Mari kita mulai dari pertanyaan jujur, apakah Anda sudah merasa bebas menjadi seorang LGBT? Jika hari ini Anda tiba-tiba memiliki harta berlimpah dengan akses terhadap pekerjaan dan tempat hidup layak, apakah Anda merasa lebih bebas menjadi seorang LGBT? Kenapa? Mari kita belajar tentang kelas di dalam masyarakat.
Struktur masyarakat terdiri dari lapisan-lapisan yang dikenal sebagai kelas. Kelas berasal dari bahasa latin classis yang menunjukkan pembedaan dalam masyarakat berdasarkan kekayaan atau jabatan sosial. Di zaman revolusi industri kita mengenal pembagian kelas atas kelas pekerja dan kelas borjuasi (pemilik alat faktor produksi). Berbeda dengan zaman revolusi industri, saat ini kita tidak lagi mampu mendikotomi kelas seperti itu. Kelas masih tetap ada di dalam masyarakat walau sangat samar.
Di dalam konteks Indonesia, penulis berpikir konsep trikotomis dari Robert Owen sangat relevan untuk menggambarkan kondisi masyarakat saat ini. Owen menggambarkan masyarakat terbagi menjadi tiga lapis yaitu lapisan bawah, lapisan menengah, dan lapisan atas. Perlu menjadi catatan bahwa mobilisasi kelas hari ini begitu cepat. Hal itu bisa dilihat dari fenomena Orang Kaya Baru (OKB) atau semakin banyaknya rakyat miskin. Tahukah kamu bahwa mereka sebenarnya adalah orang dari kalangan menengah yang dari persaingan atau harus turun kelas karena tersungkur dari persaingan.
Hari ini gerakan kawan-kawan LGBT mengusung bendera besar bernama perjuangan identitas. LGBT adalah sebuah identitas yang perlu diperjuangkan agar hak dan kewajiban diakui oleh masyarakat dan negara. Sejauh pengamatan saya sebagai pihak luar, perjuangan kawan-kawan LGBT masih berbingkai pada konsep seputar SOGI (Sexual Orientation Gender Identities). Padahal menurut penulis permasalahan komunitas LGBT lebih luas dari bingkai SOGI semata. Sebagai contoh adalah diskriminasi dalam mengakses berbagai fasilitas negara, pekerjaan dan tempat hidup yang layak karena mereka adalah komunitas LGBT yang notabene berasal dari kelas bawah.
Kenapa kita berbicara kelas sekarang? Mengacu pada pertanyaan di awal artikel ini. Saya melakukan sedikit wawancara sederhana kepada kawan-kawan gay. Saya melihat bahwa kebanyakan mereka merasa lebih bebas jika memiliki kekayaan yang lebih, dalam konteks kelas semakin tinggi kelas mereka maka mereka menjadi lebih bebas untuk mengekspresikan identitas seksual mereka. Salah satu orang yang saya wawancarai, seorang mahasiswa yang masih tinggal dengan orang tua, berkata bahwa dia tidak bisa mengekspresikan identitas seksualnya secara bebas. Namun suatu hari ketika dia sudah lulus kuliah dan bekerja, dia ingin hidup secara independen (terlepas dari orang tua) dan mencoba menjalin relasi dengan partnernya secara lebih terbuka.
Kasus diatas memang tidak bisa mengeneralisir kondisi komunitas LGBT, karena hari ini pun kita bisa menemukan seorang waria membuka dirinya di tengah kawasan slum perkotaan. Tetapi kasus diatas bisa memberikan wacana alternatif bagi gerakan :GBT ke depan bahwa sudah saatnya kita berpikir mengenai perjuangan kelas. Kita harus meyakini bahwa secara historis masyarakat terdiri dari berbagai lapisan masyarakat yang antagonistik dengan kepentingan yang berbeda-beda dan tidak terharmoniskan.
Siapa yang perlu kita perjuangkan? Menurut penulis kita harus memprioritaskan pada komunitas LGBT pada kelas masyarakat paling bawah. Mereka yang menurut hierarkhi kebutuhan Maslow belum terpenuhi kebutuhan dasar (fisiologis) dan kebutuhan akan rasa aman. Menurut penulis, ruh dari keberadaan gerakan LGBT adalah memperjuangkan orang-orang tertindas. Kecuali jika gerakan-gerakan itu adalah gerakan filantropis sayap kanan yang hanya suka berdiskusi di kalangan kampus nan penuh teori itu.
Penulis membayangkan jika gerakan LGBT berperspektif kelas, maka kita akan mulai pergi ke kolong-kolong jembatan menemui seorang waria yang sedang bersitirahat dari terik setelah mengamen. Kita akan pergi ke kawasan pemukiman kumuh dimana gay-gay diusur dari keluarganya. Apa yang lebih suci dari bertemu dengan akar rumput dan berbagi kebahagiaan dengan mereka?
Terakhir saya ingin mengutip perkataan Marx dan Engels dalam bukunya Manifesto, “Sejarah seluruh umat manusia adalah sejarah perjuangan kelas.”. Entah perjuangan identitas dan perjuangan kelas adalah soal perspektif. Tetapi saya kira kita tidak boleh mengacuhkan sejarah.
Comments