It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@adamy namanya jg lg kalut abs ptah hati
Ehh O.o Di mana ya!O.O Yang Steven dicium pipinya sama Billy itu di mana? *laliaku*
Seret paksa:
@Tsunami @ryanadsyah @lulu_75 @3ll0 @arifinselalusial @d_cetya @4ndh0 @Adamx @kaka_el @Tsu_no_YanYan @dafaZartin @Cyclone @Rika1006 @Adi_Suseno10 @boygiga @JengDianFebrian @cute_inuyasha @Ndraa @Otho_WNata92 @ciel_P @Rifal_RMR @nakashima @Rikadza @Shoo_Lee
"Wil... please jangan tinggalin gw" teriakku. Namun ia tidak menjawab, bahkan berpaling pun tidak. "Wil!! Wil!!" teriakku semakin keras. Ia tidak perduli. Ia masih terus berjalan dan aku hanya dapat melihat. Melihat bayangnya yang terus menjauh. Jauh, jauh, hingga menghilang. Meninggalkanku sendiri bersama dengan kesunyian.
****
Silaunya cahaya membuatku enggan untuk membuka mata. Butuh waktu bagiku untuk terbiasa dengan sinar yang terasa menyilaukan. Begitu mataku telah terbiasa, aku baru menyadari bahwa ini bukanlah di rumah. Dimana ini?
Aku mencoba mengingat apa yang telah terjadi. Tetapi kepalaku tiba-tiba saja terasa sakit, sangat malah. Kupegang bagian kepalaku dan menyadari ada sesuatu yang melekat disana.
"Perban?" pikirku.
Sontak saja kuperhatikan bagian tubuhku yang lain. Tanganku kini tersambung dengan selang infus, banyak goresan serta luka pada lengan dan kakiku. Badanku terasa sakit semua bahkan adapula yang terasa kebas. Untuk mencoba menggerakan anggota tubuh pun terasa sulit. Tak lama berselang, terdengar suara pintu terbuka dan langkah kaki yang semakin dekat.
"Ven! Kamu udah bangun sayang?" ucap mamaku. Dipeluknya diriku dalam dekapannya seakan takut merasakan kehilangan. "Akhirnya kamu bangun nak" kurasakan ada tetes air mata yang jatuh membasahi bajuku.
"Ma.." panggilku lemah.
"Ya kenapa sayang? Ada yang sakit?" ucap mama khawatir setelah melepaskan pelukannya.
"Aku dimana ma?" tanyaku bingung. Mama sempat terdiam sesaat.
"Kamu di rumah sakit nak. Udah tiga hari kamu belum bangun. Mama bener-bener takut...." ucapnya bergetar yang disusul oleh air mata yang mengalir membasahi pipinya. Saat itu juga hatiku luluh lantah melihat mama menangis. Sejak dulu aku paling tidak tega melihat seorang perempuan menangis, apalagi mamaku sendiri. Semenjak ditinggal mendiang papa, aku sudah berjanji akan melindungi dan membahagiakan mama. Tapi saat ini jangankan membahagiakan, aku malah membuatnya sedih.
"Ma... maafin Steven udah bikin mama khawatir. Mama jangan sedih lagi ya. Steven pasti akan selalu nemenin mama" ucapku lemah. Kuhapus air mata mamaku tercinta dan memberikan seuntai senyum padanya. Beberapa detik kemudian mama kembali memelukku, bahkan lebih erat.
"Jangan tinggalin mama ya Si (sisi), cuma kamu satu-satunya yang mama miliki" ucapnya terisak tak sanggup lagi membendung perasaan takut di tinggalkan orang yang sangat ia cintai untuk kedua kalinya. "Mama sayang sama kamu" walaupun badanku masih terasa sakit, dengan sekuat tenaga kubalas pelukannya dan berkata bahwa aku pun mencintainya.
****
Hari ini tepat seminggu lamanya aku berada di rumah sakit. Menurut dokter, kondisiku sudah lebih baik dan diizinkan untuk pulang. Awalnya mama berencana untuk tetap melanjutkan perawatan di rumah sakit, namun dengan cepat aku menolak. Bosen banget ini udah seminggu. Kerjanya cuma makan, tidur, nonton, dan hal tidak penting lainnya. I wanna go home!!
"Ma! Aku mau pulang!" pintaku.
"Tapi kamu di rumah ga ada yang jagaiin sayang. Mama kan harus kerja"
"Ya kan ada mbok juga di rumah. Toh aku bisa ngurus diri sendiri kok. Udah gede kali ma" protesku.
"Ga bisa pokoknya mama ga tenang kalo kamu ga ada yang jaga. Titik" ucap mamaku memberi ultimatum. Udah skakmat ini kalo mama udah ngomong pake titik. Aku pun hanya diam dan menuruti perkataan mama. Ya lebih baik mengalah, lagipula ini juga demi kebaikanku sendiri.
"Mama pergi kerja dulu ya. Nanti sore mama janji balik lagi oke?" pamit mama seraya mengecup keningku dan pergi.
Kuperhatikan luka serta memar ku yang mulai memudar. Ingatanku akan kecelakaan yang menimpaku terasa samar-samar. Mama bilang pada saat hari dimana aku kecelakaan, hujan turun dengan lebatnya dan menurut saksi mata, aku berusaha menghindar dari mobil yang tiba-tiba saja mengerem dan membuatku menabrak pembatas jalan yang berupa tembok beton.
Motorku mengalami banyak kerusakan sementara aku ditemukan terlempar beberapa meter dalam kondisi kepala yang banyak mengeluarkan darah dan badan penuh luka. Tapi yang paling parah dari semua itu memang bagian kepala. Tidak heran jika sampai sekarang aku masih memakai perban pada luka benturan dikepalaku itu.
"Ughh..." ucapku sejenak kemudian. Kupegang dada kiriku yang tiba-tiba saja terasa nyeri. Ingatan itu kembali datang. Kejadian di hari itu bagaikan mimpi sekaligus kenyataan. Namun sayang, itu adalah sebuah kepahitan. Kuremas kuat-kuat dada kiriku, berharap rasa sakit dan sesak yang datang itu dapat lenyap. Tapi semua sia-sia. Sebagaimanapun aku berusaha menghilangkannya, rasa itu masih ada. Ya. Karena hanya satu yang sulit tuk dihilangkan begitu saja. Rasa cintaku.
****
Keesokan harinya banyak teman yang datang menjengukku. Rupanya mama memberitahukan perihal ini ke pihak sekolah mengenai alasan ku tidak masuk sekolah. Sontak saja banyak tamu tak di undang hadir di ruangan ini. Ya walaupun berisik, tapi aku dapat terhibur oleh mereka. Mereka memberikan support dan motivasi untukku agar cepat sembuh dan dapat kembali bersekolah. Kehadiran mereka juga dapat menjadi pengalih perhatianku untuk tidak selalu memikirkan tentang 'dia'.
"Bro cepet sembuh ya biar bisa ngewarnet lagi kita" ajak Marcel.
"Warnet mulu lo. Liat badan udah cungkring gitu bukannya banyakin olahraga" omel Josh yang memang ku akui badannya bagus akibat hobinya berolahraga.
"Elah lu berdua bisa diem ga sih ini lagi ada orang sakit malah berisik" omel Novi yang disusul anggukan oleh Bunga.
"Thanks ya guys kalian udah mau luangin waktu buat jenguk gw" ucapku tulus pada mereka. Seketika itu juga pandangan mereka teralihkan padaku.
"Kita kan friend ga usah gitu lah" tepuk Marcel.
"Iya nih udah kek apa aja lu sob. Kenapa sakit jadi melow gini sih?" susul Josh. Sementara Novi dan Bunga hanya diam dan tersenyum kepadaku.
"Tok tok tok" terdengar suara pintu diketuk dan tak lama kemudian masuklah dua orang yang sangat familiar bagiku. Vina dan BILLY?!
"Hai Ven. Gimana kabar lu? Udah sehatan?" tanya Vina begitu sampai di sisi ranjang.
"Baik Vin" jawabku seadanya. Kualihkan pandangan darinya sejenak dan melihat Billy yang masih berdiri di muka pintu, enggan untuk masuk.
"Beb! Masuk sini ngapain kamu disitu?" panggil Vina. Eh tunggu. Beb?
"Ceileh pasangan CLBK masih malu-malu nih ya" ucap Marcel. "Aw!" teriaknya kemudian mendapat jitakan dari Josh.
Oh... sepertinya aku sudah mulai mengerti situasi disini. Rupanya Billy dan Vina sudah kembali berpacaran. Ya bagus lah, memang begitu seharusnya. Pasangan yang serasi. Kuperhatikan dari tadi pandangan mata Billy terus tertuju padaku, seakan-akan hanya aku objek yang bisa ia lihat di ruangan ini. Lama-lama jadi nervous juga.
"Ehmm Ven, kita balik duluan ya" pamit Novi dan Bunga.
"Kita juga ya sob" susul Marcel dan Josh.
"Loh kok pada balik sih?" tanya Vina.
"Iya gw sama Bunga masih ada latihan dance sebentar lagi" jawab Novi.
"Gw sama Josh udah dari tadi pagi nemenin nih anak satu. Mau balik lah udah" jelas Marcel.
"Yah... gw baru dateng" ucap Vina kecewa.
"Thanks ya guys udah nengokin gw" ucapku untuk kedua kalinya.
"Stop ah bosen gw dengernya. Pokoknya lu cepet sembuh aja deh ya biar kita bisa fun lagi" ucap Josh yang didukung oleh anggukan Marcel, Novi, dan Bunga.
"Oke deh" ucapku sambil tersenyum. "Titi dj ya kalian semua"
"Sip deh. Byeee" ucap mereka bersamaan.
Kini tinggal aku, Billy, dan Vina yang ada sini. Suasana berubah menjadi canggung. Jujur aku merasa tidak nyaman dengan kehadiran mereka berdua.
"Eh bentar ya aku ke toilet dulu" izin Vina pada Billy.
Selepas kepergian Vina, suasana masih saja tetap terasa canggung. Ugh... Tatapan Billy tidak juga berpindah sejak pertama kali dia memasuki ruangan ini.
"Apa sih lu liatin gw mulu?" tanyaku sedikit jutek merasa gugup diperhatikan seperti itu. Dia tetap diam dan tidak meresponi kata-kataku. "Woi!"
"Apa?" tanyanya dengan nada dan ekspresi yang sangat datar. Kuteguk ludah sejenak mencoba menghilangkan rasa gugup.
"Jadi... lu udah balikan sama Vina?" tanyaku dengan suara sepelan mungkin.
"Hmmm?" gumamnya seolah berbalik bertanya. "Emang kenapa? Ini kan yang lu suruh gw lakuin?" ucapnya lagi-lagi datar namun serasa menusuk.
"Gw cuma gak mau lu menyesal nantinya Bil" balasku pelan. Hanya keheningan yang kini hadir diantara kami. Aku bingung sebenarnya. Saat melihat Billy, aku seperti melihat bayanganku sendiri. Di hari kecelakaan itu terjadi, hati kami sama-sama hancur. Mungkin ini karma untukku karena telah mencoba mematikan perasaannya. Tapi di lain pihak aku tidak mau menjadi penyebab putusnya hubungan dari sahabatku sendiri, Vina. Begini ya rasanya jadi "cherrybelle" — dillema huh...
"Beb. Balik yuk" ajak Vina yang telah kembali dari toilet. "Ven kita pergi dulu ya, masih ada acara nih"
"Oh... oke deh. Thx ya udah jenguk" balasku sambil tersenyum.
"Sama-sama. Yuk beb" ajak Vina sambil menggandeng lengan Billy. Merekapun akhirnya mulai berjalan menjauh. Baru terhitung beberapa langkah, Billy memalingkan wajahnya untuk menatapku. Ia tersenyum. Tapi ada sesuatu yang aneh dari senyumannya itu. Suatu senyum yang tak dapat kuartikan bahkan hingga saat ia menghilang di balik pintu.
****
Setelah hampir dua minggu bed rest total, akhirnya hari ini aku diizinkan mama untuk masuk sekolah. Yes! Ada perasaan exciting namun juga nervous saat memikirkan apa yang akan kualami di sekolah nanti. Rasanya aku enggan bertemu William. Agh! Nama itu. Memikirkannya saja sudah terasa menyakitkan. Selama dirawat di rumah sakit, tidak sekalipun William menjengukku, bahkan untuk sekedar chat pun tidak. Jauh di lubuk hatiku yang terdalam, aku masih mengharapkan kehadirannya. Ya. Aku tau kalau aku sangat menyedihkan. Tapi tak apa bukan? Akupun berhak untuk berharap.
"Den, udah sampe" ucap supirku. Oh satu lagi. Mama tidak mengizinkanku untuk mengendarai motor. Dia takut kejadian seperti kemarin dulu itu dapat terulang kembali. Jadi, resmilah mulai hari ini pak Agus yang akan mengantar jemput diriku.
"Oh ya makasih pak" ucapku seraya membuka pintu.
"Den! Nanti pulang jam berapa?" tanyanya.
"Belom tau pak. Nanti saya kabarin lagi aja oke?"
"Baik den" angguknya mengerti.
Kujinjing tas sekolahku dan mulai berjalan melewati gerbang sekolah. Suasana sudah mulai ramai karena memang tidak lama lagi bel masuk akan berbunyi.
Sesampainya di kelas, suasana yang tadinya ramai berubah menjadi sunyi. Semua pasang mata memandang kearahku seakan aku ini makhluk aneh yang datang dari planet antah berantah.
"Ehm... kalian kenapa?" tanyaku bingung.
"STEVENNNN!!!" teriak mereka bersama-sama. Sontak saja aku kaget dan merasa heran.
"Welcome back!!" seru mereka. Habis sudah badanku. Dengan serentak, mereka beramai-ramai datang dan memelukku. Digencet, ditubruk, dicubit, dilindas... eh ga sampe dilindas deng.
"Aduh..duh... sakit oi" protesku. Namun mereka tetap saja tidak bubar bahkan sekarang rambut dan pipi ku menjadi sasaran "kebrutalan" mereka.
"Oi, oi, udah kasian noh si Steven badannya ntar gepeng" ucap Josh. Begitu mendengar tegurannya, teman-teman yang lain mulai merenggang dan memberiku ruang untuk bergerak. Huh... akhirnya.
"Thanks ya guys sambutan mematikannya" ucapku sedikit menyindir.
"Wah songong nih bocah. Hajar lagi guys!" ucap Josh memprovokasi teman yang lain untuk kembali menyerangku.
"Ampun waaa!!" ucapku namun terlambat. Mereka sudah kembali menyerang.
"Rasaiin nih makanya jangan sengak" ucap Marcel yang sibuk menjitaki kepalaku.
"Aduh ampun ahahaha.." pintaku sambil tertawa. Aku merasa senang bahwa ternyata banyak teman yang memperhatikan diriku. Mungkin luka fisikku sudah membaik. Tapi merekalah yang sekarang mampu menjadi obat penyembuh luka di hati.
****
Jam pelajaran pertama telah usai dan suasana kelas menjadi riuh kembali setelah guru pengajar pergi. Aku yang duduk tepat di samping jendela hanya dapat melihat pemandangan di luar dimana anak kelas 10 sedang berolahraga. Saat sedang memperhatikan anak-anak yang tengah bermain basket, disanalah dia, tepat di bawah ring basket dan siap melakukan slam dunk.
"Degg Degg" kupegang dada kiriku yang lagi-lagi terasa ngilu. Kuremas kuat-kuat perasaan yang begitu menyakitkan dada, namun ku tahu itu percuma. Sakit itu masih terasa. Dengan cepat aku berdiri dan berjalan keluar dari kelas. Tuhan, apa yang harus kulakukan dengan perasaan ini? Pikiranku kalut bahkan aku sendiripun tidak tahu kemana sebenarnya aku tengah melangkah. Tepat dipertigaan sebuah jalan antara jalan menuju aula dan lapangan, tiba-tiba aku menubruk seseorang. Aku masih terpaku sesaat dimana mukaku kini tepat berada di depan sosok yang menabrakku. Wangi ini..., seperti wangi bayi yang sangat kusuka dari seseorang. Dengan hati berdebar dan perasaan ragu, kuangkat kepalaku dan melihat wajahnya.
"Will..." gumamku mendapati dirinya yang kini berdiri di depanku. Suasana berubah menjadi kaku—bagiku. Kutatap matanya mencoba mencari makna didalamnya. Kosong. Aku tidak dapat melihat apapun disana. Tidak ada lagi pancaran hangat didalamnya. Atau mungkin aku yang sudah tidak mampu lagi melihatnya? Ughh..Lagi-lagi perasaan itu datang. Kutekan dalam-dalam perasaan itu dan berjalan melewatinya. Aku harus kuat. Ya, harus.
Aku berjalan dan terus berjalan mencoba tak berpaling. Namun perasaanku mengalahkan pikiranku. Aku tak sanggup. Kuhentikan langkahku dan berbalik kembali mencari keberadaannya. Ia masih disana berdiri dengan posisinya yang masih sama tak berubah. Ingin aku menghampirinya dan menatap dirinya, mengaguminya, bercengkrama dengannya, seperti halnya dulu kami bersama.
Kurasa tidak ada salahnya aku mengalah dan melawan perasaan ini. Setidaknya keputusanku itu akan mampu membuat persahabatan kami kembali, begitu pikirku. Lagipula tidak ada salahnya aku mencoba. Kuberanikan diri untuk mulai berjalan menghampirinya. Baru terhitung selangkah aku berjalan, muncullah seorang perempuan dengan baju cheerleader dari arah lapangan dan langsung memeluk lengan William layaknya sepasang kekasih.
Dalam sekejap tubuhku terasa kaku dan kakiku berhenti melangkah. Jujur saja selama ini aku tidak pernah melihat seorang perempuan berani memperlakukan William seperti itu. Semua siswa/i pun tahu William adalah tipe yang paling risih dan pasti menghindar jika bertemu dengan tipe perempuan seperti itu.
Kualihkan padangan pada William yang masih terpaku menatap lurus kedepan, tempat dimana aku datang tadi. Jadi sekarang posisiku berada tepat beberapa meter dibelakangnya. Kulihat William tersadar dan melihat ke arah perempuan itu. Begitu ia melihat perempuan tersebut, ia pun tersenyum.Senyum itu..., senyuman hangat yang sudah lama tak kulihat. Dan mata itu..., mata yang memancarkan segala kehangatan yang dulu sering kurasakan.
Disanakah William yang dulu kukenal berada? Disisi seorang perempuan yang kini bersamanya?
Tubuhku bergetar dengan hebatnya. Lidahku terasa kelu dan mataku memanas. Kini William merangkul perempuan itu dengan mesranya dan merapatkan dirinya lebih dekat. Apa mungkin perempuan itu adalah.... Aku tak sanggup mengatakannya. Semua sudah terlihat jelas di mataku.
Aku jadi teringat sebuah mimpi. Mimpi dimana aku memanggil namanya, memohon dirinya untuk tetap bersamaku. Tapi apa? Ia terus berjalan dan berjalan hingga menghilang. Sekarang aku mengerti, diriku bukanlah lagi seseorang yang berharga baginya. Ia telah menemukan sosok yang mampu membuatnya merasakan apa yang dulu kurasakan pada dirinya. Sakit? Ya, pasti. Namun apa yang dapat kulakukan? Aku merasakan cemburu yang tak patut ku utarakan pada sosok yang bukan milikku.
Aku masih menatapnya dari tempatku berdiri. Melihat senyum di bibir dan matanya. Setidaknya untuk terakhir kali. Ya, untuk terakhir kalinya saja. Tiba-tiba, William yang masih merangkul kekasihnya itu, memalingkan wajahnya dan mendapati diriku tengah menatapnya. Ia tampak terkejut melihat diriku. Aku hanya menatapnya dan tersenyum. Sebuah senyuman tulus yang menggantikan segala kata yang tak dapat kuucapkan padanya.
"Will, aku bahagia dapat melihatmu menemukan seseorang yang mampu membuatmu merasakan indahnya jatuh cinta. Thanks buat segala hari yang pernah kita lalui bersama. Untuk semua keceriaan, untuk semua canda, untuk semua cerita, dan segala hal yang menjadikan kita sebagai sepasang sahabat" air mata mulai mengalir turun membasahi pipiku. "Aku bersyukur dapat merasakan sebuah cinta. Walaupun itu hanya sebatas sahabat. Sampai sekarang cinta yang kurasakan sejak pertama kali melihatmu, tidaklah berubah. Tetapi, kini melihat kebahagiaanmu bersamanya, membuatku tersadar alasan mengapa kau berubah. Aku yang harus mundur. Aku lah yang harusnya menjauh. Semua sakit yang kurasakan, biarlah aku yang menanggungnya. Ini semua bukan kesalahanmu. Semua karena aku yang terlalu mencintai dirimu" air mataku mengalir semakin deras. Ia masih terpaku menatapku dengan tatapan sayu. Akhirnya. Akhirnya aku dapat merasakan tatapanmu yang dulu. Itu sudah cukup bagiku.
Kuhapus air mataku dan kembali tersenyum padanya. Ia tidak bergeming bahkan setelah kekasihnya itu terus-terus memanggil namanya. Kubalikkan badanku dan mulai berjalan menjauh. Bersama dengan setiap langkah yang kutapaki, kukuatkan diri dan berkata bahwa semuanya kan baik-baik saja.
Aku tidak menyesal telah mencintainya, walaupun cintaku tak terbalas. Dibalik itu semua, terdapat kenangan indah yang telah kami lalui berdua. Aku jadi teringat sebuah kalimat yang pernah kutulis dalam salah satu puisiku yang mungkin mampu membuatku bertahan dari luka ini.
"Namun satu hal yang pernah kurasakan dan hanya aku yang dapat mengerti, yaitu kebahagiaan mencintai daripada dicintai"
Bersama dengan kalimat itu, kurelakan cintaku pergi.
****
#lemparSekarungTisuBekas
(tisue wc)
ayo semangat Sisi menyongsong hari esok yg baru dan cinta yg baru pula..
"I finally understood what true love meant ... love meant that you care for another persons happiness more than your own, no matter how painful the choices you face might be"