Dia memintaku datang kerumahnya walau malam telah larut. Aku tak menolak, kutemukan dirinya adalah oase dari perjalanan panjang. Tempatku beristirahat dalam ketenangan dari pikiran-pikiran berkecamuk akan hari esok. Aku duduk di ruang tamu yang didesain menyatu dengan kamar tidur. Di malam yang dingin ini dia menyuguhkan segelas kopi hitam panas dengan komposisi yang sangat tepat. Sepertinya dia sangat mudah untuk memahamiku. Dia mendekatiku yang sedang menikmati lagu tahun 80’s, merengkuhku dalam pelukannya. Katanya dia punya sesuatu untukku, aku menyudutkan mataku ingin tahu apakah itu. Diberikannya sebuah bingkisan manis warna hitam dengan corak flora bertinta emas. Kubuka bingkisan itu, “Dunia Anna” karya Jostein Gaarder. Aku terperanjat, mataku berkaca-kaca, tak seorang pun tahu bagaimana aku mengagumi Jostein Gaarder dan malam ini dia memberikan salah satu karyanya, melengkapi kekurangan koleksiku dan menyejukkan dahagaku akan kebaruan.
“Jadi, malam ini kita akan berbincang mengenai filsafat semesta?” Dia melepaskan pelukannya dariku, meringkuk kecewa karena tanggapanku.
Kucium tengkuk lehernya, dia pun beralih menatapku, bermain-main dengan rambut kusam yang didera berbagai polusi hari ini.
“Apa yang membuat manusia benar-benar memiliki eksistensi di dunia imagologi? “ Tanyanya.
Kujawab pertanyaan itu dengan ciuman di bibir tipisnya yang manis. Kulihat mata sipitnya terpejam ketika aku melakukannya. Aku merasa geli melihatnya, bukankah hal semacam ini bukan suatu hal yang tabu lagi. Atau jangan-jangan dia masih meyakini sakralitas pada ekpresi afeksi semacam ini. Mungkin.
Pertanyaannya adalah pertanyaanku yang hingga kini belum terjawab dengan puas. Beratus-ratus tahun silam manusia-manusia mencoba mencari hakikat dan keberadaan manusia melalui filsafat. Memecah bangunan transendensi menjadi puing-puing imanen yang bisa ditelaah dengan nalar. Katanya keberadaan itu karena pemikiran, tetapi itu kata mereka. Sama sekali aku tidak menemukan keberadaan diriku pada badai-badai yang ada di otakku. Yang ada hanyalah kehampaan yang tak bertemu dengan realitas. Justru aku malah terseret pada percepatan yang dengan rakusnya melahap ruang-ruang pikiranku. Menggodaku dengan kebaruan semu dan menghipnotisku dengan ekstasi euforis.
Keberadaan justru kutemukan pada serpihan-serpihan sederhana di ruang kasih. Kutemukan pengakuanku pada dirinya yang terbuka dengan imajinasi dan karya-karyaku. Kulihat diriku pada keterlanjangan kami. Menyisihkan tipu daya dimana kami bersembunyi dibalik citra-citra. Melepaskan jiwa-jiwa kami pada orgasme menuju batas antara manusia dan alam semesta. Kutemukan diriku pada relung lubang hitam yang menghisap debu-debu angkasa. Membuatnya berputar pada poros hingga meledak menjadi penciptaan. Supernova! Aku berada.
Kutatap wajahnya berpeluh keringat, dia telah menemukan batasnya sebagai makhluk rapuh bernama manusia. Kusaksikan dia sebagai pesakitan, kusaksikan dia sebagai pecandu orgasme. Aku terus bertanya bagaimana sakit bisa membawanya pada kesenangan. Apakah itu adalah wujud jiwa-jiwa kami sesungguhnya? Malam itu berlalu di sofa tempat kami meringkuk, saling menyelimuti dari dinginnya malam. Esok pagi kami akan kembali seperti biasanya, sebagai seorang pecinta yang tak pernah saling memiliki. Ya, kami meyakini satu hal pada dunia ini bahwa manusia datang dan pergi sendiri-sendiri.
Selanjutnya di penghujung Bulan Januari, ketika perpisahan itu tiba. Kami akan merasa kehilangan pada sesuatu yang tidak pernah kami miliki. Kami menemukan diri kami sebagai Saligia.
Comments
#grammar #lol
Ketenangan di dalam keriuahan pusat wisata, tidak pernah kubayangkan sebelumnya ada tempat dimana orang-orang berdoa khusuk diantara desakan turis yang ingin berfoto gila. Kolam memanjang dengan bunga-bunga warna ungu dan putih. Si ikan mengintip malu-malu, bersembunyi dibalik daun teratai yang hampir bulat penuh. Kinara-kinari mengamati secara seksama, menjaga, tak pernah lelah di pojok-pojok kolam. Mengabdikan hidupnya melindungi kolam itu dari marabahaya. Kujentikkan permukaan kolam dengan jariku, merusak lentik kolam yang tenang. Ikan-ikan bertebaran kesegala penjuru mencari persembunyian baru. Tanpa sepengetahuanku, dia menatapku tajam, memperingatkanku yang usil. Aku pun menghampirinya dengan senyum, menjelaskan padanya bahwa aku tak pernah berniat jahat apapun. Kami pun segera pergi ke dalam vihara. Bau dupa tercium kuat, terbakar di depan altar Sang Buddha yang tertidur dengan tangan yang menyangga kepalanya. Dia bersimpuh, menyalakan dupa dan menancapkannya, berdoa dengan cara dan kata yang tak pernah kupahami.
Selesai berdoa dia mengajakku berkeliling vihara. Ada beberapa vihara di dalam vihara tersebut. Pada awalnya aku sedikit kebingungan memahami hal tersebut. Namun setelah dia bercerita bahwa vihara-vihara itu dibangun sebagai lambang persahabatan antar umat Buddha di beberapa negara seperti Thailand dan Jepang, pertanyaanku terjawab dengan sendirinya. Di beberapa tempat di vihara ada beberapa patung Buddha dengan para Bodhisatva. Sekilas aku melihat beberapa ukiran yang mirip dengan ukiran Jawa dan Bali. Aku mengira hal itu sebuah akulturasi yang terjadi antara agama dan kultur setempat. Jika demikian maka agama menemukan dirinya dengan kultur-kultur setempat seperti yang aku lihat di dalam vihara ini.
Denting syahdu bergema, alam memainkan melodinya pada pipa-pipa alumunium yang tergantung memutar di pojok gedung perpustakaan. Terbesit pemikiran bahwa keindahan bukanlah ciptaan manusia melainkan alam itu sendiri. Seperti nada harmonis yang baru saja kudengerkan, bunyi yang digerakkan oleh angin (alam). Menciptakan keindahan alami, mensucikan jiwa-jiwa kami yang terpolusi.
Kami menemui beberapa biksu yang sedang melakukan rutinitas di vihara. Satu diantara mereka bertanya, “Foto-foto?”
Pertanyaan yang bagiku sangat ambigu. Apakah maksudnya kami ingin berfoto dengannya atau dia mempersilahkan kami untuk mengambil foto di vihara ini. Seandainya dia berhenti dari rutinitasnya dan mengajakku berbicara maka akan aku jelaskan bahwa kami disini bukan untuk mencari hiburan dan eksistensi sosial media. Lantas akan kuluruskan pandangannya mengenai label turis yang disematkan pada kami. Tetapi itu seandainya saja.
Kami memasuki sebuah ruangan perpustakaan kecil yang berada satu atap dengan vihara.Kuintip deretan buku-buku itu dari balik kaca, aku langsung takjub. Deretan buku-buku dengan caption “filsafat” dan “meditasi” memikatku. Segera kubuka rak buku itu dan mengambil buku-buku kuno secara acak. Pikiranku terbuka lebar,memahami dan meresapi,bahkan kadang imajinasi lari seliar-liarnya. Waktu pun menjadi sia-sia di ruangan itu. Aku terhanyut pada tulisan-tulisan dan makna dibaliknya.
Tak terasa sore pun berada di penghujung hari. Kami tutup buku-buku kami dan mengembalikannya pada tempat semula. Biksu-biksu satu persatu masuk ke vihara untuk berdoa sore, melewati kami dengan senyum yang tulus. Seandainya aku tahu bagaimana mengucapkan salam dengan cara Budhha, aku akan menyalami mereka satu-satu. Kami keluar dari ruang perpustakaan. Kulihat sekitar dengan seksama, tiba-tiba aku merasakan sebuah keganjilan. Batinku mencoba menelisik,mencari tahu ada apa sebenarnya.
“Bayangkan, biksu yang mencoba lepas dari kehidupan duniawi, mereka tinggal dalam sangkar surgawi semacam ini. Berapa rupiah yang harus dikeluarkan untuk merawat vihara ini setiap bulannya?” Tiba-tiba dia bertanya secara spontan.
Aku tercekat mendengar pertanyaan yang dilontarkannya. Aku tak berani menjawab dan mencoba untuk meresapi pertanyaannya terlebih dahulu. Pertanyaannya ada benarnya, sebenarnya apa makna menjadi seorang biksu dan tinggal di dalam vihara? Ada kekhawatiran dalam diriku akan menemui sebuah kenyataan bahwa simbol biksu akan kesederhanaan dan meninggalkan hal-hal keduniawian akan hancur. Jika melihat sekitarku sekarang ini maka para biksu ini hidup lebih makmur daripada orang-orang miskin di bantaran sungai. Aku takut mereka hidup di sebuah vihara yang eksklusif dan jauh dari umat. Terjadi banalitas makna kehidupan biksu. Lalu apa sesungguhnya makna suci dan profan? Fana dan abadi? Kebajikan dan Berlimpahan?
Kulihat dirinya yang berdiri tegak dengan pendirian dan perspektifnya mengenai dunia. Seorang punk yang belum lama kukenal, dia yang dimata masyarakat adalah orang-orang yang menyimpang. Namun sejauh yang aku lihat, jauh lebih bijak dan jujur daripada orang-orang terpandang dan suci. Mampu melihat realitas sebagai hiperealitas yang tumpang tindih lalu menjadi jujur karena pilihannya yang berani. Memang dia suka membaca buku dan teori-teori, tetapi dia tak terjebak pada diskursus eklusif dan mampu membawanya pada tataran realitas paling sederhana, ligkungannya sendiri.
Tahukah, beberapa hari ini dia menyatakan cintanya kepadaku. Ketika aku bertanya mengenai alasannya mencintaiku dia berkata “cinta saja”. Jawabannya membuat diriku ragu dan tidak terlalu mempercayainya. Tetapi akhir-akhir ini benar-benar merasakan keberadaannya. Dia memelukku ketika hatiku goyah, kami tertawa bersama pada perjamuan seorang kawan, hingga menemaniku terhanyut pada mimpi-mimpi yang kadang seram. Dia mengartikan cinta dengan keberadaannya di dalam kehidupanku secara nyata. Bukan seperti mereka yang hanya bilang cinta saja tetapi secara fisik tak pernah hadir. Dimabuk kepayang oleh kata-kata cinta yang kehilangan makna. Tak pernah membalas kasih dan lebih sibuk dengan dirinya sendiri. Tak pernah memberi selamat ulang tahun atau lebih parah lagi tak pernah berkata terima kasih atas apa yang didapatnya.
Dia yang kukenal akhir-akhir ini memaknai dengan tindakanya. Dia meman tidak terlihat sebagai orang suci, tetapi bagiku dia tidak lebih profan dari biksu dan mereka yang tak mau kusebut namanya.
Kami pun meninggalkan tempat itu dan berjanji tak akan pernah pergi ketempat itu lagi. Lebih baik mengembara dalam kesendirian dan menjadikan kehidupan sebagai guru katanya dengan senyum lepas.