Sore itu selepas hujan, beberapa bis arah Kota Semarang berduyun memenuhi Terminal Jombor. Dia keluar masuk bis sambil membawa jimbe yang dipeluknya erat sebagai mata pencahariannya. Ini adalah waktu yang tepat baginya untuk mencari uang. Bernyanyi dan memukul jimbe ala jalanan adalah caranya untuk hidup. Jalanan adalah ruang ekonomi dimana ia menggantungkan hidupnya selama ini. Aku memegang kameraku dan merekam aktivitasnya. Bagiku sebenarnya kehidupannya adalah hati yang teriris tetapi bagi media potret kehidupannya adalah suatu hal yang sangat seksi untuk digilas dalam diskusi para intelek. Kadang aku merasa ironis dengan keadaan itu, tetapi aku meyakinkan diriku bahwa niatanku baik.
Setelah merasa cukup mengamen, dia menghampiriku dengan senyumannya yang menyenangkan. Namanya Agung, seorang kawan yang baru saja dikenalkan oleh kawanku. Beberapa bulan yang lalu dia dirazia oleh Satpol PP dan ditahan di camp assesment selama satu bulan dan hingga hari ini dia tidak pernah tahu apa salahnya. Aku mulai pembicaraan dengannya dengan bertanya apakah dia tahu mengenai Perda tentang Penanganan Gelandangan dan pengemis, dia menjawab tahu setelah dia ditangkap. Aku terperanjat sedangkan dia tersenyum kecut. Kata-katanya menandakan bahwa peraturan daerah yang baru dibuat oleh pemerintah DIY ini tidak sampai ke tangan akar rumput dengan baik. Maka tak salah jika selama ini aku menduga bahwa kebijakan yang dibuat oleh pemerintah hanyalah milik elit semata. Hal itu sangat bersebrangan dengan kata seorang pejabat dinas sosial yang aku temui. Katanya mereka memiliki program untuk mensosialisasikan perda tersebut.
Kawan Agung mulai bertutur mengenai pengalamannya berada di camp assesment. Fasilitas yang disediakan di tempat itu memang tergolong sangat “baik” jika melihat kasur springbed dan jaminan makan setiap hari baginya. Namun, aku mendadak miris ketika dia berkata bahwa anak-anak, orang dewasa hingga orang gila hidup satu atap tanpa sekat di camp assesment. Anak-anak bisa melihat orang dewasa bercumbu dan ketakutan ketika orang gila mendadak histeris. Orang-orang gila yang diperbudak oleh pegawai camp assesment untuk membelikan rokok atau makanan bagi mereka. Lalu tidak ada program apapun selain diobservasi disana. Observasi adalah bahasa pegawai negara, sedangkan yang orang jalanan rasakan adalah diawasi tiap gerak-geriknya serasa diteror setiap saat dengan ketakutan akan tinggal lebih lama di camp assesment jika berlaku berperilaku tidak baik. Apakah ada kemanusiaan di tempat yang katanya bukan penjara itu? Aku cukup miris dengan Perda ini, tidak ada satu pun aku melihat pemenuhan hak-hak orang jalanan disana. Justru dengan Perda ini orang-orang jalanan ingin dihapuskan dari jalanan dengan cara menangkap mereka lalu dibawa ke camp assesment atau diusir dari Kota Yogyakarta.
Masalah yang diterima kawan Agung tidak selesai setelah keluar dari camp assesment. Ada keluarga yang ditinggalkan selama satu bulan menanti dengan kebutuhan-kebutuhannya yang harus dipenuhi oleh kawan Agung sebagai kepala rumah tangga. Tek pelak, dia harus bekerja membanting tulang setelah keluar dari camp assessment untuk menebus hutang-hutang keluarganya. Suatu sisi yang tidak pernah dilhat oleh negara selama ini dalam pembuatan perda ini.
Kawan Agung hanyalah satu dari 500 orang yang telah ditangkap dan berada di camp assesment. Masih banyak orang yang aku kira bernasib serupa. Aku sedih tetapi tidak tahu apa yang bisa aku lakukan untuk mereka secar nyata. Bukannya sok menjadi pahlawan, tetapi aku melihat ada ketidakadilan. Menurutku semua orang bertanggungjawab untuk menjaga dan mewujudkan keadilan itu.
Comments
Ya moga ceritanya ini beda ya sama pengalaman aku xD lanjut.