BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Always...

-d'Rythem24 present-

Lagi, aku menggerling ke arahnya. Ke arah Geri, lelaki yang aku sukai.

Tetapi dia selalu seperti itu, bercengkrama dengan Aryan. Padahal aku pun ada, namun Geri lebih senang meladeni Aryan ketimbang aku. Karena Geri bisa lebih leluasa mengobrol saat bersama Aryan. Apa yang Geri sukai, entah atas dasar apa selalu saja sama persis seperti Aryan.

Aku benci mengakuinya, tapi aku iri pada Aryan. Sebab aku juga ingin sedekat itu dengan Geri. Aku ingin dekat dengannya, aku mau meraihnya.

"Fan?"

"Eh, ya?" teguran Geri membuyarkan pemikiranku.

"Kamu kenapa diem terus dari tadi? Gak enak badan?" tanya Geri sembari beringsut mendekatiku. Aku tertunduk, lalu menggeleng buatnya.

"Aku gak apa-apa. Cuma agak pusing aja mikirin tugas ini," jawabku berbohong.

"Eh? Gak biasanya, Fan. Kamu kan yang paling pinter di antara kita bertiga," Aryan menyeletuk. Aku hanya terdiam.

"Eh, Ger! Sini dong, ini gimana?" Kemudian Geri pun mendekati Aryan lagi. Kembali sibuk dengan laptop miliknya, di mana kami bertiga tengah mengerjakan tugas bersama.

Aku dan Geri sudah berteman sejak SMP. Kami akrab. Hanya saja karena aku pendiam, lumayan acuh dan cukup tertutup, hubunganku dan Geri menjadi sedikit renggang. Lalu saat kami berdua mendaftar ke SMA yang sama, dan berada di kelas yang sama pula, kami berdua akhirnya mengenal Aryan. Sebab kami bertiga satu kelas, dan tempat duduk kami pun saling bersebelahan. Bahkan sampai hari ini pun begitu.

"Hahaha! Woy, kita nyari tugas, ngapain ngeliat yang ginian?!"

Geri selalu lepas bila bersama dengan Aryan. Tertawa, berbicara dan bercengkrama tanpa batas dengannya. Tapi denganku?

Aku menatap pantulan wajahku pada cermin kecil yang berada di hadapanku.

Lihatlah aku. Memakai kacamata persegi, kulitku cokelat, wajahku pun tak enak di pandang. Tak ada kemungkinan untuk Geri menaruh rasa yang sama terhadapku.

Aku menoleh padanya.

Geri terlalu jauh untuk aku raih. Karena dia terlalu indah, tak sebanding dengan aku.

***

"Fan?" Geri memanggilku dengan nada merajuk. Aku menoleh padanya.

"Apaan?"

"Kamu kenapa sih akhir-akhir ini?" tanyanya.

"Kenapa apanya?"

"Ya kamu jadi diem terus!"

"Aku kan udah pendiem dari dulu, Ger." Responku sambil melanjutkan langkahku diikuti Geri yang masih berada di sampingku.

Lagipula buat apa ada aku juga 'kan? Geri saja selalu asyik sendiri dengan Aryan.

"Woi, Geri! Difan!"

Kami berdua menoleh, Aryan berlari ke arah kami secara tergesa-gesa.

"Mau pulang bareng ya? Kok gak ngajak-ngajak?" Aryan menoleh pada kami secara bergantian. Aku melirik Geri yang menghela nafas lesu, kemudian melangkah mendahuluiku.

Aryan segera menyusul, sembari merangkulkan tangannya ke pundak Geri. Dan mulailah mereka, menciptakan dunia mereka sendiri. Dan selalu aku yang tertinggal di belakang. Hanya mampu melihat dan mendengar tanpa mampu menyela.

Meskipun aku dan Geri sudah lebih lama saling mengenal, tetapi kelihatannya Aryan jauh lebih bisa membuatnya nyaman. Aku benci perasaan ini. Kenapa aku harus jatuh cinta padanya? Terlebih, kenapa aku seperti ini? Mencintai sahabat laki-lakiku sendiri, padahal aku sepenuhnya sadar, kalau aku juga laki-laki.

Kenapa begini? Padahal jika seandainya aku perempuan, atau setidaknya salah satu dari kami perempuan, rasanya tak mungkin serumit ini, bukan?

"Tolol." umpatku teruntuk diriku sendiri.

"Hah?"

"Apa?"

Aryan dan Geri menoleh bersamaan padaku. Aku lalu menatap mereka berdua. Kedekatan Aryan dan Geri, aku juga menginginkannya.

"Aku gak apa-apa." jawabku yang lalu berlari kecil melewati mereka.

Aku tak suka. Aku ingin dekat dengan Geri juga. Sepanjang waktu kami bersahabat, aku tak pernah bisa merangkulnya apalagi menyentuhnya. Aku tak berani, aku takut.

"Pengecut!" rutukku pada diriku sendiri sekali lagi.

Sial. Kenapa rasa serumit ini harus aku yang mengalaminya?

***

"Fan?" suara Geri memanggilku. Aku cuma menggumam menjawabnya, tanpa menoleh. "Pulang sekolah nanti, aku tunggu kamu dibelakang gedung olahraga, ya?"

"Mau apa?" tanyaku sambil mengernyit menatapnya.

"Ada yang pengen aku omongin sama kamu. Penting!" tegasnya di kata 'penting' yang dia ucapkan.

"Kenapa gak sekarang aja?"

"Suasananya gak tepat. Pokoknya aku bakal nunggu kamu," katanya tegas. "Cuma kita berdua." Terusnya yang setelah itu membetulkan kembali posisi duduknya.

Mau apa dia memangnya? Tumben sekali Geri meminta hal yang semacam ini. Tetapi...

"Ya sudahlah." gumamku pasrah.

Dan sesuai permintaan Geri, aku segera menuju ketempat di mana ia sudah menungguku. Yaitu di belakang gedung olahraga. Sepertinya Geri memang bersungguh-sungguh, sebab begitu bel tanda jam pelajaran berakhir berbunyi, secara cepat Geri keluar dari dalam kelas, meski tanpa bicara apa-apa dulu padaku.

Aku tidak yakin pembicaraan kami nanti sepenting yang ia akan beritahukan padaku. Aku jadi penasaran, kira-kira apa ya yang ingin Geri...

Deg!

Jantungku menghentak sangat kuat dalam satu degupan. Rasanya sakit.

Apa yang...? Kenapa justru ini yang aku lihat?

Comments

  • Waduhh liat apaan tuh!! O.O
  • "Ar?! Emmh!"

    Di sana, ada Geri dan Aryan. Tetapi, bagaimana bisa mereka berciuman dengan cara seperti itu?

    Ini sungguh bukanlah hal penting sama sekali!

    "Menyebalkan!" Umpatku dengan suara tertahan. Dan tanpa pikir panjang, aku segera mengangkat kakiku dari sini tanpa mau repot-repot menghampiri mereka.

    Biarlah. Lagipula mereka selalu punya dunia mereka sendiri, bukan?

    Tapi, ini amat menyakitkan. Aku benci perasaan ini.

    ***

    Lagi-lagi ponselku berdering. Duh, mau Geri apa sebenarnya? Kerjaannya setiap hari sekarang mengganggu aku. Kalau tidak menelpon, di kelas dia terus saja berusaha mengajak aku mengobrol. Bertanya hal-hal yang kurang jelas sembari meminta penjelasan tentang: kenapa aku tak datang ke belakang gedung olahraga waktu itu?

    Memangnya mau ada urusan apalagi dia denganku? Dia kan...


    Dan bayangan Aryan yang sedang berciuman dengan Geri beberapa hari lalu terlintas dalam ingatanku.

    Sialan!

    Aku memukul bantal yang sedang kujadikan tumpuan dadaku dengan kesal.

    Sekarang Geri sudah memiliki Aryan. Tak ada artinya lagi kalaupun aku tetap bersama dengan mereka 'kan? Aku hanya akan jadi obat nyamuk. Angin lalu. Itulah sebabnya, sejak aku melihat kejadian itu, aku selalu berusaha menghindari mereka. Selain karena tak mau jadi pengganggu, aku juga tak ingin merasa semakin sakit.

    Aku juga ingin mencoba melupakan Geri. Secepatnya. Meskipun aku yakin, itu adalah hal yang pastinya sulit.

    Ponselku berdering untuk kesekian kalinya, dan dengan penuh emosi, aku meraihnya untuk kemudian aku matikan. Heran aku padanya, Mau Geri itu apa coba? Tidak bosan apa mengganggu kegundahan orang lain? Ya, aku yang sedang gundah!

    "Kamu tuh udah punya Aryan, Ger! Ngapain sih? Mau PHP-in aku?" Keluhku jengkel sambil meremas ponsel milikku.

    Aku mendengus. Lagipula, Geri tak pernah juga memberi harapan apapun padaku.

    Dasar gila aku ini.

    ***

    Ini hari minggu. Artinya, aku libur dari bersekolah, dan tak akan bertemu dengan Geri juga Aryan. Ditambah ponselku sudah aku matikan sejak semalam. Jadi, hari ini aku bisa sedikit bebas. Tak akan ada gangguan apapun lagi. Aku tersenyum menyambut pagi yang cerah, yang tak secerah perasaanku.

    Kira-kira, sedang apa ya Geri saat ini?

    "Difan! Ini ada temen kamu maen! Gak turun?!" Itu suara Mama yang berseru dari lantai bawah. Dan Mama bilang ada temanku main? Siapa? Jangan bilang...

    "Gak apa, Tante. Kami bakal langsung ke kemarnya aja."

    Samar-samar, aku bisa mendengar suara dari arah tangga. Ya ampun, itu kan suara Geri! Mau apa dia ke sini?

    Berselang beberapa detik setelah itu, pintu kamarku terbuka dari luar. Menampakkan sosok Geri dan juga Aryan di depan mataku.

    Pagiku makin terasa berkurang kecerahannya.

    Tak ada yang berinisiatif untuk membuka suara hingga beberapa menit berlalu. Bahkan aku lebih dari malas untuk memberi sapaan pada mereka. Mau apa mereka berdua kemari? Bermaksud mendeklarasikan ikatan cinta mereka di hadapanku? Ataukah mau menjadikan kamarku sebagai tampat mereka merajut cinta?

    Aku melipat kedua tanganku di depan dada. Geri lalu tersenyum untukku.

    "Hai, Fan," Aryan melambai sambil tersenyum juga. Mereka berdua kemudian memasuki kamarku secara bersamaan.

    "Ngapain kalian dateng kemari?" tanyaku sinis tepat setelah Geri menutup pintu. Geri dan Aryan saling melempar pandangan, lalu menatapku heran.

    "Kamu kenapa sih, Fan?" tanya Geri dengan kening berkerut.

    "Iya. Akhir-akhir ini kok kamu kayak yang ngejauhin kami. Kamu marah?" sambung Aryan.

    "Bilang aja kalo kami ada salah," ujar Geri. Diam sebentar, "Terus, kenapa kamu gak datang ke belakang gedung olahraga waktu itu? Padahal aku--"

    "Siapa bilang aku gak dateng?" Potongku cepat yang semata-mata membuat mereka sama-sama terkejut. Terlebih Geri.

    "Ja-jadi kamu dateng? Jam berapa? Padahal aku nunggu kamu hampir 1 jam disana sendiri--"

    "Yakin sendirian?" selaku kian sengit.

    Lagi, mereka kelihatan terkejut. Pandangan Geri melunak, dan raut muka Aryan pun kelihatan tegang di sampingnya. Sudut mataku dapat menangkap gelagat gemetaran Geri.

    "Nah, Ger, sekarang gimana?" Aryan berbisik untuk Geri. Geri diam tak menjawab, dan malah memilih untuk mendekatiku.

    "Apa...kamu ngeliat?" pertanyaan kecil, tetapi aku lebih dari mengerti apa maksud dari pertanyaannya. Jadi aku menganggukkan kepalaku singkat.

    Apa mereka datang ke mari hanya untuk membahas hal semacam ini?

    "E-eh, Difan? It--"

    "Ar, bisa tolong tinggalin kami berdua di sini?" potong Geri cepat. Kulihat Aryan mematung sebentar, sebelum akhirnya tersenyum.

    "Ck. Iya deh, iya. Selesain masalahmu sendiri," Aryan terlihat sok misuh-misuh. "Kalau gitu, aku pergi dulu ya." Dia menepuk-nepuk pundak Geri. "Buat Difan, aku minta maaf, ya. Tapi bentar lagi kamu bakal ngerti situasi yang sebenernya kok." Dan selesai berkata begitu, Aryan langsung berbalik untuk kemudian keluar dari dalam kamarku. Meninggalkan aku dan Geri berdua. Dalam keheningan menyebalkan.

    Nah kan. Kalau tak ada Aryan, memangnya dia mau apa denganku?
  • cerita yang menarik ... kasihan Difan ... apa yang Geri katakan ...
  • "Kenapa kamu gak pulang aja sana?! Mumpung libur, kan? Kamu sama Aryan bisa jalan bareng, senang-senang. Bukannya kamu selalu kelihatan nyaman ya kalo sama dia?" tuturku pada Geri secara lugas. "Kalian cocok, lho." lanjutku sinis dengan sedikit jeda.

    Geri tak merespon, hanya diam menatapku dengan pandangan yang tak bisa aku artikan.

    Sekarang dia kenapa?

    "Ger, kalo kamu cuma mau di--"

    "Aku cinta kamu, Fan."

    Deg!

    Degupan kencang menyesakanku meski hanya satu kali.

    Tadi apa dia bilang? Aku sedang tidak salah dengarkan?

    Aku menatapnya tak percaya. Setelah sekian lama, debaran kencang dan menyakitkan ini menyerang dadaku lagi. Apa maksudnya itu? Bukankah dia...?

    "Ciuman Aryan waktu itu gak berarti apa-apa," Geri makin mempersempit jarak di antara kami. "Karena aku tau dia punya banyak pengalaman dalam cinta-cintaan, maka dari itu,..." ada jeda. "Aku minta dia buat ngajarin aku cara ciuman," akunya dengan wajah gugup dan malu.

    Apa maksudnya?

    "Tapi dasar dianya yang bego, bukannya ngasih saran, malah ngepraktekin langsung." Geri terlihat kesal sembari mengusap gusap wajahnya. Dan tanpa sadar, kini Geri dia sudah berada tepat di hadapanku.

    Geri tersenyum, tangannya mengusap pipiku pelan. Aku melirik tangannya dari balik bingkai kacamataku, meraih tangannya, dan menggenggamnya dengan sedikit gemetaran.

    "A-aku gak ngerti, Ger," jujur aku berucap. "Aku..."

    Aku tidak tahu harus berkata apalagi padanya. Pikiranku terpecah pelah setelah mendengar pengakuan dan penjelasannya barusan. Ini membuatku merasa semakin merasa sulit.

    Tanpa menanggapi ucapanku, Geri merengkuh tubuhku yang lebih kecil darinya ke dalam pelukannya. Menenggelamkan wajahku diceruk lehernya yang beraroma menenangkan. Aku selalu suka aroma ini. Sejak dulu, tak pernah berubah.

    "Dari dulu, Fan..." Geri mulai membuka suaranya. "Aku selalu suka sama kamu. Tapi kamu terlalu diam, jadi aku takut dan gak berani buat jujur. Kamu tau gak? Aku tuh selama ini selalu pengen nyoba deket sama kamu, ngajak kamu ngobrol, becanda sama kamu. Tapi kamu terlalu sering cuek sama aku, jadi aku..." Geri berhenti, dia meneguk ludahnya perlahan. "Ditambah akhir-akhir ini kamu nggak ngejawab puluhan sms dan telponku, ngejauh melulu dari aku. Itu ngebuat aku kesepian, Fan." Tuturnya melanjutkan.

    "Bukannya kamu kelihatan lebih nyaman sama Aryan ya di banding sama aku? Plis, Ger... Jangan maen--"

    "Aku gak main-main!" dia meremas helai rambutku, gemas. "Aku butuh kamu, Fan, bukan Aryan. Aku cinta kamu, bukan dia. Dan yang selalu bikin aku nyaman tuh kamu, bukan dia!" Geri menyela dengan tegas. "Meskipun kita selalu diem-dieman, bukan berarti aku gak nyaman sama kamu," Geri terdengar mendesah pelan. Pelukannya merenggang.

    "Kamu tau apa sih, Fan? Emangnya kamu tau gimana jadinya aku pas sama Aryan begitu kamu gak ada? Aku kesepian, Fan. Aryan aja tau kok perasaanku buatmu," dia masih melanjutkan. Lalu Geri memegang kedua belah peundakku menatapku lekat-lekat dengan pandangan yang dalam. Pandangan yang terlihat begitu indah begitu aku lihat dari jarak sedekat ini.

    "Padahal waktu aku nunggu kamu di belakang gedung olahraga waktu itu tuh buat ngomongin hal ini, Fan." Geri menggenggam kedua tanganku. "Maaf kalo apa yang kamu lihat di antara aku sama Aryan bikin kamu gak enak." Geri tersenyum tipis, namun itu cukup. Cukup membuat aku mengerti segalanya.

    Aku terdiam, tak tahu harus merespon bagaimana. Ini sungguh tak terduga sama sekali, mengetahui Geri juga... Ternyata selama ini...

    "Fan?"

    "Hmm?"

    "Apa kamu cemburu ngeliat aku sama Aryan ciuman?"

    "Hah?!" Aku memekik keras. Wajahku sontak terasa panas.

    "Iya, kan?" Geri tersenyum jahil, membuatku berdecak, namun membalas erat genggaman tangannya.

    "Mana mungkin kan aku gak cemburu. Kamu juga gak tahu, selama ini..." Perkataanku terjeda. Aku menatap pergenggaman tangan kami berdua. "Selama ini, aku kira kamu gak pernah mikirin apapun tentang aku. Soalnya aku ngerasa, jarak di antara kita tuh jauh meski kita berdua akrab. Kamu sama aku gak sebanding, Ger..." terusku, gantian melerai ungkapanku untuknya. Aku lalu mengangkat kepalaku untuk menatapnya.

    "Geri..." sebutku. Geri tersenyum.

    "Jadi?" tanyanya seolah meminta kepastian.

    "Bukannya udah jelas, ya?" komentarku dengan tanya, sedikit jengkel akan tingkahnya.

    Geri masih tersenyum. Dia mendekatkan wajahnya ke arahku, membuat aku refleks terpejam. "Say it for me," bisiknya hangat ke telingaku.

    Aku menggigit bibirku sendiri, gugup mulai menyergapku. "A-Aku juga." kataku semampuku.

    "Juga apa?" Geri belum puas menggoda aku sepertinya. Benar-benar dia ini.

    "Menurut kamu?" aku mendengus, jengah juga pada akhirnya.

    Geri tertawa pelan, mengangguk. Memberi tanda bahwa dia memang telah mengerti. Aku tersenyum, menghembuskan nafas lega.

    Aku menyukai rasaku ini. Dan sepertinya, akan selalu menyukainya. Terlebih, saat tau bahwa ternyata, cintaku tak bertepuk sebelah tangan.

    Geri mengecup pipiku, singkat. Meyakinkanku, bahwa dia memang telah menjadi milikku.

    Selalu.

    -END-
  • Silahkan baca lanjutannya.
    @lulu_75 @Tsu_no_YanYan

    Maklum ngetik dihape, jadinya ngaret deh. Ini cerita lama dan aku edit 40 persen dari isinya. Khikhi... /Gakpenting

    Makasih bagi yang mau baca dan komentar :)
  • oh ternyata ... salah paham, so sweet ceritanya ... terima kasih sudah berbagi cerita @Meong24 ditunggu yang lainnya ...
  • Yowes sini Aryan, kita cari cowok lain buat kamu... ;;)
  • sukaa ...tp keep dulu deh :D
  • trnyata diam diam saling suka
  • akhirnya berbalas juga...
  • akhirnya berbalas juga...
  • edited May 2015
    -
  • edited May 2015
    -
  • edited May 2015
    -
  • sweet bikin senyum senyum
Sign In or Register to comment.