahu nggak kesamaan antara pajak dan cintaku itu apa?”

    “Apaan?”

    “Pajak dan cinta harus sama-sama dialokasikan dengan baik, Beib. Aku tagih loh ke kamu kalo kamu nggak make cinta yang aku kasih buat menyejahterakanku. Aku ajak warga se-Depok buat nge-demo kamu!”

    “Waduh! Kontradiksi, Nying. Kamu kan katanya nggak suka demo.”

    “Kalo yang ini, aku rela demo sepanjang hidup untuk menagih rasa cinta aku ke kamu, Beib. Huhu..”

    “Lebay...”

    “Tapi, tapi, kamu tau nggak, Beib, kabar baiknya apa?”

    “Apa emangnya?”

    “Kabar baiknya, aku nggak perlu lagi demo buat menuntut hak itu. Karena kamu udah menuhinnya sekarang. Kamu udah mau jadi pacar aku. Aku seneng banget deh, Beib.”

    “Hahaha. Kamu bisa aja, Nying. Aku juga seneng kok, Ril. Ternyata seru ya main pacar-pacaran begini. Tapi, agak kagok juga nggak sih? Karena kita pacarannya cuma buat main-main aja.”

    “POI, sir!”

    “POI apa lagi, Nying?”

    “POI. Panji Owns Iril. Yang ini nggak main-main. Kamu udah miliki aku sekarang. Kamu boleh ngapain aja ke aku. Huhu. Kalo aku, boleh ngapain aja ke kamu nggak?”

    Aku terdiam. Sepertinya suhu wajahku yang terasa menghangat saat ini sudah membuat wajahku merah. Untungnya sudah matiin lampu. Sedari tadi pun aku sudah tersenyum-senyum sendiri mengikuti alur pembicaraan dengan Iril. Cerdas dan menghibur.

    “Beib, kita cepet banget ya pacarannya. Udah tengah malam aja sekarang. Berarti besok harus udahan nih. Padahal aku belum puas loh pacaran sama kamu,” ujar Iril tiba-tiba.

    “......” aku kembali terdiam. Aku pun jadi berpikir kalau pacaran dengan Iril berlangsung sangat cepat dan sebentar lagi harus berakhir. Sudah mau tutup hari saja. Benar kata Iril, padahal rasanya belum puas. Duh, kenapa aku jadi ketagihan gini ya?

    “Tapi gak ada bedanya ya ternyata? Kita pacaran sama sohiban rasanya sama aja nggak sih?” lanjut Iril.

    “Masa sih, Ril, nggak ada bedanya?” tanyaku.

    “Ada sih, Beib,” jawab Iril.

    “Apaan, Ril?”

    “Bedanya aku jadi makan sayang sama kamu.”

    “......”

    “Kalo begini, aku jadi ketagihan nih pacaran sama kamu, Beib. Gak pengen cepet-cepet putus.”

    “......”

    “Tapi mau gak mau kita harus bubaran besok ya, Beib.”

    “......”

    “Pria sejati kan pantang menarik janjinya.”

    “......”

    “Duh, aku kok jadi gak rela kita putus ya, Nji?”

    “......”

    “Nji? Kamu udah tidur?”

    “Belum, Ril.”

    “......”

    “Kenapa emang, Ril?”

    “......”

    “Ril?”

    “......”

    “Lo udah tidur, Ril?”

    “......”

    “Ril?”

    “Nji?”

    “Iya?”

    “Kalo nambah sehari lagi pacarannya, kamu keberatan nggak, Nji?”

    “Nggak, Ril.”

    Jawaban itu meluncur begitu saja tanpa tersaring otakku. Dan entahlah, aku memang tak keberatan melanjutkan permintaan Iril ini. Aku merasa nyaman diperlakukan seperti ini oleh Iril. Beginikah rasanya pacaran?

    “Oke, kalo gitu aku bisa tidur tenang malam ini,” ujar Iril sembari memelukku erat.

    Aku tersenyum. Membalas pelukannya. Erat.

    Pelan, aku pun mulai terlelap.

    “Beib, udah tidur ya?”

    Sigh! Aku pun membuka mata. Ternyata orang di sampingku masih saja mengganggu.

    “Kenapa, Nying?” tanyaku sedikit kesal. Padahal sebelumnya aku memuji Iril dalam hati.

    “Nyanyiin lagu dong kayak kemarin malem,” pinta Iril random.

    “Lagu apa nih? Ambilkan bulan, Bu? Hahaha,” candaku.

    “Hahaha, dasar kamu, Beib, masih aja ngelucu. Serius loh ini..” lanjut Iril.

    “Gantian dong, kamu yang nyanyi, Ril,” sahutku.

    “Ah, aku nggak mau. Suaraku terlalu bagus, Beib. Ntar kamu makin suka lagi sama aku,” ujar Iril.

    “Dih, narsis!” umpatku.

    “Yudah kita dansa aja yuk, Beib.”

    “Hah? Makin random aja, Nying! Posisi udah tinggal molor gini, masa harus bangun lagi sih? Males ah!”

    “Yudah, Beib, kita finger dance aja kalo gitu.”

    “Finger dance? Apaan tuh?”

    “Sini, mana tangan kamu!”

    Iril memiringkan tubuhnya ke sisiku. Dengan pelan dia meraih tangaku dan membuka telapaknya menghadap ke atas. Sejurus kemudian, Iril meletakkan ujung jari telunjuk dan jari tengahnya di telapak tanganku. Dengan irama seperti gerakan dansa, Iril menggerak-gerakkan jarinya di atas telapak tanganku.

    Aku hanya diam. Begitu pula dengan Iril.

    “Beib, kamu tutup mata ya. Rasain aja gerakan jari-jariku di tangan kamu,” ujar Iril.

    Aku menuruti permintaan Iril untuk menutup mata. Dalam keheningan, aku dapat merasakan gerakan jemari Iril yang menari indah di atas telapak tanganku. Ujung jarinya dihentak-hentakan bak gerakan kaki orang yang berdansa. Lambat laun, jari-jari itu bergerak pelan menyusuri lenganku. Terus bergerak melewati bahu, leher, dan daguku. Hingga ia berhenti tepat di bibirku.

    Jari-jari itu mengusap pelan kulit bibirku. Aku tetap bergeming. Hingga tiba-tiba, usapannya menghilang. Berganti dengan sebuah kecupan dari bibir Iril. Kecupan lembut pengantar tidur malamku.

    Dan entah darimana datangnya perasaan itu, hatiku dalam sekejap dipenuhi rasa hangat. Tak pernah sehangat ini sebelumnya.

    ***


    Bersambung ke Chapter 18 : Lucky I’m In Love
  • @AgataDimas bentar, aku ambil kapak dulu ya :-D
    @MarioBros siap2 aku komen panjang lebar ya :-P
  • huwaaa,, update,, guling-guling bareng @Ndraa,, baca lagi,, blm slesai soalnya,,
  • "you can call me silly, you can call me stupid, or you can
    call me tonight"

    Ngakakkkkk baca itu. Sumpah ya Iril usaha dan gombalnya total hahaha
  • "you can call me silly, you can call me stupid, or you can
    call me tonight"

    Ngakakkkkk baca itu. Sumpah ya Iril usaha dan gombalnya total hahaha
Sign In or Register to comment.