Sekedar menghabiskan isi laptop
Tiga Tahun Dalam Sehari
Setiap hari aku selalu melihatnya. Aku berdiri di samping jendela kelasku menunggu dia berjalan memasuki gerbang sekolah dengan caranya berjalan yang menurutku sangat luar biasa. Tiap langkahnya, senyumnya, membuatku diam di tempatku berdiri. Saat itu aku merasakan hal yang sangat asing. Pertama kali aku merasakan perasaan seperti itu. Sesuatu…sesuatu yang aneh seperti merambat menjalari seluruh tubuhku.
Tiga tahun aku merasakan hal yang sama. Setiap hari. Setiap saat ketika mata kecilku terpaku pada dirinya. Aku melihatnya di mana-mana. Di perpustakaan, di kantin, halaman sekolah, di mana saja di setiap sudut sekolahku kecuali ruang kelas. Tembok di antara ruang kelas kami manghalangi sebagian besar waktuku di sekolah untuk menatapnya. Yah….itulah mungkin mengapa aku tidak suka saat-saat ketika bel berbunyi dan kami harus masuk ke kelas masing-masing. Aku merasa otakku, pikiranku, jiwaku masih berada di luar sana meninggalkan tubuhku yang kupaksakan terkurung dalam ruang kelas pengapku.
Tiap jam di ruang kelasku dalam tiga tahun kehadiranku di sekolah itu kuisi dengan melayangkan pikiranku jauh ke luar sana. Sangat jauh bahkan lebih jauh dari apa yang bisa kubayangkan. Bukan ke luar kelas, bukan ke halaman, bukan tempat-tempat yang biasa digunakan teman-temanku untuk mengkhayalkan pikiran mereka saat jam pelajaran, tapi lebih jauh dari itu. Aku melayangkan pikiranku ke sebuah dunia di mana aku berkhayal seandainya tidak ada tembok di antara ruang kelas ini, tidak ada pelajaran yang memaksaku untuk dalam sekian waktu menghentikan bayanganku tentang dia, tidak ada sesuatu pun yang menghalangiku untuk menatapnya, membayangkannya, mencoba mengkhayalkan apapun tentang dirinya.
Seandainya dia melihatku, seandainya dia mengenalku, ah……aku berharap terlalu banyak…seandainya dia tahu namaku, seandainya ia mau tersenyum padaku, menyapaku, mengatakan “Hai!” kepadaku, menggenggam tanganku…….
Ah..tapi aku terbangun dari lamunanku. Aku kembali tersadar dalam kenyataan. Ia tidak pernah melihatku, ia tidak pernah tersenyum padaku, ia tidak pernah menyapaku, ia tidak mengenalku, ia bahkan tidak tahu namaku.
Tapi aku baik-baik saja dengan hal itu. Aku memang tidak ingin berharap terlalu lebih. Aku tahu itu hanya akan membuatku jauh lebih buruk. Lebih terpuruk. Aku hanya berusaha menikmati tiap saat yang kumiliki untuk merasakan kehadirannya. Membayangkannya, memikirkannya, berangan-angan seolah aku memilikinya sudah cukup untukku.
Kadang aku berpikir…..aku tidak pernah ingin menjadi sepengecut ini. Tapi entah mengapa semua seakan berbeda. Aku takut…….malu……seolah aku tidak memiliki apapun yang membuatku merasa sedikit lebih sehingga membuatku berani untuk sekedar menyapanya. Aku memilih diam. Menyembunyikan sebuah rahasia dalam hatiku. Menguncinya rapat-rapat dalam anganku. Aku memilih menjadi seorang pengecut dengan harapan sebuah keajaiban akan menghampiriku. Sebuah keajaiban yang membuat keadaan menjadi berbeda. Aku menunggu hal itu selama tiga tahun dan akhirnya aku menyadari dalam senyuman pahitku…….keajaiban yang aku harapkan tidak akan mungkin terjadi.
Sudah tiga tahun sejak saat itu. Sudah tiga tahun sejak Masa Orientasi Siswa (aku bahkan tidak tahu apa artinya itu waktu itu), saat di mana aku pertama kali melihatnya. Namun aku kembali tersenyum menyadari tidak adanya perkembangan yang terjadi. Dia tetap tidak mengenalku, tetap tidak menyapaku, tetap tidak tahu siapa namaku.
Ingin rasanya saat itu aku berteriak mencoba mengeluarkan rasa kesal dalam otakku, mencoba memberikan kelegaan semu dalam hatiku yang kurasakan semakin memanas. Membuatku merasa sesak. Ingin rasanya kulakukan hal itu, namun aku sadar…..itu hanya akan membuatku semakin terbakar. Aku memaksakan diriku untuk tenang. Mencoba menurunkan debaran dalam jantungku. Mencoba melihat semuanya dengan realistis.
Aku melihat dalam cermin di depanku…..sebuah wajah dengan tubuh berbalut jas warna hitam rapi dengan dasi terlihat sedikit kusut. Kupandangi terus raut muka pemilik tubuh itu. Aku melihat banyaknya rahasia dalam raut mukanya yang kusam. Rahasia yang hanya dimiliki oleh sang pemilik wajah. Ingin rasanya membagi rahasia itu kepada cermin yang kini ditatapnya. Namun terlintas kekhawatiran cermin itu akan membuka rahasianya kepada wajah lain yang menatapnya nanti. Kekhawatiran konyol……….
“Ka….Ngapain aja sih lama banget di dalem?” kudengar pintu toilet diketuk dan suara Vido, teman sekelasku, memanggil dari luar membuyarkan lamunanku.
“Iya…iya…bentar dikit napa…!” jawabku dari dalam toilet.
“Bentar lagi acaranya dimulai nih….emang mau ditinggal ga ikutan wisuda?” kata Vido dengan sedikit kesal.
“Iya….sabar….nih juga udah selesai!” Jawabku lagi.
Aku mencuci mukaku yang kusut ini dengan harapan mampu membangunkanku dari mimpi panjang yang membuatku seakan berada di dunia lain. Dunia pikiranku sendiri. Aku betulkan letak dasiku yang sedikit acak-acakan. Merapikan kemeja yang mulai terlihat kusut berbalut jas hitam itu.
Ah……ini adalah saat terakhir aku tercatat sebagai siswa sekolah ini. Sebentar lagi, dalam beberapa jam, mereka akan menyalamiku dan mengalungkan medali kelulusan di leherku, secara halus memberikan perintah kepadaku untuk meninggalkan sekolah yang telah memberiku banyak sekali kenangan selama tiga tahun ini. Kenangan semu kupikir…..tapi cukup berkesan… Kini aku tengah bersiap untuk meninggalkan sekolah ini beserta seluruh kenangan yang melekat di dalamnya.
Sesaat kudengar pintu toilet kembali diketuk. Aku mulai kesal dengan temanku yang satu itu. Memangnya dia tidak bisa menunggu barang semenit juga?
“Busyet…….iya…iya…sabar…nih aku dah kelar.” Aku buru-buru membetulkan kerahku yang masih berantakan dengan tangan kiriku, sedangkan tangan kananku meraih pegangan pintu toilet, memutar kenopnya, membuat pintu itu bergerak terbuka.
“Bawel banget sih….”, aku terdiam saat kubalikkan tubuhku dan melihat dia yang berdiri tegak di depan pintu toilet.
Sesaat aku merasa jantungku yang tadi telah susah payah kubuat lebih tenang kini kembali berdebar cepat. Kurasakan butir-butir keringat mulai menetes dari leherku membasahi kerah kemeja yang baru saja kubetulkan. Saat itu AC ruangan begitu dingin, namun aku merasa tubuhku mulai memanas.
“Hai!” kulihat dia menyapaku sambil tersenyum. Ia memberikan senyuman terbaiknya untukku. Hanya untukku. Setidaknya itulah yang terlintas di kepalaku.
“Hai!” jawabku singkat membalas sapaannya. Suaraku terdengar parau. Kaku….bahkan hampir terdengar lebih seperti habis dicekik.
Kami terdiam tanpa kata untuk sejenak. Masih dengan senyum manisnya, ia menatapku. Aku malu. Segera aku menundukkan wajahku. Kuharap dia tidak melihat wajahku yang memerah.
“Raka, kan?” tanyanya padaku membuyarkan keheningan yang melanda otakku.
Aku mengangguk pelan masih dengan kepala tertunduk. Perasaanku campur aduk. Aku merasa seakan baru saja menelan sekuali sambal yang membuat perutku terasa mulas.
Kulihat sebuah tangan terjulur di depanku memintaku untuk menjabatnya.
“Niko…… Kita belum pernah secara resmi berkenalan, kan!”
Aku mengangkat kepalaku, mencoba memahami bahwa ini bukanlah sebuah mimpi. Kulihat tangan yang masih terjulur di depanku. Aku mengangkat tangan kananku dan meraihnya. Saat tanganku menyentuh telapak tangannya kurasakan kehangatan mengalir ke telapak tanganku yang kaku entah karena dinginnya AC atau oleh dinginnya aliran darahku.
Dia menyapaku, dia mengenalku, dia mengatakan “Hai” padaku. Dia bahkan mengulurkan tangannya dan tersenyum padaku. Kepadaku! Apa yang selama ini hanya ada dalam dunia mimpiku keluar dan menjadi kenyataan.
“Vido bilang kamu ada di sini….jadi kupikir….aku langsung ke sini saja.” suara kecilnya membangunkanku dari euforia singkatku.
“Aku..ehm…” aku tidak tahu harus berkata apa ketika kemudian ia mengunci mulutku dengan sebuah kecupan dari bibir tipisnya. Kami berciuman.
Aku melayang menuju suatu tempat yang baru. Aku menutup kedua mataku sebagaimana yang dia juga lakukan, mencoba merasakan sebuah keindahan dalam pikiran kami yang mengalir sampai dengan ke ujung kaki. Aku merasakannya. Merasakan kehangatan dalam tubuhku. Kehangatan yang begitu kuimpikan hingga membuatku seakan menjadi gila. Gila oleh sebuah perasaan yang berontak mengalir melalui hati kami.
Aku kembali ke dunia nyata ketika kurasakan dia melepaskan ciumannya dari bibirku. Sejenak kurasakan pemberontakan besar-besaran dalam tubuhku meminta dia untuk tidak melepaskan kecupannya saat itu. Namun aku hanya bisa terdiam. Menanti apa yang akan terjadi berikutnya.
“Tidak perlu harus selama ini kan aku nunggu?” katanya tiba-tiba membuat otakku berputar mencoba mencerna apa yang baru saja dikatakannya.
“Tiga tahun, Ka…..” katanya pelan, “….dan selama itu kamu nggak sekalipun bicara sama aku.”
Aku terdiam….
“Kita sering bertemu. Di kantin, perpustakaan, di hampir tiap sudut sekolah….. Saat itu kupikir kamu akan berjalan mendekatiku dan berkenalan sama aku. Tapi…”
“Kamu tau aku?” selaku sebelum dia menyelesaikan kalimatnya.
“Sejak pertama kita ketemu.” Jawabnya cepat. ”Haruskah aku yang memulai semua?”
Kembali aku terdiam. Perasaanku berkali lipat lebih campur aduk dari sebelumnya. Perasaan senang, malu, takut, penasaran, bingung…semua menyatu dan melayang dalam pikiranku.
“Aku suka sama kamu sejak kita masih kelas satu. Kupikir kamu juga menyukaiku karena kulihat kamu sering tersenyum ketika kita berpapasan. Tapi…”
“Aku hanya terlalu malu untuk ngomong sama kamu……” potongku tidak membiarkan dia menyelesaikan kata-katanya lagi. “…aku..malu.”
Sekali lagi aku menundukkan wajahku.
Kami terdiam. Mencoba memahami keadaan yang tiba-tiba saja terjadi kepada kami. Semua ini begitu cepat. Aku tak pernah sekalipun membayangkan akan mengalami sebuah kejadian seperti ini. Aku bingung harus melakukan apa. Semua ini terasa begitu aneh. Namun memberikan sebuah perasaan senang padaku. Sebuah kenyataan yang menyenangkan.
Lama kami terdiam larut dalam pikiran masing-masing. Namun kemudian keheningan kami dibuyarkan oleh suara seseorang yang lantang terdengar melalui pengeras suara yang mengatakan acara wisuda kelulusan akan segera dimulai. Secara reflek aku melihat ke jam tanganku yang saat itu telah menunjukkan pukul sembilan lebih tujuh belas menit.
“Kayaknya harus segera ke aula.” katanya pelan kemudian.
Aku hanya bisa mengangguk dan bersama-sama kami berjalan menuju aula gedung tempat dilangsungkannya acara wisuda. Aku berjalan dengan pikiran kosong. Masih tidak mampu menyadarkan diri sepenuhnya atas kenyataan yang bagiku masih serasa mimpi ini. Mimpi yang sangat indah.
“Aku akan masuk ke SMANTI (SMA Negeri 3. Red). Kamu sudah punya pilihan mau lanjut ke mana?” tanyanya.
Aku berhenti berjalan tepat saat berada di ujung jalan yang menghubungkan dengan aula utama. Aku tersenyum dan memandang wajahnya dengan sebuah kepastian yang baru kali ini kurasakan.
“Kalau begitu…aku juga akan masuk ke sana.” jawabku tanpa sedikitpun menunjukkan keraguan.
Niko tersenyum. Ia memegang tanganku erat, diikuti oleh sebuah kehangatan yang amat sangat. “Jadi…..kutunggu kamu sekali lagi di sana.”
Aku mengangguk. Ia melepas genggaman tangannya dan berbalik menuju kerumunan teman-teman sekelasnya. Meninggalkanku yang masih setengah melayang di sana.
Aku tersenyum lega. Tiga tahun yang telah kulalui selama ini kurasakan kembali dalam satu hari ini dengan penuh keindahan. Kini aku merasa lega. Kini aku bisa meninggalkan tiga tahun kenangan itu dengan sebuah harapan baru. Aku telah berjanji…..tidak akan ada tiga tahun yang berikutnya untuk sebuah penantian. Di sekolah yang baru. Di kehidupan yang baru. Karena kini…dia telah memberikan keberanian yang kubutuhkan untuk melakukan apa yang seharusnya kulakukan sejak tiga tahun yang lalu.
-SenyawaDiorama- 18/10/06
Comments
Jempol untk ceritanya
bener kata @3ll0 aku kira juga lulusan SMA tapi ternyata SMP toh )
manisnya~~~ *envy envy envy*
lanjuut^^/
Hehehe ... mksd gw ni story minim konflik antar tokohnya bro, but its nice too read... bikin org smile aja
Wahh jago donk klo bocah bs nulis kyk gt .... gw aja yg ude gede kga bs ) .... sip2 d nantikan ya gan
apa aku jg harus nunggu 3th ya utk sebuah kata "hai" darinya? skrg baru 2th sih... :')