BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Sepenggal Cerita Di Balik Gulungan Kertas [TAMAT] [Daftar Chapter di P1]

1100101103105106278

Comments

  • @keposeliro lagi galau nih beb, jomblo ditinggal sohib, kayaknya aku mau post chap 16 mlm ini ajadeh.. *desperate

    @AgataDimas gelundungan mulu lu!
  • wah malem ini update?asyik dah.
  • Mangkanya cari pacar atuh beb @MarioBros, biar kagak ngegalon mulu #peace :p
    Monggo atuh klo mau dipost sekarang, abis ntu take a good rest. Recharge your energy, biar bisa fresh dan semangat lagi. Mau kelonan sama gw? #eh =))

    Semangat! :*
  • @MarioBros

    Badan Gatal?? Minum Kalpanu
    *benarGaSih??

    Trik ampuh ngilangin gatal sih ada. Minum Baygon aja. Gatal hilang, nyawapun melayang
    #OOTketulangan
  • @3ll0 iya, ell.. ini lagi edit..

    @keposeliro boleh deh sini, tema kelonan cocok bgt sama chap yg ini.. *makingalau

    @Rifal_RMR woy!!! jangan jualan obat di sini!! *gaknyantai *lol
  • edited February 2015
    -- Chapter 16 : The Trapdoor --


    Tue, April 29th, Senior Year -- 11:43 p.m.

    “Kok lo malam banget, Nji, pulang dari KFC-nya?” tanya Iril yang dengan tiba-tiba masuk ke kamarku.

    “Tadi nemenin Mayang dan beberapa temannya ke Gramed. Juga nemenin mereka nyari makan. Terus nganterin mereka ke Damri Gambir, Ril,” terangku.

    Aku segera meletakkan tas selempangku dan melepas jaketku. Aku baru saja tiba di kosan setelah seharian menemani Mayang jalan-jalan sebelum dia pulang kembali ke Lampung. Sejurus kemudian, aku duduk menghadap Iril yang tengah bersandar di depan daun pintu kamar.

    “You know, gw sampe gila nih nungguin lo pulang. Lo nggak kangen apa sama gw?” ujar Iril.

    “Gw kangen lah, Ril. Ini kan ngambek lo yang paling lama. Pecah rekor tuh. Biasanya lo ngambek gak lebih dari sehari. Ini lama banget. Gw sampe menderita tau nggak sama rasa bersalah gw,” ungkapku.

    “Really? Kalo kangen, sini kita pelukan,” sahut Iril.

    “Aih, lebay ah pake peluk-pelukan gitu. Gw udah cukup kok dengan ngeliat lo balik lagi kayak biasanya,” timpaku. Oke, jujur aku kangen sama Iril. Wajar dong berhari-hari dia ngambek dan bikin aku ngerasa bersalah. Tapi jadi berlebihan kalau sampai harus peluk-pelukan. Sigh!

    “Yah, payah lu, Bray!” gumam Iril.

    “Hehe. Gapapa deh gw payah. Yang penting lo udah nggak ngambek lagi, Ril.”

    “Tapi kalo lo gak ngasih peluk, gw ngambek lagi nih, Nji.”

    “Yudah silakan, Ril, kalo mau ngambek lagi. Huhu.”

    “Ish, gak asik lo, Nji. Tapi gapapa deh, kita kan malam ini mau kelonan. Hehe. Buruan atuh, Nji, bersih-bersih badan, gw udah ngantuk nih.”

    “Ah sial! Yudah, lo tunggu sebentar ya. Gw mau gosok gigi dan cuci kaki dulu, Ril.”

    “Eh, gw ikut!”

    Aku dan Iril pun akhirnya berdesakan di dalam kamar mandi. Gila nih orang, nggak mau gantian apa, mana kamar mandinya sempit begini lagi. Tapi gapapa deh. Aku harus baik-baikin nih orang. Secara aku masih ngerasa bersalah sama dia.

    Setelah beberapa menit, aku dan Iril pun akhirnya siap untuk tidur. Aku mematikan lampu kamar dan langsung bergabung di kasur yang sama dengan Iril. Tidak ada pembicaraan antara aku dengannya. Mungkin karena masih terbawa dengan rasa bersalah dan rasa kecewa yang membuat kami menjadi sungkan antara satu sama lain.

    Jadinya, yang ada hanya hening. Hening yang membuatku berfikir tentang besarnya kekecewaan Iril kepadaku. Bahwa aku telah gagal memenuhi janji untuk lulus bareng dia dan aku yang seolah tidak menganggap dia penting karena tidak segera come out kepadanya. “I have done so much to hurt him, and still he is by my side right now,” batinku.

    Aku bergerak memiringkan tubuhku menghadap Iril. Dia belum tidur. Matanya masih terbuka. Tapi hanya diam menatap langit-langit kamar. Aku pun kembali berbaring, ikut menatap langit-langit kamar. Aku bertekad untuk tidak membuat Iril kecewa lagi.

    “Ril, maafin gw ya,” ucapku pelan.

    Iril tidak menjawab. Tapi tiba-tiba aku merasakan lengannya melingkar ke pundakku dan dia pun menarikku lebih dekat ke tubuhnya. Aku bergerak mendekat menerima kehangatan tubuhnya, lalu tanpa sadar kurebahkan kepalaku di dadanya. “Ril, I am so sorry,” bisikku lagi.

    Iril tetap saja diam. Yang aku tahu, aku merasakan pelukannya semakin erat melingkari pundakku.

    Selanjutnya, Iril meletakkan ujung dagunya di atas kepalaku, lalu berbisik, “Shh... stop saying that. You know I will always forgive you no matter how terrible you are. I just need my time to adjust some pains. What I need you to do is just to wait me patiently.”

    Tubuhku terasa bergetar mendengar kata-kata Iril. Entah kenapa, suasana menjadi sangat melankolis. Ini berlebihan untuk dua orang pria dewasa seperti kami, tapi kami tidak bisa menghindari luapan emosi yang muncul saat ini. Aku pun merasa belum cukup untuk mengucap maaf ke Iril. “Sorry banget ya, Bray,” tuturku lagi.

    Iril hanya diam. Membuatku merasa semakin bersalah. Aku pun mengucap maaf lagi dan lagi.

    “Nji, kayaknya lebay deh lo minta maaf mulu. Gw udah bilang kan kalo gw maafin lo,” sahut Iril.

    Sial! Ternyata Iril tidak terbawa suasana melankolis sepertiku. Padahal aku sudah serius meminta maaf. Sigh!

    Aku pun berniat menarik kepalaku dari dada Iril dan membawanya kembali ke bantal. Namun, Iril seolah tahu niatku itu dan dia langsung menahannya. Aku merasakan pelukan yang semakin erat darinya. Secara sukarela, aku membawa tubuhku lebih dekat ke tubuhnya, melingkarkan tanganku ke pingangnya dan dia pun menarikku lebih kuat. Aku hampir saja berbaring penuh di atas tubuh Iril.

    Aku bisa mendengar degup jantung Iril yang begitu kuat hingga aku merasa aku sedang berada di dalamnya. Aku bisa merasakan hembusan nafas iril yang menerpa kepalaku hingga seolah dia sedang membelai lembut rambutku. Dan tiba-tiba aku merasakan ada sesuatu yang aneh sedang terjadi padaku saat ini.

    Nafas Iril entah darimana memberiku sebuah sensasi luar biasa, yang somehow membuatku ingin semakin dekat dengannya. Aku pun mengangkat kepalaku pelan dan aku bisa melihat jelas garis wajahnya. Wajah yang tidak hanya berupa siluet meski sudah didekap cahaya remang. Wajah yang entah kenapa menjadi sangat kurindukan. And suddenly, I want to feel him more.

    Aku segera menarik kembali wajahku mengadap ke depan hingga aku bisa melihat tonjolan jakun di leher Iril. Sebuah perasaan asing yang tiba-tiba muncul membuatku ingin merasakan jakun itu. Dan tanpa sadar, aku pun menyentuh jakun Iril dengan bibirku yang bergetar. Aku mengecup pelan jakun Iril.

    “Geli, Nji.”

    Sontak aku berhenti dan langsung diam.

    “Dan ternyata badan lo berat juga ya, Nji. Hehe.”

    Aku akhirnya tersadar.

    Dammit! Aku terlalu terbawa suasana. Aku lupa kalau Iril ini straight. Sial! Sial! Sial! Kenapa juga aku sampai lepas kendali seperti ini ya? Dasar hormon gila!

    Dengan cepat aku melepas pelukan Iril dan membanting tubuhku kembali ke kasur. Aku sedikit kesal dibuatnya. Huft!

    “Udah, udah. Cepetan tidur ah!” tutupku.

    Aku pun memejamkan paksa mataku. Berharap untuk segera dijemput mimpi dan bisa melupakan kejadian barusan. Rasanya malu, seolah gengsiku langsung turun. Sumpah, nggak lagi-lagi deh kalo Iril main romantis-romantis-an. Pasti ujungnya hanya main-main. Dan akulah yang akan berakhir menjadi korban kejahilannya. Sigh!

    ***


    Sat, June 7th, Senior Year – 07:05 p.m.

    “Nji, lo lagi ngelamun?”

    Aku sedikit tersentak. Pertanyaan Baim yang tiba-tiba itu sukses membuyarkan lamunanku. Lamunan tentang momen aku dan Iril yang kembali baikan, ketika aku mengakui kesalahanku dan Iril menganggapnya seolah tidak terjadi apa-apa. Aku begitu bersyukur saat itu hingga tanpa sadar aku menjadi sangat menikmati kebersamaan dengannya. Meski setelah pulang dari Malang, aku menjadi sangat jarang bertemu dengannya. Sekalipun bertemu di kosan, pasti hanya saling sapa dan tidak lebih dari obrolan-obrolan pendek. Huft! Sepertinya aku kangen sama Iril.

    Aku pun kembali ke waktu sekarang. Mengatur ekspresi dan membuat semuanya tampak wajar.

    “Nggak, kok. Gw nggak ngelamun, Im,” elakku.

    Saat ini, aku dan Baim tengah makan bersama di Urban Pizza, salah satu resto pizza di pinggir Jalan Margonda. Resto ini bergaya pop-up dengan dominasi warna merah dan desain ruangan berbentuk kontainer kargo. Cukup nyaman untuk hangout dan mengisi perut.

    “Nji, lo bakal dateng ke sidang gw kan?” tanya Baim selanjutnya.

    “Kapan emang, Im?” sahutku sembari mengunyah Philadelphia Fruit Pizza-ku, puff pastry dengan topping potongan jeruk, kiwi, strawberry, dan buah segar lainnya yang ditaburi krim kacang renyah.

    “Masih tengah Juni sih. Tanggal dua puluhan,” ujar Baim.

    “Masih lama itu mah. Kenapa lo udah bilang dari sekarang, Im?”

    “Abis nggak ada bahan obrolan gini kita. Krik krik banget dari tadi. Obrolan kita kan nggak jauh-jauh dari urusan BEM dan Iril. Karena BEM udah kelar, mau gak mau kita bisanya ngomongin Iril deh, Nji.”

    “Hahaha yudah ngomongin dia aja kalo gitu. Kalo dia kapan sidangnya, Im?”

    “Dua hari setelah gw, Nji. Lo dateng kan?”

    “Gw pasti datenglah ke sidang kalian berdua.”

    “Good. Oh ya, gimana hubungan lo sama Pak Dokter?”

    “Just so so, Im. Gw makin ngerasa nyaman sih sama dia, tapi status nggak berubah. Huhu.”

    “Aish, kenapa gitu? Kalian masih malu-malu?”

    “Tauh ah. Gw males mikirinnya. Gw jalani aja, Im.”

    “Lo mulai kayak Iril, Nji. Easy going, gak mau banyak mikir. Tapi seenggaknya kepala lo masih ada isinya. Hahaha.”

    “Hahaha. Kita ngomongin Iril lagi. Lo kangen ya, Im, sama dia?”

    “Idih, ngasal banget lo, Nji.”

    “Ah udahlah bilang aja. Lo kangen kan sama dia, Im?”

    “Iya gw kangen pengen bejek-bejek dia. Gw kangen berantem sama dia. Dia mah sekarang sibuk. Jadi serius banget. Nggak asik lagi.”

    “Nggak juga ah. Dia masih kayak biasanya, Im.”

    “Lo kan udah jarang ketemu dia, Nji. Ya, lo nggak tau aja kalo dia berubah. Gw yang sejurusan sama dia masih sering ketemu. Jadi gw bisa nyimpulin kalo dia agak berubah sekarang.”

    “Lo perhatian banget sama Iril ya, Im. Jangan-jangan lo juga belok lagi.”

    “Enak aja! Semua orang aja jadi belok! Bilang aja lo cemburu, Nji.”

    “Hahaha buat apa gw cemburu?”

    “Ya siapa tau lo mulai ngelirik gw atau Iril. Kan gay suka gak kuat nahan godaan mata, Nji.”

    “Heyy, don’t be such judgemental, dude. Gw bukan cowok sembarangan yang suka sama sembarang cowok. Gw pasang standar, Im.”

    “Halah! Sama aja lah, Nji.”

    “Terserah deh. Gw males berantem sama lo, Im. Hehe.”

    “Tuh kan, lo mah nggak pernah nanggepin gw. Ngalah mulu lo, Nji! Kalo Iril pasti ngeladenin gw deh.”

    “Aih, gw kan cinta damai. Yudah, lo ajak dia berantem aja, Im.”

    “Kan udah gw bilang, Nji, kalo dia jadi nggak asik lagi sekarang.”

    “Yaudah, lo berantem sama Ibam aja. Percuma punya adek cowok kalo gak dijailin.”

    “Ibam mah batu. Gak asik diajak maen, Nji. Apalagi dia sekarang suka sibuk sama temen barunya.”

    “Temen baru yang mana, Im?”

    “Itu loh, yang dulu ngikutin kita di Lampung. Yang lo pergokin ngumpet di toilet mall.”

    “Oh, si Adri ya?”

    “Nah, iya itu lah siapapun namanya. Heran gw, kenal darimana mereka.”

    “Darimana aja bisa kan? Internet? Forum? Banyak dah.”

    “Jangan-jangan adek gw juga belok lagi, Nji.”

    “Hahaha makin rempong aja lu, Im. Emang kenapa kalo adek lo belok?”

    “Gak tau juga sih. Udah ah, pusing mikirinnya.”

    Obrolan antara aku dan Baim semakin tidak jelas. Dari gosipin orang sampai gosipin film. Oke, akhirnya kami memiliki bahan pembicaraan yang cocok, yaitu ngobrolin film, tapi tetap saja yang diobrolin adalah orangnya. Baim memang penyuka film; dia mengaku jadi suka gemas dan marah-marah juga karena kebiasaannya nonton film psikopat yang dikombinasikan dengan serial Tersanjung. Kok bisa?

    “Rasanya gw pengen naruh psikopat buat ngebunuhin orang-orang di Tersanjung dah, Nji. Gemes dan kesel banget gw nontonnya, bego-bego banget karakternya,” ujar Baim.

    “Hahaha masa kecil lo kurang bahagia ya, Im. Udah teracuni sinetron macam Tersanjung,” aku berkomentar.

    “Nggak cuma tersanjung, Nji. Masih ada Tersayang, Terhormat, Terpukul, Terpejam, Terdampar, dan semua sinetron kampret yang pernah gw tonton pas kecil. Heran deh gw kenapa dulu doyan nonton begituan.”

    “Yang sabar ya, Im. Wakaka. Untungnya nyokap gw nggak ngasih gw tontonan begitu dulu.”

    “Gila dah, Nji. Sampe sekarang gw masih keingetan sama jurus rawaronteknya grandong.”

    “Bukannya itu jurusnya Mak Lampir ya, Im?”

    “Oh iya, ya? Tauk ah bodo. Campur-campur tuh isi kepala gw dulu, antara mak lampir, dendam nyi pelet, jaka tingkir, jaka tarub, sampe angling dharma. Tapi mendingan gw lah, daripada lo nontonnya Teletubies, Nji.”

    “Ngasal lu! Tontonan gw berkelas ya. Beatbox Beatleborg, Ultraman, Godzilla, Saint Saiya, Dragon Ball, Arale, dan banyak lagi, Im.”

    “Tetep aja lo kayak anak kecil, Nji. Sering nggak peka!”

    “Aih, sok tua lu, Im. Lo juga kayak bocah kerjaannya marah-marah mulu. Hehe.”

    “Walau gimanapun, gw setahun lebih tua dari lo, ya, Nji!”

    “Gw iyain aja deh. Takut kena gaplok.”

    “Kampret lu, Nji!”

    Obrolan tidak penting antara aku dan Baim terus berlanjut hingga hidangan di meja kami habis tak bersisa. Tiba-tiba saja Ajeng dan Lena datang menghampiri kami. Namun, Baim justru keluar untuk menerima telepon, sedangkan Lena tiba-tiba sakit perut dan langsung ke kamar mandi. Tinggalah gw berdua dengan Ajeng.

    “Anah, kenapa si Lena malah langsung ke WC? Makan aja belum,” ujarku melihat Lena yang langsung beranjak dari kursinya.

    “Siapa bilang Lena mau pesen makan? Dia ngajak kesini karena udah kebelet dan butuh tempat buat beol,” sahut Ajeng.

    “Idih, gw kira dia mau makan. Ternyata cuma numpang beol. Sama aja kayak Chandra dia, perhitungan banget. Pelit.”

    “Hahaha pelit-pelit gitu dia orangnya baik. Gak semedit Chandra kali, Nji.”

    “Halah! Sama aja. Huhu.”

    “Btw, Nji. Bromance lo udah ganti nih? Jadi si Baim?” sindir Ajeng, teman dekatku, orang pertama yang tahu tentang orientasiku.

    “Apasih, Jeng.”

    “Gw jadi lucu gitu ngeliat lo belok, Nji. Bawaannya jadi pengen jodoh-jodohin tiap ngeliat lo jalan sama cowok cakep.”

    “Sial! Lo juga tuh. Sismance lama-lama bisa jadi lesbi, baru tau rasa lo!”

    “Weittss. Gw masih doyan cowok, brooo..”

    “Hahaha, gw juga masih doyan cewek kok. Cuma untuk sementara lebih kagum ke cowok. Tapi gw juga pasang standar kali, Jeng.”

    “Iya gw tahu kok. Selera lo kan tinggi. Cewek secantik gw aja lo gak tergoda, Nji.”

    “Huhu narsis lu, Jeng!”

    “Nggak narsis coy. Gini-gini gw laku keras loh. Gw tolakin tuh cowok-cowok yang selama ini deketin gw, karena gw berharap sama lo, Nji. Eh, taunya lo belok.”

    “Duh, jangan nyalahin gw dong, Jeng. Tapi kalo sekarang emangnya masih ada yang deketin lo nggak?”

    “Ada tuh. Anak kosan lo!”

    “Tunggu, biar gw tebak. Bang Zaky ya?”

    “Yup!”

    “Wih, terus lo gimana, Jeng? Lumayan loh Bang Zaky.”

    “Gw belum tauk, Nji. Kayaknya dia getol juga sih. Mungkin dia pengen cepet dapet pendamping wisuda. Hahaha.”

    “Ciee ciee yang mau jadi pendamping wisuda.”

    “Iya dong. Meski gak jadi wisuda tahun ini, seenggaknya gw bisa jadi pendamping wisuda tahun ini. Gara-gara lo sih, Nji.”

    “Duh, jadi nyalahin gw lagi lo, Jeng.”

    “Hehe, sorry-sorry. Tapi lumayan sih Bang Zaky, Nji. Dan kalo beneran dia ngajak gw jadian, gw nggak akan nolak.”

    “Kalo kalian jadian, berarti impian lo buat punya pacar anak Teknik terkabul dong, Jeng?”

    “Ah, iya juga ya. Dulu gw bilang kalo gw pengen punya cowok anak Teknik. Wakaka. Jadi lucu kalo inget jaman-jaman ababil dulu.”

    “Tapi bukannya lo dulu juga bilang kalo lo nggak pengen sama orang Minang, Jeng?”

    “Iya juga ya, Nji. Abis gw dulu mikir semua orang Minang itu perhitungan banget sih, Nji. Susah kan kalo pacaran sama mereka. Tapi sampe kesini-sini gw nggak sekolot itu sih. Gw sadar kalo gw dulu overgeralisasi. Mungkin karena gw tahu kalo Bang Zaky yang meski orang Minang tapi tetep keliatan royal. Atau mungkin juga karena gw yang udah terbiasa temenan sama Lena yang kata lo pelit itu, Nji.”

    “Hahaha, iya juga tuh, Jeng. Tapi kalian cocok kok. Gw dukung deh.”

    “Pokoknya kalo gw sampe jadi sama Bang Zaky dan nikah sama dia, lo jadi WO-nya ya, Nji.” (*WO : Wedding Organizer)

    “Wih, jauh banget lo mikirnya sampe nikah gitu, Jeng.”

    “Iyalah, keburu dia jadi belok kayak lo, Nji. Cowok straight yang berkualitas makin susah dicari sekarang. Kalo gw bisa dapet, gw gak akan lepasin tuh.”

    Aku hendak merespon kalimat Ajeng, tapi obrolanku dengannya tiba-tiba terpotong oleh kedatangan Lena dan Baim secara bersamaan. Ternyata benar, Lena hanya menumpang buang air besar. Tanpa ba-bi-bu, kamu pun keluar meninggalkan Urban Pizza.

    Rasanya menyenangkan bisa berkumpul dengan mereka. Meski ada yang kurang, tapi momen-momen seperti ini harus dinikmati baik-baik. Dan tiba-tiba aku teringat kembali dengan Iril. Dia apa kabar ya? Sudah lama aku tak bersua dengannya. Apa benar dia sudah berubah sekarang seperti kata Baim? Apa dia menjadi orang yang berbeda?

    ***


    Wed, June 25th, Senior Year – 08:23 a.m.

    “Chandra, lo di kosan aja kan siang ini?” tanyaku ke Chandra yang tiba-tiba masuk ke kamarku, mengulang kebiasaannya menjarah indomie-indomie-ku.

    “Kagak, Nji. Kenapa emang?” sahut Chandra.

    “Bangunin gw jam setengah sepuluh ya, Chan.”

    “Mau ngapain emang, Nji?”

    “Mau siap-siap ke sidangnya Iril. Dia sidang jam sepuluh kan ya?”

    “Bukannya jam satu ya, Nji?”

    “Oh ya? Lo serius?”

    “Iyalah serius. Si Iril bilangnya jam satu kok, Nji.”

    “Hmmm gitu ya. Gapapa deh, tetep bangunin gw jam setengah sepuluh aja.”

    “Yudah deh. Lo udah pasang alarm juga kan?”

    “Iya, tapi takutnya gw nggak kebangun. Jadi tetep bangunin gw jam sepuluh ya.”

    “Oke deh, Nji. Makasih nih indomie-nya.”

    Chandra pun menghilang setelah berhasil menggendol beberapa bungkus indomie-ku. Benar kata Iril, kalo kebaikanku ke Chandra justru jadi moral hazard; aku diporotin.

    Sigh! Tidak apalah, toh aku butuh bantuannya untuk membangunkanku jam sepuluh nanti. Sebenarnya aku tidak ingin tidur, tapi jujur aku ngantuk sekali. Sebulan terakhir ini pola harianku berubah; banyak begadang, tidur pagi, dan sering telat sholat. Apa penyebabnya ya?

    Dreeeet...

    Ponselku bergetar. Ada sebuah pesan WhatsApp yang masuk. Dari Indah.


    Indah : “ Panji, Annyeong :)

    Panji : “ annyeong juga “

    Indah : “ Lo dateng ke sidang Iril kan? ”

    Panji : “ iya, knp ndah? ”

    Indah : “ Bareng dong. Gw sendirian nih. Pasti nanti penuh sama anak HI. Masa gw anak Kom sendirian “

    Panji : “ yudah, ntar ketemu di SBAL jam 09:50 ya “

    Indah : “ Aigo, itu kepagian kali Nji. Katanya, Iril sidang jam 1. Jam segitu masih Alex yg sidang. “

    Panji : “ Oh ya? Lo kata siapa, Ndah? “

    ........


    Indah begitu lama meresponku. Aku semakin mengantuk.

    Setelah berkali-kali menguap, aku pun merebahkan tubuhku ke kasur. Sedikit demi sedikit aku mulai memejamkan mata dan melambungkan kesadaranku ke alam mimpi. Ya, aku sudah mulai bermimpi.

    Kriiiing Kriiiing....

    Aku terbangun oleh alarm HP-ku yang tiba-tiba berbunyi. Dengan malas, aku meraihnya dan mematikannya. Aku melirik sebentar ke layar jam HP-ku. Pukul 12:30. Shit! Tiga puluh menit lagi sidang Iril dimulai. Chandra kemana sih? Kenapa nggak bangunin aku jam sepuluh?

    Aku bergegas bangun. Apa aku tidur senyenyak itu. Aku biasa memasang alarm beruntun: pukul 10, pukul 11, pukul 12, dan seterusnya. Dan setiap alarm akan snooze sampai 30 menit kecuali jika aku dismiss. Dan nyatanya, aku baru bangun di alarm pukul 12:30. Itu artinya, waktuku tinggal 30 menit lagi untuk mandi dan berangkat ke kampus. Iril, tunggu sebentar ya.

    Butuh waktu sekitar sepuluh menit untuk mandi, dan lima selanjutnya untuk berdandan. Tinggal tersisa lima belas menit untuk berangkat ke kampus, dan sepertinya masih bisa terkejar. Sembari berjalan gontai menyusuri gang, aku membuka kembali ponselku. Ada puluhan panggilan tak terjawab. Dari Iril dan Baim. Dengan cepat aku menghubungi Baim.

    “Halo, Im. Sidangnya belum mulai kan?” tanyaku ke Baim.

    “Udah telat, Nji. Parah banget lu! Sidangnya udah kelar, cuy!” teriak Baim.

    Aku terdiam, langkahku terhenti. What?

    “Lo kemana aja sih, Nji? Gw telpon-telpon daritadi, gak diangkat-angkat,” cerocos Baim.

    “Im, bukannya sidang Iril mulainya jam satu ya?”

    “Jam sepuluh, cuy. Lo ngarang darimana dah, Nji?”

    “Aish, si Chandra bilangnya jam satu, Im.”

    “Yaelah, lo percaya sama tuh orang? Kan gw bilangnya jam sepuluh.”

    “Iya sih, gw juga nggak percaya sama Chandra. Makanya gw minta bangunin dianya jam sepuluh. Tapi gw kebablasan tidur sampe jam dua belas, Im. Duh, gimana ya?”

    “Gw nggak tauk ah. Si Iril bete banget tuh, Nji.”

    “Serius lo, Im? Sekarang dia dimana?”

    “Masih di Takor. Lo buruan ke sini deh, minta maaf.”

    “Iya, Im. Ini gw udah otewe.”

    Aku mempercepat langkah. Sial banget sih! Aku semakin merasa bersalah kalau begini. Padahal aku udah janji untuk hadir ke sidang Iril. Setidaknya itu kompensasi karena aku nggak bisa nepatin janji untuk lulus bareng dia. Tapi kenapa aku malah mengingkarinya? Cuma karena ketiduran lagi.

    Arrggghh...

    Setibanya aku di kampus, aku terdiam melihat Iril dari kejauhan. Napasku terengah-engah. Tubuhku juga berkeringat. Sudah lama sekali aku tidak berolahraga karena alasan paska operasi kakiku ini. Ternyata jadi selelah ini.
    Iril terlihat sibuk menjabat tangan teman-temannya yang memberinya ucapan selamat. Iril lulus!

    Setelah agak sepi, aku mendekat ke arah Iril. Iril melihatku dan ekspresinya sedikit berubah. Dia kesal denganku, sepertinya begitu.

    “Ril, selamet ya,” kataku sembari mengulurkan tangan ke arahnya.

    Iril hanya diam mengabaikanku. Aku jadi semakin merasa bersalah. Bukankah aku udah janji untuk nggak bikin Iril kecewa lagi? Teman macam apa aku ini?

    “Ril, sorry banget, gw ketiduran, gw nggak lupa soal sidang lo, gw udah pasang alarm, udah minta tolong Chandra buat bangunin gw, tapi sialnya gw baru kebangun jam setengah satu,” terangku cepat.

    Iril masih diam.

    “Ril, jangan gitu dong. Gw sadar gw salah. Maafin gw ya,” sambungku.

    Iril tetap saja diam.

    “Ril, please banget. Kan kita sohib,” lanjutku.

    Iril hanya melirikku lalu berjalan menjauh. Aku mengikutinya. Jalannya semakin cepat. Dia menuju ke suatu tempat di luar area fakultas. Mau kemana sih dia?

    Aku terus mengikuti Iril. Hingga akhirnya dia berhenti dan aku pun menghentikan langkahku. Aku baru sadar kalau kami sudah berada jauh dari gedung fakultas. Kami sudah berada di tepi hutan UI. Sepi. Dan sunyi. Iril mau apa sih?

    “Ril, maafin gw dong,” kataku memohon.

    Iril masih saja diam.

    “Please, Ril. Lo mau apa deh nanti gw penuhin.” Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutku. Ya, aku rela melakukan apapun demi menebus kesalahanku.

    Tapi Iril tetap bergeming. Aku semakin frustasi.

    “Ril, gw harus ngapain nih supaya lo maafin gw? Lo minta apa aja deh, gw janji akan gw tepatin. Tapi yang rasional ya,” pintaku dengan sedikit menawar.

    “Nji, gw kecewa banget sama lo!”

    Deg! Kalimat itu benar-benar menyayat hati. Lagi-lagi aku mendengar ungkapan kecewa dari Iril. Aku tidak tahu lagi bagaimana cara mengungkapkan rasa bersalahku ke dia kalau begini.

    “Iya, Ril. Lo pantas kecewa sama gw. Tapi gw mohon maafin gw ya. Lo boleh minta apapun deh.”

    “Apapun, Nji?”

    “Iya. Selama masih rasional ya!”

    “Yah, ternyata lo tetap ngasih syarat, Nji. Ternyata lo gak tulus minta maafnya.”

    “Ayoklah, Ril. Gw serius nih pengen minta maaf sama lo.”

    “Nji, lo yakin mau ngelakuin apapun buat gw?” tanya Iril memastikan.

    “Iya. Asal masih rasional!” tegasku.

    “Lo inget kapan ulang tahun gw kan?”

    “Pasti, Ril. Empat Juli kan?”

    “Yup!”

    “Terus kenapa, Ril. Lo mau minta kado apa dari gw?”

    Iril tidak menjawab. Tiba-tiba dia justru mendekatkan tubuhnya ke tubuhku. Begitu dekat hingga aku bisa merasakan hembusan napasnya di pipiku. Apa dia mau menciumku? Tapi kenapa aku berdebar-debar seperti ini ya? Bukannya Iril sudah pernah menciumku sebelumnya? Iril mau ngapain sih? Kenapa cuma diem aja? Kenapa lama banget.

    Dag dig dug. Jantungku berdetak semakin cepat. Iril menatap mataku tajam. Napasnya berhembus hangat menerpa kulit wajah hingga wajahku pun ikut menghangat, sepertinya memerah. Perlahan aku memejamkan mata. Apa Iril mau menciumku? Itukah cara untuk dia memaafkanku? Cara yang mudah! Tapi kenapa aku jadi grogi begini ya? Apa karena aku sudah lama tidak bertemu Iril? Apa karena sekarang aku menerima kalau aku jadi gay? Duh, Iril mau apa sih, kenapa lama sekali?

    Aku menekan kelopak mataku, semakin kuat. Aku menggigit bibir bawahku. Wajah Iril semakin mendekat. Ya Tuhan, benar-benar dekat. Aku bisa merasakannya bahkan tanpa melihatnya.

    Tapi tiba-tiba saja Iril membisikkan sesuatu ke telingaku. Dia tidak menciumku tapi dia berbisik, mengatakan sesuatu untukku.

    Deg!

    Jantungku serasa berhenti seketika mendengar bisikan Iril.

    “Apa!!? Lo gila ya, Ril? Lo nggak lagi becanda kan?” tanyaku cepat.

    “Gw serius, Nji. Tapi terserah lo sih. Gw pengen liat lo tulus mau minta maaf sama gw atau nggak,” ujar Iril.

    Aku berpikir sejenak. Aku rasa tidak akan seburuk itu jika aku menuruti kata-katanya.

    “Tapi janji cuma sehari aja ya?” tawarku.

    “Iya,” jawab Iril mantap.

    “Tapi jangan macem-macem ya, Ril.”

    “Lo kebanyakan tapi-tapi-nya, Nji. Kalo lo keberatan bilang aja!”

    “Hmmm... Iya deh.”

    “Deal nih, Nji?”

    “Iya, deal!”

    “Nah gitu dong, Nji.”

    Iril tersenyum kepadaku. Aku juga tersenyum balik.

    “So, we are cool, aren’t we?” tanyaku.

    “Sure, we are!” tegas Iril mantap.

    Iril pun berbalik dan berjalan kembali menuju gedung fakultas. Dia bersiul-siul. Aku mengikutinya dari belakang. Meski aku sudah setuju dengan kesepakatan bersama Iril, aku merasa dari awal kalau Iril tidak benar-benar marah denganku.

    Sepertinya dia memang sengaja bersikap seperti itu supaya aku mengabulkan permintaannya. Tapi jika dipikir-pikir, tidak buruk juga sih permintaan Iril.

    Ah, tetap saja aku penasaran. Kayaknya aku dijebak deh. Kenapa aku seceroboh ini ya, nggak sadar kalo aku dijebak begini.

    Dengan cepat, aku merogoh ponselku dan menghubungi Chandra. Namun panggilanku tidak terjawab. Aku coba menghubungi Indah saja kalau begini. Dan untungnya langsung diangkat.

    “Halo, Nji. Lo tadi kemana dah? Gw sendirian tau,” kata Indah cepat.

    “Gw telat dateng nih, Ndah,” sahutku.

    “Kok bisa, Nji?” tanya Indah.

    “Lo gimana sih, Ndah. Kan kata lo sidangnya Iril mulai jam satu,” jawabku.

    “Iya gw taunya juga jam segitu tadi. Tapi gw tanya ke Baim lagi, dan katanya jam stengah sebelas. Jadi gw langsung dateng.”

    “Kenapa lo nggak ngehubungin gw, Ndah?”

    “Mianhae. Gw kira lo pasti udah tauk, Nji.” (*Mianhae [bhs Korea] = maaf)

    “Gw ketiduran, Ndah.”

    “Jinjja? Pantes aja kalo gitu.” (*Jin-jja [bhs Korea; baca: cinca] = serius?)

    “Btw Ndah, lo dikasih tau siapa sih kalo sidangnya jam satu?”

    “Dikasih tau Chandra, Nji.”

    Tuuuuuut...

    Aku langsung memutus sambungan telepon dengan Indah. Dengan cepat aku menelpon Chandra lagi. Panggilan diabaikan. Lagi dan lagi. Hingga akhirnya, panggilanku diangkat juga.

    “Halo, Chan. Lo tadi gak bangunin gw ya?” tanyaku ke Chandra seketika dia mengangkat teleponku.

    “Aih, lo udah bangun, Nji?” Chandra malah menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan.

    “Lo sengaja bohongin gw ya kalo sidang Iril jam satu? Lo juga sengaja gak bangunin gw kan? Gw tahu semuanya kok,” aku mengarang asumsi. Semoga Chandra keceplosan.

    “Hah? Lo udah tauk, Nji?”

    “Iya, udah!”

    “Yudah kalo gitu. Hehe.”

    “Heh, Chan. Cepet ceritain semuanya.”

    “Lah, katanya lo udah tauk semuanya, Nji?”

    “Yang gw tauk, gw gak akan lagi ngasih lo indomie lagi, Chan.”

    “Duh, jangan gitu dong, Nji.”

    “......” aku diam memainkan skenario.

    “Gw tadi udah ngebangunin lo, Nji. Tapi lo nyenyak banget tidurnya.”

    “.......”

    “Nji, gw minta maaf deh. Gw cuma dimintain tolong sama Iril.”

    “......”

    “Iril ngebayar gw buat ngebohongin lo dan buat nggak ngebangunin lo tidur.”

    Tuuuuutt...

    Aku langsung mematikan ponselku. Dengan cepat aku mengejar langkah Iril. Aku berjalan di sampingnya.

    “Ril, lo ngejebak gw ya?” selidikku.

    “Ngejebak apaan, Nji?” balas Iril.

    “Lo ngebayar Chandra buat bohongin gw dan nggak bangunin gw kan? Lo ngejebak supaya gw telat dan mohon-mohon maaf sama lo?”

    “Tapi kenyataanya lo kena jebak kan, Nji?”

    “Deal-deal-an kita batal kalo gitu!”

    “Nggak bisa dong. Ingat, Nji, pria sejati pantang menarik janjinya!”

    “Tapi--”

    “Kenapa, Nji? Sesusah itu kah? Padahal gw udah kasih Reciprocal Concessions kan?” (*Reciprocal Concessions = istilah Psikologi Sosial dimana seseorang menurunkan permintaan awalnya sehingga responden lebih setuju terhadap permintaannya yang kedua. Iril sering memakainya untuk merujuk pada kesepakatan yang telah diberi berbagai opsi kemudahan atau pengurangan tingkat kesulitannya)

    “Tapi itu gila, Ril.”

    “Itu udah lenient, Nji. Apakah seberat itu buat menebus rasa bersalah lo ke gw?” (*Lenient = longgar / permisif)

    Aku terdiam. Oke, sepertinya aku berlebihan. Tidak ada masalah besar dengan kesepakatan antara aku dan Iril sebenarnya.

    “Iya, iya,” dengusku sedikit kesal. Tidak benar-benar kesal. Hanya merasa aku sudah ditipu.

    “Sip! Jangan lupa ya empat Juli nanti. Sekarang gw mau fokus revisian skripsi dulu. Biar nanti lebih santai pas hari itu tiba,” ujar Iril.

    Aku berhenti mengikuti Iril. Hanya memandanginya yang berjalan santai meninggalkanku. Dan entah kenapa, aku sedikit senang mendengar bisikan Iril tadi. Meski tak bisa kupungkiri, kalau aku juga merasa nervous di waktu yang sama.

    Yosh! Aku udah janji, jadi harus aku tepati. Lagian, itu bukan masalah besar untukku.

    Oh ya, kalian ingin tahu apa yang Iril bisikkan kepadaku tadi?

    “Nji, gw mau lo jadi pacar gw. Sehari aja. Sebagai kado ultah dari lo buat gw.”

    Itulah yang Iril katakan padaku. Iril menyebutnya ONS alias One Night Stand. Padahal sih jadinya ODS, One Day Stand. Tapi whatever. Mendengar kata ONS, pikiranku jadi macam-macam. Semoga saja tidak. Huft! Ganbatte, Panji!

    ***


    Bersambung ke Chapter 17.1 : Birthday Boy
  • P.S.

    Masih ingat sama ask.fm Iril yang 'jodoh itu ditunggu atau dicari?' dan Iril jawabnya, 'DIJEBAK' ... Dan here you go, Panji, lo udah dijebak sama Iril.

    Chapter 17 akan di-split jadi 3 chapter : 17.1; 17.2; dan 17.3, kenapa? gapapa, gw pengen aja nge-split-nya jadi 3.. *garing
  • edited February 2015
    Huwaaaaaa,, LIKE,, guling-guling,, /gelundungan bareng @Unprince/ kitorang bahagia,, udah nji gk usah jaim,, iril udah segitunya,, jadi penasaran dg keseruan pacaran mereka gmn,, aaaaaaak gw gila!!!!!!!

    iya gw langsung kepikiran ask.fm iril,, gila mantep bgt lah @mariobros,, terus dialog yg part tengah itu informatif bgt ke karakter sih,, misal jd tau kalo Bang Zaky itu anak FT n Minang,, jadi tau kalo Baim setahun lebih tua dari panji (& Iril kah),, jadi tau kabar klo Badri lagi deket sama Ibam (Mayang jago!!),, danjadi tau tgl ultah Iril,,

    berati gini ya,,
    Baim 19 April thn X,, Panji 7 Januari thn X+1,, dan Iril 4 Juli tahun X+1 (?)

    omegad!! baru inget sama kelonannya Iril-Panji,, itu kejadiannya sblm ke malang kan,, pantes panji jd kapok dibecandain sm iril,, iril parah sih!! tp Iril jago juga,, dan chandra benar2 matre,, dan Indah Korean-holic sepertinya,, pantes di awal2 muncul Indah pake istilah2 korea,, hosh hosh sampe keringetan ngetiknya,,
  • OOO? Jinjjayo? Panji-ssi?!! Aigoo. Neonneun jeongmal michigetda :v

    watdafak banget itu jilat-jilat jakun :v apa ngga geli. Wiwiwiwi (O///O) ONS katanya brai. Mau? Panji mau? Whoooaaakakakak. Kepalaku mendadak gatel bayangin hari H :v
  • Ini apapula bocah masih kekeuh gelundungan bareng. (=A=) /tendang @AgataDimas /
  • @MarioBros
    Lanjut,,, lanjut!!!
    #bawaSpanduk
    #demo

    lanjut dong,,,,,
    *tampangMules,,,,
    #ew
  • /galayutan di kaki @Unprince/ wakaka,, eh gk dijilat kali jakunnya iril,, tp dikecup,, gw jg pengen deh ngecup jakunnya @mariobros,,
  • Haaaa... Aku ketinggalan serunya...
    T,T
    Anyway, chap15 kok kelihatan yah si Panji kyakny biasa aja tuh sama Tomori. Cuma tdi msih ad aura cemburuny pas Erfan muncul.

    Hehehe,, makin senang sama Panji. Makin jujur sama perasaan sndiri. Pake gaya malu2 kucing lagi, duh... Nice move Iril ! Salut dah buat buat I-Pan !

    Kok bang @MarioBros galau gitu tampangny ? *sok tahu.
  • Haaaa... Aku ketinggalan serunya...
    T,T
    Anyway, chap15 kok kelihatan yah si Panji kyakny biasa aja tuh sama Tomori. Cuma tdi msih ad aura cemburuny pas Erfan muncul.

    Hehehe,, makin senang sama Panji. Makin jujur sama perasaan sndiri. Pake gaya malu2 kucing lagi, duh... Nice move Iril ! Salut dah buat buat I-Pan !

    Kok bang @MarioBros galau gitu tampangny ? *sok tahu.
Sign In or Register to comment.