It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
smngt dah ril dpetin panji mumpung tomori saus tiram nya lagi ke jepang wkwkwk
kalo bsa sore sama bsok subuh di update @MarioBros #ngelunjak bner
@Unprince @octavfelix @harya_kei @Adamx @balaka @nick_kevin @bianagustine @Tsunami @Tsu_no_YanYan @cute_inuyasha @d_cetya @Wita @lulu_75 @arifinselalusial @fian_gundah @animan @kiki_h_n @rulliarto @bianagustine @jamesx @ffirly69 @littlemark04 @Rika1006 @Akhira @earthymooned @myl @exomale @AgataDimas @pujakusuma_rudi @yo_sap89 @DoniPerdana @kaka_el @fauzhan @muffle @notas @diodo @DM_0607 @greensun2 @Adhika_vevo @3ll0 @LeoAprinata @uci @kristal_air @MajestyS @nawancio @4ndh0 @daramdhan_3oh3 @Vanilla_IceCream @TigerGirlz @Hehehehe200x @Widy_WNata92 @sonyarenz @RegieAllvano @AvoCadoBoy @Ndraa @arbiltoha @Sicilienne @Rifal_RMR @JimaeVian_Fujo @zeva_21 @ardavaa @RogerAlpha @sunset @Arie_Pratama @gatotrusman @ragahwijayah_ @Polonium_210 @Hehehehe200x @addaa @JengDianFebrian @rendra123 @SteveAnggara @keposeliro @abiDoANk @RenoF @hendra_bastian @obay @DanniBoy @ArDewa
Let me know ya buat yg gk ingin kena seret. Danke
Fri, July 4th, Senior Year
17:21 p.m.
Hari ulang tahun Iril pun tiba. Setelah berbagai surprise party tanpa kue dan makanan, Iril akhirnya mengajakku dan teman-teman lainnya untuk buka bersama di daerah Kukel (Kukusan Kelurahan). Pasalnya, kejutan terakhir dilakukan di kosan Iwan, teman sejurusan Iril, yang berada di daerah Kukel. Kukel memang berada di kutub berlawanan dengan kosanku dan Iril yang berada di daerah Barel (Belakang Rel), tapi mau tidak mau harus berbuka di Kukel karena waktu sudah semakin menjelang berbuka puasa.
Sebab bukan wilayah kulinerku dan Iril, kami pun mencari tempat makan random dengan cepat. Yang penting segera mengamankan pesanan, karena menjelang berbuka seperti ini, semua tempat makan akan sangat penuh dan ramai. Kami pun mengunjungi sebuah rumah makan mini yang masih berada di daerah Kukel ini. Menu utamanya adalah ayam penyet dan olahan ayam lainnya, sangat sesuai dengan selera Iril yang memang penggila daging ayam.
Termasuk aku, total ada sembilan orang yang ditraktir Iril saat ini, ada Baim, Bang Zaky, Chandra, Alex, Iwan, Ajeng, Lena, dan Indah. Setelah memesan menu masing-masing, kami terus melanjutkan obrolan penuh senda gurau hingga akhirnya waktu berbuka pun tiba.
“Oke semua, sebelum kita makan, mari doakan Iril yang ultah hari ini, semoga panjang umur, sehat selalu, lancar rejeki, lancar jodoh, dan cita-citanya tercapai,” pimpin Bang Zaky.
“Amiiiin,” sahut semuanya bersamaan.
“Amiiin. Makasih semuanya. Oke sekarang saatnya makan,” mulai Iril.
Dengan cepat, kami menyambar makanan masing-masing dan fokus melepas rasa lapar dan dahaga. Di tengah hiruk pikuk meja makan, obrolan tetap berlangsung.
“Brader, wish you all the best ya,” kata Alex sembari merangkul pundak Iril.
“Thank you, Bro. Tapi jangan rangkul-rangkul. Itu tangan lo masih belepotan sambel,” sahut Iril seraya menepis rangkulan Alex yang kemudian dia balas dengan cengiran kuda.
“Oppa... Saengil chukhahaeyo.. Orae haengbokhage.. Geonganghage sasigo!” teriak Indah penuh semangat dengan kebiasaannya menggunakan bahasa Korea itu.
“Gomawo, Indah..” balas Iril riang. (*Terima kasih)
“Dih, sok ikut korea-an juga lu, Ril? Emang ngerti?” timbrung Chandra yang mulutnya masih penuh dengan makanan.
“Ngerti dong. Ya, nggak, Ndah? Coba, Ndah, kasih tauk Chandra apa artinya,” sahut Iril pede. Padahal aslinya dia nggak tahu tuh, memang kebiasaan Iril buat ikut-ikutan bahasa orang yang diajaknya bicara.
“Hope you have a long life, always be happy, and healthy, Chan,” sebut Indah.
“Nah, itu, Chan,” klaim Iril bangga.
“Halah. Padahal lo cuma pura-pura tahu kan, Ril?” kejar Chandra.
“Chan, gak usah resek deh, masih untung lo dibayarin makan sama Iril, kalo dibiarin, kan mampus lo!” cibir Iwan.
Chandra pun sadar dan akhirnya diam. Yang lain malah tertawa.
“Eh, Ril. Gw belum ngucapin secara personal nih. Happy birthday ya. Semoga cepet dapet jodoh,” kata Ajeng tiba-tiba.
“Ciee, yang doain cepet dapet jodoh... Mentang-mentang sekarang udah dapet nih,” sindir Lena ke Ajeng.
“Cinca? Ajeng sama siapa, Len? Siapa cowok yang beruntung itu?” sela Indah penuh antusias.
“Tuh! Bang Zaky!” tunjuk Lena.
“Aaaaak... Daebak!!” teriak Indah histeris. (*Hebat)
Serempak Indah dan lainnya men-cie-kan Ajeng-Bang Zaky bersamaan. Mereka berdua pun hanya cengengesan.
“Eh, lo juga bukannya udah dapet jodoh juga ya, Len?” tanya Baim.
“Oh ya? Siapa, Im?” sahut Indah.
“Siapa lagi kalo bukan Chandra. Hahaha,” balas Ajeng.
Lena dan Chandra pun salting. Sontak, kami tertawa bersamaan.
“Gila ya, udah pada jodoh-jodohan gini. Untung gw udah punya pacar, jadinya nggak sekdil. Ayo, siapa lagi? Siapa lagi?” ujar Iwan semangat.
“Iya, untungnya gw juga nggak jones lagi,” sela Alex.
“Hmm... berarti tinggal Panji nih? Hayooo Panji sama siapa?” tanya Bang Zaky tiba-tiba. Sial! Padahal dari tadi aku udah diam, supaya nggak kena bully begini.
“Aih, kalo Panji mah udah sama Iril! Bromance akut. Udah deh kalian kawin aja!” cibir Chandra yang dengan cepat disahut dengan tawa yang lainnya.
Dammit! Aku makin kena. Dan Iril kenapa malah ikut ketawa lagi?
“Hahaha, gw jangan sama Panji ah. Ntar Baimnya sendirian,” tukas Iril.
“Haduh! Ribet ya cinta segitiga gitu? Udah kalian threesome aja deh,” goda Alex.
“Kampret!” teriak Baim yang dibarengi dengan ayunan kepalan tangan ke punggung Alex. Dengan cepat, Alex mengaduh kesakitan.
“Hahaha, tenang-tenang. Panji sama Baim kok. Gw sama Indah aja. Ya nggak, Ndah?” ucap Iril tiba-tiba.
Aku terdiam. Kenapa rasanya nyesek ya dengar candaan Iril seperti itu? Apa dia nggak ingat kalau hari ini dia minta aku jadi pacarnya?
“Nah, itu, Ndah. Kode dari Iril,” ujar Ajeng.
Indah hanya cengengesan lalu menggumam, “Aigooo, gw takut kena PHP Iril lagi nih..”
Sontak semua pun tertawa. Hingga tanpa terasa, hidangan di meja makan pun habis tak bersisa. Ya iyalah, ada Chandra yang jadi ikan sapu-sapunya. Ckckck.
Selesai makan, kami pun berpisah, ada yang ke masjid untuk sholat, ada pula yang langsung pulang. Bang Zaky mengantar pulang Ajeng dan Lena yang kebetulan searah dengan tujuannya untuk menginap di kosan temannya di daerah Kober. Indah juga pulang diantar Alex. Sedangkan aku, Iril, Baim, dan Chandra mengikuti Iwan untuk sholat terlebih dulu di salah satu masjid di dekat kosan Iwan.
Masjidnya terbilang terpencil karena harus melewati kawasan kebun penduduk. Meski letaknya dekat dengan pondok pesantren, masjid ini masih tampak kurang fasilitas, terlihat dari tempat wudhu dan WC-nya yang terpisah jauh di belakang masjid. Tanpa banyak komplain, kami pun segera mengambil air wudhu dan mengejar waktu sholat Magrib yang sebentar lagi habis.
Usai sholat magrib, kami bersiap untuk pulang, namun tertahan oleh jamaah sholat terawih yang berbondong-bondong memenuhi masjid. Alhasil, kami pun ikut sholat isha dan terawih berjamaah di masjid tersebut.
“Nji, cabut aja yuk,” usul Baim tiba-tiba. Sepertinya dia sudah tidak sabar karena ritual sholat terawih yang sangat lama, terlebih dengan disisipinya berbagai ceramah dan doa-doa yang panjang.
“Sabar, Im. Dengerin aja dulu ceramahnya,” sela Iril. Aku sedikit heran, tumben nih Iril jadi betah begini, biasanya dia paling malas kalo diajak ke Masjid. Oh ya, aku jadi ingat lagi dengan janji pacaran sama Iril. Dari tadi pagi belum sempat kutanyakan. Aku menunggu-nunggu Iril memintanya. Tapi kok dia nggak ngebahas soal itu ya? Apa dia lupa?
Baim tampak kesal dan melipat wajahnya. Dengan cepat Iril berkata lirih ke Baim, “Awas jangan marah-marah di sini ya, Im. Inget ini bulan puasa.”
“Berisik lu, Nyet! Gw juga tauk kali!”dengus Baim.
Sigh! Aku harus hentikan ini. Aku pun berinisiatif untuk duduk di antara Iril dan Baim yang akhirnya berhasil membuat mereka sedikit diam.
Ceramah panjang pun akhirnya selesai yang artinya sholat terawih akan segera dimulai. Namun, tiba-tiba segerombolan anak kecil menyela kami dari belakang. Mereka berlarian di antara para jamaah lalu kemudian mengerubungi si penceramah.
“Anjrit! Tuyul-tuyul ini mau ngapain sih?” protes Baim kesal.
“Sabar, Im. Mereka cuma mau minta tanda tangan Ustadnya. Buat ngisi buku ramadhan,” timpa Iwan.
Terlambat! Baim sudah nggak sabar dan behasil menangkap lengan salah satu anak yang baru saja menyenggol bahunya. Dengan cepat, Baim merebut buku si anak dan meremasnya. Si anak tampak kaget dan ketakutan. Dan akhirnya si anak pun menangis. Ya Tuhan...
Setelah adegan anak yang menangis itu, sholat terawih pun akhirnya dimulai. Bacaan sholatnya tidak terlalu panjang, tapi jumlah raka’atnya yang banyak. Wah, bisa makin nggak sabar aja nih si Baim. Tapi ternyata bukan Baim yang nggak tenang, melainkan si Iril yang daritadi berisik dan menggangguku.
“Nji, kok lama banget sih ini terawihnya? Sholatnya tinggal berapa raka’at lagi ya?” komplain Iril sembari menyikutku sebelum aku mengangkat takbir memulai sholat.
“Sabar, Ril. Tinggal sepuluh rakaat lagi,” bisikku.
“Wanjirr!! Masih lama banget dong. Liat tuh, si Chandra, sampe tidur sambil sholat gitu gara-gara saking lamanya,” ujar Iril sambil menunjuk Chandra yang tidur berdiri di sebelahnya.
“Itu mah bukan karena lama, Ril. Tapi karena ngantuk kekenyangan,” sindirku.
Aku dan Iril pun tertawa lirih, tapi kemudian berhenti karena dipelototin Baim yang masih tampak kesal. Huft!
“Nji, tinggal berapa raka’at lagi sih?” tanya Iril lagi di antara salam dan takbir.
“Empat lagi, Ril,” jawabku.
“Duh, gw kira tingal dikit,” timpa Iril.
“Sabar. Ini juga udah dikit, Ril,” tuturku.
“Nji, gw pengen pipis nih..” rengek Iril.
“Aih, tahan dulu, Ril. Ribet dah. Kita kan di depan, kalo mau keluar harus ngelewatin jamaah-jamaah yang di belakang.”
“Sumpah udah nggak tahan, Nji. Kebelet banget nih. Kalo ditahan-tahan terus kan bisa nggak khusyuk sholatnya.”
“Yudah sana, lo ke belakang aja, Ril. Pelan-pelan aja biar nggak nyenggol jamaah lain.”
“Temenin dong, Nji.”
“Yaelah, masa ke WC aja minta temenin sih, Ril?”
“WC-nya kan jauh, Nji. Serem lagi. Lo tega kalo nanti gw diculik hantu?”
“Yudah yudah, yuk!” Aku nggak mau banyak berdebat dengan Iril. Setelah memberi tahu yang lainnya, aku dan Iril pun berjalan menyusuri lautan jamaah masjid hingga akhirnya berhasil keluar dan menuju WC.
“Nji, lo jangan tinggalin gw ya,” pinta Iril sebelum masuk ke bilik WC.
“Iya, iya,” sahutku malas.
Iril pun menutup pintu bilik tapi dengan cepat membukanya lagi.
“Nji, di dalam sini juga serem ternyata. Lampunya redup lagi. Lo ikut masuk ya, temenin gw. Sekalian senterin pake HP, biar lebih terang,” pinta Iril lagi sembari menarik lenganku.
Sigh! Aku tak punya pilihan lain. Aku turuti saja maunya si Iril yang lagi ulang tahun ini.
“Nji, senterinnya ke arah sini dong, ini gw kesusahan buka resleting celana gw,” rengek Iril lagi.
“Iya, iya. Nih!” sahutku sembari mengarahkan cahaya layar HP ke area depan celana Iril.
“Aduh, Nji. Masih susah nih. Lo bisa bantuin bukain nggak?”
“Gelo! Buka sendiri, ah, Ril!”
“Dih, pelit!”
Setelah sedikit menggerutu, Iril akhirnya berhasil membuka resleting celananya. Aku pun memunggungi tubuh Iril dengan tetap mengarahkan cahaya HP ke area depannya.
“Hyung..” gumam Iril. (Hyung [bhs Korea] : kata ganti kakak, dari laki-laki ke laki-laki)
“Hah? Lo ngomong sama gw, Ril?” tanyaku.
“Iyalah, Nji. Sama siapa lagi kalo bukan sama lo,” jawab Iril santai.
“Dih, sok korea-koreaan lagi lu, Ril!”
“Gapapa kali... Aaaah, lega... Akhirnya kelar juga nih pipisnya..”
“.......”
“Hyung, ambilin gayung dong,” pinta Iril lagi. Aku baru sadar kalau ember dan gayung berada di depan pintu, yang artinya berada lebih dekat denganku.
“Ah, sulit, Ril. Tangan gw kan megangin HP gini,” tolakku.
Dengan cepat Iril merebut HP dari tanganku lalu berujar, “Nah sekarang tolong ambilin, Hyung. HP-nya gw yang pegang aja.”
Aku tak banyak berkomentar. Langsung saja aku ambilkan segayung air dan kuberikan ke Iril.
“Duh, Nji. Tangan kanan gw megang HP nih. Lo tetep pegangin gayungnya ya,” lanjut Iril sembari mencelupkan tangannya ke gayung di belakangnya yang masih kupegang.
“......” Aku diam saja.
“Nji, gayungnya deketin dong. Lo majuan dikit kenapa? Susah nih.”
“......” Aku tetap bergeming.
“Ish! Ribet banget dah. Susah tauk!”
Iril tiba-tiba berbalik menghadapku. Dia yang sebelumnya memunggungiku sekarang berhadapan denganku. Dan aku pun melihat milik Iril. Damn! Aku harus gimana nih? Tutup mata? Memalingkan wajah? Pura-pura nggak liat? Sial! Apapun yang aku lakuin jadinya salah tingkah.
“Nah! Kelar juga akhirnya,” gumam Iril sembari menarik resletingnya ke atas.
“......”Aku hanya diam.
“Nji, kok lo bengong gitu? Kenapa?”
“......”Aku berusaha tak acuh dengan pertanyaan Iril itu.
“Nji, lo speechless ya abis liat burung gw?”
“......”
“Oh Hyung.. Lo beneran speechless karena liat burung gw? Mau gw kasih liat lagi?”
Damn! Damn! Iril taik!
Tok.. tok.. tok...
Tiba-tiba pintu WC diketuk dari luar.
Sigh! Aku selamat!
“Buru, Ril. Kita keluar,” ajakku.
Aku dan Iril pun keluar dari WC. Meski sempat diberi tatapan aneh dari orang yang mengetuk pintu WC tadi, Iril sangat cuek dan bertingkah seolah biasa saja. Aku pun jadi biasa aja.
Singkat cerita, sholat terawih pun usai. Kami berpamitan dengan Iwan dan meinggalkan Chandra di pintu masuk gang, karena kebetulan dia mau menginap di kosan temannya di Kukel. Tinggalah aku, Iril dan Baim yang berjalan ke parkiran FT untuk mengambil mobil Baim di sana. Setelah diantar pulang sampai di depan gang masuk kosan, aku dan Iril pun berpisah dengan Baim.
Pelan, aku berjalan berangkulan dengan Iril menuju kosan. Tiba-tiba aku teringat kembali tentang janji pacaran dengan Iril. Kenapa Iril nggak bahas-bahas ya? Apa dia nunggu momen berdua aja? Dan kosan bakal sepi nih, secara Bang Zaky dan Chandra nggak bermalam di kosan malam ini. Duh, semoga kalo dia inget, dia nggak minta yang aneh-aneh deh.
***
11:51 p.m.
Aku duduk bersandar bantal di dinding kasur Iril. Harus selarut ini sampai akhirnya kami bisa berduaan. Ya, hari ini adalah hari ulang tahun Iril dan dia seharian sibuk dengan berbagai acara kejutan. Dan hari ini pula, Iril akan menagih janjiku kepadanya untuk menjadi pacar seharinya. Awalnya aku mengira dia sudah lupa dengan perjanjian konyol itu. Namun sepertinya memang belum bertemu waktu yang tepat untuk menagih janji tersebut. Dan sekarangkah waktunya?
Iril menutup pintu kamarnya pelan, lalu menguncinya. Dia berbalik badan dan menatap ke arahku. Tatapannya tajam. Seolah menyiratkan maksud tertentu. Dan sejurus kemudian, sebuah senyuman tersungging di wajahnya. Sebuah senyuman nakal. Aku hanya terdiam, tak berani berspekulasi tentang apa yang akan Iril lakukan padaku.
Iril berjalan mendekat ke arahku. Dag dig dug. Kenapa aku jadi berdebar-debar ya? Ya Tuhan, Iril sudah ada di depanku.
Iril hanya diam memandangiku. Senyum nakal itu semakin membuatku tidak nyaman. Kenapa aku jadi merasa gelisah ya?
Tok tok tok...
Tiba-tiba pintu kamar Iril diketuk. Sontak, aku dan Iril terkejut. Siapa sih yang masih ganggu malam-malam begini?
Dengan cepat, Iril membuka pintu kamarnya.
“Eh, Mbak Dev? Ada apa nih?” tanya Iril ke orang yang mengetuk pintu kamarnya, yang ternyata adalah Mbak Devita Rahayu. Dia ini anak pertama ibu kosan, yang tinggal di sebelah kosan ini. Dia sudah bekerja dan berkeluarga, but for the record, tingkahnya masih seperti anak-anak. Sangat cocok dengan Iril yang juga kekanak-kanakan.
“Dek, Happy Milad ya. Semoga makin sukses dunia akhirat,” sahut Mbak Devita yang kemudian diikuti dengan cengiran kudanya.
“Wah, makasih banyak, Mbak. Semoga Mbak juga makin sukses dunia akhirat,” balas Iril.
“Amiin. Eh, maaf ya, Mbak telat ngucapinnya, dan nggak ikut acara ultah lo tadi sore. Abisnya Mbak ada bukber di rumah mertua. Ini aja baru balik. Jadi baru bisa samperin lo, Dek,” jelas Mbak Devita.
“Aih, woles aja kali mbak. Gak ada kata telat buat ngucapin doa ke Iril. Hehe,” ujar Iril.
“Yudah, Mbak cabut dulu ya. Udah malam nih. Eh, kok itu ada Panji di kamar lo?”
“Hmmmm...”
“Jangan-jangan kalian mau kelonan lagi ya? Ya ampun, ini bulan puasa masih aja kelonan gitu.”
“Duh, Mbak biasa aja dong. Kan sohib jadi wajarlah. Meski malam ini status bakal berubah sih. Hehe.”
“Hah? Status apa, Dek?”
“Status facebook!”
“Dih, ngasal! Hahaha, jangan-jangan status relationship nih?”
“Ah, Mbak Dev bisa aja, huhu.”
“Beneran nih, Dek?”
“Ya, begitulah Mbak. Hehe.”
“Aish. Kalian ini memang cocok. Sama-sama kucing. Ternyata oh ternyata pada suka meong-meong-an.”
“Ih, Mbak Dev ngomong apa sih?”
“Ya, itu lah, Dek. Pamali ngomongin itu di bulan puasa. Hehe.”
“Ngeres nih, Mbak?”
“Hush! Udah-udah. Jangan keseringan kelonan, ntar kenapa-napa lagi.”
“Iya nih, Mbak. Gw juga takut Panji jadi hamil. Hahahay.”
“Hahaha. Masa sampe hamil, Ril. Lo ada-ada aja.”
“Hehe, becanda kali, Mbak.”
“Oke deh. Mbak cabut dulu. Oh ya, Panji, hati-hati ya sama Iril. Dia kan kucing garong sekarang. Groaaa...”
“Hahaha udah, Mbak, udah..”
Aku hanya tersenyum kecut menanggapi perkataan Mbak Devita. Dia pun akhirnya menghilang dari depan pintu kamar. Meninggalkan aku dan Iril berdua di kamar ini. Aku kembali teringat kata-kata Mbak Devita. Hah? Kucing garong? Apa sih maksudnya? Aku jadi was-was kalau begini. Mana Iril sialan banget lagi, pake bikin kesepakatan ini kayak bahan candaan. Aku benar-benar ngerasa dikerjain Iril kalau begini. Huft!
Iril kembali menutup pintu dan menguncinya. Lalu dia berjalan mendekatiku dan duduk bersila di depanku. Dia memandangiku lekat. Tatapannya masih tajam. Senyuman nakalnya juga masih terpasang. Tak lama kemudian, Iril menggerak-gerakkan kedua alisnya naik turun. Aku diam menelan ludah. Entah kenapa suasananya menjadi setegang ini. Ya, Tuhan, apa sih yang mau Iril lakukan?
“Akhirnya kita bisa berduaan juga ya, Nji,” ujar Iril memulainya.
Aku mengangguk pelan.
“Gw mau nagih janji lo nih. Kado ultah dari lo buat gw,” sambung Iril.
Aku menelan ludah lagi.
“Tapi sebelum itu, gw mau ngeliat kado dari yang lain dulu,” tutur Iril sembari menarik beberapa bungkus kado ke pangkuannya.
Sial! Iril malah mengulur-ulur maksudnya. Kalau begini aku jadi semakin tegang.
“Eh, Nji. Kok ada yang aneh ya. Gw yang ultah, tapi kenapa ada kado buat lo,” kata Iril tiba-tiba.
Aku melirik ke arah kado yang ditunjukkan Iril kepadaku, ada tulisan ‘untuk Panji’ di sana.
“Coba buka deh, Nji,” tukas Iril.
Aku segera meraih kado aneh itu. Dengan cepat aku membuka bungkusnya yang simpel karena hanya berupa goodybag batik yang distraples bagian atasnya. Dan isinya adalah serangkai mawar putih dengan kartu ucapan yang terikat di salah satu tangkainya. Aku segera mengambil rangkaian mawar itu dan membaca kartu ucapannya.
- Panji, would you be my boyfriend? Love, Iril –
Aku terpaku seketika.
“Nji, would you be my boyfriend?” tanya Iril, mengulangi isi kartu ucapan itu.
Aku segera tersadar dari pikiran kosongku. Ya Tuhan, Iril menembakku!
“Anjiss! Lo lebay banget sih, Ril!” cibirku ke Iril, menutupi semu merah yang entah dari mana datangnya mulai merekah di wajahku.
“Biar afdhol dong, Nji. Masa gw mau jadiin lo pacar tapi gw gak nembak lo dulu,” balas Iril santai.
“Ah, sok romantis!” hardikku yang sebenarnya untuk menutupi rasa terkejutku.
“Aih, pacaran memang harus romantis atuh,” timpa Iril.
“Tapi kita kan udah deal-dealan buat pacaran dari lama, Ril. Masa’ masih pake ginian? Redundant kali, Ril.” (*Redundant : berulang/percuma/sia-sia)
“Emang salah ya, Nji?”
“Nggak sih. Tapi kan--”
“Udah nggak usah pake tapi-tapi. Jadi lo terima kan, Nji?”
“Lo gimana sih, Ril? Pasti gw terima lah. Gak ada pilihan lain. Kan udah perjanjian.”
“Serius lo mau jadi pacar gw, Nji?”
“Iya. Cuma sehari kan?”
“Gapapa deh meski cuma sehari. So, would you be my boyfriend?”
“Ya elah, pake diulang lagi pertanyaannya, Ril.”
“Just answer it. Would you be my boyfriend?”
“Yes, I will be your boyfriend.”
Iril tiba-tiba berdiri, membuka kunci kamar lalu keluar. Dan Iril pun berteriak,”Yes! Yes! Gw punya pacar!!”
Ya ampun, lebay banget sih. Aku sampai malu. Dengan cepat aku menyusul Iril dan membungkam mulutnya. Aku segera menariknya masuk ke kamar sebelum kosan menjadi ramai.
“Jangan lebay, Ril. Udah malam nih, ntar anak-anak kosan pada rame,” tekanku ke Iril.
“Gapapa lah, Nji. Kan gw lagi seneng,” sahut Iril santai.
“Seneng tapi bikin masalah. Diem nggak? Atau kita putus nih,” ancamku.
“Lah, baru jadian masa’ minta putus sih, Beib?”
“Abisnya lo bikin gw malu. Kita backstreet aja. Oke, Ril?”
“Duh, repot banget sih, Nji. Toh pacaran cuma sehari. Harus total dong.”
“Tapi tetep aja jangan sampe kita ngusik orang lain, Ril.”
“Duh duh, kenapa sih, bebeb aku jadi ribet begini. Kamu takut kita kena grebek ya, Beib?”
“Idih, sekarang pake ‘aku-kamu’ dan bebeb-bebeb-an. Geli ah!”
“Hahaha, kan udah pacaran. Kamu juga harus bikin panggilan sayang buat aku, Beib.”
Aku terdiam sebentar memikirkan permintaan Iril. Kenapa aku perlu memikirkan panggilan sayang buat Iril ya?
“Unying! Nying-nying! Tuh panggilan sayang buat lo!” ujarku ngasal.
“Wow, lucu, Beb. Unying itu refer ke kata unyu kan? Aku unyu dong?” sahut Iril.
“Terserah deh. Tapi inget ya, jangan macem-macem pacarannya. Ini bulan puasa, Ril.”
“Ih, kayaknya kamu yang mikirnya macem-macem deh, Beib. Emangnya kamu pikir aku mau ngapain kamu?”
“Tauk ah!”
“Eh, kok jadi marah? Awas loh nanti puasanya batal.”
“Iril bego! Puasanya kan siang, ini udah malam. Jayus, Nying!”
“Hehe. Tapi kan tetep gak boleh marah-marah gitu, Beib.”
“Bodo!”
Aku mendengus kesal. Kenapa rasanya seperti lagi dikerjain Iril ya? Dan kenapa aku nurut gini aja. Aarggghh..
Tiba-tiba Iril mengambil rangkaian mawar putih yang tergeletak di lantai. Dia menarik salah satu tangkainya lalu memotong pendek tangkai kepala bunganya.
“Mau ngapain, Ril?” tanyaku bingung melihat Iril yang mendekatiku dengan mengangkat mawar putih itu ke depan wajahku.
“Cium deh,” pinta Iril sembari menyodorkan mawar putih itu ke depan hidungku. Anehnya aku mengikuti permintaannya. Aku mencium aroma mawar itu. Wangi. Segar. Dan romantis.
Tak lama, Iril menarik kembali mawar itu lalu menciumnya sendiri. Aku hanya diam memandangi Iril yang tampak menikmati aroma sang mawar.
“Aaaah, wanginya enak ya. Aku selalu suka sama mawar putih loh, Beib,” ujar Iril.
Kemudian, Iril menarik mawar itu dari hidungnya. Dan tanpa aku sangka, Iril dengan cepat menyelipkan mawar itu ke telinga kananku. Aku benar-benar terkejut.
“Sumpah, manis banget sih bebeb aku ini,” bisik Iril menggodaku.
Aku lagi-lagi terpaku. Jujur, aku tak tahu harus bereaksi seperti apa. Ini di luar kapasitasku. Entah kenapa, kepalaku tak bekerja seencer biasanya. Apa karena sudah begitu malam, jadi otakku sudah lelah? Ah, entahlah.
Iril tiba-tiba memutar musik instrumen dari ponselnya. Musik yang lembut dan manis.
“Beib, kita dansa yuk,” ujar Iril tiba-tiba.
“Gak mau ah,” aku menolak.
“Ayoklah,” Iril mendesak.
“Gak mau, Nying. Alay!”
“Come on, Beib. Let’s dance!”
“Norak woy!!”
Iril tidak mendengarkanku. Dia langsung menarik tanganku dan membawa badanku ke pelukannya. Aku memberontak, mendorong badan Iril.
“Yudah kalo gak mau!” kata Iril sembari melepas pelukannya dan mematikan musiknya.
Aku terdiam. Entah kenapa aku merasa menyesal dan bersalah. Aku mencoba mengembalikan suasana. Bukankah ini yang biasa dilakukan oleh orang yang berpacaran? Saling memperbaiki mood satu sama lain?
“Ril, kok jadi diam? Terus kita ngapain nih?” tanyaku memulainya.
Iril masih diam. Memikirkan sesuatu.
“Ril? Lo marah nih?” selidikku.
Iril tetap diam.
“Aih, jangan marah dong, Nying.”
“Kok marah sih, Beib? Aku mana bisa marah sama bebeb yang manis kayak kamu. Huhu,” ujar Iril cengengesan.
“Sial!”
Aku menjadi sedikit kesal. Rasanya ada yang mengganggu. Ya, masih ada mawar di telinga kananku. Mau aku buang aja deh.
“Tunggu, jangan dilepas dulu dong, Beib,” seru Iril.
Terlambat! Aku sudah melepasnya.
“Yah, kok udah di lepas aja. Sini pasang lagi!” tukas Iril sembari mengambil mawar itu dan memasangkannya lagi ke sela kupingku.
“Buat apa sih?” tanyaku sewot.
“Hmmm kamu mau tauk itu buat apa?” tanya Iril balik.
“Gak mau tau!” jawabku ketus.
“Duh, mulai jadi galak nih.”
“......”
“Beib, coba tutup mata deh.”
“......”
“Ayo dong, tutup matanya.”
“......”
“Come on, close your eyes.”
“Mau ngapain Nying?”
“Tadi katanya gak mau tau. Huhu.”
“......”
“Yah, diem lagi nih.”
“......”
“Yudah cepetan tutup mata kamu.”
“Mau ngapain, Ril?”
Iril hanya tersenyum memandangiku. Senyum nakal itu lagi. Sial! Mau ngapain sih dia. Tapi kenapa ya aku mau nurutin maunya. Tanpa sadar aku sudah menutup mata.
“Nah, gitu dong, Beib,” ujar Iril senang.
Aku masih diam dengan mata tertutup. Iril mau ngapain ya? Kok lama banget.
Tiba-tiba aku merasakan sebuah sentuhan di kuping kananku. Iril membenarkan posisi mawar yang terselip di sana. Dia juga merapikan ujung rambutku yang jatuh di keningku.
“Duh, ini manis banget. Tapi lebih manis lagi kalo kamu senyum, Beib,” tutur Iril.
Kenapa harus senyum sih?
Iril menyentuh pipiku. Tangannya hangat. Pelan, dia menarik sudut bibirku.
“Senyum ya,” kata Iril.
Tanpa sadar, aku jadi tersenyum. Duh mau ngapain ya? Aku jadi berdebar-debar begini. Apa Iril mau menciumku? Ya ampun, ciuman dari Iril kan bukan yang pertama, aku sudah pernah dia cium sebelumnya. Tapi kenapa yang satu ini rasanya bakal berbeda ya?
Aku masih terdiam. Menunggu. Lama sekali. Membuat jantungku berdebar tidak karuan. Iril mau ngapain sih?
“Oke sekarang buka mata kamu!”
Dengan cepat aku membuka mata.
Cekrik!
Sebuah kilatan flash kamera menyambut mataku. Sial! Aku difoto!
“Damn! Hapus, Nying!” teriakku.
“Eittss. Kok dihapus. Jangan dong. Ini langka banget. Panji dan mawar putih di kupingnya. So sweet,” ujar Iril tak acuh.
“Sialan! Hapus gak?” ancamku.
“Duh, udah deh. Cuma buat kenang-kenangan kok, Beib.”
“Tauk ah!”
Aku jadi kesal. Rasanya aku ingin merampas ponsel Iril dan langsung menghapus foto itu. Tapi tidak ada salahnya juga. Kata Iril kan fotonya manis. Tak apalah dia menyimpannya. Tapi aku harus tetap jaga image. Emang dia kira aku cowok apaan kalo nyerah gitu aja?
“Kok diem sih, Beib. Ngambek nih?” tanya Iril.
“......” aku masih diam.
“Yah, masa malam pertama ngambek sih?”
“......”
“Duh bahaya nih. Jangan ngambek atuh, Beib.”
“......”
“Kamu mau apa biar gak ngambek? Mau aku nyanyiin lagu?”
“......”
“Eh, Beib. Itu ada daki di pipi kamu,”
Daki? Ngasal banget! Tapi mungkin aja sih. Dengan cepat aku pun mengusap kedua pipiku. Apa benar ada daki?
“Eh, bukan di pipi deng. Tapi di jidat!”
Damn! Cepat, aku mengusap keningku.
“Bukan, bukan di situ!”
“Terus dimana, Nying?”
“Sini deh, aku yang ngelapin.”
Aku terdiam. Iril tiba-tiba mendekatkan wajahnya ke wajahku. Begitu dekat. Mau apa coba? Bukannya cuma mau ngilangin daki.
Cuuup!
Tiba-tiba Iril mencium keningku. Aku sempat terdiam sampai akhirnya aku sadar bahwa kecupan Iril sudah terlepas dari keningku.
“Dammit! Katanya mau ngilangin daki! Ternyata nyuri-nyuri kesempatan,” umpatku.
“Lah, aku beneran mau ngilangin daki kok,” bantah Iril.
“......”
“Tapi pake bibir, Beib. Habisnya aku penasaran. Kayaknya daki kamu rasanya manis!”
“Dasar Unying! Jorok tau!”
“Hahaha. Nah gitu dong, jangan ngambek lagi ya, Baib.”
Aku diam. Sial, aku benar-benar merasa lagi dikerjain. Banyak sekali tindakan Iril yang tak bisa aku prediksi. Kayaknya aku harus memastikan apa yang akan Iril lakukan deh. Ya, aku harus memastikan apa yang akan Iril lakukan selanjutnya. Supaya aku bisa mengantisipasi keadaan dan tidak menjadi sekikuk ini.
“Jadi, setelah ini apa yang mau kita lakuin, Ril?” tanyaku memastikan.
“Tidur,” sahut Iril singkat.
Hah? Tidur? Tidur bareng maksudnya? Duh, kenapa pikiranku jadi begini ya setelah aku menyadari kebelokan-ku? Kenapa aku jadi sering kikuk sama cowok, terutama sama seorang Iril.
“Yuk, kita tidur, Beib. Udah malam benget nih,” sambung Iril membuyarkan lamunanku.
“Tidur bareng nih, Ril?” selidikku.
“Iya.”
“Tapi...”
“Kenapa dah? Bukannya kita juga udah sering kelonan ya Nji?”
Ya, benar juga. Kenapa aku harus grogi begini ya. Ah, sial. Status pacaran ternyata bikin pikiranku berlebihan.
“Gapapa sih,” gumamku.
Aku dan Iril pun berbaring di kasur bersamaan. Kami masih saling diam. Bukan, bukan kami. Tapi aku. Iril tetap terlihat santai. Bahkan dia sibuk menguap kesana sini. Hanya aku yang diam. Sumpah, rasanya seperti lagi dikerjain. Aku jadi mati gaya. Salah tingkah?
“Eh, Nji. Kita mulai pacarannya besok aja ya. Yang malam ini jangan dihitung. Udah kemaleman soalnya. Gw rugi ntar,” ujar Iril tiba-tiba.
Sial! Iril benar-benar mengerjaiku. Pake acara ditunda lagi. Terus yang barusan apa? Pake menggoda dan mencium keningku. Aaargggghhhh.
Rasanya aku pengen batalin nih janji pacaran sama Iril. Atau setidaknya udah mulai terhitung dari malam ini. Rugi dong kalo dihitungnya baru besok. Tapi kalau aku ladeni, aku nggak tahu bisa menang atau nggak. Mau nggak mau harus aku iyakan kalau begini. Oke deh, jalani saja!
“Terus, besok mau ngapain, Ril?” selidikku. Ya, aku harus kembali memastikan untuk mengantisipasi semuanya.
“Hmmm ngapain ya? Gw juga nggak tauh sih, Nji,” sahut Iril asal.
“Aih, serius, Ril,” desakku.
“Serius, gw belum mikirin. Liat besok aja deh. Udah yuk bobo. Supaya sahurnya gak kelewat. Bisa lemes seharian kalo kita gak sahur. Ntar pacaran gak ada tenaganya lagi,” gumam Iril panjang.
Sigh! Sepertinya, Iril memang tak punya rencana. Ya sudah, jalani saja kalau begitu.
“Oke. Good nite, Ril!”
“Oke, good nite, Bray. Jangan lupa ya, mulai besok kita pacaran.”
Aku membenarkan posisi tidurku dan mulai memejamkan mataku. Namun, tiba-tiba Iril menyikutku hingga membuatku terbangun.
“Eh, Nji. Gw susah tidur nih. Nyanyiin gw lagu dong,” ujar Iril random.
“Lagu apa, Ril?” tanyaku sedikit kesal.
“Bebas, Nji.”
Aku terdiam memikirkan apa perlu aku menyanyi buat Iril. Lebay banget rasanya.
“Kok lama banget sih, Nji. Buruan deh,” desak Iril.
“Bentar-bentar. Gw belum kepikiran mau nyanyi lagu apa, Ril,” sahutku.
“Jangan lama-lama dong, Nji. Terserah mau nyanyi lagu apa. Gw suka dengerin suara lo,” timpa Iril.
“......” aku hanya diam memikirkan lagu apa yang akan aku nyanyikan.
“Ayo dong, Nji..”
“Iya, iya, bentar, Ril.”
“Kalo udah ketemu lagu apa, ntar nyanyinya sambil elus-elus gw ya, Nji. Biar tidur gw jadi lebih pules.”
“Dih, banyak maunya nih.”
“Kan gw lagi jadi birthday boy. Boleh dong minta banyak ini itu, Nji?”
Aku terdiam. Tiba-tiba terpikirkan sebuah lagu. Ya, kenapa nggak aku nyanyiin lagu Happy Birthday saja?
Aku pun mengatur suara dan dengan tempo pelan, aku mulai bernyanyi.
“Happy birthday to you..”
“Happy birthday to you..”
“Happy birthday Dear Unying..”
“Happy birthday to you..”
“From good friend and true..”
“From old friend and new..”
“May good luck go with you..”
“And happiness too..”
“Happy birthday to you..”
“Happy birthday to you..”
“Happy birthday Dear Unying..”
“Happy birthday to you”
Di tengah nyanyianku, Iril tiba-tiba bergerak menurun dan memelukku. Dia menidurkan kepalanya di atas perutkuku.
“Sambil diusap dong, Nji,” ujarnya.
Jeez... Masih saja banyak maunya nih orang. Dengan sedikit berat hati, aku pun mengusap pelan rambut Iril. Karena kesal, aku plesetin saja lagu Happy Birthday-nya kalau begini.
“Happy birthday to you..”
“I went out to the zoo..”
“I saw a great monkey..”
“And he looked just like you..”
“Happy birthday to you..”
“Squashed tomatoes in stew..”
“You look like a monkey..”
“And you smell like one too..”
“Happy birthday to you..”
Aku berhenti bernyanyi. Juga berhenti mengusap-usap rambut Iril. Sedikit heran karena Iril tidak merespon lagu yang aku plesetin itu. Ternyata Iril sudah tertidur. Tertidur nyenyak di atas perutku.
Sigh! Aku menghela napas panjang. Aku pun ikut memejamkan mataku dan mulai untuk tidur.
“Happy birthday, Nying,” lirihku.
***
Bersambung ke Chapter 17.2 : Saturdate
@muffle : apanya dek yg gk ngerti?
@RenoF sipo sipo.. nih langsung aku post.. tp gk yg 17.2, itu nanti2 aja.. btw parah ngatain tomori saus tiram -__-
harusnya Indah bukan ini?
*belom kelar baca btw..balik lagi ke atas..
itu benerang Ajeng yg ngomong?
Aaaa. IRIL JINJAAAYOO?!! Itu. Itu. Itu. Itu. Itu. Bazeeeng, hawanya romens banget. Itu juga di kamar mandi yaampun. Bebener dah. Juga kenapa Panji bisa nurut aja sih? Yaampun. Susah pasti di posisi Panji. Iril menang banyaaak! x///D
mianhe tomori wkwkwk
bsok subuh lanjut lagi kan io
*eh pacar Iril maksudnya hahaha
@cute_inuyasha waduh, udah kebelet aja nih kak rhe.. katanya lagi saqaw..
@RenoF hmmm besok pagi bakal hectic bro.. sabar2.. iril romantis tis tis makan petis..
@Unprince yuhuuuu... Iril menang banyak.. yes yes yes.. teriak2.. iya, udah gw edit tuh.. thx un..
@greensun2 iya, udah diedit, thx broo
/gak tau diri/