BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Untuk Ibu, Pada Jaminan dan Bebasnya

Kejadian itu masih teringat sangat jelas di dalam benak Sapar. Siang hari yang tenang tiba-tiba berubah suram ketika kendaraan yang ditumpangi bersama ibu angkatnya mengalami kecelakaan. Pengendara yang terlibat dalam insiden tersebut kabur. Meninggalkan Ibunya yang terkapar tak berdaya. Dia panic, tak tahu apa yang harus dilakukan. Beruntung, dia tidak mengalami cedera serius hanya sebatas lecet dan memar. Namun Ibunya harus dilarikan ke rumah sakit oleh seorang pengendara mobil yang tidak ia ketahui. Mobil itu melaju, meninggalkan Sapar dengan motor setengah remuk.

Malam harinya Sapar terlihat masih terguncang atas peristiwa tadi siang. Dia masih diam meringkuk di kamarnya, salah satu kamar di shelter anak-anak jalanan yang ditempatinya. Seharusnya dia kini berada di rumah sakit menunggui ibunya. Namun dia tidak memiliki keberanian itu. Dia sama sekali belum pernah ke rumah sakit sebelumnya. Tidak banyak yang ia ketahui dari rumah sakit selain perkataan pamannya bahwa rumah sakit itu mahal. Lebih seram lagi, kata teman-temannya rumah sakit itu angker karena tempat orang meninggal. Hanya ada dua hal di benaknya sekarang, uang dan jasad Ibunya. Sapar terisak sedih.

“Sabar Par.” Kata temannya mencoba menenangkannya. Namun sapar masih terus terisak.
“Percuma kamu menangis! Anak jalanan kok cengeng.” Temannya pergi meninggalkan Sapar.

Sapar tersentak, dia sadar tida ada gunanya menangis. Dengan menangis ibunya tidak akan sembuh seketika. Tidak pula Tuhan akan mengirimkan keajaiban-Nya tanpa usaha darinya. Pelan-pelan dia membangun kembali kesadarannya. Menelisik berbagai kemungkinan untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapinya.

Pagi harinya, dengan kakinya yang pincang Sapar pergi ke Kopi Joss, Stasiun Tugu. Sebersit harapan nampak dari mukanya yang gigih. Sapar sadar dia tidak sendiri menghadapi masalah ini. Masih ada seorang bapak tempat ia menggantungkan harapannya. Bapaknya seorang tukang becak yang biasanya mangkal di daerah tersebut. Benar, dia mendapati bapaknya masih tertidur di becak yang diparkir di trotoar pinggir jalan.

Pelan-pelan Sapar membangunkan bapaknya yang tertidur pulas dengan kain sarung lusuhnya. Bapaknya kaget ketika dia mengetahui bahwa yang membangunkan dirinya adalah anaknya sendiri. Dipeluknya anak laki-laki satu-satunya itu dengan erat.

“Kamu nggak apa-apa kan nak?” Tanya Bapaknya.
“Iya pak, aku nggak apa-apa. Tapi ibu....” Jawab Sapar sedih.
“Maaf nak... “ Raut muka bapaknya baraduk sedih dan bingung. Sapar mencoba membaca raut muka ayahnya. Dia merasa salah bertemu dengan ayahnya dan berniat menceritakan masalah yang dihadapinya.
“Bapak baru saja kehilangan dompet. Bapak teledor. Aku nggak tahu apa yang bisa bapak bantu saat ini.” Dia tertunduk lesu.
“........” Sapar membisu.
Mereka membisu.

Kini hanya ibunya yang terbayang di pikiran Sapar. Dengan terpincang-pincang dia berjalan menuju rumah sakit. Di dalam perjalanan dia bertemu dengan teman lamanya, Bagas. Bagas terkejut ketika mendengar cerita Sapar. Dia berkata tidak bisa membantu banyak. Namun dia berjanji akan memberi tahu salah satu pengurus Rumah Singgah Diponegoro, organisasi yang menaungi mereka. Siapa tahu mereka bisa membantu masalah yang sedang dihadapi Sapar. Bagas juga berjanji akan segera menyusul Sapar ke rumah sakit bersama pengurus rumah singgah.

Sapar sedikit ragu-ragu untuk menemui ibunya di rumah sakit. Rasa bersalah dan takut bercampur aduk menjadi satu. Namun dia tidak punya pilihan lain. Dia melangkahkan langkahnya dengan keteguhan hati. Dari luar jendela dia melihat ibunya tertidur dengan selang infus di tangan kirinya. Seorang perempuan muda, Ika namanya, berada di sebelah ibunya. Dia segera keluar kamar ketika tahu Sapar berada di depan jendela. Sapar menundukkan kepalanya, berat sekali menatap mata perempuan yang sudah dianggapnya sebagai kakaknya sendiri.
Ika mengalungkan tangannya ke pundak Sapar. Bulir air mata tak mampu ditahannya padahal dia sudah berjanji pada dirinya untuk lebih kuat. Ditatapnya wajah Sapar yang pucat pasi, dia bersyukur adik laki-lakinya baik-baik saja. Dalam kesedihannya dia mencoba untuk menguatkan Sapar. Dia yakin mereka bisa menghadapi cobaan ini bersama-sama.

Sapar memasuki dimana ibunya di rawat. Tak lama ibu menyadari kedatangannya. Tangan kanannya ditopang oleh kain penyangga. Kata kakaknya, Ibu mengalami retak di tangan kanannya. Tidak ada cedera serius, Ibu hanya mengalami shock karena kecelakaan. Kali ini Sapar bisa bernafas lega karena Ibunya jauh lebih baik daripada yang dia bayangkan.
Ika menyeret Sapar keluar dari kamar rawat menuju taman. Ada hal penting yang dia ingin bicarakan dengan Sapar. Raut mukanya terlihat panik. Katanya ibu tidak bisa memakai Jamkesda seperti biasanya karena kali ini adalah kasus kecelakaan. Ika sudah bertanya ke bagian administrasi rumah sakit. Satu-satunya jaminan kesehatan yang bisa diakses adalah Jasa Raharja. Sebenarnya Sapar tidak begitu paham dengan jaminan sosial seperti itu. Tetapi dia tidak memiliki pilihan lain. Ika menambahkan, sebenarnya dokter sudah bisa mengijinkan ibunya pulang esok harinya. Artinya administrasi di rumah sakit harus diselesaikan besok jika tidak ingin tagihan ibunya membengkak. Mendengar hal itu, Sapar tahu bahwa dia tidak punya banyak waktu. Dia segera mengambil beberapa berkas dari rumah sakit dan pergi menuju Kantor Jasa Raharja.
Sampai di Kantor Jasa Raharja, Sapar terkesima dengan mewah dan nyamannya kantor tersebut. Dia seolah tak percaya bahwa kantor ini mau memberikan bantuan kepada orang-orang miskin dan dekil seperti dirinya. Betapa adilnya negara ini pikirnya.

Sapar segera mengambil nomor antrian dan menunggu panggilan dari petugas front office. Ketika Sapar dipanggil, dia kebingungan dari mana akan memulai cerita. Dengan ramah petugas itu memberikan selembar kertas yang berisi beberapa syarat mengakses jaminan sosial dari Jasa Raharja. Pelan-pelan Sapar mengeja kata demi kata hingga dia paham maksudnya. Dia terkejut ketika membaca poin ketiga, yaitu surat keterangan dari polisi. Nyalinya ciut tapi dia tidak punya pilihan. Dia pun beranjak dari tempat itu tanpa tanya, dia masih melihat poin ketiga itu dengan serius.

Di ruang tunggu kantor polisi, lirikan tajam tak pernah berhenti mengujam Sapar. Seolah mereka sedang melihat seorang alien yang mengundak decak tanya ada apa gerangan makhluk ini datang ke kantor polisi. Seorang polisi berperawakan gagah menghampiri. Dengan suara besar sedikit serak dia bertanya kepada Sapar.

“Ada apa kau kesini nak?” Tanyanya.
“Saya mau minta surat keterangan dari polisi pak.”Sapar gugup.
“Surat keterangan apa? Yang jelas dong.” Pak polisi terlihat mulai bosan.
“Ibu saya di rumah sakit pak. Kemarin kecelakaan ketika saya mengantar ibu memakai sepeda motor. Apakah saya bisa minta surat keterangan untuk mengurus jaminan untuk ibu saya?” Sapar menjelaskan dengan memelas.

Polisi itu mengernyitkan dahinya tanda tak senang.

“Kamu punya SIM?” Tanya pak polisi.
“.......” Sapar mengelengkan kepalanya.
“Mana bisa itu! Kamu seharusnya tidak boleh mengendarai motor. Kami tidak bisa mengurus hal semacam ini. Seharusnya kamu bisa kami tahan karena menyalahi aturan. Sana pergi, kau buang-buang waktu saja!” Bentak polisi itu.

Polisi itu benar, dalam kasus ini anak dibawah umur tidak boleh mengendarai sepeda motor di jalan raya. Alih-alih mendapatkan surat keterangan dari polisi, Sapar justru diusir oleh polisi itu. Rengekan pun percuma saja. Apakah tidak ada simpati dan empati di tempat seperti itu? Bisiknya dalam hati. Dengan hati kesal dia meninggalkan kantor polisi. Kini hanya ada satu tujuan saat ini yaitu rumah sakit. Sayangnya dia dia pergi dengan tangan kosong, kabar buruk atas tagihan ibunya.

Bagas duduk di kursi depan kamar bangsal Ibu Sapar dirawat. Gerak-geriknya tak tenang menunggu Sapar yang tak kunjung datang. Akhirnya orang yang ditunggunya datang. Bersama dengan salah seorang petugas sosial dari rumah singgah dia menghampiri Sapar. Banyak sekali hal yang ingin dia tanyakan. Namun ketika dia melihat raut muka Sapar, dia mengurungkan niatnya.

Sapar sangat menyesal sekali karena usahanya tidak membuahkan hasil. Keadaan sekarang bertambah pelik. Ika mencoba memahami situasi yang dihadapinya. Petugas sosial dari rumah singgah yang biasanya sering menangani kasus semacam ini juga bungkam. Dia tidak bisa mengakses dana dari rumah singgahnya untuk Ibu Sapar karena dana itu hanya ditujukan untuk anak-anak jalanan saja. Dinas sosial telah membagi alokasi dana ke beberapa lembaga sosial secara spesifik. Hal itu tidak memungkinkan bagi rumah singgah anak jalanan untuk mendampingi orang jalanan seperti Ibu Sapar. Sebenarnya ada lembaga sosial yang secara khusus mendampingi orang jalanan. Namun sayang, Ibu Sapar tidak pernah menjadi bagian dari dampingan lembaga-lembaga tersebut.

Kedatangan orang dari rumah singgah dan bantuan Bagas pun bukan terang bagi masalah Sapar. Namun dia berterimakasih atas bantuan Bagas yang berusaha untuk membantunya.
Esok paginya dokter yang merawat Ibu Sapar datang. Dia sekali lagi mengatakan bahwa ibunya bisa keluar dari rumah sakit hari itu. Sebelum dokter itu pergi dari kamar rawat, Sapar memberanikan diri menceritakan kondisinya.

“Pak dokter, saya ingin sekali membawa ibu keluar dari rumah sakit. Tetapi kami tidak memiliki uang sama sekali. Kemarin saya sempat mencoba untuk mengurus jaminan sosial, namun ditolak. Apakah bapak bisa membantu?” Tanya Sapar.

“Aku turut bersedih atas cobaan ini nak.Tetapi saya hanya petugas, saya hanya seorang dokter. Saya sama sekali tidak bisa membantu untuk urusan administrasi. Maafkan saya.” Dengan raut simpati dokter itu mencoba memahami memahami keadaan mereka.

Sapar segera pergi ke bagian administrasi bersama Ika. Seorang ibu paruh baya mempersilahkan mereka berdua untuk duduk di mejanya. Dengan ramah dan tenang ibu itu mencari berkas-berkas rumah sakit. Ibu itu terlihat masih tersenyum ketika mengeluarkan sebuah kalkulator besar. Dengan lincah jari-jarinya memencet tombol-tombol di kalkulator. Ditunjukkan layar kalkulator itu kepada Sapar dan Ika. Tertulis 1.4 juta. Mereka berdua terkejut dengan tagihan untuk Ibu mereka. Dengan malu-malu Sapar menceritakan kondisi mereka.

“Kami belum memiliki uang untuk melunasi tagihan itu bu. Apakah ada keringanan untuk ibu kami? Tanya Sapar.

Ibu yang tadinya tersenyum berubah menjadi pendiam. Sepertinya ini bukan pertama kali ibu ini berhadapan dengan orang seperti Sapar.

“Pokoknya semua administrasi harus diselesaikan sebelum keluar dari rumah sakit.” Jawabnya ketus. Segera ibu tua itu mempersilahkan Sapar dan Ika keluar dari ruang kerjanya. Katanya dia sedang cukup sibuk.

Sudah dua hari Ibu Sapar tertahan di rumah sakit padahal dia sudah jauh lebih baik sekarang dan bisa beraktivitas seperti biasanya. Uang sumbangan ditambah tabungan belum mampu melunasi tagihan rumah sakit. Parahnya lagi tagihan itu semakin bertambah tiap harinya karena ibunya masih dinyatakan dirawat di rumah sakit.

Pikiran Sapar telah buntu. Dia tidak tahu apa yang bisa dia usahakan sekarang. Kepulan asap rokok menggelembung ke angkasa lepas. Dari tadi pagi dia tak berhenti menghisap rokok di belakang rumah sakit. Dia tahu betul rokok dapat menyebabkan impotensi dan kanker. Tapi hitung-hitung rokok membantu dirinya tenang. Tak ada yang bisa menenangkan dirinya selain rokok, sahabat sejatinya.

Tiba-tiba Sapar terperangah, secara ajaib dia menemukan sebuah solusi atas masalahnya. Dilihatnya sebuah tangga yang tersandar di belakang rumah sakit. Tangga itu bukan tangga biasa. Bagi Sapar tangga itu mengeluarkan sinar terang.

“Solusi!”


Comments

Sign In or Register to comment.