Ivan kecil sedang bermain boneka panda kesayangannya di Hari Minggu yang cerah. Imajinasinya melayang mengawang menembus awan warna-warni pusara pelangi. Namun tiba-tiba mendung kelam datang. Papa menjelma menjadi monster badai, merenggut panda. Digantinya kekasih kecilnya itu dengan sebuah bola agar Ivan kecil bisa menjadi laki-laki. Ivan kecil pun murung, dia tak pernah bertemu panda lagi sejak hari itu.
***
Mimpi buruk yang menghantui, Ivan terperengah dari tidur siangnya. Seandainya memori bisa dihapuskan dari otak, dia ingin sekali menghapuskan bagaian kelam yang membayanginya hingga kini. Walau hal itu sudah terjadi bertahun-tahun lalu, kebencian itu masih terasa walau dia hanya bisa memendamnya saja. Tanpa bisa berbuat apa-apa.
Gitar klasik tua warna coklat tergeletak di pojok kamar. Diusapnya debu tipis yang menyelimutinya. Dipetiknya gitar itu sepenuh jiwa.
“When your day is done and you got to run, cocaine.” Sofi bernyayi dari daun pintu kamar. Ivan langsung berhenti memetik gitarnya ketika menyadari kakaknya.
“Kenapa berhenti? Itu lagu yang bagus. Jimi Hendrix, Cocaine. Bagaimana kamu tahu lagu itu” Sofi bertanya heran. Senyum tipis tersirat dari wajahnya yang berseri.
“Iseng aja.” Jawab Ivan.
“Hmm…iseng ya?” Sofi mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Hey coba lihat desain baju terbarumu dong.” Sofi mengalihkan pembicaraan.
“Aku lagi nggak desain.” Jawab Ivan dingin.
“Kenapa?” Tanya Sofi.
Ivan mengehela nafas panjang, memberi tanda bahwa dia sedang tidak berhasrat melakukan apapun. Sofi melihat adiknya dengan penuh perhatian. Mencoba menelisik apa yang sedang melanda adiknya itu.
“Jangan-jangan kamu sedang menyukai hal baru ya? Musik rock salah satunya.” Sergah Sofi.
“Maksudnya?” Ivan mencoba mengelak.
Sofi menunjuk layar dekstop komputer yang masih menyala. Sebuah portal website berisi info seputar musick rock terpampang nyata. Ivan tidak bisa mengelak dari tembakan kakaknya. Lidahnya kelu, tak bisa meracau dengan alasan-alasan sekenanya. Belum siap dengan alasan yang akan dibuatnya, Sofi tiba-tiba mendekatinya. Sofi menyandarkan kepalanya pada tembok, seolah ada beban berat yang tiba-tiba muncul dan tak mampu ditahannya.
“Kamu masih ingat pertengkaranku dengan papa. Waktu itu aku pulang larut karena pergi nonton konser musik. Papa menunggu di depan rumah ketiba aku pulang lalu mengusir teman-temanku. Aku sangat marah waktu itu.” Sofi bercerita.
“Aku masih ingat, aku melihat kalian bertengkar dari jendela.” Kata Ivan.
“Aku tidak pernah tahu kenapa papa bisa semarah itu padahal mama tak pernah seperti itu. Tetapi aku dengar dari mama, papa tak ingin aku menyukai musik apalagi menjadi seorang musisi seperti sekarang. Papa ingin aku menjadi seorang ekonom, seperti jurusan kuliahku dulu.” Sofi melanjutkan.
“Dan papa ingin aku jadi seorang ambassador.” Ivan menyambung.
“Hahaha…. Kamu tahu juga ternyata.” Sofi terkekeh.
“Aku anak laki-lakinya tahu!” Ivan berlagak sombong.
“Uhhh..mengerikan sekali. Kalau kamu berani aku tantang kau datang waktu aku latihan.” Sofi menantang.
Ivan tercengang dengan ajakan kakaknya. Walau Ivan sudah beberapa kali pergi ke konser musik rock dan bertemu dengan manusia-manusia serba hitam, tetapi masih ada rasa takut berada di tengah-tengah mereka. Terlintas di dalam benaknya ketika dia berada di tengah gerombolan konser dan harus berjibaku dengan tarian gila mereka. Ivan tidak bisa membayangkan harus bergumul dan berbicara dengan mereka ketika datang ke latihan kakaknya.
Seandainya Sofi tahu lubuk hati Ivan bahwa sebenarnya dia tidak menyukai musik rock. Hanya satu hal yang membuatnya terlihat membuatnya menyukai musik rock, yaitu Faris. Tidak ada hal-hal lain selain dia seorang. Seseorang yang sejauh ini hanya dia kenal sebatas nama saja.
***
Sofi berteriak-teriak memanggil Ivan yang tak kunjung keluar dari kamarnya. Begitu Ivan keluar Sofi sedikit terkejut karena adiknya tampak tidak seperti biasanya. Gaya fashionable adiknya tak terlihat sedikit pun, Ivan berdandan sangat biasa. Celana jeans dan kaos, tak ada yang nampak spesial. Dalam hati Sofi bertanya-tanya, ada apa dengan adiknya akhir-akhir ini. Perubahan yang cukup drastis itu sangat aneh baginya.
Akhirnya mereka berdua tiba di tempat latihan. Tempat itu tidak nampak seperti studio musik biasa. Jika dilihat lebih jauh malah lebih seperti tempat komunitas musisi rock berkumpul dan ada studio tempat mereka berlatih. Ivan diperkenalkan satu-satu dengan teman-teman Sofi. Melihat manusia-manusia serba hitam Ivan terserang panic attack. Tangannya gemetaran ketika bersalaman dengan orang-orang itu. Diantara mereka tertawa terkekeh, tetapi Sofi berusaha melindungi adiknya yang kikuk.
Ivan sedikit lega karena berada di ruang studio latihan, setidaknya dia tidak berada di tengah orang-orang menakutkan itu. Satu-persatu personil band kakaknya datang dan mereka pun segera melakukan persiapan. Ivan mengamati semuanya dengan detail, timbul rasa ingin tahu mengenai apa yang mereka lakukan. Terlebih dengan si gitaris yang bereksperimen dengan efek gitarnya. Ivan memang bisa bermain gitar namun dia sama sekali belum pernah memainkan gitar listrik sebelumnya. Suara distorsi yang dikeluarkan gitar listrik membuatnya sangat takjub. Ingar-bingar yang dipadu dalam suatu harmoni yang sangat menggairahkan.
Namun diantara permainan yan apik dan harmonis, dia lebih takjub lagi dengan sosok kakaknya. Dia diberkati dengan suara magis yang mampu menghipnotis pendengarnya. Seolah dia bisa memadukan garangnya neraka dan buaian surga. Bulu kuduk Ivan menegang, hampir dia tak mampu menahan air matanya. Kini dia mulai mengerti apa yang kakaknya cita-citakan dan inilah hasil dari perjuangannya.
Selesai latihan mereka berkumpul kembali dengan orang-orang yang berada di luar. Ivan tidak begitu paham dengan obrolan mereka sehingga memilih untuk diam saja. Beberapa kali dia mendengar namanya disebut-sebut oleh kakaknya.
“Adik loe juga rocker?” Tanya seorang teman kepada Sofi.
“Adik guwe bakal jadi rockstar suatu hari nanti!” Teriak Sofi.
Ivan tercengang dengan kata-kata kakaknya. Entah itu adalah sebuah pembelaan atau doa untuknya, tetapi untuk saat ini memandang manusia-manusia hitam saja dia kikuk apalagi berada di atas panggung disoraki mereka.
Mata Ivan tiba-tiba menangkap sosok yang tak asing. Seolah ada daya magnet yang menyeret pandangannya. Faris muncul dari kerumunan menuju arahnya. Digenggamnya sekuntum mawar merah di tangan kanannya. Hati Ivan tiba-tiba girang, dibayangkannya sosok pangeran yang datang membawakannya kejutan.
Kini Faris berjarak tak kurang dari dua meter darinya. Dia menyimpuhkan kakinya layaknya seorang laki-laki sejati. Dijulurkannya sekuntum mawar merah itu. Degup jantung Ivan terpacu menjadi sangat cepat. Dan semua seolah menjadi sangat lambat.
“I love you, Sofi!” Kata Faris.
Sofi yang duduk di samping Ivan kaget dengan kejutan itu. Dia tidak pernah menyangka jika Faris menyukainya. Ivan yang menyaksikan kejadian itu tiba-tiba runtuh. Kupingnya berdenging seolah tak mau tahu suara sekitar, matanya kabur tak mau melihat kejadian berikutnya.
Tiba-tiba ada kekuatan aneh yang mengendalikan Ivan. Dia beranjak dari tempat duduknya dan berlari keluar dari tempat itu.
“Braaaak…!!”
Ivan menggebrak pintu keluar tempat itu. Semua mata terpaku pada kejadian yang sangat cepat dan dramatis itu. Sofi yang menjadi pusara peristiwa bahkan tak bisa berkata apa-apa. Dia merasa adiknya baik-baik saja hingga Faris muncul di hadapannya. Kini dia dihantui oleh berbagai tanya. Apa yang sedang terjadi?
Ivan terus saja berlari tanpa tujuan. Hatinya kalut mengetahui bahwa sosok yang dia cintai secara buta ternyata menyukai kakaknya, bukan dia. Semesta tak menjawab doanya. Lalu kepada siapa dia akan mengadu? Ivan terisak sesak. Untuk pertama kali dia merasakan apa yang sering orang katakan dengan “patah hati.”
***
Papa membuka almari di dalam kamarnya. Ada satu bagian dari almari tersebut yang jarang sekali ia buka. Seolah ada sebuah rahasia yang sengaja ingin disimpannya rapat-rapat. Dibukanya rak yang berada di bagian bawah almari, disana terserak berbagai barang. Namun hanya satu barang yang menyita perhatiannya saat ini.
Diambilnya boneka panda milik anak laki-lakinya. Papa bersimpuh memandangi boneka itu. Tak ada lagi kutukan yang ingin ia lontarkan kepada boneka manis itu. Tak lain karena sebuah sebuah firasat yang mengantarkannya pada boneka itu. Dia pun berdoa semoga tidak terjadi hal yang buruk pada anak laki-lakinya setelah apa yang terjadi selama ini.
Comments
Stroke!
yukk marii dilanjut abang ganteng, hhe
setuju... jadi satu ajalah.. tulisan kamu bagus kok, jadi di depan atau di trit lanjutan gak jadi masalah.. tetap bagus kok.. repot ini ubek-ubek per part..
Se7 sama atas gw lebih baik jadikan 1 thread aja
humm..
lanjutannya satu trit aja lah, biar ga kebanyakan trit