Dear BF'ers...kali ini saya ingin menuliskan kisah yang datar-datar saja cenderung mbulet sih sebenarnya dan panjang karena mengungkap beberapa kisah. cerita ini masih ada kaitannya dengan tulisan saya di thread lainnya yang masih di kategori boyzstories juga yang judulnya Tiga Tahun dalam Sehari serta Kamu dan Secangkir Kopi. biar runut dipersilakan bagi teman-teman berkenan membaca kisah-kisah itu juga...hehehe terima kasih
Cerita ini berhubung agak panjang jadi saya pecah dalam dua bagian yang akan diupload kemudian.
nb: mohon maaf bila banyak typo dan salah penerapan bahasa Inggris ya...
Penyesalan Seorang Ayah
New York, just before midnite in the middle of never ending busy Monday. Aku masih berkutat dengan angka-angka merah di layar monitorku. Marathon Meetings, panic voices. Ah….bukan hari yang indah untuk mengawali minggu ini.
Aku tidak sendiri di ruangan itu. Sengaja aku turun dari ruanganku yang sepi di lantai tiga puluh gedung itu untuk berbaur dengan rekan kerja yang senantiasa memanggilku mister dengan basa basi kesopanan. Memegang salah satu jabatan yang mengharuskanku selalu hadir dalam Board of Directors Meetings membuat keluwesan itu bercampur dengan basi basi sopan yang tak perlu dari karyawan lain yang entah mengapa seakan memaksa diri untuk sadar mereka adalah seorang bawahan.
“No one homey, Guys (Kalian tak ada yang ingin pulang)?” tanyaku pada mereka melihat begitu banyak wajah kusut dan rambut yang sudah acak-acakan.
“Not yet, Mr. Smith (Belum, Mr. Smith). They ain’t up yet (itu semua belum terlihat akan naik).” kata Austin, si brewok salah satu staf analisisku sambil menunjuk grafis di layar monitor.
Saham perusahaan cenderung turun belakangan ini. Terimbas berita semakin memburuknya kondisi kesehatan Anthony W. Smith, sang CEO.
Ya.. namaku Nicholas Pramoedya Smith. CEO yang tengah sekarat itu adalah ayahku. Nama Pramoedya kuwarisi dari garis ibuku yang juga terlahir dari kasih dua bangsa antar benua. Pernikahan campuran seakan menjadi tradisi dalam keluarga kami.
Aku lahir dan besar di Jakarta. Saat itu ayah sedang sibuk-sibuknya merintis pasar Asia. Membuka jalan kejayaan melalui pintu Nusantara. Sejak kecil aku terbiasa dengan budaya Indonesia. Mewarisi dua macam kewarganegaraan membuatku nyaman berbaur dan bercengkerama dengan teman-teman pribumiku. Toh memang wajahku ini tidak bule-bule amat. Rambut hitam, perawakan kecil, bahasa Indonesia yang lancar, semua kuwarisi dari keluarga ibuku yang memang sehari-harinya dekat denganku semenjak kecil. Mungkin hanya mata biru ini yang sedikit menegaskan bahwa aku punya garis dari ayahku. Ah cukuplah deskrispsi tentang diriku.
Ayahku, seorang yang besar dan disegani di dunia bisnis itu kini terbaring lemas sejak beberapa minggu yang lalu. Stroke dan beban pikiran yang teramat sangat melumpuhkan jiwa dan raganya. Ironisnya, akulah penyebab semua kelumpuhan itu. Aku, anak satu-satunya yang begitu disayang olehnya, melalui sebuah pertanyaan sederhana, membunuh ketenangan dalam jiwa ayahku. Membangkitkan kembali luka yang sudah lama terpendam. Sengaja ditutup rapat dikunci dan dilupakan. Namun aku dengan begitu kurang ajarnya, dengan begitu lancangnya mendobrak pintu besi kenangan itu.
“Dad, I found an old photograph inside a box down there. (Ayah, aku menemuka sebuah foto usang di dalam kotak di bawah sana)” kataku beberapa minggu yang lalu tepat pada hari peringatan lima tahun kematian ibuku. Ayahku yang tengah menikmati segelas wine, berdiri memandang keluar jendela dengan pikiran yang berkelana meresapi kenangannya bersama ibuku, mendadak berubah raut mukanya. Ia berbalik dan terlihat sorot mata kepedihan di wajahnya.
“How did you get that? (Bagaimana kamu bisa mendapatkannya?)” kata ayahku panik sambil terburu-buru berjalan mendekat. Pandangannya tertuju pada sebuah foto usang yang kutunjukkan kepadanya.
“I was looking for my old books downstairs. Then I saw an old box. It’s very dusty. There I found that photograph. Who are they on that picture? (Aku sedang mencari buku-buku lamaku di lantai bawah. Lalu aku menemukan sebuah kotak usang. Kotak itu sudah berdebu. Di dalamnya aku menemukan foto itu. Siapa mereka yang ada di dalam foto itu?) ” jelasku kepadanya.
Ayahku hanya terdiam, terpaku pada keterjutannya. Ia membalikkan badannya membelakangiku. Kembali memandang keluar jendela tanpa cakrawala pasti.
“Are they relation? It’s kinda interesting ‘coz the small one on that picture definitely looks like me when I was a kid. (Apakah mereka saudara? Cukup menarik perhatianku karena anak kecil yang ada di foto itu mirip denganku waktu masih kecil).” kataku santai sambil memandangi foto usang itu.
Hanya ada dua orang yang ada di dalam foto yang kondisinya sudah sangat usang, berdebu, dan hampir robek di tepinya. Gambarnya sudah menguning. Namun terlihat jelas seorang wanita mengenakan gaun bermotif kebaya duduk tersenyum sambil memangku seorang anak kecil yang terlihat pucat. Sekilas tampaknya foto itu diambil belasan tahun lalu. Melihat dari sosok wanita dan pakaian yang dikenakannya kemungkinan mereka orang Indonesia. Aku seakan melihat cermin ketika memandang gambar anak kecil itu. Aku masih ingat bagaimana rupaku saat berusia delapan atau sembilan tahun. Aku punya banyak foto-fotoku seusia itu. Namun bocah dalam foto usang itu bermata cokelat. Tidak biru seperti punyaku.
“Lock it up back into that Box! ( Kembalikan foto itu dalam kotaknya!)” perintah ayahku pelan. Tanpa banyak bicara lagi ia berjalan menuju kamar tidurnya. Membiarkanku sendiri penuh dengan tanda tanya. Ada apa sebenarnya?
Itulah pertanyaan sederhana yang ternyata memukul ayahku terlalu keras. Aku tak tahu dan tak pernah tahu bahwa sederhananya tanda tanyaku itu menyebabkan ayahku terbaring lemas berminggu-minggu kemudian. Dokter menyarankan agar ayah lebih banyak beristirahat dan akan lebih baik kalau meninggalkan pekerjaan berat di perusahaan untuk sementara waktu.
Keadaan ini memaksaku mengambil alih pekerjaan yang ditinggalkan ayah. Aku tidak pernah menyukai beban seperti ini. Mengisi ruang kosong pucuk eksekutif perusahaan membuat isi kepalaku seakan mau pecah. Belum lagi kami harus menjaga agar kondisi ini tidak tersebar ke publik. Maklum lah, perusahaan ayahku bergerak di banyak bidang investasi dan keuangan. Menjadikan informasi-informasi sesensitif apapun membuat saham perusahaan limbung. Terlebih saat ini adalah masa krusial dengan ketidakpastian iklim investasi dan kondisi perusahaan yang tengah pada masa penentuan. Menjelang sebuah akuisisi penting dari perusahaan besar berbasis di London.
Di tengah kepelikan yang kuhadapi, ayah bersikeras ingin pulang ke rumah keluarga di New Haven. Sebuah kota di negara bagian Connecticut, sekitar seratus tiga puluh kilometer dari Kota New York. Ayah memang lahir di sana. Kami punya sebuah rumah kecil peninggalan keluarga yang saat ini hanya ditempati dan dijaga oleh Paman George dan staf pelayan lainnya. Paman George adalah buttler keluarga yang telah melayani kami sejak dulu. Bahkan sejak Paman George juga masih kecil.
Jadilah aku menemani ayah berpindah dari Kota Sibuk New York ke Elm’s City New Haven. Ditangani oleh dokter keluarga yang sudah sangat kami kenal dan percaya sejak lama, aku sedikit lega karena segala keperluan medis ayahku sudah terurus dan disiapkan semuanya. Tinggalah aku kini yang pusing memikirkan bagaimana nasib perusahaan yang dibebankan di pundak mudaku dengan tiba-tiba ini.
Ayah masih saja diam di sana. Terbaring di tempat tidur besarnya sambil memandang keluar jendela dengan sorot mata kosong. Aku tak menyangka kok bisa sampai begini jadinya. Padahal kan karena foto sepele.
Paman George datang menghampiri kami. Membuyarkan penyeselanku dengan sodoran secangkir teh hangat.
“Your Dad will be alright. There are too many things he kept in mind. Just let him rest for now. (Ayahmu akan baik-baik saja. Terlalu banyak hal yang ia simpan di pikirannya. Biarkan dia istirahat dulu sekarang.)” kata Paman George sambil meletakkan tangannya di pundakku.
Aku bangkit dari kursiku. Diiringi Paman George, aku berjalan keluar dari kamar ayah.
“Why, Uncle George. An old photograph? He gotta be kidding me. What the heck in world that an old silly thing can make him down so badly? (Kenapa, Paman George? Sebuah foto usang? Dia pasti bercanda. Bagaimana bisa sebuah hal sepele membuatnya jatuh sedemikian buruknya?)” kesalku saat berada di balik pintu kamar ayah. “…and not a single word. Not a single god damn word. (…dan tak sepatah katapun.)
Paman George hanya tersenyum….namun ia terlihat sedih dan berhati-hati. “Even a King has a secret. Too many stories untold. All suppose to remain unspoken. (Bahkan seorang raja memiliki rahasia. Terlalu banyak kisah tak terungkap. Dan sudah seharusnya demikian.)”
“But….. (Tapi….)” potongku.
“Unless he’s ready to tell you so. (Kecuali dia telah siap untuk menceritakan semua padamu.)” lanjut Paman George. Membuat terdiam.
“I think you have more important things to care about back there in New York, don’t you? (Paman pikir kamu punya hal penting untuk dikerjakan di New York sana kan?” kata Paman George membuyarkan diamku. “Business first, my dear little Niko. Two useless old men can wait after. (Bisnis yang utama, dear Niko kecilku. Dua orang tua tak berguna bisa menunggu nanti.)” Paman George masih saja memanggilku dengan nama kecil.
Aku mengangguk. Paman George benar. Saham sedang terpuruk. Transaksi dengan perusahaan London sudah di depan mata. Aku bergegas mengambil jasku dan berjalan cepat menuju mobil disambut oleh supir yang telah menungu. See ya, Dad. Just don’t do something silly you old man.
Mobil segera meluncur menyusuri jalanan malam, kembali ke Kota New York. Diiringi sudut mata Paman George yang berdiri di halaman dengan pandangan gelisah.
“Aku takut. Mereka melihatnya saat itu. Aku takut!” kudengar isak tangis lemah itu. Namun yang kulihat hanyalah sebuah bahu yang menempel erat pada…pada…astaga..tubuhku.
“It’s okay….it’s okay. Kita bisa jelaskan pelan-pelan.” Suara itu terdengar menenangkan. Sosok itu mengusap punggungku. Seketika hangat kurasakan di sekujur badanku.
Aku ingin melihat wajahnya….lepaskan dekapanmu….aku ingin melihatmu… terlintas bayang wajah itu….wajah yang sangat kukenal…
“Sir? Sir?.....” kurasakan telapak tangan seseorang mengusap badanku perlahan. Aku membuka mataku. Silau….. “I’m sorry, Mr. Smith, but we are here.” Kata pemilik tangan itu kemudian.
Perlahan kupicingkan mataku. Alex? Supir pribadi ayahku. Mimpikah yang barusan?
Sekuat tenaga kugerakkan badanku. Kulihat kami telah berada di lobby luar apartemenku di New York. Spontan kulihat jam tanganku yang menunjukkan pukul 5 pagi. Oh aku pasti tertidur sepanjang perjalan dari New Haven ke sini.
Aku melangkah keluar dari mobil. Kuanggukkan kepalaku tanda terima kasih pada Alex dan mempersilakannya untuk meninggalkanku. Masih mengantuk kugerakkan kakiku memasuki lobby. Ah…sedikit sekali waktu untuk beristirahat. Namun bayang wajah dalam mimpiku menghantui tiap langkahku sepanjang koridor apartemen menuju ke kamarku.
Sulit memang menahan gosip dan isu. Perlahan publik mengetahui kealphaan Mr. Anthony W. Smith yang kini digantikan temporer oleh juniornya. Nama Nicholas memang tidak begitu asing bagi mereka. Beberapa kali menghiasi Times dan Wall Street Today dengan headline World’s Future CEO sudah cukup menjadi garansi untuk masa depan. Namun menjadi seorang pucuk eksekutor hari ini? Masih terlalu dini bagi mereka. Orang-orang di luar sana mengenal perusahaan ini sebagai mesin finansial paling berkembang beberapa tahun ini. Berawal dari duduknya seorang anak kemarin sore di bagian Head of Corporate Development and Analysis menjanjikan business core perusahaan makin kreatif dan cemerlang. Duo Smith dalam tubuh perusahaan menjanjikan masa depan cerah bagi Wallstreet. Sekali lagi duo. Bukan sekedar Smith Junior seorang.
Keraguan ini berimbas pada merahnya saham korporasi. Turut memicu pergerakan turun saham-saham di Wallstreet. Tidak sesakti kala para bluechips bergolak memang, atau transisi mendebarkan mendiang Steve kepada Mr. Cook. Namun demikianlah kenyataannya. Dibumbui juga soal gosip akuisisi sih.
Melissa berkedip kepadaku. “Ten minutes, Boss. (Sepuluh Menit lagi, Boss.)” ohhh kenapa sih sekretaris selalu diperankan wanita cantik centil dengan rok ketat super pendek? Film-film itu memang benar nyatanya.
Pagi itu rencananya kami bertemu dengan perwakilan perusahaan asal London yang berencana melakukan akuisisi perusahaan. Berita buruknya saham tengah di lembah tercuram selama lima tahun terakhir dan analisa resiko dan future core plan belum siap sepenuhnya. Kemana lagi si brewok yang bertangung jawab untuk laporan ini. Pelacur mana lagi yang dia tiduri semalaman? Ohhh crap.
“Good morning.” Salamku singkat sambil memasuki ruang meeting. “Let’s start whatever you need to start. (Mari kita mulai apapun yang akan kalian mulai).” Jujur aku tidak begitu menyukai delegasi mereka. Intimidasi, tekanan, seakan menjadi mainan sehari-hari bagi mereka.
“How’s the old man? Is he okay? (Bagaimana dengan ayahmu? Dia baik-baik saja?)” tanya salah seorang delegasi yang paling senior di antara perwakilan itu. Hmm.. dari semua yang paling kubenci, paling terutama adalah dia. Ayahku pun tidak begitu menyukainya.
“He’s fine. Thank’s. He send his greeting for you. (Dia baik-baik saja. Dia menyampaikan salamnya untuk Anda.)” jawabku santai. “Now shall we straight to the business? (Sekarang bisa kita mulai pada inti bisnisnya?)”
“You think he’s ready to let you toying around with this ten billions’s deal? You think you can handle those red …………….(Kau pikir dia sudah siap membiarkanmu bermain-main dengan transaksi bernilai sepuluh milyar dolar ini? Kau pikir kau bisa mengatasi angka merah………..)” Dia terlihat siap dengan psywarnya ketika aku tiba-tiba memotong kata-katanya.
“I beg your pardon, Mr. Irvine. I’m sure that my father….and I believe all people in this room have no other option to do the opposite thing. I’m here and I can assure you that this deal…..right now… is between the corporation represented by you and my father’s company represented by me. (Maafkan saya, Mr. Irvine. Saya yakin kalau ayah saya……dan saya juga yakin semua orang yang ada di ruangan ini tidak memiliki pilihan sebaliknya. Saya ada di sini dan saya yakinkan Anda sekali lagi bahwa transaksi ini…..saat ini….adalah antara perusahaan yang diwakili oleh Anda dan perusahaan ayah saya yang saat ini diwakili oleh saya.)” Tegasku. Ah aku mulai muak dengan Mr. Irvine ini. Pagi ini akan sangat alot.
Sesuai dugaanku. Pembicaraan berjalan begitu alot. Turunnya harga saham menjadi senjata mematikan untuk menurunkan nilai tawar Mr. Irvine. That son of a bitch. Namun aku tak mau ambil pusing. Kendati dia dan timnya mencecarku karena data setengah jadi buatan si brewok, aku tetap tak bergeming. Deal sudah terjadi sejak sebelum pembicaraan ini. Turunnya saham adalah temporer, dan denganku yang duduk di pucuk eksekutif, harga perusahaan akan bangkit lagi. Tak masalah. Tiap cecar bisa kubalik. Tiap ragu bisa kujawab. Namun tensi menjadi panas. Sengaja kuarahkan pembicaraan menuju deadlock. Jadi aku masih punya waktu untuk membenahi semuanya. Menolak nilai tawar yang terlampu rendah yang disodorkan di depan wajahku. Dan…tujuanku tercapai. Temporer deadlock.
Sore itu aku sambil membawa cup teh dari kafetaria karyawan, aku melangkah keluar lift menuju ruanganku. Rambutku sepertinya terlihat kusut. Kurasakan itu setelah panas di kepalaku tak kunjung redam dan berkali-kali sudah kugaruk kepalaku.
“I bet you don’t wanna go inside! (Aku bertaruh kau tidak mau masuk ke sana!)” bisik Melissa, sekretarisku itu berusaha memperingatkanku.
“Irv?” tanyaku mempertegas. Melissa mengangguk. God damn Irvine. Apalagi yang dia inginkan di ruanganku. That bastard old perv.
Thomas Irvine adalah pebisnis tua yang sudah saling mengenal dengan keluarga kami sejak lama. Dulu dia adalah partner bisnis ayahku yang pertama. Tapi sejak pengkhianatan yang dilakukannya bertahun-tahun lalu yang nyaris membuat bisnis keluarga ambruk, ayah tidak begitu dekat lagi dengannya. Namun apa mau dikata. Dia selalu mewakili perusahaan-perusahaan besar yang berniat mengakuisisi perusahan lain yang tengah tumbuh pesat untuk keperluan bisnis. Irvine bukan bagian dari perusahaan-perusahaan tersebut secara utuh, melainkan hanya sebagai partner. Makelar. Karena dia juga perusahaan pertama ayah terakuisisi dengan nilai yang begitu rendahnya. Moreover dia adalah pedofil gila. Predator bagi bocah laki-laki. Aku mendengar isunya dari kalangan underground, aktivitas pervertnya ia jalankan di hampir seluruh penjuru dunia, mostly Asia. Tapi dengan uang dan pengaruhnya yang besar, tak ada satupun yang dapat dibuktikan. Lalu bagaimana aku bisa percaya? Well…..let’s say….i’m one of his victim.
“What the hell are you doin’ here?” kesalku saat membuka pintu ruanganku. Masuk dalam jajaran eksekutif, aku memiliki sebuah ruangan besar dengan privasi yang cukup. Ruangan itu layaknya sebuah suite hotel yang terdiri dari tiga ruangan lain yang terhubung dengan ruang utama. Di ruang utama itulah yang kupakai sebagai ruang kerja, dengan sebuah meja kerja besar di tengahnya, Irvine berada. Duduk di sofa hitam nyaman yang diperuntukkan bagi tamu eksekutif yang datang.
Irvine berdiri. Dengan senyumnya yang licik dia berjalan mendekatiku. Mencoba membelai pipiku yang dengan segera kujauhkan dari jangkauannya.
“Come on, baby dear Niko. (Ayolah Niko sayang). I know you love Uncle Tom (Aku tahu kau mencintai paman Tom.)
Aku memalingkan wajahku dengan jijik.
“I remembered how soft your cheek was. (Aku masih ingat betapa lembutnya pipimu saat itu.)” tiap kata dan gerakan Irvine penuh dengan intimidasi dan ancaman. “Just like the old times.”
Si tua Irvine memelukku dari belakang dan mengecup tengkukku. Tepat saat aku akan berbalik dan menghajarnya dia berkata, “Shh shh. Remember how important this deal for the old man. Do you think he can wake up from his bed with a big smile when he know that his son has made this deal falls through? (Shh shh. Ingatlah betapa penting deal ini bagi ayahmu. Kau pikir dia akan bangun dari tempat tidurnya sambil tersenyum lebar seandainya dia tahu anak kesayangannya telah membuat transaksi besar ini gagal?)” Irvine keparat itu membelai belahan pantatku dan meremasnya. “Well, Son…….I don’t think so. (Kurasa tidak, Nak.)”
Aku jijik dengannya. Aku marah. Kesal. Emosiku memuncak. Namun aku hanya bisa terdiam di sana. Membiarkan dia bertindak sesukanya pada tubuhku. Melecehkanku. Pikiranku terpaku pada ingatan itu. Ingatan ketika aku masih berusia delapan atau sembilan tahun. Saat libur sekolah, aku mengikuti ayah kembali ke New Haven. Saat itulah Irvine juga ada di sana. Di sela-sela pertemuan bisnis dengan ayahku, dia melakukannya. Membuat hidupku berubah untuk selamanya. Tapi entahlah aku harus marah atau bersyukur. Ada satu pintu yang secara tak sadar terbuka sejak kejadian itu. Orientasi seksualku.
“So…you’d better get it done soon boy. (Kau sebaiknya menyelesaikan urusan ini secepatnya, nak.)” katanya kemudia sambil mengecup pipiku. Tak lama ia pun berlalu meninggalkanku sendirian terpaku di tempatku berdiri tak tahu apa yang harus aku lakukan.
Kesunyian itu buyar oleh suara ketukan pintu.
“Boss….are you okay? (Boss….Anda baik-baik saja?)” suara melissa menyadarkanku. “Hey Nick……are you….” Melissa masuk ke dalam ruanganku. Suaranya terdenar panik. Namun ia terdiam ketika melihatku berdiri di sana. Dengan segera ia menuntunku untuk duduk di sofa, mengambilkanku segelas whisky dan menyodorkannya padaku. “Come on…drink this. Relax. Are you okay? (Ayolah…minum ini. Rileks. Anda baik-baik saja?)”
Aku mengangguk. Mengendurkan dasiku sedikit dan melepas satu kancing kemejaku. Membiarkan nafasku teratur kembali.
That old bastard!
***
“Kevin calls for about a thousand times. He said he needs to talk. (Kevin telepon kira-kira sudah seribu kali. Dia bilang ia ingin bicara.) kata sekretaris cantikku sambil menyodorkan laporan lengkap dari si brewok. Ahh…finally.
Kevin… oh Kevin. Dokter muda yang kukenal beberapa bulan lalu dari sebuah kafe di New York. Dia tampan, atletis dengan penampilan yang sedikit Rock n Roll. Aak unik untuk seorang dokter. Kami bertemu, banyak mengobrol, sikapnya nice. Banyak hal yang terasa nyambung dengannya. Kami saling tertarik satu sama lain. Sejak itu kami makin akrab. Dia sering menjemputku saat pulang kantor, mengantarku pulang, sesekali menginap di apartemenku. Semua terlihat baik, sebelum kemudian aku menyadari satu hal. Tiap sikapnya, tiap katanya, every beautiful little things he’s done for me hanya membangkitkan sebuah memori lama. Tiap kata cintanya mengingatkanku pada seseorang. Seseorang yang terpisah ribuan kilometer jauhnya. Seseorang yang kutinggalkan dengan pilu yang membekas di hatinya. Yang kutinggalkan karena….situasinya memaksakan demikian. Hal ini membuatku mual.
“I don’t want to see him for a while. (Aku tidak mau menemuinya untuk sementara waktu.) kataku lirih pada Melissa yang dibalas dengan raut wajah tanya.
“Why? He seems nice. He’s perfect. I admit I kinda envy you guys sometimes.(Kenapa? Dia terlihat baik. Dia sempurna. Aku akui kadang aku iri melihat kalian.)”
Aku hanya tersenyum. Melissa adalah satu-satunya orang di kantor yang mengetahui kehidupan seksualku serta beberapa aktivitas pribadiku. Hanya sedikit orang yang cukup kupercaya untuk urusan ini. Aku cukup berhati-hati dengan kehidupan pribadiku, namun kadang kita butuh seseorang untuk bercerita. Untuk mengatakan..hey….tahu tidak aku baru bertemu seseorang, atau hey…dia memang brengsek. Yah..hal-hal semacam itulah. What is it called in Indonesia? Ah yah….curhat.
Uniknya….Melissa adalah seseorang yang justru menyatakan cinta padaku saat awal masa kerjanya sebagai sekretarisku. Aku masih ingat…….saat itu malam hari. Aku masih duduk di meja kerjaku mempelajari laporan analisa keuangan yang bertumpuk. Konsentrasiku teralih ketika kemudian Melissa mengetuk pintu ruanganku, melangkah masuk dengan membawakan sebuah kue ulang tahun kecil bergambar hati. Ada fotoku ketika tertidur di kantor yang terpasang di kue itu.
“Happy birthday to you….happy birthday to you…..” dia menyanyikan lagu ulang tahun sambil tersenyum membawa kue itu mendekat dan meletakkannya di atas meja kerjaku. “Happy birthday my lovely boss.”
Aku tercengang. Lho….hari ini aku berulang tahun? kulihat penanggalan di layar komputerku. Astaga……benar…hari ini ulang tahunku. Aku segera berdiri menyambut uluran tangannya. Kupandangi kue ulang tahun itu dengan mata berbinar. Fotoku ketika tertidur begitu konyol.
“I think you’re cute when you were sleeping. (Kupikir Anda sangat cute ketika tertidur.)” Kata Melissa sambil tertunduk.
“Ohh Melissa. This is really sweet. Thank you.” Balasku sambil memeluknya.
“Boss…can I tell you something? I know this is ridiculous. But….I think I...emm… I like you.” Katanya lirih.
Aku terdiam. Masih tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakannya. Are you serious?????
“Please..I’m sorry I don’t want to bother you. I just……(Kumohon. Maafkan aku. Aku tidak ingin mengganggu Anda tapi…)” seketika aku mengecup keningnya. Mengatakan terima kasih atas ucapan selamat ulang tahunnya dan mengatakan betapa berartinya ini semua bagiku.
“But Melissa…..I’m gay.” Bisikku lirih.
Melisa terpaku di tempatnya berdiri. Tanpa suara, tanpa kata. Dia syok. Air matanya menetes perlahan. “Look boss…I know I shouldn’t do this to you.. I just saying what I really feel. It’s okay if you hate me but please you don’t have to lie that you’re gay. That’s….”
“No…no… I know this sounds ridiculous… but yes… that’s what I truly am. I’m not lying to you. (Tidak…tidak. Aku tahu ini terdengar konyol. Tapi iya….itulah diriku yang sebenarnya. Aku tidak bohong padamu.”kataku jujur. Aku menambil sebuah koper dari balik mejaku, membukanya. “See? This is my secret.” Kusodorkan beberapa lembar tiket masuk gay bar dan beberapa jilid buku bertema gay koleksiku.
“Oh my God” Melissa terkejut. “Are you serious?”
Aku mengangguk dengan senyum lebar di bibirku.
“Oh my God...Oh my God.. this is so embarassing. I’m sorry....i’m so...sorry.” kata Melissa penuh kegelisahan dan rasa bersalah. Kupeluk dirinya. Kuambil potongan kecil kue ulang tahun yang dibawanya dan mulai mengunyahnya.
“Thank’s for the cake. It taste really good. (Terima kasih untuk kuenya. Rasanya enak.)”
Segera kuambil jas hitamku, berjalan keluar ruangan bersama Melissa yang masih terlihat syok. Tepat saat aku melangkah keluar, berganti diriku yang syok.
“Congratulation........!!!!!!!!!” semprotan sampanye menyembur kemana-mana. Ada satu dua tiga...sekitar enam orang stafku yang berada di sana. Menantiku keluar ruangan. Semua tahu Melissa akan menyatakan cinta padaku tepat saat hari ulang tahunku. Mereka merencanakan ini semua. Membantu Melissa sekaligus memberikan surprise untukku. Mungkin mereka mengira bahwa akupun menaruh hati pada gadis itu. Hanya terlalu penakut untuk memulainya. Oh.......gosh...!!!
Kilatan lampu blitz kamera menyilaukan mataku. Sedikit kuhalangi dengan tanganku. Namun momen itu terekam jelas. Tercetak, terbingkai manis di meja kerjaku hingga kini. ‘Lovely Silly Moment’ begitu tulis mereka di bawah bingkai foto itu sebagai hadiah ulang tahun terkonyol dan tak terlupakan yang pernah aku terima. Tentu saja, orang-orang tidak tahu apa yang terjadi di dalam ruangan itu, setahu mereka, perkiraan mereka salah, bahwa ternyata aku telah memiliki belahan hati...di luar sana.
“I have a story. Long long time ago. Even longer before i worked here. (Aku punya kisah. Kisah yang sudah lama sekali. Bahkan jauh sebelum aku bekerja di sini.)” kataku lirih pada sekretarisku itu. “We both still young. Even too young to feel this kind of.... (Kami berdua masih muda. Terlalu muda bahkan untuk merasakan ...)”
“...Love? (....cinta?)” Melissa cepat meneruskan kalimatku.
Aku tertunduk diam. “Yeah...Love.”
Aku berdiri. Mengambil jaket kulitku serta menyambar gelas teh di mejaku. “Out for lunch. (Aku mau keluar makan siang)”
“If you do still love him? Why aren’t you together? (Kalau kau memang masih mencintainya. Kenapa kalian tidak bersama?)” pertanyaan Melissa mengacaukan pikiranku. Tepat saat aku akan melangkah keluar ruanganku.
“He is far far away. And I believe we both have our each life by now. (Dia berada jauh di sana. Dan aku percaya kami berdua memiliki hidup masing-masing saat ini.)” kataku dingin meninggalkan Melissa setengah bingung sendirian di ruanganku.
Aku masih terikat dengan kenangan yang tiba-tiba muncul di kepalaku. Aku berjalan menyusuri lobby sambil senyum-senyum sendiri, menikmati indahnya memori masa lalu. Namun langkahku terhenti tiga meter dari pintu keluar lobby.
Di sana Kevin berdiri. Menungguku keluar gedung ini entah sudah berapa jam lamanya.
“Not a single answer?” katanya sinis...penuh rasa kesal.
***
Comments
Aku tunggu kelanjutannya
Biar ga ribet bacanye
@tsunami @steveanggara @arifinselalusial @lulu_75 @rasdidin @adamy @aries18 persembahan bagian terakhir dari cerita ketiga.....semoga bisa dinikmati ya....
Bagian Kedua - Tamat
“Don’t you dare talk to my son ever again!” suara itu begitu kerasnya. Penuh amarah. “And you!” telunjuknya mengacung tepat di depan hidungku. “Stop this madness! Soon after your graduation, we’re going back to the States. No more words!”
Kami berdua tertunduk. Dari ujung mataku sempat kulihat ibuku menangis memberikan pandangan ibanya kepada kami. Padangan kasih seorang ibu yang tak tega anaknya terluka.
“Hhh...hhh...” aku terbangun dari mimpi burukku. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhku yang terbaring di sana tanpa busana. Bayangan mimpi buruk itu terus menghantui alam sadarku.
Kevin terbangun. Dengan segera ia menyandarkan tubuhku di pelukannya. “Hey....are you okay? It’s okay, Nick...its okay..just a bad dream.”
Aku segera bangkit dari tempat tidur. Mengenakan pakaianku dan tanpa banyak kata kupakai sepatuku, bersiap melangkah keluar dari apartemen Kevin.
“Nick! What are you doing? Where do you wanna go?” tanya Kevin panik. Terburu-buru ia juga mengenakan pakaiannya.
Aku melangkah membuka pintu apartemennya. “Home..” jawabku singkat
Aku pulang ke apartemenku menumpang taxi. Maafkan aku Kev.... pikiran itu masih menghantuiku. Pikiran tentangnya. Dia yang begitu sakitnya menerima kata-kata itu dari ayahku. Long time ago.
Tubuhku masih diselimuti keringat dingin. Kuambil whisky yang tersisa di atas meja, kuminum sekali tenggak. Aku merebahkan diriku di atas sofa hitamku yang nyaman. Kulihat waktu menunjukkan pukul dua pagi.
Rrrttt......rrrrtttt
Kurasakan ponselku bergetar. Seriously? Text message at this time?
“Hey....how’re ya doin’?” sebuah teks singkat meletupkan perasaanku. Seketika aku...blank.
Nama yang tertera di layar ponsel begitu membuat begitu kerasnya jantungku berdetak. Sejenak tubuhku memanas. Sudah sepuluh tahun lebih kami tidak saling berhubungan. Sudah selama itu aku tidak tahu kabarnya. Bayang wajah itu jelas melintas di pikiranku.
Sedikit gemetar aku mengetikkan huruf demi huruf di ponselku. Aku tak tau harus berkata apa. Jadi kubiarkan naluriku yang melangkah.
“Gue masih bisa bahasa Indonesia kok. Anyway… I’m doin’ fine. Gimana kabar kamu sendiri?” ohhh Tuhan…… sepuluh tahun dan basa basi itu yang kutulis?
Kutunggu beberapa menit tak ada jawaban. Jantungku terus berdetak kencang. Tubuhku tak hentinya makin panas. Ketika layar ponselku berkelip, dengan segera kubaca balasan darinya dengan berdebar-debar.
“Honestly……..ga terlalu baik saat ini. Hey I know maybe it’s really late back there, but…can you do me a favor?” kata-kata itu tidak seperti dia yang dulu aku kenal. Penuh rasa panik.
“Sure. What is it?” jawabku singkat. Aku penasaran.
“Long story. Is your Skype on?”
Dan setelah sepuluh tahun lebih….aku melihat kembali wajah itu. Wajah yang kukenal. Mata itu masih sama. Hidung itu. Bibir itu…….. satu hal yang berbeda. Raut muka itu….masih tetap seperti dia yang dulu…namun tak lagi penuh damai sebagaimana dia selalu mendamaikanku dulu. Tak lagi penuh ketenanggan sebagaimana dia selalu menenangkanku dulu.
“Lu keliatan berantakan” kataku bersimpati.
Dia tertawa……Tuhan….aku merindukan tawa itu. “Gue nggak percaya lu masih bisa aja ngomong pakai bahasa Indonesia. Tadi udah sempet siap-siap gue bakal ngadepin KW 2nya Cinta Laura.” Berengsek. Sepuluh tahun tak berlebihan bila aku berharap sebuah kalimat manis. Yang ini malah….. Kurang ajar!!!!
Pembicaraan selanjutnya berjalan indah. Walau tak seindah yang kubayangkan. Dia bercerita banyak hal. Aku senyum senyum sendiri mendengar betapa dia masih sangat mengingatku. Namun sebagian dari hati ini hancur mengetahui dia telah memiliki kehidupan jauh di sana. Namun apalagi yang mesti kuharap. Realistis, Nick…..kalian ini sudah lama berpisah! Lupakanlah mimpi itu!!!! Lupakan!
“…so….can you help me?” tanyanya dengan wajah sayu yang sangat tidak biasa.
“Of course, brotha. I’ll do it as soon as I can.” Brotha? Aku memangilnya brota? Pedih rasa ini.
“Terima kasih Niko… Maafin gue. Gue selalu cuma jadi masalah buat lo.” Tutupnya.
Don’t!.......Don’t do that please. Air mataku jatuh satu persatu tepat setelah dia menutup teleponnya.
***
Aku tengah menyelesaikan halaman terakhir analisa laporan perusahaan pagi itu, ketika kemudian kudengar suaranya dari balik pintu ruanganku.
“I promise you dear...it won’t be long.” kata Thomas Irvine menanggapi Melissa yang berusaha menghalanginya masuk ke ruanganku. “Fiuuhhh What a secretary!” katanya santai, melangkah masuk ke dalam ruanganku sambil menyeka sedikit keringat di muka dengan saputangannya.
Aku menegakkan posisi dudukku.
“Can I help you Mr. Irvine? Or you just lost?” tanyaku.
Thomas Irvine menampakkan senyum liciknya. “Really funny Niko boy! But I think this Friday’s meeting won’t be fun at all” dia meletakkan sebuah amplop kecil di atas meja kerjaku. “Invitation......for making a decision. I hope you understand the situation here,.....Boy!
Thomas berbalik tanpa basa basi lagi berjalan keluar, meninggalkan amplop kecil itu tergeletak di depan mataku. Segera kuambil dan kubuka isinya. Benar...selembar undangan. Pertemuan terakhir untuk menyelesaikan transaksi milyaran dollar ini. A deadline.
Kuambil ponsel dari dalam sakuku. Kuhubungi sebuah nomor kontak di dalamnya.
“Yeah....can you do that for me? It doesn’t matter. You’ll get it soon after i get my package. Well..thank you my friend. Tell Rico I send my greet for him. God Bless You!” permainan kotor akan segera kujalankan.
Rrrtt rrrrt.....Ponselku kembali berdering.
“This may has gone too far. I need an answer. We need to talk.” Sms kevin padaku.
Aku menghela nafas panjang. Berpikir sejenak apa yang akan kutulis sebagai balasannya. “Saturday night. Same place. And I’ll tell you everything.”
Sebuah balasan singkat dari Kevin. “Fair enough.”
***
Jumat pagi. Waktu menunjukkan pukul sepuluh kurang lima belas menit. Dengan penuh senyum aku melangkah menuju ruang rapat.
“Good morning. Please...have a seat.” Kataku berseri mempersilakan tim negosiasiku dan delegasi lawan untuk mengambil tempat di meja rapat besar itu.
Thomas Irvine memulai pembicaraan dengan mimik serius. “Let’s start this...negotiation straight to the point. Take our deal.....or...”
“I’m sorry Mr. Irvine, but I do believe that you are not in position to make the decision!” potongku membuat air muka Thomas berubah menjadi merah padam. “So....Gentlemen.... we appreciate your offer for this business. We thank you for that.... but I... after a long hour analysis.. judging from the recent situation, it would be best for us to override your option for now. This Company remains as it is.”
Keputusan itu menimbulkan kegaduhan pada delegasi lawan. Membuat begitu banyak gumam, hujat, sinis serta emosi yang meluap. Tak tertahankan menerima situasi yang di luar dugaan ini, Thomas menggebrak meja sambil berdiri. Telunjuknya teracung lurus di depan hidungku.
“You bloody hell of shit. Do you realize what you have done?” saking murkanya, muka itu seakan terbakar. Thomas berjalan mendekatiku. Berdiri dengan hidungnya tepat berada di depan hidungku. ”You....”
“I’m what Mr. Irvine?” kataku santai. Aku masih tersenyum. “You think I shouldn’t said that? You think I should take that hell deal and throwing away my father’s name from this company? The one he built with all of his heart? I’m sorry Mr. Irvine, I won’t let you crush him like you ever did before. Never!”
“HOW DARE YOU...” suara Thomas makin tinggi. Ia tak mampu lagi mengontrol emosinya.
Dengan segera kuambil selembar surat kabar hari itu dari tangan Melissa yang berdiri di sampingku. “Mr. Irvine!” kataku tegas dan keras, membuat seisi ruangan seketika terdiam. “If I were you... I won’t be playin’ around in the middle of the day like this. Not while every Interpol chasing up your name for all the disgusting things you’ve done.” Kulemparkan surat kabar dengan headline besar ‘Top Businessman Hunted Down. Thomas Alexander Irvine suspect for International Sexual Crime’ itu tepat ke pelukannya. Aku segera berbalik dan berjalan keluar ruangan diikuti oleh seluruh tim negosiasiku, meninggalkan Thomas yang terperangah membaca headline surat kabar sambil menahan sakit di dadanya. Kegaduhan di belakangnya masih terdengar hingga aku menutup pintu ruang rapat itu dari luar.
Siang itu hampir seluruh media ramai dengan dengan nama Thomas Irvine menghiasi headline. Balasan yang cukup untuknya, pikirku. Thank’s Rico atas keberaniannya membuka semua bukti itu. Aku sendiri diam termenung di meja kerjaku. Tanganku bermain-main dengan pulpen yang tak henti kuputar, menemani pikiranku yang sedikit dipenuhi rasa cemas. Apakah aku melakukan hal yang benar? Aku melewatkan sebuah kesempatan investasi milyaran dollar begitu saja. Apa yang akan dilemparkan ayahku ke mukaku nanti begitu ia tahu kabar ini. Ah pusing kepalaku.
Tepat saat kedua tanganku terpaku menyangga kepalaku yang terasa berat, Melissa datang menghampiriku, menyodorkan selembar slip transfer di atas mejaku.
“Done. Check it out, Boss.” katanya sambil tersenyum.
Aku mengambil slip transfer itu. Ahhh….kadang masih ada setitik senyum di dalam hari yang berat. Kulihat isi tulisan yang tertera di dalamnya. Seratus lima puluh juta rupiah atas nama Medio Raka Binawan, Indonesia. Aku senang dapat menolongnya. Semoga uang itu dapat membantunya menyelamatkan nyawa kekasihnya yang kini terbaring tak berdaya berada antara garis hidup dan mati. Membantunya membangun kembali hidupnya. Aku turut senang melihat dia telah menemukan kisah kasihnya. Sekalipun bukan namaku yang tertera di dalamnya.
“Well…thank’s, Melissa.”
“Is that him?” tanyanya penuh rasa penasaran apakah nama yang tertera dalam bukti transfer itu adalah dia yang selama ini kuceritakan padanya.
Aku hanya berkedip padanya. Melissa tersenyum. “You are more than a welcome, Boss”
***
Aku memandang bayangan diriku di depan sebuah cermin. Here I am. Tubuh rampingku berbalut kaos putih di balik sweater cokelat dengan jeans hitam dan sneaker Reebok favoritku. Favorit, karena ini hadiah ulang tahun kedelapan belasku dari Raka. Sudah sepuluh tahun lebih..tapi masih muat sampai sekarang. Hadiah terakhir darinya. Dan hari ini akan kupakai untuk menemui Kevin. Ironis. Kupandangi terus wajah bayang wajah di cermin itu. Dua sisi mata uang. Future CEO dengan kekuasaan yang luar biasa, bersanding dengan sosok seorang bocah yang lemah, tanpa daya, memendam tangis yang teramat dalam. I’m just a kid after all.
Aku sengaja meliburkan supirku Sabtu malam itu. Aku ingin berjalan menyusuri jalanan malam Broadway dan menikmati kembali saat-saat pertemuan pertamaku dengan Kevin. Dia pemuda yang sangat gentle. Memapahku yang tengah mabuk sepanjang Thames Street hingga Trinity Church hanya untuk mencari tumpangan taksi. Hal konyol karena malam itu entah mengapa tak satupun angkutan yang dapat kami temui. Berakhirlah kisah malam itu di Bean & Bean dengan dua botol air mineral dijejalkan ke mulutku berusaha menetralkan pengaruh alkohol.
Aku tersenyum sendiri ketika sampai di depan Bean & Bean. Kutatap kafe itu lama. Kevin berada di sana. Terpisahkan pintu itu. Beberapa saat lagi aku akan menceritakan semua, kisahku yang sesungguhnya, cerita tentang Raka, ayahku, betapa peliknya hidup yang kulaui dan….betapa Kevin membuatku tersenyum sesaat. Akupun melankah masuk…ditemani oleh gemerlap lampu kota New York yang berkelip di belakangku.
“Hi…” Kevin tersenyum tulus saat melihatku berdiri beberapa inci dari tempatnya. Aku duduk tepat di hadapannya. Tertunduk. Dengan segera Kevin menggenggam tanganku memutahkan segalanya dari mulutku. Semua cerita masa lalu yang selama ini kupendam. Terlihat jelas raut kecewa di wajah Kevin. Namun ia puas telah mendengar semua dari mulutku sendiri. Genggamannya terasa makin erat. Tubuhku memanas.
Rrrtt……….. Getar ponsel mengalihkan pikiranku.
“He’s ready. Come over tonight.” Pesan singkat Paman George membuatku kalut. Bingung. Aku tengah berada dalam situasi yang menyulitkan. Dihadapkan dengan hubunganku bersama Kevin dan rasa penasaran yang akhirnya segera terungkap oleh penjelasan ayahku.
“Look I know that you’re in middle of something. Something difficult that need your focus. You know me. After I heard everything you told me, though it’s hard for me, you know I will always trying to understand you in the first place. So….if you have to do another thing, do it Baby!” kata Kevin menenangkan setelah ia melihat raut mukaku yang kalut.
Oh Kevin…..setelah semua yang aku lakukan padamu, kamu membuatku menangis sekali lagi. Aku menangis karena menyadari betapa luar biasanya dirimu.
“Kevin…..would you mind if I ask you to go to see my dad….with me?” mohonku pada Kevin sambil menangis. Ayah adalah seseorang yang homophobic, dialah yang membuat aku dan Raka terpisah hinga kini, dan hari ini aku memintanya menemaniku bertemu ayah. Permohonan gila…namun entah kenapa aku ingin Kevin menemaniku. Aku merasakan kedamaian di sisinya kini. Dan berada di dekatnya aku menemukan kembali keberanianku.
“Let’s go. I’ll drive you to New Haven.” Katanya bersemangat.
Kami berpelukan sesaat, dan kemudian bergegas menuju mobil Kevin. Sepanjang perjalanan Kevin selalu mengenggam tanganku. Menenangkanku yang tengah larut dalam pikiran yang sangat kacau. Suasana jalanan di malam hari begitu anehnya. Gemerlap cahaya itu berbaur dengan dinginnya perasaanku yang seiring laju mobil membawa kami semakin dekat menuju sebuah jawaban atas segala hal yang aku pertanyakan. Ohh perutku serasa mual kalau memikirkan semua ini.
Beberapa jam berlalu. Kami telah berada di depan bangunan tua yang sangat terawat itu. Masih berdiam diri mengumpulkan keberanian dan kekuatan untuk melangkah masuk. Paman George terlihat tengah berdiri di teras rumah. Senyumnya sangat mendamaikan.
“Well…. I think it will be best If I stay outside for a while. But if you need me I’ll be by your side in a second.” kata Kevin sambil mengecup keninku, memberikan kekuatan yang kubutuhkan.
Aku melangkah masuk ke dalam bangunan, disambut oleh hangatnya aura Paman George.
“It’s time, Niko.”
Ayah berdiri di sudut kamar memandang keluar jendela. Tangannya memegang foto usang yang menjadi masalah itu.
“You know this old man has done so many mistakes in the past.” Kata ayah ketika aku masuk ke dalam kamarnya. Dia masih memandang keluar jendela. Membelakangiku.
“Her name is Larasati” katanya kemudian menjelaskan sosok wanita yang ada dalam foto usang itu.
Ayah membalikkan badannya, memandangku. Ia berjalan mendekati meja kerjanya dan meletakkan foto usang itu di atas meja kerjanya. Kulihat raut mata ayah penuh dengan kepedihan. Namun sangat terasa kekuatan yang kini menegakkannya.
“Ayah….mengenalnya... saat pertama kali to Indonesia. She....dia cantik sekali.” Jarang sekali ayah memakai bahasa Indonesia. Walau terbata..dia masih fasih.
Kisah itu begitu rumit, mengundang kesedihan mendalam bagi ayahku untuk mengisahkannya kembali. Cerita tentang seorang gadis, bertemu karena sama-sama tengah menikmati keindahan alam ini. Jauh sebelum ayah mengenal ibuku. Jauh sebelum ayah memutuskan untuk menikahi ibuku pada akhirnya.
Kala itu ayah yang masih muda begitu menggemari alam. Indonesia menjadi sebuah destinasi tak terlupakan baginya. Semeru, Bali, hingga pulau-pulau kecil yang entah aku sudah lupa pelajaran peta waktu sekolah, adalah destinasi favoritnya. Ia bertemu pertama kali dengan gadis itu di kota kecil itu. Di sebuah stasiun kereta api di Kota Malang. Sama-sama pecinta alam, bersiap menjalani pendakian, yang tak terkira sebelumnya menjadi sebuah kisah pendakian yang tak terlupakan. Secara tak sengaja tawa mereka saling beriring, obrolan panjang itu menjadi sahabat, begitu akrab, begitu dekat. Tanpa sadar mereka menumbuhkan rasa itu. Namun ayah hanyalah pemuda biasa yang tidak memiliki kuasa atas waktunya. Waktu itu juga yang akhirnya memisahkan mereka. Walau tidak untuk selamanya.
Sekian tahun berlalu. Ayah telah merintis bisnisnya dengan cemerlang. Pernah jatuh bangun namun hal itu tidak menghalanginya untuk kembali berjaya. Tengah membuka pasar Asia Tenggara, ayah bertemu dengan ibuku di Indonesia. Sudah jodoh mungkin bagi ayah untuk jatuh cinta pada gadis nusantara. Masa lalu yang menyenangkan bersama si gadis petualang dulu berubah menjadi sekedar kenangan indah. Ayah memutuskan untuk menjadi pria dewasa dan menikahi ibuku yang cantik, pintar, dan memang sangat disukai oleh orang tua ayahku, kakek nenekku. Aku lahir setahun kemudian..dan kami tampak seperti sebuah keluarga percampuran yang bahagia.
Yang tidak diduga oleh ayah sebelumnya adalah bahwa kenangan itu ternyata tidak berakhir sesederhana itu. Bagai de Javu, mereka kembali bertemu tanpa kesengajaan. Mungkin mereka telah tumbuh menjadi lebih dewasa, namun ayah tidak akan pernah melupakan senyum itu, dan larasati seumur hidupnya akan selalu ingat dengan sepasang mata biru ayahku. Obrolan ringan menjadi sebuah senyum, senyum itu menjadi sebuah tawa, tawa itu menjadi diam, dan diam itu menjadi tangis......tangis karena menyadari ada rasa yang indah di antara mereka.
“I still remember how mad he was. Begitu...begitu marahnya kakekmu ketika kupertemukan dia dengan..Laras...she..she..she was pregnant at that time.” Ayah tak kuasa lagi menahan air matanya. Ia duduk di sebuah sofa di ujung kamar dengan pandangan yang kosong penuh kepedihan.
“Ibumu...oh...God bless her. She was a really lovely woman. She’s like an angel.” Kata ayah sambil membelai wajahku ketika aku menghampirinya berusaha menenangkannya.
“Senyumnya penuh dengan air mata, namun ia mempertemukan kami bertiga. Ayah, ibumu, dan dia...Larasati. Dia mengatakan....it’s really bad if..if.. anak yang tengah dikandung Laras tak mengenal kata ayah seumur hidupnya. Ibumu mempersilakanku untuk menikahi Larasati.” Air mataku satu persatu jatuh.
“Tepat ulang tahun kedelapan Michael...nama anak itu, buah hubungan ayah dengan Larasati...Kakekmu datang. Kami tak bisa... tak bisa meredam kemarahannya. Ayah dan Larasati adalah aib keluarga. So...soo... without any power to resist...I left her. I left them alone. I..I....” ayah tak sanggup meneruskan ceritanya.
Paman George tergesa gesa menghampiri kami membawa secangkir teh hangat. Ia membantu ayahku untuk meminumnya sedikit. Aku hanya membelai punggung ayahku perlahan dengan pikiran kosong. Entahlah....entah aku merasakan sedih, marah, atau kasihan.
“Yes Niko……He is your step brother.”
Tanpa sadar aku berdiri, melangkah perlahan menjauhi ayahku.
“I did the same mistake my father did. I take you away from Indonesia when I found your relationship with..that young boy…Raka. I didn’t realize that I have done just the same think when your grand father lock me away from her and Michael.” Ayah memaksakan dirinya untuk berdiri dan berjalan menghampiriku. Aku masih merasa begitu linglungnya. Bingung..tak tahu harus bersikap apa.
“I’m sorry, Niko. Tak seharusnya ayah melakukan ini semua. Tak seharusnya ayah meninggalkan mereka. Seperti halnya tak seharusnya ayah menyingkirkan Raka dari kehidupanmu.” Aku merasakan tangan ayah yang kasar dan kaku itu membelai lembut wajahku. Memohon sebuah permintaan maaf dengan penyesalan yang sangat mendalam. Namun aku tak kuasa menahan rasa yang menyelimuti tubuhku. Tanpa sadar aku berjalan mundur…sekejap berlari keluar dari rumah.
Kevin melihatku keluar dari dalam rumah dengan penuh air mata. Dengan segera dia menghampiriku. Tanpa aku mengatakan apapun, Kevin sepertinya tahu apa yang terjadi di dalam.
Ayah dengan sempoyongan turut menghampiriku bersama Paman George. Mereka berdiri di belakangku. Memberikan sedikit waktu bagi pikiran dan perasaanku untuk mencerna semua cerita itu. Kevin hanya mengagguk ramah pada ayah namun tak berani memperkenalkan diri lebih jauh.
Ayah memegang pundakku erat. “Well....I see you got a friend here. Don’t you wanna introduce him to me?”
“It’s kinda unsual situation here..but.. I’m Kevin, Mr. Smith. I am..” kata kevin masih berusaha tenang dan ramah. Ia mengulurkan tangannya yang segera dibalas oleh jabat tangan ayahku.
“He is MY BOYFRIEND!” kataku setengah berteriak. “I’m sorry, Dad. But you will never, ever change me into someone that i’m not. I’M GAY DAD. I don’t care what you gonna do to me next, but this is who I really am.”
Kevin terlihat sedikit terkejut dan dengan segera dia memegang tubuhku berusaha menenangkanku. Mendadak suasana malam itu terasa hening dan dingin.
Perlahan ayah mendekatiku. Ia memelukku....erat. Kurasakan tetesan air matanya di bahuku. Namun aku hanya diam terpaku. Seolah tak sadar apa yang sebenarnya terjadi.
“You know you always be my son. No matter what. All I have done so far is to give you a smile. A happiness. But I did it in a wrong way. Now you’ve found your own happiness, and if I may …, please......forgive me. Forgive this old man for every mistakes he’s done to you.” Kata ayah sambil tetap memelukku erat.
Oh Tuhan..........air mataku masih tetap menetes. Namun tetesan itu diiringi sebuah rasa yang berbeda. Lega. Akhirnya aku merasakan kelegaan itu.
“Come here!” kata ayah ada Kevin yang langsung dipeluknya ketika berdiri di hadapan ayahku. “You take care of my boy.”
Setelah sekian lama.......terkurung dalam rasa yang tidak aku pahami, dunia yang tidak aku nikmati, mencoba menjadi apa yang diinginkan oleh ayahku, mengingkari diriku sendiri....akhirnya...setelah sekian lama situasi itu membunuhku, kini aku merasakan kebebasan itu. kebebasan untuk menjadi diri sendiri.
Paman George menuntun ayahku yang perlahan makin membaik kondisi tubuhnya kembali ke kamar tidurnya. Aku dan Kevin, bergandengan tangan, mengikutinya dari belakang. Satu demi satu beban yang hinggap di kepalaku lepas...
Aku membantu ayah berbaring di tempat tidurnya. Raut mukaku yang masih kalut menggambarkan ada hal-hal yang belum sepenuhnya selesai.
“Dad....Thank you....” kataku lirih, dibalas sebuah senyum kecil oleh ayahku. “But I’m afraid that I did something wrong...I rejected thomas’s offer yesterday. We’ve lost the deal.”
Ayah masih saja tersenyum. Ia menggenggam tanganku. “That means we still own our company. So what you sorry for? You did something briliant that this oldman can’t do. I’m proud of you.”
“But......” kata-kataku segera dipotong oleh ayah.
“Ekspansi bisa menunggu. Jangan khawatirkan modal yang tidak seberapa itu. As long as a Smith stands still , everything is possible. Have some faith, my boy.” Kata-kata itu begitu menenangkan. “And...if you don’t mind....Ayah ingin mereka..Larasati dan Michael berada di tengah kita...as a family. However...they are still part of this family. Apakah kamu bersedia menerima mereka...dalam kehidupan kita?”
Hell of course. Kehidupan kami begitu sepinya. Dan fakta bahwa aku memiliki ibu dan adik tiri yang terpisah jauh di sana....oh...kenyataan ini membuatku merasa campur aduk. Namun aku mengangguk.
“I wanna meet them. Aku akan ke Indonesia sesegera mungkin. Kalau bisa...aku ingin mengajak mereka ke sini dan tinggal bersama kita.” kataku lirih menciptakan kedamaian di sorot mata ayah. Kedamaian juga bagiku meski terganggu juga dengan gelisah itu. Gelisahku tentang dia.
Raka.....
“Thank you.” Kata ayah mengakhiri pembicaraan kami malam itu.
***
Bandara Internasional John F. Kennedy New York pukul delapan malam. Aku berdiri menatap kilau cahaya lampu yang sekilas menerangi pikiranku yang tengah berjalan dalam gelap. Mencoba mencari, meraba...menemukan sesuatu. Bagian yang pernah terpisah yang membuat kehidupan kami seakan tak pernah terasa utuh.
Kevin berdiri di hadapanku...menatapku dengan sorot mata penuh kasih sayang. Raut wajahnya sendu menandakan tak rela sebenarnya bila aku harus pergi lagi setelah sekian lama aku mengabaikannya... Haha...mengabaikannya ketika kami begitu dekat. Namun Kevin tangguh. Dia pria yang luar biasa.
“Well...I think it will be rude if I ask you to wait for me a little longer after everything you’ve done for me, but...here I am.... Asking you to wait one more time.” lirihku sambil menggenggam erat tangan Kevin. Dia hanya diam. Tanpa kata...tanpa bicara.
“I’m really sorry. I promise you that....” aku tak dapat melanjutkan kata-kataku karena Kevin telah menutup bibirku dengan sebuah kecupan. Kevin menciumku...lama.
Kurasakan jantungku berdegup kencang. Perlahan kilau cahaya lampu memudar.....aku menutup mataku mencoba menikmati tiap rasa yang kualami.
Kevin bergerak. Kubuka mataku perlahan. Tangan lembutnya membelai halus wajahku. “Take your time as long as you need. I’ll be here....and always be here for you.”
Pandangan Kevin mengiringi langkahku pergi meninggalkannya. Meninggalkan kekasih..yah kini aku bisa menyebut dirinya kekasih, untuk sesaat mengejar sebuah tanya, yang jawabannya terpisah ribuan kilometer di sana. Namun tak lama lagi. Semua akan terang tak lama lagi.
Kupandang kotak kecil terbungkus pita rapi di pangkuanku. Michael mungkin sudah berusia delapan atau sembilan belas tahun saat ini. Mungkin bingkisan ini agak kekanak-kanakan...tapi aku tak pernah punya adik sebelumnya. So....kuharap ia mau menerimanya.
Dari balik jendela pesawat kulihat lampu bandara bergerak makin cepat. Perlahan sayap sang burung besi terangkat...membawaku terbang meresapi tiap kenangan yang terlintas. Wajah gugup Raka saat aku pertama mengenalnya di SMP...ah sebentar lagi mungkin kami juga akan bertemu...namun dengan rasa yang berbeda. Bagaimana kisah cintanya sekarang? Ah kekasihnya pastilah sudah sembuh. Mungkin kini mereka tengah menikmati kebersamaan mereka yang indah...penuh kasih dan tawa. Mengingatkan sedikit akan masa indahku bersama Raka dulu.
Terbayang sorot kepedihan ayah yang perlahan memudar, berganti dengan keceriaan dan kekuatan. That silly old man has back, membuat gaduh ruang CEO lagi dengan gaya bossy-nya yang konyol. Kebangkitannya seakan obat penawar bagi merahnya saham. Fajar cerah bagi lantai Wallstreet.
Senyum Kevin bagai setitik cahaya yang menerangi gelapnya langit malam itu. Seluruh kata bermakna maaf dan janji terucap dalam hati...hanya untuk Kevin. Kurasakan rasa pedihnya ketika terabaikan. Tergantung oleh perasaanku yang masih kekanak-kanakan. Terpenjara oleh sikapku yang penuh ragu.
Aku merogoh kantung jaketku. Kukeluarkan foto itu. Selembar foto yang menyimpan rahasia. Segala pertanyaan muncul di kepalaku. Bagaimana sosok wanita bernama Larasati itu sebenarnya. Michael...ah aku hanya mengenalinya dari selembar foto usang itu. Begitu mirip denganku waktu kecil...namun sekarang bagaimana rupanya. Bagaimana kehidupan mereka. Jawaban dari segala pertanyaan itu kini berada di sana. Sebuah perjalanan panjang tiga puluh jam lamanya tepat mengarah kepada jawaban itu.
Perjalanan puluhan jam itu terasa meleahkan. Duduk di kursi pesawat sekian lama terasa menyakitkan. Segala perangkat hiburan yang disediakan sudah kucoba semua...hampir mati aku dimakan bosan. Namun setelah berjam-jam melihat awan...langit....bulan...sejenak transit dulu di Abu Dhabi berlanjut melihat langit lagi, awan......akhirnya pusing kepalaku ini tak tertahan lagi. Lelahku makin menjadi. Sejenak aku memejamkan mata, menikmati rasa lemas yang menjalari sekujur tubuhku.
Gelap.....
“Tiga tahun, Ka.” Aku mengenali suara kecil itu. “Haruskah aku yang memulai semuanya?” itu suaraku... Aku melihat sosok mungil itu berdiri di depanku. Mukanya memerah. Terlihat lucu kalau Raka sedang salah tingkah. Tapi kenapa aku tiba-tiba berada di sini? Tempat ini.....aku masih ingat aku pernah di sini tiga belas tahun yang lalu.
“Para undangan dan wisudawan dipersilakan memasuki hall utama karena sesaat lagi acara akan dimulai. Terima kasih.” Suara seseorang terdengar lantang melalui pengeras suara, membuat pandanganku menjadi kabur....Raka masih berdiri di sana..namun makin kabur...makin gelap...
“I’m sorry Raka. I have to go.”
Kulihat Raka hanya diam. Oh...dia sudah tumbuh makin besar...lebih besar dari sesaat yang lalu. Di mana aku sekarang? Bandara? Aku merasakan berat di punggungku. Ransel? Koper di sampingku. Ah ya...aku ingat...pertemuan terakhirku dengan Raka. Saat aku harus kembali ke New York karena ayahku marah besar setelah dia tahu hubunganku dengan Raka. Seketika aku merasakan guncangan keras. Semua terasa kembali memudar...
Aku tersentak. Mimpi? Kurasakan tubuhku penuh keringat. Ah kepalaku terasa pusing. Pesawat seakan terbang rendah...getarannya sangat terasa. Atau memang sedang terbang rendah? Dimana sih aku sekarang....pertanyaan itu terlintas tepat ketika kudengar sayup suara dari speaker kabin.
“Ladies and Gentlemen, welcome to Jakarta, Indonesia.”
Tak terasa....aku sudah sampai di sini. Jantungku berdegup kencang.
Ada perasaan aneh yang kurasakan ketika aku menjejakkan kakiku kembali di Bandara Soekarno Hatta. Aku terlahir di kota ini, belajar sesuatu yang berharga di sini, merasakan cinta pertama di sini, namun aku pergi meninggalkan tanah ini, meninggalkan semua kenangan itu, tanpa kata, dengan begitu dinginnya seakan semua yang terjadi hanyalah semu. Namun saat ini..tak kubayangkan aku akan menginjakkan kembali kakiku di sini untuk mengakhiri sebuah kisah yang telah lama tertunda. Ironis.
Aku terbiasa bepergian hanya dengan sebuah ransel. Barang bawaanku tak banyak. Hal ini memudahkanku untuk bepergian dengan cepat, seperti halnya saat ini. Tanpa banyak waktu terbuang segera kutuju alamat yang diberikan oleh ayahku. Walau sudah lama aku meninggalkan Indonesia, semua masih tampak jelas di ingatanku. Sepuluh tahun banyak yang berubah memang, tapi aku masih cukup hafal jalanan dan tempat-tempat di Jakarta. Lagipula aku naik taksi ini kok....tidak susah kalau sekedar mencapai alamat yang kutuju.
Kulirik jam tanganku. Sudah pukul satu siang dan aku tengah menatap jalan kecil di depanku. Jalan J Asem Baris, Kebon Baru Tebet. Mrs. Larasati tinggal di antara rumah-rumah sepanjang jalan ini. Dengan debar jantung tak henti, kulangkahkan kakiku. Kuamati satu persatu nomor rumah yang tertera di sana. Hingga sampailah aku berdiri di depan halaman rumah yang mungil namun tampak sangat rapi. Sebuah anomali sangat kuat terasa....diantara keasrian yang tampak jelas dari luar, aura gelap justru lebih terasa dari dalam rumah. Ah entahlah...mungkin hanya perasaanku saja. Kutatap pintu rumah itu dengan pandangan berbinar. Kudekap erat bingkisan kecil untuk adik tiriku berharap hari ini berakhir dengan indah, sebuah senyum paling tidak apabila tawa terlalu mahal.
Ketukan pelan pada pintu mengundang seorang sosok wanita mendekat dari balik pintu. Jantungku berdegup makin kencang.
Di sanalah kami berada. Saling berhadapan, bertatap mata. Aku diam, mematung pada posisiku berdiri. Wanita itu juga.
“Excuse me...oh..maaf permisi..saya mencari ummm.. Tante Larasati. Benar beliau tinggal di sini?”
Wanita itu tampak terkejut. Kerut wajahnya terkuak makin terlihat. Dia terus manatapku tajam. Membuatku sedikit tidak nyaman...
“Aku....aku masih ingat mata biru ini.” Kata dia seketika membelai wajahku, mengamati mata biru yang kumiliki ini.
“Apakah Tante Laras benar tinggal di sini?” tanyaku lagi seolah tidak peduli dengan apa yang tengah dilakukannya saat itu.
“Ayahmu telah membuka rahasia rupanya....benar begitu...Niko?” wanita itu tersenyum. Kehangatan terpancar dari sikap dan sorot matanya. Aku hanya terdiam....linglung....wanita itu tahu namaku? Diakah Larasati?
Dalam diam kutatap sosok wanita di hadapanku lebih jelas. Paruh baya...penampilannya rapi walau sederhana. Wajahnya yang telah dipenuhi kerut tidak menghilangkan kesan bahwa ia pernah memiliki kecantikan yang luar biasa. Sentuhannya lembut, menenangkan....sentuhan kasih seorang ibu.
“Kamu......oh...maafkan aku....kamu besar sekali sekarang....terakhir aku bertemu kamu masih sangat kecil.”
“Apakah..” belum sempat aku bertanya apakah dia yang bernama Larasati itu, tanganku sudah ditariknya untuk masuk ke dalam rumah. Dipersilakannya aku duduk di sofa ruang tamu. Aku mengikutinya dalam diam. Menahan banyak pertanyaan yang sudah mencapai ubun-ubun sebenarnya, namun biarlah....kami punya banyak waktu.
“Kamu pasti baru saja menempuh perjalanan panjang. Duduklah sebentar biar tante buatkan minuman dulu. Kita punya waktu yang sangat panjang untuk bercerita.” Kata Larasati. Ia meninggalkanku sendiri di ruangan itu.
Kuamati sekeliling ruangan yang tidak terlalu besar itu. sebuah rumah yang sederhana. Sekilas kulihat ada dua kamar di dalamnya dan sebuah ruang tamu..oh mungkin sekaligus ruang keluarga. Kecil, namun dilihat dari penataan dan perabot yang ada jelas semua tampak terawat dan tertata dengan apik.
Banyak foto yang terpajang di ruangan itu. Kuamati satu persatu semuanya. Namun mataku terpaku pada sebuah foto berbingkai kayu berwarna cokelat kehitaman. Foto itu tampak baru. Tante Laras ada di dalamnya bersama dengan seorang sosok remaja mungil yang memang sekilas mirip denganku. Hanya sekilas. Ini pasti Michael. Oh dia sudah jauh lebih besar daripada di foto yang aku miliki. Hatiku berdegup kencang. Aku telah berada di rumah mereka.
Tante Laras datang kembali membawa segelas minuman berwarna cokelat.
“Dulu kamu suka sekali es cokelat. Tapi entah kalau sekarang...tapi kamu coba dulu ya.” Katanya kemudian sambil meletakkan minuman itu di atas meja.
Es cokelat…aku masih ingat betapa aku menyukainya waktu masih kecil. Kurasakan sedikit minuman yang ditawarkannya padaku. Enak…rasanya tak asing. Aku pernah minum yang seperti ini. Dulu….lama sekali.
“Bagaimana kamu bisa tahu tentang Tante, Niko?” tanya tante Laras kemudian.
Kukeluarkan selembar foto dari dalam kantung jaketku. “Semua berawal dari sini. Saya menemukannya secara tak sengaja, ayah sempat syok…kondisi kesehatannya turun sesaat setelah saya menanyakan mengenai foto itu.” Jelasku pada Tante Laras. Dia mengambil foto itu lalu tersenyum.
“Sudah lama sekali. Kami mengambil foto ini beberapa hari sebelum ayahmu kembali ke Amerika. Apakah kamu menemukan foto ini bersama sepucuk surat?”
Aku menggeleng.
“Sengaja aku mengirimkan foto ini bersama sepucuk surat untuknya. Aku katakan dalam surat itu agar dia tidak perlu khawatir tentang kami. Kuminta padanya untuk melupakan kami dan kembali kepada dunianya. Memang…semua itu berat tapi…yah….”
“…dan tak sekalipun tampaknya ayah melupakan tentang kalian.” Potongku. Membuat Tante Laras tersenyum.
“Aku yang salah karena memasuki kehidupan kalian. Tak seharusnya aku menemuinya lagi setelah aku tahu dia sudah punya keluarga.” Tante Laras terlihat sangat sedih. Kenangan akan masa lalu sedikit membuat hatinya sakit. “Oh iya…kamu dan Ibumu dulu sering datang kemari. Ohhh kmu masih sangat kecil waktu itu. Sangat lucu. Tak kusangka kamu sudah sebesar ini sekarang. Dan ibumu…bagaimana kabarnya? Apakah dia ikut kemari bersamamu?”
Aku terdiam. Sejenak sedikit rasa sakit menusuk jantungku. “Ibu..sudah meninggal lima tahun lalu. Jantung.”
Tante Laras terlihat agak terkejut. “Oh maaf…aku tidak tahu kabar kalian sama sekali sejak saat itu. Ibumu orang yang benar-benar luar biasa.” Katanya sambil membelai pundakku. “Bagaimana Tony? Dia sehat?”
Pembicaraan berkutat tentang kabar ayahku dan bagaimana kehidupan kami di sana. Kuceritakan semua mengenai kejadian beberapa minggu yang lalu. Perusahaan yang hampir kacau, ayah yang jatuh sakit, serta bagaimana semua akhirnya membaik dan semua kisah mereka akhirnya dapat aku ketahui.
“Apa itu Michael? Dia sudah besar ya? Saya tak menyangka karena selama ini hanya saya lihat dari foto itu.” Kataku sambil menunjuk bingkai foto yang tertempel di dinding ruangan, foto Tante Laras dengan seorang remaja yang tersenyum ceria. “Di mana dia sekarang? Belum pulang kuliah? saya membawa oleh-oleh buat dia.” Kutunjukkan kotak bingkisan berbalut pita merah yang sedari tadi kusimpan.
Tante Laras terdiam. Kulihat matanya berkaca-kaca dan sedikit tetesan air mata jatuh membasahi pipinya.
“Kalian mengenalnya dengan nama Michael.” Tante Laras menghapus sedikit air matanya dan memaksakan sebuah senyum padaku. Namun aku tidak sebodoh itu. Kurasakan pedih yang begitu mendalam dari tiap katanya. “Ayahmu memberinya nama seperti Saint Michael. Oh dia anak yang baik…tapi beberapa tahun setelah ayahmu kembali ke Amerika, kami memutuskan untuk mengganti namanya dan menghapus semua kenangan tentang ayahmu. Sekarang aku memanggilnya Rama. Rama Raditya.”
Aku dapat memahami semua itu.
“Sama sepertimu, dia juga tidak tahu kisah sebenarnya tentang ayahnya. Tante hanya mengatakan bahwa ayahnya pergi menghilang karena terbelit utang judi yang begitu besar.” Kata Tante Laras. Suaranya terdengar makin parau. “Yah….bukankah memang dia pergi karena kalah dalam perjudian? Hanya Tante tidak mengatakan bahwa ayahnya berjudi dengan mempertaruhkan sebuah keluarga. Keluarga kalian.”
Aku hanya tertunduk. Entahlah….antara rasa menyesal, sakit, bingung….aku tak tahu apa yang kurasakan.
“Lalu…dimana Michael..maksudku Rama?” tanyaku.
Sorot mata Tante Laras terlihat kosong. Tampak ia tengah memandah lebih jauh dari cakrawala nyatanya. “Ia tidak di sini sekarang. Kalau kamu tidak terlalu lelah…tante akan mengantarkanmu ke tempatnya.”
Kami berjalan menyusuri jalan sempit menuju tempat Rama. Sesekali kami bercerita tentang kehidupan masing masing. Aku sedikit kaget ketika Tante Laras mengatakan bahwa Rama seorang gay dan telah memiliki seorang kekasih. Kukatakan padanya bahwa akupun demikian. Kuceritakan tentang Kevin, kekasihku yang dengan setia sedang menungguku di New York sana.
“Wah…tak kusangka…kalian berdua, kamu dan Rama memang banyak kemiripan yah. Hmm.. Tante jadi penasaran ingin ketemu Kevin itu. Sepertinya dia pemuda yang baik yah..” kata Tante Laras membuatku senyum-senyum sendiri.
“Nah…kita sudah sampai.” Kata Tante Laras membuatku seketika merasakan banyak sekali sayatan tajam menusuk dan merobek jantungku. Tante membawaku ke sebuah tempat yang tak pernah terbayang sama sekali sebelumnya olehku. Kehancuran itu mendadak menyelimuti tubuhku. Remuk redam bercampur dengan takut dan pilu.
Aku berjalan pelan menyusuri sebuah tempat peristirahatan terkahir bagi anak manusia. Tak kusadari air mataku meleleh, jatuh membasahi tanah abadi ini. Dan semua rasa, takut, bingung, semua bayang pilu, semua permohonan “jangan ya Tuhan” seakan meledak, mencapai puncaknya ketika aku melihat nama itu terukir indah pada sebuah batu nisan di hadapanku.
Rama Raditya
Lahir 18 Oktober 1994
Wafat 10 Oktober 2014
Hatiku terasa hancur. Air mataku tak lagi bisa tertahan. Aku…..tengah berdiri di depan pusara adik tiriku. Seorang adik yang tidak pernah kuketahui eksistensinya hingga saat aku tahu yang tertinggal hanya pusara indahnya.
“Tante…tante menyesal..kamu..ketika mengetahui semua rahasia itu, harus berhadapan dengan kondisi seperti ini.” Tante Laras memelukku. Aku terpaku di sana. Menatap kosong pusara adik tiriku sambil erat memegang kotak bingkisan yang kini serasa tak berarti.
Kudengarkan semua kisah tentang adikku itu dengan hati remuk. Kecelakaan yang menimpanya, cedera yang kambuh. Semua hal yang terkenang diceritakannya padaku. Aku hanya tertunduk. Penuh sesal.
Perlahan aku berjalan mendekat ke pusara itu. Kulihat dengan mata nanar nama Rama yang terukir di sana. Puluhan tangkai mawar, sebagian telah hitam mengering tergeletak rapi menghiasi peristirahatan terakhirnya.
“Dia, kekasih rama yang tante ceritakan tadi, setiap sore datang kemari dan meletakkan setangkai mawar di sana. Dia sama hancurnya dengan tante.”
Aku terdiam. Tak ada lagi yang bisa kurasakan. Tubuh ini lemas. Marah, kesal, semua bercampur dalam pikiranku.
Kubuka kotak bingkisan yang sudah agak penyok saking eratnya kugenggam. Aku mengeluarkan sepasang hiasan burung merpati dari dalamnya.
“Hey… Aku tak pernah menyangka akan bertemu kamu saat seperti ini. Maafkan aku. Maafkan kami. Seandainya kamu masih hidup…bayangkan..sepertinya banyak fun yang akan kita lalui bersama. Lama aku bayangkan kita pergi nonton bareng, kuganggu terus kamu yang sedang akan tidur, berjalan bersama sekedar buat menikmati sore, berbicara banyak hal tentang semua yang telah terlewat selama ini….tapi….” pandanganku kabur oleh setitik aiir mata.
“Semoga kamu bahagia di sana.” Kuletakkan hiasan merpati itu di atas tatakan bunga mawar.
Larut dalam kesalnya rasa terlambat, aku kembali berdiri dan membalikkan badanku untuk menghampiri Tante Laras. Saat itulah kulihat sosok itu berdiri di sana, diam dengan mata berkaca-kaca.
“Niko….kenalkan…ini Dio…kekasih Rama.” Tante Laras tersenyum padaku. Memperkenalkan aku kepada sosok yang sangat kukenal itu. Aku berjalan perlahan menghampiri mereka, masih diselimuti keterkejutan yang luar biasa.
“Hai, Niko.” Sosok itu menyapaku.
“Hai…Raka” aku mengulurkan tanganku yang dibalas jabat tangan oleh Medio Raka Binawan yang tak lagi kuasa menahan segala emosinya. Sore itu….mempertemukan semua kenangan berbalut tangis dan air mata.
Tamat
-SenyawaDiorama- Agustus 2010-November 2014
Feelnye dapet.
jadi raka mantannye niko ternyata kekasih adik tirinye, rama.
Thanks buat ceritanya, puas banget dengan ceritanThanks buat ceritanya, puas banget dengan ceritanThanks buat ceritanya, puas banget dengan ceritanThanks buat ceritanya, puas banget dengan ceritanThanks buat ceritanya, puas banget dengan ceritanThanks buat ceritanya, puas banget dengan ceritanThanks buat ceritanya, puas banget dengan ceritanThanks buat ceritanya, puas banget dengan ceritanya.. :x