BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Insiden Metromini

Insiden Metromini

“Terimakasih atas kehadiran kalian semua dalam gladiresik wisuda Universitas ke-26 sebagaimana telah kita jalani tadi. Kami harap Wisuda besok berjalan baik tanpa hambatan berarti. Bagi yang belum sholat ashar, mesjidnya ada di belakang gedung ini. Wassalamu’alaikum. Wr. Wb.”

“Wa’alaikumsalam. Wr. Wb.”

Serempak para calon wisudawan/wisudawati beranjak dari kursi yang mulai terasa tidak nyaman diduduki, bayangkan kami disuruh berkumpul di sini jam 2 siang, tapi acara gladiresik baru dimulai setengah jam setelah adzan ashar berkumandang, yupzz jam setengah empat!

Beberapa temanku yang ‘rajin’ memilih menjadi anak manis dan duduk menunggu dengan tenang di dalam gedung ini, gedung Sasana Kriya, TMII, gedung dimana kami akan diwisuda esok hari.

‘Paling sebentar lagi mulai. Udah duduk aja yang anteng.’ ucap salah satu dari mereka santai, tapi menunggu tanpa kepastian dalam keadaan lapar adalah bukan sesuatu yang menyenangkan, maka aku dan ke-empat temanku yang senasib memilih keluar untuk mengisi perut.

Beruntungnya kami, tepat ketika kami kembali ke gedung Sasana Kriya, para wisudawan/wisudawati baru berbaris di depan pintu depan untuk memasuki gedung, kami datang tepat waktu, ‘Emang rezeky anak soleh~ hehehe…’ batinku konyol kala itu.


“Yukk pulang! Besok kudu bangun pagi bro!” ucapku pada ke-empat temanku.

“Iya bener! Gue mau istirahat! Buru deh kita pulang!” jawab Theo, satu dari ke-empat temanku.

“Ayo dah! Gue juga udah capek banget!” sambung Nuno.

“Mau bareng sama anak-anak laen gak?” tanya Tari, satu-satunya wanita di antara kami.

“Gak usahlah, toh mereka juga udah jauh noh!” balas Dio.

“Yowesss, yokk pulang! Eh tapi gue pengen pipis!!!” seruku kencang.

“Ahh beser* lo mah, kebiasaan! Yaudah ke mushola yang tadi aja, kan ada toiletnya tuh,” sembur Dio padaku.

Kami lalu beranjak dari depan gedung Sasana Kriya menuju mushola yang tadi sempat kami datangi saat mengisi perut, kebetulan ketika kami selesai makan tadi, adzan ashar berkumandang maka sebelum kembali ke gedung tempat kami mengadakan gladiresik, kami menyempatkan diri untuk ke mushola kecil itu dulu, Mushola yang berdiri tepat di samping Museum Olahraga.

“Udah?” Theo bertanya padaku sesaat setelah melihatku keluar dari toilet.

“Kalo belom mah gue gak keluar bro!” jawabku sengit.

“Yakali lu berubah pikiran terus pengen pipis tuh di bawah pohon,” balasnya konyol sambil menunjuk pada pohon di samping kanan kami.

“Malesin! Lu aja sono! Hahaha…” jawabku sambil diiringi tawa. “eh, pinjem dua rebu donk, gue gak ada receh,” lanjutku.

“Buat apaan?”

“Buat bayar toilet, lo gak liat ni kotak tulisannya ‘Rp. 2.000’!” ujarku sambil menunjuk kotak yang memang diletakkan persis di depan pintu toilet.

“Wkwkwk iya juga! Nih,”

“Thanks bro! Eh btw, gue gak bayar juga gak bakal ketauan ya, orang gak ada yang jagain hahaha..”

“Yeeii itu sih tergantung hati nurani ya!” ujar Theo keras.

“Canda! Etdah galak amat gan! Hahahaha..” ujarku masih sambil tertawa kecil.

“Udeh-udeh jangan pada becanda deh! gue mau pulang nih, bentar lagi magrib!” sambung Dio menengahi kegilaanku dan Theo.

Dengan itu kami kembali mengambil langkah untuk meninggalkan TMII untuk kembali ke rumah kami masing-masing.

“Eh, mau lewat pintu mana nih? Pintu 2?” tanya Tari kepada kami. Kebetulan pintu keluar terdekat dari tempat kami saat itu adalah pintu 2.

“Yakin lo tuh pintu masih buka? Jam berapa nih? Noh liat gerbangnya aja nutup rapet gituh,” ujar Nuno sambil menunjuk ke arah gerbang pintu 2 TMII yang saat itu memang terlihat sudah dikunci.

“Terus? Ke pintu 1 nih kita?” tanyaku.

“Yaudah, dari pada udah ke sono terus balik lagi. Pegel Man!” jawab Theo, dan kamipun melanjutkan perjalanan.

Lumayan jauh jarak yang kami lewati dari mushola tadi sampai ke gerbang pintu 1 TMII, ketika kami telah persis berada di luar TMII, di tempat dimana banyak angkot yang didominasi berwarna merah dengan nomor dan tujuan yang berbeda berlalu-lalang, kami menghentikan langkah.

“Woi Do, ngapain lo di sini?” tanya Nuno pada Edo, salah satu teman kami di kampus.

“Nunggu jemputan. Btw, lu pada ditungguin bocah noh di sono!” ujarnya.

“Siapa?” tanyaku.

“Ichsan cs.. lu pada diajakin pulang bareng,”

“Ohh.. Yaudah yuk ke sana! Elu gakpapa di sini sendirian?” tanya Nuno.

“Ya gakpapalah! Udeh gih sono!” jawab Edo.

“Kirain takut gituh, takut diculik~ hahaha” ujar Theo konyol dan kamipun kembali melanjutkan langkah yang sempat tertunda.

“Mana deh bocahnya! Gue capek nih! Gak tau gue lagi dapet apa malah disuruh jalan jauh!” ujar Tari sewot.

“Sabar neng, sonoan dikit lagi kali,” ujarku.

“Iya, tapikan capek, Iyan! Udan jalan jauh di dalem tadi, sekarang di luar juga jalan! Kenapa sih lu pada gak ada yang bawa mobil!” sambung Tari padaku masih dengan emosi menggebu.

“Iya, iya besok gue gawa mobil-mobilan! Mobil dari hongkong!” jawab Dio ikut terpancing emosi.

“Udah-udah, Yo! Elu, cewek diladenin! Lu juga Tar, yamaklumlah orang angkot D19-nya aja gak lewat-lewat dari tadi. Yang sabar ya,” jawab Nuno menenangkan pertikaian kecil yang terjadi.

“Iya tuh, gak usah pake emosilah. Nambah-nambahin capek aja loh… Yukk jalan lagi,” lanjut Theo.

“Sorry ya guys, gue kan lagi dapet nih, bawaannya sensi, Io gue minta maaf ya, sun dulu deh sini...,” ujar Tari menggoda Dio sambil memonyongkan bibirnya yang ternoda warna merah muda.

“Ihh ogah, mending gue dicium mpok Nori dari pada dicium elo! Sorry lah ya~” ujar Dio dengan maksud menggoda Tari.

“Uhh sok jual mahal! Awas ya lo kalo ngemis-ngemis ciuman gue nanti,” jawab Tari sengit.

“Udah ya gak usah cium-ciuman deh lu pada! Jalan lagi hayook!” ujarku dan kembali mengambil langkah diikuti oleh ke-empat kawanku.

Tidak begitu lama kami berjalan, langkah kami kembali terhentikan, kali ini karna bayangan sekelompok orang yang terlihat berdiri diam tak jauh dari tempat kami.

“Guys, tuh Ichsan cs tuh!” seruku.

“Eh iya tuh! Ngapain planga-plongo di situ ya mereka…” jawab Nuno.

“Nungguin kita Nuno! Yahilah pe’a dipelihara hahaha,” ujar Tari.

“Wkwkwkw berasa apa ya kita ditungguin gitu, terharu gue terharu!!” ujarku.

“Halah Iyan lebay! wkwkw,” teriak Tari di depan wajahku.

“Bodo mamat!” balasku.

Kami akhirnya sampai di hadapan Ichsan, Lita, Icha, Tedi, dan Ari, kelima orang yang setia menunggu kami.

“Ihh lu pada lama banget sih, ditungguin dari tadi juga!” suara cempreng Lita menyambut kami.

“Ampun non! Ihh lu lagi dapet juga ya? Galak lo kayak Tari!” ujar Dio.

“Diem lu Io!” ujar Tari sengit sambil menjambak rambut spike Dio.

“Anjiss sakit! Dasar cewek anarkis!”

“Udah ya lu berdua, mending pulang dari sini ke KAU deh! Nikah deh ya, lu berdua cocok! cumpah ciyuss deh ini mah!”

“Theo alay kayak Iyan! Dasar kalian pasangan alay! Mending kalian aja yang jadian sana! Uhhh bete,” ujar Tari.

“Apaan! Napa gue dibawa-bawa!” ujarku tak terima.

“Hello guys, ini kita mau pulang atau kalian mau tetep berantem? Mending nginep deh kita di sini, besok jadi gak jauh ya kan?” sela Icha.

“Ihh Icha horror! Gue belom nyalon Cha, kebaya gue gimana? Masa mau nginep!” jawab Ichsan.

“San, besok lo pake jas San! Jantan San jantan! Kebiasaan lu tiap malem jangan kebawa-bawa ya San, khusus buat besok aja San! Please banget San demi tali persahabatan kita yang udah terjalin erat tiga tahun ini, gue mohon San, no kebaya, okeh bro?” ucap Ari dan kontan memecahkan tawa kami semua.

“Hahaha gokil lo semuanya! Gokil! Sumpah bakal kangen gue ama kalian semua, sumpah!” ujarku.

Dan kami pun berpelukan penuh haru.. Becanda deng, gak pake pelukan, ini di tengah jalan cuy! :P

“Eh tadi tuh ada angkot yang nawarin di-charter loh, katanya seratur ribu sampai Depok, yakali tadi kan kita cuma berlima, rugi ah! Makanya kita nungguin lu lu pada,” ujar Lita menjelaskan.

“Oh gitu, jadi nungguin kita karna ngarepin patungan, ahh gak jadi terharu ah,” ujar Theo

“Wkwkwkw yagitu deh :P Terus, mau pulang naek apa nih kita?” jawab sekaligus tanya Icha.

“Naek angkot aja yuk, noh kan ada angkot yang ke Kp. Rambutan, trus nyambung deh pake 112.” usul Tedi.

“Terus gue mesti ngikut ke Depok juga donk? Ahh jauhhh,” ujarku.

“Mending bareng aja Iyan, udah mau malem ihh, ngeri…,” sambung Tari.

“Hmmm liat ntar deh, yaudah yukk naek yang ke Rambutan dulu.” jawabku.

Kamipun melanjutakn perjalanan, kali ini tidak dengan kaki-kaki yang mulai lelah ini melainkan meminjam tenaga angkot untuk membawa kami ke terminal Kp. Rambutan.

Angkot yang kami naiki langsung penuh ketika kami bersepuluh masuk, bukan karena badan kami yang besar-besar tapi karna di dalam angkot sudah lebih dulu dinaiki tiga orang penumpang lain, satu di depan di samping sopir dan dua di bagian belakang.

Terpaksa kami memaksakan diri menaiki angkot tersebut, karna dari sekian angkot jurusan Kp. Rambutan yang lewat cuma angkot ini yang penumpangnya paling sepi. Alhasil kami harus saling berdempetan, merelakan pantat kami hanya menempel di ujung bangku angkot agar kami semua bisa masuk.

Dan roda angkot berwarna merah ini pun melaju, membawa kami semua ke terminal Kampung Rambutan.

Kami sampai di terminal saat adzan magrib berkumandang, setelah menyempatkan diri menunaikan kewajiban kami di masjid dalam terminal, kami pun bergegas menaiki angkot 112 untuk menuju Depok.

“Hmm guys, gue gak ikut ya. Gue mau naek metromini Kp. Rambutan-Bogor aja,” ujarku memecah kesunyian.

“Iyan, udah gelap ah, sendirian naek metromini mending bareng kita!” balas Tari.

“Yaampun Tar, gue cowok! Apa sih yang bisa terjadi sama seorang cowok 21 tahun di metromini hehehe,” gurauku.

“Iyan lu mana pernah naik gituan sih, anak mami gitu kok, mending bareng aja deh!” balas Theo.

“Sialan lo gue bukan anak mami!” kusempatkan menoyor pelan kepala Theo, “gakpapa lagi gue naek metromini, itung-itung pengalaman... Lagian capek ah, ke Depok dulu, muter-muter jadinya, aturan dua jam kurang nyampe rumah malah jadi tiga jam deh. Gue pengen cepet istirahat tau.” tegasku kepada mereka.

“Yaudah deh kalo gitu, Yan, tapi lo hati-hati ya, kalo ada apa-apa telpon gue! Okeh!”

“Udahlah Tar lu kayak emaknya lama-lama, dia bukan bocah kali!” sergah Dio atas perkataan penuh cemas Tari padaku.

“Ciyee Io cembokur, ciyee..” goda Nuno pada Dio.

“Apasih lu!” dan kemudian mereka saling memukul. Ih ngga deng, mereka cuma saling jambak doank kok

“Hehehe udah guys, sono naek angkot, gue mau nyari metromininya dulu. Sampe ketemu besok!”

Setelah meninggalkan sisi terminal dimana di dominasi oleh angkot, kutelusuri terminal sendirian mencari tempat metromini biasa ngetem*. Kulirik jam di pergelangan tangan, pukul 19.10 WIB, langit kini gelap ditambah cahaya bulan di langit yang sedikit tertutup awan semakin membuat terminal ini makin gelap, beruntung penerangan dari lampu-lampu pedagang di sekitar terminal cukup dapat menghalau gelap.

Kulihat beberapa calon penumpang berjalan kaki seperti aku, sama sepertiku mereka juga tengah mencari kendaraan yang tepat untuk membawa mereka kembali pulang.

Sampailah aku di sisi dimana banyak metromini berjejer rapih, tapi sayang kesemua metromini itu belum berpenumpang satu pun, yang artinya masih lama sampai metromini itu menjalankan tugasnya karena biasanya supir metromini akan menunggu setidaknya setengah kursi diduduki penumpang baru memutuskan menjalankan metromininya.

Kuputuskan untuk menunggu metromini berangkat dari luar terminal saja karna area tempat aku berdiri kini sangat sepi dan lumayan gelap, sejauh mataku memandang hanya ada beberapa pedagang asongan dan para supir yang sedang beristirahat, serta beberapa kelompok orang yang sepertinya adalah preman.

Kulangkahkan kembali kaki-kakiku perlahan, kuambil langkah demi langkah tegap berusaha menutupi sedikit rasa takut yang kini memerangkap di hati. ‘Aduh ada preman! Mabok gak ya? Aduh sepi banget kemana orang-orang sih? Santai santai, jalan tegak jangan keliatan takut, yak bagus!’ seru batinku menyemangati diri ini yang dilanda cemas.

Akhirnya sekelompok preman itu berhasil kulalui. Tidak seperti dugaanku, mereka tidak sama sekali mengancam, mereka hanya berkumpul untuk bercerita sepertinya, ditemani sebungkus rokok yang mereka bagi dan segelas plastik minuman yang isinya entah apa.

Kembali kupacu langkah, aku hampir sampai di pintu keluar terminal, di sini ramai sekali oleh calon penumpang yang berkeliaran, para pedagang, serta bus-bus besar yang keluar masuk, pencahayaan di sini juga sangat terang. Rasa cemas yang sempat kurasakan tadipun menghilang.

Kuputuskan untuk berjalan lebih jauh, seorang diri kususuri langkah pasti, dan resmilah aku berada di luar terminal Kp. Rambutan, di sini lebih ramai lagi kendaraan serta manusia berlalu-lalang.

Kulihat sebuah tanggul dari semen yang sepertinya enak jika diduduki, kuputuskan menunggu metromini Kp. Rambutan-Bogor di sini, selain karena kurasa tempat ini cocok untuk menunggu juga karena kakiku mulai terasa lelah.

Dalam keterdiamanku menunggu, sempat terbesit penyesalan, kenapa tadi tak ikut saja pulang bersama kawan-kawanku, kenapa harus nekat pulang sendiri, dan kenapa-kenapa lain.

Sempat juga terbesit kata coba di benakku, ‘Coba tadi naik angkot, pasti sekarang gak harus luntang-lantung sendirian depan terminal!’, dan ada juga kata kalau, ‘Kalau metromininya gak dateng-dateng gimana nih?’

Lebih setengah jam kuperhatikan keramaian yang terjadi di luar terminal Kp. Rambutan, akhirnya metromini yang kutunggu terlihat juga, segera kuberdiri dan menghampiri metromini itu. Kupercepat langkahku karna kernet metromini menyuruhku untuk segera naik, dan dengan sedikit berlari kecil akhirnya tubuh ini berhasil masuk dengan sempurna.

Kusapukan pandanganku ke seisi metromini ini saat masuk dan memilih tempat duduk. Tidak banyak penumpang, hanya seorang bapak-bapak yang duduk di barisan paling depan sejajar dengan kursi supir, seorang ibu-ibu bersama anaknya di kursi barisan kanan dekat pintu depan, dan dua orang pemuda yang sedikit lebih tua dariku duduk di barisan sebelah kiri deretan kursi ke dua dari pintu depan. Kupilih duduk di depan kedua pemuda itu, tepat di samping pintu.

Metrominipun melaju, kubuka tasku dan mengeluarkan kotak berisi makanan yang tadi kudapatkan saat gladiresik, kulihat isinya, hanya tinggal dua buah kue yang aku tidak tau namanya dan sebotol kecil air mineral, segera kupindahkan makanan itu keperutku, lumayan berhasil mengisi perutku yang mulai terasa kosong lagi.

Hembusan kencang angin sangat terasa dari tempatku, sambil menikmati makanan kunikmati juga angin yang membelai nakal mengacaukan rambut pendekku yang memang sudah tidak serapi siang tadi.

Tiba-tiba metromini yang kutumpangi berhenti saat telah sampai di Pasar Rebo, sang supir memberhentikan metromini ini tepat di belakang metromini lain yang sedang ngetem.

“Kok berenti pak?” tanya bapak yang duduk di depan.

“Ganti, Mobilnya mogok!” kata si supir pada kami semua.

‘Ahh Rese’!’ gumamku kesal.

Dengan sedikit menggerutu kusandangkan ranselku di bahu, dengan mulut yang masih sibuk mengunyah dan tangan yang sibuk memegang kotak kardus dan botol minuman, kulangkahkan kaki keluar dari metromini ini, kalau kuingat lagi, metromini ini memang tidak berenti mengeluarkan asap hitam pekat sejak dari terminal Kp. Rambutan tadi.

Kupercepat langkah menuju metromini yang ada di depan, takut tidak kebagian kursi, satu jam berdiri dalam keadaan kaki yang lelah bukan sesuatu yang kuinginkan saat ini.

Saat berhasil masuk kulihat masih ada beberapa kursi yang kosong, kupilih duduk di barisan sebelah kanan, deretan tengah, dekat jendela. Dan sesi menunggu terjadi lagi, kali ini menunggu para penumpang lain datang dan menduduki kursi-kursi yang masih kosong itu. Dan kulanjutkan acara makanku yang sempat tertunda.

Saat suapan terakhir kue masuk ke mulutku, seorang bapak berkumis berumur kira-kira awal 40 tahun memasuki metromini, saat itu ada dua kursi yang masih tersisa, kursi di sampingku, dan kursi deretan sebelah kiri, sejajar dengan kursiku kini.

Si bapak melihat kanan dan kiri, dimana sisi kanan adalah tempatku dan sisi kiri adalah tempat seorang pemuda seumuranku, hmm mungkin beberapa tahun lebih tua, yang kala itu mengenakan T-Shirt putih polos dan celana pendek berwarna abu-abu, sepasang sepatu Kets dengan warna senada dengan T-Shirt yang dikenakannya terpasang apik di kakinya, dan di bahunya masih tersampir sebuah ransel berlogo Wils*n berwarna hitam.

Rupanya si bapak memilih kursi di sampingku untuk diduduki. Kulirik sekilas bapak yang duduk di sampingku, dia mengenakan kemeja hitam kotak-kotak dan celana bahan berwarna hitam juga. Saat kualihkan tatapanku ke wajahnya, tercipta senyum di wajah itu dan kubalas dengan senyum juga. Dan metromini yang sudah terisi penuh inipun melaju.

Sepuluh menit sudah roda-roda metromini ini bergerak cepat membawa kami, sesekali berhenti untuk menaikan penumpang baru. Kuhabiskan sepuluh menit tadi dengan mendengarkan musik pada playlist handphone-ku, dengan sepasang headset putih yang terpasang di telinga dan mata yang terfokus pada jalanan di balik jendela.

Sebuah colekan ringan kurasakan di bahu sebelah kiri, rupanya kernet metromini meminta tarif perjalanan padaku, Kukeluarkan selembar uang sepuluh ribu lalu mengucapkan tempat tujuanku. Setelah memberikan uang kembalian padaku, abang kernet itu pun pergi untuk meminta bayaran dari penumpang yang lain.

Saat aku akan kembali pada aktifitas yang tadi terinterupsi, sayup kudengar sapaan dari orang di sampingku.

“Sendirian aja, dek?” tanya si bapak padaku.

“Iya, pak,” jawabku sambil melepaskan headset di telinga kiriku.

“Abis pulang kuliah ya?” tanyanya lagi.

“Ngga pak, saya tadi abis menghadiri acara gladiresik wisuda di TMII,” jawabku menjelaskan.

“Ohh mau wisuda ya! Kuliah di mana?” kembali dia bertanya dan kemudian kujawab lagi. Kusebutkan nama kampus tempatku menimba ilmu.

Puas dengan jawabanku, bapak itu lalu terdiam, kupikir itu akhir dari percakapan kami, maka kukenakan lagi headset sebelah kiri yang tadi kulepas. Saat aku mulai terlena kembali oleh lagu yang kuputar, kembali kudengar suara dari sebelahku.

“Namanya siapa, dek?”

“Ahh, saya Iyan, pak,” jawabku tanpa melepaskan headset.

“Kemarin ambil jurusan apa?” tanyanya lagi.

“Perpajakan, pak. Bapak sendirian juga ya? Habis dari mana, pak?” jawab sekaligus tanyaku, kupikir tidak sopan jika dia terus yang bertanya, terlihat seperti aku ogah-ogahan menanggapinya.

“Oh pajak… Mantan istri bapak juga orang pajak, anak bapak juga kerjanya di pajak, anak bapak itu masih bujangan, belum mau pacaran, padahal mah ganteng loh, di tempat kerja bapak juga ceweknya sering banget minta bapak salamin ke anak bapak. Oh iya, bapak sendirian, habis dari rumah anak bapak itu.” jawab si bapak panjang lebar.

“Ohh gitu ya, pak,” jawabku singkat dengan senyum kecil. ‘lah lengkap banget jelasin anaknya! Mau dijodohin ke gua kali ya! Ehh gila aja! O.O’ lanjutku dalam hati. Setelahnya kembali kufokuskan indra pendengaranku pada lagu yang mengalun.

Lagu satu berganti dengan lagu yang lain, sepanjang lagu yang terdengar kupejamkan mata meresapi lagu. Tiba-tiba kurasakan sebuah tangan berlabuh di lututku sebelah kiri.

Seketika kubuka mataku dan mengalihkan pandangan pada lututku yang sedang diusap-usap pelan. Kuangkat pandanganku pada sang pemilik tangan, dia melihat ke depan, seolah tak terjadi apa-apa, seolah tangannya tidak sedang mengelus lututku dengan nakalnya.

Kugerakan lututku hingga tangan itu terlepas lalu kugeser kakiku menjauh. Masih dengan tampang tanpa dosa si bapak lalu menarik tangannya dariku.

‘Gue pake celana kan? Rambut gue gak tiba-tiba memanjang kan? Dada gue masih rata kan?’ pikirku panik sambil menyentuh segala objek yang tadi kusebutkan dalam benak. ‘gue gak pake rok! rambut gue pendek! Dada gue gak menonjol gede! Gue cowok pak!!’ suara di otakku menyeru keras.

Sekali lagi kulirik bapak di sampingku, tatapanya masih lurus ke depan, tangan itu, yang tadi mengusap-usap lututku, terlipat rapih di depan dadanya.

‘Ahh mungkin tadi gak sengaja, emang tangan si bapak suka refleks usep-usep sesuatu... ya pasti begitu.’ tenang dengan kesimpulan sepihakku, kembali kupejamkan mata dan meresapi lagu yang masih mengalun, sampai tiba-tiba sentuhan itu kembali terasa, kali ini bukan di lutut tapi merambah naik ke paha.

Segera kutepis! Tapi… tangan itu bertahan, usapan berubah jadi remasan kuat!

Kulayangankan tatapan nyalang pada sepasang mata yang menatapku tajam. Sesaat kemudian tangan lain si brengsek yang duduk di sampingku bergerak naik dan hinggap di bibirku, di tekannya kuat-kuat tangan itu sampai terasa sakit, sedang tanganya yang lain bergerak dari paha ke atas, gerakannya kasar, lalu kurasakan sebuah tangan menggengam area pribadiku yang seharusnya tidak disentuh orang lain.

Mataku membulat besar saat tangan si brengsek menggenggam kejantananku dari balik celana yang kugunakan. Kucoba berontak dan melawan saat sebelah tangannya dengan kurang ajar berusaha membuka kaitan kancing celanaku.

Kutatap bengis matanya untuk menyerukan kemarahanku, tapi tatapan amarahku masih kalah seram dari tatapannya. Dia seperti pembunuh berdarah dingin dengan kebengisan nyata terpancar dari matanya, aku kalah, aku takut…

Kembali kucoba berontak atas perbuatannya, kuangkat tanganku untuk menyingkirkan tubuhnya yang semakin menempel denganku, kudorong tubuhnya, tak berhasil, si brengsek tak bergeser sedikitpun. Kugenggam tangan kurang ajarnya yang masih asik memegang area paling pribadiku dari balik celana, berusaha menyingkirkan tangan si brengsek dari bagian tubuhku, tapi pegangannya berubah jadi remasan menyakitkan.

“Kalau mau ini cepat selesai, maka diamlah… berontak dan kamu akan malu…” bisiknya dengan geraman mengerikan di sisi kiri telingaku yang sudah tak lagi tertutup headset.

Si brengsek mulai berusaha melepaskan pengait celanaku, kugelengkan kepalaku kuat saat tangannya merogoh masuk.

“Hmmm! Mmm!” dengusku frustasi, seketika tangannya dimulutku menekan lebih kuat lagi. Ingin rasanya berseru kencang meminta pertolongan, tapi bahkan aku tak berani mengangkat wajah dan melihat sekeliling memastikan keadaan.

Apakah ada yang menyadari perbuatan bapak kurang ajar ini padaku? Tidak adakah yang sadar apa yang kini menimpaku? Ataukah banyak yang mencuri pandang ke arahku tanpa berani membantu? Benarkah mereka tidak berani menolongku? Ataukah mereka hanya malas ikut campur masalahku?

Kusembunyikan sepasang bola mataku di balik kelopak saat tangan si brengsek berhasil menemukan apa yang dicarinya sedari tadi, dan saat tangan menjijikannya dengan mantap menggenggam miliku, setetes air mengalir turun, keluar melewati sepasang kelopak mataku yang terkatup rapat.

Kurasakan genggamannya berubah jadi pijatan-pijatan pelan, lalu pijatannya berubah menjadi kocokkan yang kadang cepat dan kadang melambat, sampai akhirnya tangan itu bergerak sesukanya tanpa ritme yang jelas seolah bagian terlarang miliku itu hanyalah tanah liat untuk karya seni yang bisa dibentuk sesuka hati.

Saat merasakan tubuhku makin lemas karna tindakannya, saat pemberontakanku tidak dirasa menyusahkan lagi baginya, saat tatapan mataku kian kosong menyaksikan kebejatannya, kurasakan tangan yang mebekap mulutku terlepas. Tangan itu beralih menggenggam tanganku yang bebas dan mengarahkannya pada benda terlarang lain di tubuhnya yang sejak tadi menunggu dipuaskan.

Tangan kiri si brengsek berhasil membawa tangan kiriku untuk berlabuh dititik dimana laki-laki paling ingin di sentuh, kejantanannya, yang tanpa kusadari sudah terlepas dari celana yang membelenggunya tadi.

Kugerakkan tangan kiriku menggenggam benda keras yang haus sentuhan itu, kubuat gerakan yang sama seperti yang dilakukannya tadi padaku, menggenggam kuat, memijit-mijit pelan, lalu membuat gerakan mengocok kuat.

Kurasakan tubuh si brengsek mulai terlena akan perbuatanku, disandarkannya bahunya pada sandaran kursi mencoba rileks menikmati pelayananku. Perlahan tangan kirinya terlepas dari milikku, mungkin baginya saat ini kenikmatan pada kejantanannya adalah yang utama persetan dengan kenikmatan orang lain.

Saat dia merasa menang atas tubuhku saat itu juga kuberseru, “Kiri bang!” dan metrominipun menepi.

Kubangkit dari dudukku, bajuku yang agak panjang sukses menutupi bagian bawahku yang saat ini terbuka, celana jeans-ku yang agak ngepas membuat kemungkinan celana ini merosot turun sangat kecil. Dengan sedikit tersenyum kaku, kulewati dia sambil berkata, “Misi pak…” dan aku pun berlalu menuju pintu dan turun dari metromini laknat ini.

‘Aku gak akan mau naik metromini lagi!!!’

.
.
.

Hehehe apaan ini! *gelundungan
«1345

Comments

Sign In or Register to comment.