Kehidupan dimulai dengan sebuah permulaan. Permulaan itu adalah pertemuan, 28 Februari 2010, pijakan pertama untuk setapak demi setapak merangkai waktu menjadi jalinan kronologi dan cerita-cerita. Kami bertemu di sebuah sore biasa yang cenderung mendung. Dia tinggal di sebuah kompleks perumahan estate yang cukup mewah di Kota Yogyakarta. Rumah dua tingkat seragam berjejer mewah dan elegan, beberapa satpam melirikku ketika aku memasuki kawasan itu. Seolah ingin mengatakan orang asing dilarang iseng-iseng di area ini. Ya, kedatanganku memang hanya keisengan belaka. Menjawab undangan seorang asing yang aku temui di sebuah website yang konon banyak penipu disana. Tetapi aku sudah hampir di rumahnya, aku tak mau mundur. Lagipula aku menyukai “orang asing”, aku menantang diriku dengan misteri, dan aku pecandu kebaruan.
Di depan gerbang gerbang rumah aku berhenti mengambil handphoneku. Kulihat dari luar dia melambai-lambaikan tangannya. Aku gelagapan, dia cukup agresif dengan keterbukaan dan keceriaannya. Aku membalasnya dengan senyum dan salam dalam bahasanya yang kulafalkan dengan artikulasi samar karena gugup.
Aku duduk di ruang tamu sederhana, di sofa hijau gelap dengan pola flora. Kulihat sekelilingku beberapa foto, botol liquor dan lukisan-lukisan yang terlihat dibeli di Perempatan Sagan. Dua gelas teh melesat dan kini berada di atas meja kaca, meja yang menjadi batas antara si tuan rumah dan aku, si tamu. Perbincangan pun dimulai, pelan-pelan aku dengarkan kata-katanya dengan seksama. Kadang aku membalas ngawur karena aku salah menerka omongannya. Dia hanya tersenyum dan maklum. Aku malu kelisutan, tetapi aku mencoba untuk menunjukkan wibawaku sebagai seorang mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM yang telah terkareditas secara internasional. Mungkin dia bisa membaca wajahku yang tegang. Dia menawarkan musik untuk diputar. Aku bertanya apakah dia memiliki lagunya BB King, tetapi dia menawarkan alternatif lain bernama John Farrnham. Seorang musisi legendari dari negaranya. Lagu pop cinta dengan beat yang menyenangkan. Kakiku secara otomotis berjingkat-jingkat mengikuti melodi. Dia melirikku senang.
Musik adalah mantra. Musik memang bukan dirangkai dengan bahasa-bahasa sulit dan tak bisa dicerna seperti mantra kuno. Tetapi musik memiliki kekuatan seperti mantra, menghipnotis, menarik jiwaku kedalam atmosfer absurd imajiner. Ajaibnya, kami jadi bisa berbincang dengan lancar dan rileks. Perbincangan ekonomi, politik hingga religi. Dari perdebatan hingga kelakar tertawa. Inikah chemistry itu? Sebuah tali gaib yang mengikat secara kasatmata.
Dia mampu mencium keingintahuanku yang besar mengenai duniannya. Aku pun dibawanya ke sebuah ruangan di belakang kamar tamu. Disana sehari-hari dia bekerja sebagai seorang konsultan bisnis. Dia memperlihatkan beberapa desain yang dibuat oleh tim nya. Dengan bangga dia berkoar-koar mengenai kejayaan yang dia raih di bisnisnya. Dalam hati aku bertanya-tanya, bagaimana desain murahan seperti itu bisa terjual di pasaran. Mungkin itulah pasar, tempat pembuangan barang murahan yang diproduksi secara masal.
Aku mencoba mengalihkan topik perbincangan. Kumulai dengan bertanya mengenai foto-foto yang terpajang di atas rak teve. Satu per satu dia menjelaskan, memberiku sebuah pintu untuk menelisik kehidupan yang paling private dari dirinya. Hingga dia berhenti pada penjelasan sebuah foto. Seorang bertopi yang sedang merangkul koala. Dia menghela nafas panjang. Akhirnya aku menemukan bahwa dirinya adalah seorang yang terluka karena ditinggal kekasih. Dia adalah tumbal ambisi materialisme bernama uang. Ketika dia sadarsemua sudah terlambat. Dia berusaha untuk menjaga relasinya tetapi si kekasih sudah pergi bersama hasratnya yang lain. Luka itu masih terlihat dari nanar matanya. Bagaimana denganku? Jika dia adalah korban dari seorang kekasih, maka aku adalah korban dari realitas bahwa cinta dan seks bisa menjadi suatu hal yang terpisahkan. Bahwa cinta tidak lagi transenden tetapi imanen. Seks adalah suatu hal yang profan bukan lagi sakral. Walau kami berbeda cerita kehidupan, tetapi kami memiliki kesamaan sebagai orang yang terluka.
Aku memeluknya karena iba, dia membalasku dengan sebuah ciuman.Tidak! mungkin aku yang menciumnya. Ciuman pertamaku dengannya. Setelah itu dia berkata bahwa aku adalah orang yang baik dan menarik. Maka kami pun bercinta di ranjangnya.
Dimanakah banalitas itu? Kutemukan sentuhan-sentuhan yang mengobati luka. Bisikan-bisikan mistis yang membuat bulu kudukku begidik. Kuraba senyumnya dalam remang, kutemukan sebuah kedamaian dan kebahagiaan. Aku menyangka itu hanyalah sebuah kamuflase pada awalnya. Imagologi atas nafsu yang disajikan lebih romantis dan melankolis. Tetapi pemikiranku runtuh ketika dia mencoba mensucikanku dari kotor atas perbuatan hina di pertemuan pertama kami. Kamar mandi ala barat dengan wangi palm oil yang tidak akan pernah kulupakan. Dia membasuhku dengan air hangat, menyeka mukaku dengan tangannya. Katanya ini yang dilakukan orang jepang untuk menghormati partnernya. Aku terperanjat, dia meruntuhkan berbagai pandanganku akan cinta walau tidak sepenuhnya percaya atas creative destruction yang ditawarkannya.
Aku pun pamit untuk pulang. Dia membekali kepergianku dengan ciuman agar selamat dan bisa bertemu. Aku agak risih karena tidak terbiasa. Ketika sampai di rumah, sebuah ikon pesan tertera di layarku.
“Thank you for coming. See You soon. Hugs W”
Kata Banksy “there are second opportunity called tomorrow.” Saat itu aku tahu bahwa hari ini akan berlanjut pada besok. Sebuah kesempatan kedua untukku untuk bertemu dengan cinta. Kesempatan menjadi seorang pecinta setelah terluka. Atau apalah itu.
Comments
Kehidupan adalah perulangan sejarah. Pertemuan awal dengannya pun tidak lebih dari perulangan pengalaman. Kami bertemu, saling bertukar hal privasi, bersenang-senang dan bercinta. Seolah hal itu adalah siklus alamiah yang menyandingi siklus paling alamiah tentang lahir-hidup-mati. Aku merasa hampa, tidak berada. Heidegger mengatakan kejatuhan eksistensial terjadi ketika manusia terperangkap dalam dunia umum atau dunia keseharian bernama common sense. Tidak ada kebaruan. Lebih parah lagi, kami mulai tidak jujur dengan saling menyuguhkan citra bahwa kami adalah manusia-manusia ideal. Dia mencitrakan dirinya sebagai manusia mapan. Dibuatlah sebuah manipulasi dan simulasi yang beranekaragam. Hampir setiap kali kami bertemu kami pergi ke sebuah restoran yang berakhir dengan tagihan sebanyak uang sakuku sebulan. Atau pergi ke bioskop dan tempat-tempat nyaman bentukan ekses dari kapitalisme. Sementara aku mencitrakan diri sebagai seorang sosok kekasih ideal baik secara fisik maupun karakter. Bertutur layaknya buku-buku petualangan indah dan menantang. Kami sama-sama mengkontruksi sebuah euforia romantis. Menjadikan diri kami sama-sama nyaman dan selalu bahagia, tidak ada luka, getir, pilu layaknya kehidupan yang sesungguhnya.
Di ulang tahunku dia mengajakku ke sebuah restoran premium bergaya Jepang dan Korea. Ini adalah perayaan ulang tahun pertama kami dan bagiku perayaan paling mewah sepanjang hidupku. Kami duduk berdua di sebuah ruang private. Lampu lampion bergantungan anggun di langit-langit. Meja sudah tertata rapi dengan berbagai sendok, garpu dan pisau. Beberapa pot menghiasi pojok ruangan, memberi kesan ruangan itu lebih luas dan ramah. Ini seperti sebuah potret ruang makan keluarga seperti yang pernah aku lihat di film-film Jepang. Malam itu berakhir sangat romantis dan membahagiakan. Oh, Bagaimana aku tidak bisa luluh dengan apa yang dilakukannya selama ini untukku? Sayangnya, di malam itu aku harus memberitahunya bahwa bulan depan aku harus pergi ke Karimunjawa selama dua bulan. Dia sedih karena kami baru saja bertemu tidak lebih dari 4 bulan dan harus berpisah sementara. Kami pun bercinta seolah tidak akan pernah bertemu pernah lagi.
Hari itu akhirnya tiba, dia memberkatiku dengan pelukan perpisahan dan membekali diriku dengan ciuman goodbye for now. Aku berangkat ke pulau di utara Pulau Jawa, meninggalkan dirinya yang meratap pilu. Kini dunia romantis yang kami bangun bertali pada sebuah jaringan nirkabel tak kasat mata bernama sms. Pagi, siang dan malam kami mencoba untuk saling berkabar dan saling mengatakan cinta.
Di bulan pertama, kehadiran kami di ruang realitas mampu tergantikan secara virtual diantara barisan teks. Aku terheran-heran dan tergelitik tentang cara kami mempertahankan relasi. Sungguh, selama ini aku yang tidak percaya dengan dunia yang tak beruang dan mewaktu, harus mengakui bahwa hari ini kasih tidak lagi terbatas. Namun di bulan kedua, aku mulai gelisah. Ada sesuatu yang menyerang batinku. Kekuatan metafisika yang membuatku berkelisut di dalam tidur. Membangunkanku di tengah malam yang sunyi dan melamun lebih lama.
Aku mengadu pada Pulau Tengah dan Pulai Kecil. Aku bertanya kemanakah hasratku pergi? Keramaian adalah kekosongan. Kesenangan adalah kehampaan. Dan senja menjawab peraduanku dengan sebuah jawaban, rindu.
Apakah aku sedang rindu padanya? Apakah aku adalah orang yang tak mampu menahan dahaga akan kehadirannya? Bagaimana dengan ruang virtual yang telah menembus batas-batas kasih dalam ruang? Apakah rindu adalah sakau bagi pecinta? Apakah aku jatuh cinta? Hujaman tanya itu semakin mendekatkanku pada apa yang selama ini hilang. Sebuah kepercayaan pada cinta yang sakral. Aku menyerah kalau harus rindu. Aku bertekuk lutut jika memang cinta.
Hari-hari di awal Bulan Agustus adalah sebuah penantian. Waktu tidak lagi menjadi ukuran pasti. Menjadi relatif dan menjebakku dalam penantian panjang. Aku sadar bahwa waktu tidak lagi lagi linier. Kulihat sekitarku lebih mendalam, aku berdiri di sebuah persimpangan. Persimpangan rindu.
Kutenteng tasku di pundak, kutatap lautan jauh dimana Pulau Jawa bersembunyi dibalik batas pandang. Aku berdoa semoga ombak tak mengamuk kali ini. Aku ingin segera kembali kepelukannya dan menghapus getir rindu dengan manis bibir tipisnya.
Aku duduk di bibir tempat tidur, melihat dia sedang mengenakan baju warna hitam yang kontras dengan warna kulitnya. Baju yang sama kukenakan malam itu. Dia menyisir rambut tipis warna coklatnya dengan rajin. Hal yang jarang sekali dia lakukan. Seketika kucium semerbak wangi lembut ketika dia menyemprotkan parfum Ralp Polo yang hujankan ditubuhnya secara membabi buta. Malam ini adalah malam yang spesial, 14 Ferbuari, katanya adalah hari kasih sayang. Malam ini juga kami ingin merayakan hari jadi “kami”. Kami rayakan lebih dua minggu lebih awal untuk memanfaatkan momen. Baru kali ini aku merayakan hal semacam ini. Apa yang perlu dirayakan pikirku? Semakin lama kami semakin tidak romantis, tidak ada bumbu-bumbu penyedap seperti awal kami bertemu. Semua berjalan secara biasa layaknya pasangan tua. Memang benar satu tahun bersamanya adalah waktu terlama bagiku menjalin hubungan asmara dengan seseorang. Dia benar-benar mampu mematahkan rekor dalam buku catatan kehidupanku.
Perayaan. Semua bangsa di dunia memiliki kultur untuk merayakan sesuatu. Baik hal yang membahagiakan atau sebaliknya. Setiap perayaan memiliki makna tersendiri. Begitu juga dengan perayaan kami malam ini. Bagiku sendiri aku diingiatkan pada suatu alasan yang membuatku jatuh cinta kepadanya. Suatu alasan kuat pula yang membuatku mau hidup bersamanya dan meninggalkan kehidupan keluarga ketimuranku dan lingkunganku yang sangat religius. Lebih dramatis lagi, malam ini mengingatkanku pada upaya kami mempertahankan hubungan kami ditengah perbedaan yang sangat mencolok, sebut saja dia barat dan aku timur. Entah dimana titik pertemuan kami tetapi hingga malam ini kami bisa bersama. Masih bisa bertukar pikiran dalam kacamata yang berbeda, masih bisa berciuman dengan amarah menggebu dan masih bisa bercinta walau lelah payah. Mengingat, bersenang-senang lalu kembali seperti biasa ketika semua sudah usai. Itulah perayaan.
Bangun di pagi hari buta, menciumnya, bekerja di depan komputer hingga sore hari, makan malam, lalu bercinta. Aku terjebak pada rutinitas yang membentuk keseharianku. Tidak ada lagi demonstrasi, diskusi publik, bahkan aku jarang untuk backpacker atau naik gunung. Aku berubah menjadi seseorang yang baru bersamanya. Bahkan aku bisa mengatakan hidup bersamanya adalah hidup di dalam hiperealitas. Rutinitas yang aku lakukan mungkin sama dengan sebagaian orang di Indonesia. Tetapi hidup dengannya adalah hidup dengan prinsip-prinsip yang melampaui batas-batas realitas, ketimuran khususnya, yang disebabkan oleh cinta. Emulsifikasi yang mampu menyisihkan berbagai belenggu-belenggu tak kasat mata. Menjalani hidup biasa dengannya adalah buah perjuangan jika aku diperbolehkan untuk berapresiasi.
Perjuangan belum berakhir walau kami sudah tinggal bersama dan mulai mapan dengan apa yang kami punya. Selalu saja ada fluktuasi di dalam hubungan kami. Kali ini, setahun setelah kami tinggal bersama, masalah muncul dari balik bayangan bernama orang ketiga. Suatu hal yang tidak pernah aku sangka sebelumnya di dalam cinta yang sakral. Bagaimana aku bisa melihat jika mereka ada berada dibalik cahaya yang aku puja-puja? Mereka adalah bayangan diantara kami. Tidak berbentuk dan samar, tetapi berada.
Malam itu adalah malam yang penuh amarah. Hujan deras gemuruh petir. Angin mengoyak-oyak malam yang seharusnya tenang. Satu demi satu kami menguliti diri kami hingga telanjang. Tidak ada lagi citra sehingga kami mampu bersembunyi dalam idealitas. Kami bersimpuh pasrah ketika aku mempertanyakan buat apa sebuah ikatan jika kami masih bisa menaut orang lain di dalamnya. Tidak ada jawaban, kami saling membisu. Aku tidak tahu apakah dia terluka, tetapi aku sempat rapuh. Ide-ide yang selama ini dikonstruksi menjadi istana megah runtuh seketika. Ternyata istana itu hanyalah menara gading belaka. Di dalam gelap dia mendekap. Mencium leher punggungku. Mengobati jarak yang terjadi malam itu. Lalu kami bercinta di penghujung tengah malam di dalam suasana yang sangat aneh. Kutemukan hangat dan mesra namun tak ada jawaban atas gelisah yang ada.
Apakah kadang sesuatu itu ada untuk tidak dibicarakan dan hanya diterima saja? Hati kecilku berbicara. Sejak malam itu orang-orang ketiga mulai jelas samar bayangannya. Mereka orang-orang yang kami kenalkan sebagai teman kami masing-masing tetapi sesunguhnya seseorang yang spesial bagi kami masing-masing. Tetapi seolah tanpa sebuah komitmen terucap maupun tertulis, kami adalah yang paling utama diantara bayang-bayang itu. Hal itu tidak lagi menjadi masalah bagi kami berdua tetapi sepertina justru menjadi masalah bagi mereka-mereka diluar kami, teman atau orang yang mengenal kami.
Jika ditanya apakah aku cemburu? Aku jawab dengan huruf caps lock “TIDAK!”. Bagaimana mungkin tidak jika aku mencintainya tanya seorang kawan dekat. Aku menjawab tidak tahu, mungkin aku berpikiran sangat terbuka dan rasional jawabku sekenanya. Berkali-kali aku disandung dengan baik-buruk, benar-salah karenanya. Berkali-kali aku dijerat dengan tanya dimanakah rasa saling memiliki jika masih bisa bermain dengan orang ketiga. Kujawab hanya cinta yang kami miliki saat ini. Dan pertanyaan demi pertanyaan hanya membuatku bosan.
Gejolak itu tidak hanya mampu menggoyahkan tetapi tak mampu meruntuhkan. Kami kembali pada keseharian kami dengan wajah baru, wajah asli kami. Kami masih saling mencintai dan menyayangi. Kadang kami pergi travelling untuk “quality time” dan aku sangat menikmatinya sangat. Bersamanya aku menemukan kebebasan yang tak pernah aku temui sebelumnya. Juga sebuah ikatan kuat diantara perbedaan-perbedaan yang terdengar mustahil untuk disatukan.
Hipermoralitas melampaui batas-batas moralitas. Mempermainkan moralitas melalui berbagai representasi yang artifisial. Jika orang berbicara baik-buruk dan benar-salah, maka aku dan kami berbicara diluar hal semacam itu. Jika mereka berbicara akan representasi dari imaji yang berhakikat pada kebenaran. Maka kami berada diluar hakikat kebenaran yang mereka puja dan sembah.
Keberadaan cinta di dalam hipermoralitas bukanlah mengenai cemburu. Hukum kausalitas jika kamu cemburu maka kamu cinta tidak berlaku. Kamu tidak cinta jika membiarkan kekasihmu bercumbu kasih dengan bayangan orang ketiga sama sekali bukan ide di dalam hipermoralitas kami. Ah, sejauh di dalam realitas kami tidak nyablak dan berada dibatas-batas bayangan. Apakah aku sendiri tidak pernah berpikir tentang perasaan mereka, si bayang-bayang bernama orang ketiga? Perasaan tidak pernah bisa dipikirkan (oleh akal) oleh seorang materialistis sepertiku dan kejujuran adalah topengku bagi mereka sehingga mereka mengenalku sebagai diriku bukan kamuflase semu. Mereka mengenalku sebagai iblis jalang dan menerimaku apa adanya sebagai malaikat cinta. Apakah ada yang salah? Oh, itu bukan ide dari hipermoralitas bukan?
Mungkin kami adalah orang-orang yang melebihi batas karena tidak menggugu nilai moralitas mereka dan mengacuhkan omongan ini-itu dari mereka. Kami hanya percaya dengan ide yang kami bangun sama-sama karena bangunan itu adalah rumah kami, bukan mereka. Relativitas? Kami memang sedang meninggalkan dunia modern yang definitif menuju dunia posmodern yang sama sekali belum terbentuk rupa bentuknya.
Aku berbaring di sisinya, hampir mematikan lampu tidur di sisi ranjangku karena dia tidak bisa tidur jika ada terang sedikit pun. Tetapi dia mencegahku, dia mengagetkanku dengan pertanyaan apakah aku bersedia menikah dengannya. Apakah dia sedang melontarkan pertanyaan retoris kepadaku? Kutatap nanar matanya yang syahdu, ada keteguhan padanya. Aku pun bertanya, kapan? Lalu dia menciumku dengan hangat. Sehangat dadanya yang kuraba, merasakan damai denyut jantungnya.
Orang tuaku telah hidup bersama dalam ikatan pernikahan selama lebih dari dua puluh tahun. Kehidupan yang sederhana dan biasa. Mungkin pada awalnya mereka merasakan apa yang aku rasakan saat ini hingga pada waktu mereka mulai biasa, merawat anak, mempertahankan rumah tangga hingga sama-sama menciptakan citra harmonis bagi kelompok manusia bernama masyarakat. Pernikahan mengantarkan mereka yang menggebu-gebu akan cinta menuju kehidupan biasa dalam bingkai kemapanan. Apakah aku akan siap menghadapi hal-hal semacam itu? Bersikap skeptis pada hal-hal diluar rumah tangga sementara bisikan petualangan dan sosialita begitu menggoda.
Di sebuah pesta kami mengundang kawan-kawan kami,kebanyakan adalah kawanku karena kekasihku terlalu sibuk bekerja daripada bersosialisasi. Pada awalnya mereka mengira hari itu adalah hari ulang tahunku. Beberapa kado dan bunga serta ucapan doa umur panjang kuterima bertubi-tubi. Ada geli dan ironi menerima semua hal itu, tetapi aku diam saja menikmati alur kebahagiaan itu. Makanan, minuman berlimpah menemani pesta sederhana dengan obrolan kehidupan masing-masing. Tetapi kesenangan itu pecah ketika kekasihku mengatakan akan menikahiku pada pertengahan tahun. Mereka yang pada awalnya tidak tahu menahu dan bersiap untuk datang pada pesta ulang tahun terkejut kegirangan. Sorai dan selamat berhamburan, baru pertama kali ini aku melihat kekasihku begitu berbahagia di tengah keramaian seperti ini.
Pesta usai, kami kembali pada malam biasa. Sebelum tidur dia menceritakanku pada imajinasi-imajinasi mengenai pernikahan. Tanpa disadari, dia mabuk pada ekstasi. Aku pun dijeratnya dalam pelukannya, menciumku dengan tidak biasa dan bercinta lebih intim. Aku menyukai hal-hal seperti itu tetapi malam ini, dilubuk jiwaku, ada ketakutan akan cinta yang berlebihan. Aku takut jika seseorang mencintaiku terlalu dalam. Entah kenapa.
Menuju pertengahan tahun, di sela-sela pekerjaan, kami mempersiapkan ritual sakral itu. Dari undangan, fotographer, tempat, hingga bulan madu. Semua terlihat berjalan dengan lancar dan kami mencoba mengkompromikan imajinasi kami dan kondisi. Namun di sela-sela persiapan itu muncul keraguan dalam diriku. Jangan-jangan aku mengalamai syndrom pra-pernikahan. Dan sayangnya, mundur untuk tidak melakukannya adalah suatu hal yang mustahil melihat kebahagiaan kekasihku. Setelah selama tiga tahun kami tinggal bersama, menggila pada kesenangan bersama atau menahan perih karena luka. Buat apa pernikahan itu sesungguhnya? Apakah ini adalah sebuah klaim publik bahwa aku adalah miliknya dan dia adalah milikku? Begitu pentingkah mereka untuk tahu hal semacam itu dibalik sikap apatisku pada mereka?
Ingin sekali aku mengatakan padanya waktu itu bahwa aku adalah orang yang tidak meyakini sebuah pernikahan. Kulihat ada pengkhianatan dan kebohongan. Sejarah kekasihku mengatakan padaku bahwa pernikahan tidak jauh dari hal itu. Lalu kenapa dia ingin mengulang hal serupa? Apakah dia tidak jera menerima luka? Atau aku terlalu berharga untuknya saat ini? Aku jatuh pada dilema. Lagipula apa yang akan terjadi dengan orang-orang ketiga diantara kami? Apakah kami akan meninggalkan mereka begitu saja? Setelah corat-coret kehidupan yang kami tulis, seketika kami akan merobek, meremas-remas lalu membuangnya jauh-jauh, lalu membuka lembar putih baru. Meninggalkan hal-hal lama pada tempat sampah. Mengerikan, kami akan menjadi sangat ahistoris.
Pernikahan. Apa yang mereka sebut dengan pernikahan adalah bersatunya dua pihak dalam sebuah ikatan. Negara hadir di tengah-tengah mereka, mengayomi dengan hak dan kewajiban. Bahkan dua orang itu dipersaksikan pada transendensi, mengenai kehidupan dunia yang akan berlanjut pada kehidupan fana kelak. Diantara itu mata-mata manusia yang hadir menjadi saksi pada sakralitas ritual ini. Jika demikian pula, maka lantas apa yang sebenarnya menanti kami di bawah rangkaian bunga yang tersusun indah pada rangka arc? Apa yang berada di balik baju-baju warna hitam-putih dengan corak flora bergaya barat ini? Tidak ada negara apalagi ketuhanan pada diri-diri kami. Maka pantaskah kami menyebut semua ini dengan pernikahan?
Kutatap kekasihku dari pantulan kaca. Aku membantunya mengenakan rangakain bunga yang disematkan pada dada kirinya, menghiasi dada tempat jantungnya berada. Dia memegang tanganku dengan erat. Sepertinya percuma untuk memberontak, biarkan semuanya mengalir begitu saja. Melegakan pertanyaan yang tak bertemu jawaban. Beberapa liquor sudah kami tenggak untuk meredakan ketegangan. Dia bercanda, melihat keteganganku hari ini. Baiklah, untuk hal semacam ini dia lebih berpengalaman. Ini adalah pertama buatku, apalagi dia tidak tahu gundah yang ada di dalam jiwaku selama ini. Yang ia tahu hanyalah kebahagiaan untuk hari ini.
Diluar pintu itu, musik mengalun syahdu. Kerumunan mulai berdatangan. Satu langkah adalah kepastian menuju ikatan yang lebih kuat diantara kami. Ikatan yang membuat kami harus bertahan hingga sayap-sayap malaikat kematian memisahkan kami. Kulihat terang diluar sana, kebahagian yang membuncah.
Di dalam eratnya pegangan tangan kami, ada satu hal yang kami sepakati dalam bisu. Hari ini bukanlah pernikahan. Hari ini adalah “Illegal wedding affair.”