It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Who Is The Ghost?
Tiga jam berlalu sejak aku masuk dan duduk di kelas ini, terasing dalam buku pelajaran yang kubuka lembar demi lembar, serta ilmu yang tersurat kata demi kata yang meluncur dari bibir manis sang guru, sama sekali tak menarik perhatianku.
Seminggu telah lewat dari saat pertama aku masuk sekolah ini, ditambah tiga jam. Terasing dalam duniaku, yang mereka anggap aneh. Kenapa? Karena aku bisa melihat apa yang tak bisa mereka lihat. Sesuatu yang mereka sebut hantu, sesuatu yang sering aku ajak berdialog, sesuatu yang mereka takuti.
Namun sesuatu yang mereka takuti adalah sesuatu yang kuajak berteman, dan sesuatu yang aku takuti adalah sesuatu yang mereka ajak berteman.
Tiga jam lebih lima menit, ada seseorang muncul di balik jendela, mengintip dengan mata sipitnya, menerawang seluruh isi kelas dengan seksama. Aku tahu dia bukan manusia.
a. Aku keluar untuk melihatnya. [ Baca : Episode #1 : Dia yang mengintip dari balik jendela.]
b. Aku muak dengan penglihatan ini! [ Baca : Fragmentasi #1 : Dia yang melihat dari balik tumpukan buku. ]
c. Kurasa aku perlu menyegarkan diri sejenak. [Baca : Chapter #1 : Dia yang memandangku tajam dari pantulan cermin. ]
(* * *)
EPISODE
Episode #1 : Dia yang mengintip dari balik jendela.
Aku pun keluar untuk melihat siapa pemilik sepasang mata sipit itu. Seorang gadis seumuran denganku, memakai seragam sekolah, wajahnya pucat, rambut hitam sebahu, dan kakinya tak menapak tanah, matanya asyik menatap seisi kelas, sesekali tersenyum. Tak sadar sedang kuperhatikan.
“Hai. “ sapaku.
Dia terkejut dan menoleh. “Kamu bisa melihatku?”
Aku tersenyum dan mengangguk, sedangkan dia bingung sendiri. “A.. Aku Onna. “ ujarnya sambil menyodorkan tangan dengan malu-malu.
“Onna? Nama yang aneh.. Hmm, aku Kaito. “ jawabku menyalami tangannya, namun tembus.
“Eh, tembus..” celetuknya polos.
Aku tertawa dan dia pun tertawa dengan malu-malu. Aku lalu bilang kalau aku akan menemuinya nanti sepulang sekolah. Dia lalu mengangguk lembut.
Aku senang, menemukan teman pertamaku di sekolah ini.
(* * *)
Episode #2 : Kami dan lorong sore hari.
Bel pulang sekolah berdentang. Seisi kelas berhamburan, sedangkan aku menunggu agar kelas sepi, baru beranjak keluar kelas. Dari tembok lorong, Onna muncul dan menyapaku.
Sinar matahari empat sore menembus celah-celah jendela, menembus tubuh Onna yang transparan, menyisakan sedikit gurat oranye.
Kami lalu berjalan beriringan menuju gerbang sekolah.
“Aku senang sekali dulu saat pulang sekolah. Aku bisa pulang kerumah, bercanda dengan adik, menonton tv, atau sekedar makan cemilan.” Tuturnya dengan raut wajah sedih.
“Lalu kenapa kamu bisa gentayangan disini?” tanyaku.
Dia tak bergeming menanggapi pertanyaanku, raut wajahnya masih tetap sedih.
“Maaf, aku tak ingin menceritakannya saat ini.”
Dia lalu menarik nafas panjang dan mendesah. Tatapannya menerawang jauh, ke masa lalu.
Aku pun tak bergeming, sehingga membuat kami terjebak dalam kebisuan sejenak.
“Jadi, kamu sudah berapa lama disini?” tanyaku sambil melihat seragam sekolah yang dikenakannya, tampak berbeda model dengan yang digunakan sekarang.
“Hmm.” Raut wajahnya berubah, matanya menatap langit-langit dan alisnya mengernyit.
“Lupa.” Lanjutnya dengan senyum ke arahku. “Sudah berapa tahun ya? Mungkin kalau aku masih hidup, aku sudah punya anak sekarang.”
Raut wajahnya kembali sedih.
(* * *)
Episode #3 : Gerbang ke atap.
Aku selalu berangkat ke sekolah lebih pagi karena aku tidak ingin berbaur dengan keramaian, sehingga aku bisa bermain dengan sepi. Namun pagi ini, ada yang menyambutku. Gadis manis dengan tubuh transparan, dialah Onna dengan senyumnya.
“Hai.” Sambutnya dengan lambaian tangan yang ringan.
Kami pun berjalan beriringan menuju kelas. Dia mulai bercerita tentang kesehariannya di kelas, tentang kehidupannya, tentang teman-temannya.
“Apa kamu kesepian disini?” tanyaku memotong ceritanya.
Pertanyaanku membuat raut sedih di wajahnya muncul lagi.
“Sepi. Sangat sepi...” jawabnya menerawang.
Sepertinya aku sangat berbakat membuat raut sedih di wajah orang.
“Aku tak bisa bicara dengan orang lain, tak bisa bermain, hanya bisa mengintip dari balik jendela. Kalaupun ada yang bisa melihatku, biasanya langsung lari terbirit-birit. Karena itu aku senang ada kamu disini..”
Aku juga senang ada teman bicara untuk saat ini.
Sementara itu, keramaian datang memotong pembicaraan kami. Onna pun memudar dibalik sinar mentari tujuh pagi yang cerah.
(* * *)
-Siang hari, atap sekolah-
Sejak lima menit lalu aku bercengkerama dengan angin sepoi yang meniup daun pohon sakura ke wajahku. Sementara itu matahari bersembunyi dibalik awan putih yang bergerombol.
Lalu, Onna muncul begitu saja di sampingku, seolah muncul dari tiupan angin.
“Disini.. “ katanya mengawali pembicaraan.
“Apa?” tanyaku heran, mendengar kata awalnya yang menggantung.
“Tempatku terjun.” Jawabnya sambil menatap terali kawat yang membatasi pinggiran atap.
“Kenapa kamu terjun?”
Dia lalu duduk di sampingku dan menghela nafas panjang. “Aku putus dengan pacarku..”
Entah aku harus bilang apa, kurasa alasan itu sangat..
“Konyol bukan?” ucapnya seolah bisa membaca pikiranku. “Saat itu aku masih begitu labil, tak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Bertahun-tahun menjadi hantu membuatku sadar, bahwa pilihan tak bisa diulang dua kali.”
“Kenapa kamu tidak pergi ke alam sana?”
Dia menggeleng dengan raut wajah bingung. “Aku tak tahu bagaimana caranya kesana. Kata orang jika arwah masih memiliki urusan di dunia, maka dia akan gentayangan. Tapi aku merasa tidak punya urusan lagi. Aku sudah merelakan dia pergi sejak lama.”
Aku pun ikut bingung.
“Hmm, omong-omong.. Kenapa kamu tidak pergi mencari pria itu?” tanyaku sebelum kebingungan berubah menjadi kebisuan.
“Entah kenapa aku tidak bisa keluar dari sekolah ini. Setiap aku ingin keluar, seolah ada penghalang yang menghalangiku.”
“Lalu, tiap malam apa kamu kesepian?”
Huh, pertanyaanku sungguh retorik! Dan pertanyaan itu sudah kuucapkan sebelumnya. Konyol sekali.
“Malam? Awalnya aku takut. Namun aku sadar bahwa akulah hantu itu sendiri. Jadi tidak mungkin kan hantu takut hantu. Hahahaha. Namun.. lama-lama semuanya terasa sepi.”
Raut wajahnya kembali sedih.
“Kalau begitu, bolehkah aku datang kesini malam ini?”
Dia mengangguk dengan semangat, senyum tulus mengembang di bibirnya yang pucat.
(* * *)
Episode #4 : Satu orang, satu (bukan) orang dan sebuah malam.
Aku tak takut. Sudah lama aku tidak merasakan takut, karena keberadaan hantu telah begitu biasa bagiku. Apalagi di sekolah ini, aku kenal siapa hantunya. Seorang Onna yang tidak berbahaya.
Atap sekolah begitu terang disinari bulan purnama, angin yang sama masih meniupkan helai daun sakura ke wajahku, kali ini semuanya terasa lebih tenang, aku bisa melihat kilauan cahaya kota dari kejauhan.
“Indah bukan?” kata Onna yang tiba-tiba muncul disampingku.
“Sangat indah..” jawabku mengagumi pemandangan yang kulihat.
“Tapi, ketika kamu sendiri. Semua keindahan ini akan terasa hampa.” Kata Onna.
Aku lalu berbaring dan menatap kilauan cahaya di langit kejauhan.
“Cahaya yang ini juga indah.” Kataku mengalihkan topik pembicaraan, berlari dari topik ‘kesendirian’ yang pasti akan merubah raut wajahnya lagi.
Dia lalu mulai bercerita lagi, semua tentang kehidupannya. Aku mendengarkannya dengan seksama, mengikuti alur cerita yang meluncur dari bibirnya.
“Aku baru tahu kalau hantu banyak bicara.” Kataku usil.
“Hahahaha. Kamu tuh, yang tak banyak bicara. Seperti hantu.” Jawab Onna.
Ditengah tawa kami. tiba-tiba seseorang datang, bukan. Sesuatu datang. Bukan seorang manusia, melainkan hantu.
“Siapa disana?” tanyaku curiga.
“Aku tidak punya urusan denganmu manusia.” Jawabnya enteng.
Onna beringsut takut, bersembunyi dibalik punggungku.
“Aku menginginkan anak itu.” Kata hantu tersebut.
“Untuk apa!?”
“Dia punya kekuatan yang besar. Dan aku butuh kekuatan itu.”
“Maksudmu, kau ingin memangsa Onna?”
Dia tertawa kecil. “Terdengar kejam mungkin bagimu, tapi kira-kira begitulah.”
Tak kusangka bahwa hantu juga saling memangsa satu sama lain. Tapi setidaknya cara mereka lebih terang-terangan, tidak seperti manusia yang sembunyi-sembunyi, lalu menusuk dari belakang.
Aku menatap sejenak wajah Onna yang ketakutan, bibirnya bergetar, wajahnya masih tetap pucat dan tubuhnya transparan. Aku penasaran, apakah hantu akan merasakan rasa sakit juga? Bukankah mereka telah mati sebelumnya?
“Tidak! Onna adalah temanku. Dan aku tak ingin kehilangan dia!” jawabku penuh keyakinan.
(* * *)
Episode #5 : Siapa yang hantu?
Aku terbangun di kamarku dengan sinar mentari yang baru saja terbit. Apa yang sebenarnya terjadi kemarin? Mungkinkah kemarin itu hanya sebuah mimpi? Aku tak tahu, lebih baik aku segera bersiap ke sekolah.
Kali ini aku agak sedikit lebih siang daripada biasanya, berbaur dengan lautan manusia yang berebut masuk ke dalam gerbang. Hari ini Onna tak muncul, mungkin malas melihat kumpulan manusia.
Tiga jam berlalu sejak aku masuk dan duduk di kelas, terasing dalam buku pelajaran yang kubuka lembar demi lembar, serta ilmu yang tersurat kata demi kata yang meluncur dari bibir manis sang guru, sama sekali tak menarik perhatianku.
Tiga jam lebih lima menit, ada seseorang muncul di balik jendela, mengintip dengan mata sipitnya, menerawang seluruh isi kelas dengan seksama. Aku tahu itu Onna.
Aku pun minta ijin keluar kelas pada guru. Namun anehnya, dia tak meresponku. Aku pun menepuk punggungnya.
Tembus.
Onna muncul disampingku dan tersenyum.
“Apa yang terjadi kemarin?” tanyaku.
“Hantu itu pergi karena salut dengan keberanianmu..” jawabnya sambil membalikkan badan.
“Setelah membunuhmu.”
Membunuhku?
Jadi aku sekarang..
Kulihat tanganku dengan seksama, transparan.
“Jadi kita..?”
“Iya, kita berdua sekarang.” Jawabnya tersenyum.
Kali ini aku bisa menyentuh tubuhnya yang transparan.
“Ayo kita pergi ke atap!” ajakku sambil menarik tangan Onna yang dingin.
Kami berdua tertawa saat matahari mulai beranjak tinggi.
Siapa yang hantu sekarang?
[END]
FRAGMENTASI
Fragmentasi #1 : Dia yang melihat dari balik tumpukan buku.
Akhirnya empat jam membosankan berlalu. Bel berbunyi dan jam istirahat dimulai. Aku segera keluar kelas. Kulihat jendela, pemilik mata misterius itu hilang sudah.
Cukup sudah, aku muak dengan 16 tahun tanpa teman yang nyata. Semua memandangku sebelah mata, menganggapku gila. Padahal mereka tidak sadar siapa yang gila.
Aku lalu berjalan menuju perpustakaan sekolah, tempat favoritku sejak aku pertama disini. Koleksi bukunya sangat banyak. Aku segera meluncur ke bagian fiksi, membaca novel-novel ato buku lainnya yang sekiranya menarik.
Saat aku menarik sebuah buku dari rak, entah kenapa buku tersebut tidak bisa ditarik, seperti menempel pada rak. Saat kutarik sekuat tenaga, buku tersebut terlepas.
“Eh, maaf. Aku kira tak ada orang tadi. Pantas begitu kutarik begitu susah. “ kata seorang wanita dari balik rak.
Dia lalu datang menghampiriku dan menunduk minta maaf. Rambut panjang ikal kemerahannya terkulai lembut. Wajahnya memerah karena malu.
“Ah tidak apa-apa.” Jawabku.
Dia lalu kembali tegak dan menatapku. Wajahnya putih bersih, bibirnya mungil dengan polesan lipgloss yang membuatnya mengkilap. Seragamnya ketat, persis seperti anak-anak sekolahan labil pada umumnya. Tapi kenapa dia ada disini?
“Kamu suka baca?” tanyaku sambil menatapnya sinis. Karena rata-rata orang sepertinya tidak suka menyentuh buku.
“Iya.” Jawabnya pelan.
“Tumben, biasanya para penghuni perpustakaan hanyalah orang-orang yang ‘ngga keren’ seperti kata kalian”
“Jangan menilai buku dari sampulnya saja.” Katanya sambil mengambil sebuah buku dari rak, lalu menoleh ke arahku dan tersenyum. “Aku memang tak begitu sering kesini, paling tidak seminggu sekali. Sekedar melepas penat dari keseharian sebagai ‘orang normal’.” Katanya sambil menegaskan pada bagian ‘orang normal’.
Kami pun tertawa, ternyata dia adalah orang yang sama denganku. Tapi dia memakai topeng ‘orang normal’ dan aku tidak.
“Perkenalkan, aku Kaito.”
“Nina.” Jawabnya sambil tersenyum.
Enam belas tahun tanpa teman nyata sepertinya sirna sudah.
(* * *)
Fragmentasi #2 : Kami dan keramaian.
Bel pulang sekolah berdentang, aku segera meluncur keluar dari kelas, membaur dengan keramaian dan riuh para siswa. Mencari sosok Nina diantara lautan manusia seperti mencari sebuah jarum dalam tumpukan jerami.
“Hoi!” sapa Nina menepuk bahuku dari belakang. Tak kusadari dia akan muncul dari belakangku.
“Siap?” tanyanya meyakinkanku.
Aku pun mengangguk mantap. Ini untuk pertama kalinya dalam sejarah hidupku aku pergi bersama seorang teman, ke tempat dimana ‘orang normal’ berkumpul.
Nina mengajakku ke sebuah pusat pertokoan, tempat yang begitu asing bagiku. Keramaian membuatku pusing. Wajah-wajah manusia, bercampur aduk dengan rupa para makhluk yang bukan manusia. Atau, sebaliknya.
Siapakah makhluk babi bertopeng manusia itu!?
Siapakah tikus bersetel jas itu!?
Siapa pemilik mata yang menempel di langit-langit!?
Ah penglihatanku semakin menjadi!
“Kamu kenapa?” tanya Nina.
Saat dia menoleh, wajahnya tak ada! Namun perlahan, bagian dari wajahnya muncul satu per satu. Membentuk raut wajah khawatir seorang Nina.
“Aku ingin pergi dari tempat ini, Nina. Sekarang.”
(* * *)
Fragmentasi #3 : Atap ke gerbang.
Penglihatanku semakin menjadi. Kali ini bukan hanya hantu, tapi juga manusia. Perlahan, dapat kulihat wujud-wujud asli manusia. Ternyata semua orang punya wujud masing-masing. Nyaris tak ada yang sepenuhnya manusia. Kebanyakan dari mereka berwujud setengah binatang.
Pelajaran di kelas serasa memuakkan sekali. Terlihat seperti sekolah kebun binatang. Aku segera berlari ke atap sekolah begitu bel istirahat berbunyi.
Di lorong kelas, kulihat seorang gadis hantu mengintip ke dalam kelas. Wujudnya lebih baik daripada manusia-manusia lainnya. Namun aku tak begitu peduli. Aku ingin cepat-cepat menghirup oksigen untuk menyegarkan otakku yang penat.
Lima menitpun berlalu. Aku bercengkerama dengan angin sepoi yang meniup daun pohon sakura ke wajahku. Sementara itu matahari bersembunyi dibalik awan putih yang bergerombol.
“Hai.” Sapa seorang gadis.
Nina. Kali ini wajahnya ada sebagaimana seharusnya.
“Kamu kenapa, sakit? Kulihat tadi kamu lari cepat sekali ke atap..”
Aku menggeleng lemah dan menarik nafas panjang, menatap nanar terali kawat yang membatasi pinggiran atap. “Sulit untuk menjelaskannya padamu..”
“Tak apa, jelaskan saja.”
“Aku tak lagi melihat hantu.” Jawabku singkat.
“Kamu belum cerita apa-apa tentang ‘melihat hantu’? Tapi kalau sekarang kamu tidak bisa melihat hantu lagi, bukankah itu berita bagus?”
Berita bagus? Kurasa tidak.
“Kali ini aku melihat semuanya seperti hantu. Bahkan lebih mengerikan daripada hantu itu sendiri.”
“Manusia, maksudmu?”
Aku mengangguk pelan, membayangkan wajah-wajah penghuni kebun binatang. Mereka tertawa, mereka bicara bahasa manusia. Mengerikan!
“Apa yang kamu lihat dari wajahku?” tanyanya penuh ingin tahu.
Belum sempat aku bicara, seseorang datang dan memanggil Nina. Dia pun menghampiri temannya dan melambaikan tangannya padaku.
Perlahan, wajahnya menghilang, lalu muncul lagi dengan wajah lain yang tak kukenal saat bicara dengan temannya.
Aku tahu, itu adalah evolusi tertinggi dari adaptasi manusia. Pribadi yang supel dan cepat beradaptasi dengan orang lain.
(* * *)
Akhirnya sore hari tiba dan saatnya bagi kami untuk pulang. Sengaja kutunggu agar para penghuni kebun binatang pulang lebih dahulu agar aku tidak berbaur dengan mereka.
Gerbang sekolah begitu sepi, namun jalanan di depan tidak. Aku masih harus melihat orang-orang dengan topeng ‘manusia’nya, menyembunyikan wujud asli binatangnya.
Entah kenapa aku merasa tertarik dengan wujudku sendiri. Jadi aku pergi ke sebuah toko yang kacanya memantulkan bayangan.
Saat kulihat bayanganku..
Kosong.
Bayanganku tak ada. Inikah wujudku yang sebenarnya?
(* * *)
Fragmentasi #4 : Satu pria, satu gadis, dan sebuah malam.
Nina mengajakku pergi menonton sebuah teater yang diadakan di sebuah mall secara terbuka. Hal itu membuatku tertarik, melihat orang-orang berakting, meski aku sudah sering sekali melihatnya di panggung raksasa bernama dunia. Tapi kali ini aku ingin melihatnya delam sebuah panggung kecil.
Sekali lagi, aku bercengkerama dengan keramaian. Namun kali ini aku sudah lebih terbiasa melihat topeng-topeng para manusia.
Mall ini sebenarnya ramai, namun yang menonton teaternya sepi. Yah, bisa dimaklumi, penggemar teater tidak banyak.
Sementara itu ekspresi antusias dan tak sabar muncul di wajah Nina, menanti aktor yang keluar dari balik tirai.
Bagi orang normal, teater ini sungguh membosankan. Isinya hanya dialog-dialog absurd para aktor yang mengenakan topeng beraneka ragam, gerak-gerakan teatrikal yang hanya muncul di atas panggung, persona personifikasi yang mereka perlihatkan.
Lucu sekali, melihat orang bertopeng tapi bertopeng lagi. Orang-orang disekitarku tak banyak yang mengerti, wajah mereka tampak seperti monyet saat melihat i-phone.
“Kaito..” panggil Nina, namun ia tak memalingkan wajahnya dari panggung.
“Kenapa?” tanyaku.
“Kurasa memang benar, dunia ini penuh orang bertopeng.” Katanya menyadur sepenggal dialog dari teater tersebut.
“Apakah kau punya kaca untuk melihat wajahmu? Kau tak bisa melihat wajahmu sendiri, karena kau bertopeng!” kataku sambil melanjutkan dialog tersebut.
Nina tersenyum simpul melihatku memahami isi teater tersebut.
Beberapa jam kemudian, teater pun usai. Kami berdua memutuskan untuk pulang. Dia dan aku mengambil bis yang rutenya berbeda, jadi kami berpisah segera setelah keluar dari mall. Dia melambaikan tangan dari kejauhan dan akupun membalasnya dengan semangat.
Sepanjang jalan, hantu-hantu banyak gentayangan, sementara itu para makhluk bertopeng manusia juga banyak berkeliaran. Aku melambaikan tangan pada mereka dari dalam bis.
Namun mereka tak membalas.
(* * *)
Fragmentasi #5 : Diantara semua itu, siapa yang sebenarnya hantu?
Dua tahun milikku berlalu di sekolah ini. Habis diantara lorong-lorong kelas dan lembar-lembar buku yang bertumpuk di perpustakaan. Nina selalu menjadi wanita seribu wajah bagiku..
Senyum simpulnya yang terbentuk dari dua garis bibir yang menyatu, selalu lembab dan berkilau.
Matanya yang ikut menyipit menemani senyum simpulnya, selalu tampak tulus dimataku.
Hidung mungilnya yang kemerahan di ujungnya.
Pipinya yang kemerahan, selalu disaat dia tertawa.
Meski selalu berubah, saat dia bertemu orang lain. Menjadi pribadi yang tak kukenal. Senyumnya tak lagi simpul, kadang senyum kecut, kadang tertawa terbahak-bahak. Matanya kadang membelalak, kadang garis alisnya turun karena sedih. Bukan Nina yang sedang bercerita padaku.
Sampai kapanpun, dia adalah gadis seribu wajah.
Sampai kapanpun, aku adalah pemuda tanpa wajah.
Sampai kapanpun, orang-orang punya topeng sendiri untuk menyembunyikan wajah mereka.
Sampai kapanpun, hantu tetaplah tak bertopeng, menampakkan wajah asli mereka.
(* * *)
Aku memandang papan kelulusan di tergantung di lorong sendiri. Anak-anak yang lain sudah pulang sejak tadi. Sinar mentari sudah melemah, membuat gurat-gurat oranye di lorong.
Namaku sendiri terpampang di papan tersebut, di deretan kedua dari bawah.
Kulihat lorong, seorang gadis hantu melayang ke arahku.
“Hai.” Sapaku.
Dia lalu menoleh. Dan aku pun tersenyum padanya.
“Kriing..” tiba-tiba handphoneku berdering. Kulihat nama yang terpampang di layar. Nina.
“Cepat, Kaito! Aku sudah menunggumu sejak tadi!” gerutunya dari seberang.
Saat aku menoleh pada hantu tadi, dia telah menghilang.
Aku lalu bergegas pulang, di jalan kusempatkan melihat bayanganku lagi di etalase toko.
Ternyata bayanganku masih tidak ada, aku pun melihat sekeliling dan tersenyum.
Diantara lautan makhluk bertopeng ini, siapa yang hantu sebenarnya?
Hehe.
[END]
CHAPTER
Chapter #1 : Dia yang memandangku tajam dari pantulan cermin
Kuputuskan untuk keluar kelas dan bergegas menuju kamar kecil. Membasuh wajahku sejenak. Lelah karena penglihatan ini.
Tiba-tiba kudengar suara pintu dibuka, dan kulihat orang yang masuk dari pantulan cermin. Seorang anak kecil? Namun mengenakan seragam yang sama denganku. Matanya tajam menatapku, meski tersembunyi di balik kacamata bergagang emas.
“Kau bisa lihat hantu?” tanyanya tiba-tiba.
Aku terkejut, kenapa dia bisa mengetahui hal itu. Padahal aku belum pernah menceritakannya pada siapa-siapa.
“Tak usah terkejut. Tiap orang memiliki kecenderungan untuk menemukan orang yang memiliki kecenderungan yang sama dengan dirinya. Ya, kan?” tanyanya sambil tersenyum tipis.
Aku memahami kata-kata itu. Kecenderungan, hah?
“Aku Shota..” ujarnya sambil menyodorkan tangan kanannya.
“Shota?”
“Iya, karena tubuhku kecil, jadi aku dipanggil Shota oleh orang-orang. Padahal aku sebenarnya kakak kelasmu.”
Jadi si kerdil ini kakak kelasku?
“Kaito.” Jawabku menyalami tangannya.
“Bergabunglah denganku.” Ajaknya dengan tatapan mata yang tajam.
“Kemana?
(* * *)
Chapter #2 : Kami dan mantera.
Aku terperangkap di sebuah ruangan yang disebut Shota sebagai ‘kamarnya’. Sungguh besar sekali! Berkali lipat kamarku. Namun sayang, tidak ada hiburan apa-apa disini. Jadi kamarnya menurutku lebih mirip ruangan di dalam kuil.
Dia adalah Onmyoji turun temurun. Seseorang yang mereka sebut ‘pembasmi hantu’. Menurut mereka hantu adalah entitas yang tak seharusnya ada di dunia.
Entah kenapa, aku merasa tertarik dengan hal ini. Jika aku tidak bisa memusnahkan ‘penglihatan’ku pada hantu, aku tentu bisa saja memusnahkan hantu yang kulihat.
Berjam-jam berlalu ketika aku berkutat dengan mantera-mantera pengusir hantu. Senja pun tiba di kuil rumah ini. Sinar mentari memantul di permukaan kolam ikan yang jernih. Pohon-pohon bambu saling bergesek di tiup angin, menimbulkan gemerisik damai yang dibalut senja.
Kubuka gerbang rumah Shota yang terbuat dari kayu, lalu aku pun pulang dengan meninggalkan senyum kemenangan yang berkembang di bibir Shota.
Senyum kemenangan juga muncul di bibirku.
(* * *)
Chapter #3 : Lorong, atap, lalu gerbang.
Gadis hantu itu muncul lagi di lorong saat jam pelajaran. Aku tak sabar ingin segera mendiskusikan cara membasmi hantu ini. Aku muak!
Di kepalaku terbayang seluruh mantera-mantera yang akan kuperlukan nanti. Matematika? Sudah kulupakan. Kata-kata guru di depan juga tak kupedulikan. Di dalam kepalaku yang ada hanya bagaimana caranya memusnahkan hantu tersebut.
Bel istirahat pun berbunyi. Aku mencari Shota di lorong, dan dia bilang akan menemuiku di atap sekolah untuk mendiskusikan langkah kami selanjutnya.
Lima menitpun berlalu sejak aku datang ke atap. Aku bercengkerama dengan angin sepoi yang meniup daun pohon sakura ke wajahku. Sementara itu matahari bersembunyi dibalik awan putih yang bergerombol.
“Hai.” Panggilnya tajam dari depan pintu.
“Bagaimana?” tanyaku antusias. “Aku ingin segera memusnahkan mereka.”
Senyum kemenangan kembali berkembang di bibir kami, meski kami sama sekali belum merasakan kemenangan.
“Nanti malam kutunggu kau di gerbang.” Jawabnya.
Dia lalu berjalan menuju pinggiran atap yang dipasangi terali, memandang kejauhan dengan tatapan dendam yang mendalam. Itu membuatku tertarik.
“Kelihatannya kau juga ingin memusnahkan mereka?” tanyaku penuh rasa ingin tahu.
“Benar. Karena salah satu dari mereka telah membunuh ayahku tiga tahun lalu. Dulu, aku sama sekali tidak tertarik pada dunia Onmyoji, tapi sepeninggal ayahku, aku ingin memusnahkan mereka semua. Tak peduli pada apapun lagi, hanya itu satu-satunya tujuanku.” Jawabnya menggeram.
Lingkaran kebencian, eh?
“Lalu, bagaimana denganmu?” tanyanya balik.
“Aku bosan, enam belas tahun melihat hantu. Aku muak disebut gila oleh orang lain. Karena aku tidak bisa memusnahkan penglihatan ini, tentu saja aku bisa memusnahkan hantu yang kulihat kan?”
Shota mengangguk. “Benar juga, alasanmu cukup logis untuk diperjuangkan.”
Dia lalu beranjak dari pinggir atap dan berjalan menuju pintu.
“Gerbang, nanti malam!” teriaknya dari depan pintu.
Aku pun mengacungkan jempolku tanda mengerti.
(* * *)
Chapter #4 : Dua orang pria dan sebuah malam.
Angin yang berasimilasi dengan dingin membekap tubuhku erat, beradu dengan hatiku yang panas dan membara. Gemerisik pohon sakura yang daunnya gugur ditiup angin membuat simfoni yang indah, sebuah lagu kemenangan!
Sepuluh menit berlalu sejak jam yang dijanjikan tiba. Shota lalu datang dengan sebuah tas, sesampainya di depanku, dia membuka tas tersebut.
“Apakah kita butuh kertas mantera sebanyak ini?” tanyaku.
“Ini untuk persiapan, siapa tahu ada hantu yang berbahaya. Kita tentu tidak bisa membiarkan mereka mengganggu manusia lain.” Jawabnya sambil mengambil selembar kertas mantera.
“Baiklah, ayo masuk.” Jawabku sambil mengambil beberapa lembar kertas mantera.
(* * *)
Lorong kelas begitu gelap, seperti gua yang telah lama ditinggalkan.
“Disana, Kaito!” tunjuk Shota pada sekelebat bayangan yang lewat.
Aku segera melafalkan mantera.
“Telat!” hardik Shota.
Kami pun segera melanjutkan perburuan kami hingga ke atap. Atap sekolah begitu terang disinari bulan purnama, angin yang sama masih meniupkan helai daun sakura ke wajahku, kali ini semuanya terasa lebih menegangkan, meski kilauan cahaya kota dari kejauhan tampak menenangkan.
Sekelebat bayangan lalu muncul dan Shota langsung melempar kertas manteranya.
Ternyata memang gadis hantu itu. Dia tampak kesakitan terkena kertas mantera yang dilemparkan Shota. Tubuhnya gemetar dan wajahnya meringis. Dalam hati aku merasa iba.
“Jangan tertipu, Kaito! Hantu tetaplah hantu! Jika kita biarkan, maka bisa saja mereka membunuh kita saat kita tak melihatnya.”
Dia benar, jangan tertipu dengan wajah. Jangan menilai buku dari sampulnya saja.
Shota lalu melafalkan mantera, dan gadis hantu itu terbakar. Teriaknya penuh kesakitan, seperti lolongan sedih serigala di tengah malam.
Angin yang berasimilasi dengan dingin pun datang lagi, beradu dengan hatiku yang panas dan membara, memberi oksigen untuk mantera pembakar yang juga membara.
Gemerisik pohon sakura yang daunnya gugur ditiup angin membuat simfoni yang indah, sebuah lagu kemenangan bagi kami berdua. Kami lalu tertawa dalam kemenangan.
Ditengah tawa kami. tiba-tiba seseorang datang, bukan. Sesuatu datang. Bukan seorang manusia, melainkan hantu.
“Siapa disana?” tanyaku curiga.
“Tampaknya kalian cukup puas setelah membunuh gadis itu.” Jawab hantu tersebut.
Shota lalu menyiapkan kertas mantera lain.
“Enyah dari hadapanku!” hardik Shota sambil melempas kertas mantera tersebut. Kemarahan yang tampak di raut wajahnya menyiratkan bahwa dia mengenal hantu tersebut. Kurasa hantu itulah yang membunuh ayah Shota.
Ternyata kertas mantera tak mempan pada hantu tersebut. Dia tertawa, lalu menghilang.
“Lingkaran kebencian, eh?” ucapnya menggema, terbawa angin.
(* * *)
Chapter #5 : Ketika perburuan ini mencapai puncaknya, siapa yang sebenarnya adalah hantu?
Dua tahun milikku berlalu. Habis diantara lorong-lorong kelas dan jalanan kosong tengah malam. Berburu dan diburu, entah.
Perburuan ini mencapai puncaknya, yaitu stagnansi. Sebuah keadaan dimana kita mulai bertanya apa yang kita lakukan itu benar? Saat kita terjebak dalam keadaan datar yang entah, terasa membosankan.
Hantu itu tak pernah muncul lagi. Sementara itu nama kami sebagai Onmyoji semakin terkenal di masyarakat.
(* * *)
-Di sebuah atap sekolah, malam hari-
“Kau sudah terpojok, jangan lari lagi.” Kataku dingin.
Hantu itu beringsut ketakutan. Seorang hantu pria yang tampaknya telah gentayangan di sekolah ini sejak lama. Ini bukan sekolahku, hanya saja, pihak sekolah membayar kami untuk membasmi hantu disini.
Shota lalu melemparkan sebuah kertas mantera, dan hantu itu berteriak kesakitan. Kami pun berjalan mendekatinya. Tampak ketakutan begitu terpancar dari sorot matanya, seperti melihat..
Hantu?
Setelah kegiatan bunuh-membunuh ini, tatapan terakhirnya begitu membekas di hatiku.
Aku bertanya pada diriku sendiri.
“Siapa sebenarnya yang hantu?”
[END]
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Suka cerita yang ada unsur Indigonya.
cuma sampe dibagian dimana dia tau/nggak tau siapa yg sebenarnya hantu