1 – Aku, dan hatiku.
Sebuah Kota, Agustus 2011
Hening. Siang yang panas ini begitu sepi. Tanpa sadar aku coba resapi detil-detil suara di ruangan sepi ini. Kamar kos-kosan yang sudah ku huni lebih setahun ini. Yang paling kontras dan kentara adalah suara deru kipas angin dan derik-derik kecilnya saat berputar sekitar dua ratus derajat berusaha menyejukan se isi ruangan ini, di tambah denting merdu permadani timah yang tertiup oleh kipas di samping jendela. Aku berbaring tepat di samping jendela, jendela yang terletak di sisi bagian barat kamarku. Dasar jendela yang rendah membuatku dengan mudah bisa melihat ke luar untuk menikmati senja atau bintang di malam hari.
Aku dikejutkan dengan pekikan feedback suara radioku yang mungkin sedang kehilangan sinyalnya. Aku sontak mematikan radionya saking kerasnya lengkingan itu dan posisi radio yang nyaris tepat berada di samping telingaku. Terasa suara itu berdengung dari gendang telinga hingga ke ubun-ubunku. Mengganggu sekali.
Aku bangun dari ranjang single bed ku. Lalu terduduk beberapa saat.
Bosan. Itulah yang terasa sekarang, tak tau apa yang ingin di lakukan. Seperti anak-anak lulusan SMA baru pada umumnya, aku sedang berada pada siklus peralihan dari akhir masa sekolah menuju masa kuliah. Sekarang masih harus menunggu hasil SNMPTN keluar. Tesnya minggu lalu, sekarang masih dalam masa harap-harap cemas menunggu hasilnya. Yeah, with nothing to do. Siang ini tingkah kejenuhan kepalaku mencapai titik maksimumnya. Jurus terakhir yang akan kupakai untuk mengisi kesuntukan semacam ini adalah mengisi lembar-lembar buku harianku dengan curhatan, sambil mendengarkan music melalui ponsel usang milikku dari zaman awal masuk sma dulu.
Comments
Aku bangun dari ranjang single bed ku. Lalu terduduk beberapa saat.
Bosan. Itulah yang terasa sekarang, tak tau apa yang ingin di lakukan. Seperti anak-anak lulusan SMA baru pada umumnya, aku sedang berada pada siklus peralihan dari akhir masa sekolah menuju masa kuliah. Sekarang masih harus menunggu hasil SNMPTN keluar. Tesnya minggu lalu, sekarang masih dalam masa harap-harap cemas menunggu hasilnya. Yeah, with nothing to do. Siang ini tingkah kejenuhan kepalaku mencapai titik maksimumnya. Jurus terakhir yang akan kupakai untuk mengisi kesuntukan semacam ini adalah mengisi lembar-lembar buku harianku dengan curhatan, sambil mendengarkan music melalui ponsel usang milikku dari zaman awal masuk sma dulu.
*
‘Buku harian. Kembali jadi senjata terakhir untukku jadikan alat pengisi kosong. Kosong. Kosong yang menyiksa. Hari minggu siang yang sepi, sepi sekali. Aku masih harus menunggu lebih dari dua belas jam lagi untuk senin besok mengikuti acara perpisahan siswa SMA. Tapi derajat kebosananku sudah mencapai batas maksimum ini, sedihnya aku tetap tak bisa berbuat banyak karena berjalan pun masih butuh bantuan tongkat atau di papah Juno. Kecelakaan sial itu betul-betul merepotkanku sekarang. Juno lama sekali pulangnya… Cuma dia satu-satunya yang di harapkan untuk membunuh sepi siang ini.’
‘Ah, jadi terpikir dia lagi kan. Aku tak mengelak dari ini lagi. Bukan hanya butuh Juno disaat sepi seperti ini, sekarang sepertinya untuk jauh darinya lebih dari sejam saja sudah begitu menyiksa. Merindukannya seperti merasakan dampak ekstasi yang masuk ke badan ini. Hahaha, aku tertawa sendiri menatap potret wajahku di cermin…’
‘Padahal dulu saat pertama bertemu, dia itu selalu terlihat seperti musuh dan masalah terbesar di hadapanku. Pribadi paling menyebalkan yang pernah hadir dalam hidupku. Membuat satu bogemku sempat bersarang di wajah tampannya itu. Tapi lihat sekarang, tiga tahun mengubah benci itu menjadi rasa mendamba dan menyayangi yang begitu dalam padanya.
‘Aku tau, rasa suka semacam ini tak diterima norma dan aturan. Cinta seorang lelaki kepada lelaki lainnya. Tapi yang namanya perasaan, kau sendiri kadang tak sempat menyadari kapan itu bermula, bertumbuh, hingga menjadi menggebu-gebu dalam gejolaknya. Seperti yang kurasakan pada Juno.’
‘Anak itu, dia tak pernah tau. Ada sepasang mata yang selalu menatapinya saat mulai terlelap di ranjangnya. Dan sebentuk hati yang selalu tulus mendoakan yang terbaik dalam segala yang ia lakukan. Mata yang hampir tiga tahun hanya terpaku pada satu focus, yaitu dirinya. Hati yang hampir tiga tahun ini terperangkap dalam satu pesona, yaitu dirinya. Hati yang telah lama mencintainya.’
‘Tapi mengungkapkannya bahkan hingga kelulusan kami ini aku masih tak sanggup. Kata-kataku yang sudah di ujung lidah seperti biasa akan tiba-tiba lenyap begitu saja saat menatap matanya. Mata polosnya yang tak tau apa-apa.’
‘Tapi tak apa. Selama aku bisa terus berada di dekatnya. Itu sudah cukup. Ia tak tau betapa bahagianya aku minggu lalu. Saat melihat pengumuman dari internet kalau kami berdua lulus ujian masuk perguruan tinggi jalur non tes. Tidak sia-sia kami belajar gila-gilaan saat persiapan ujian nasional dulu. Membayangkan masih bisa bersamanya untuk setidaknya empat sampai lima tahun lagi, begitu melegakan. Padahal sempat aku frustasi saat menyadari waktu bersamanya akan segera berakhir setelah kelulusan kami. Thank God.’
*
“Hmph…” desahku seraya menutup buku harianku.
Seperti biasa. Menulis buku harian cukup ampuh membuatku tenang, bahkan memperbaiki mood yang sempat terasa akan rusak. Menulis buku harian membebaskanku mencurahkan isi hati yang bahkan tak mampu ku utarakan pada satu sahabat pun di kenyataan.
Aku memutuskan mendekor ulang kamar kosan ku ini untuk mengisi kekosongan. Masih jam setengah sebelas siang, harusnya setengah jam lagi Juno kembali dari gereja.
Aku kembali tertawa sendiri untuk kesekian kalinya. Memandangi dua buah ranjang single bed yang terletak sejajar dihadapanku ini. Satu milikku dan satu lagi milik Juno. Sepertinya ini takdir, sebuah keberuntungan yang membuatku bisa sekamar dengan Juno. Tak pernah kubayangkan sebelumnya, menjadi teman sekamar Juno untuk masa kuliahku kedepan. Tentu menyenangkan sekali. Aku jadi tak sabar memulai masa-masa perkuliahan ini.
Dengan semangat aku merapihkan perlengkapan-perlengkapan belajar aku juga Juno ke meja belajar kami masing-masing. Karena kesibukan persiapan masuk kuliah, kami belum sempat berbenah kamar kami sampai tuntas. Sedikit kesulitan karena gerakanku masih terbatas akibat kakiku yang masih butuh bantuan tongkat untuk berjalan. Beres menata perlengkapan belajar kami aku kemudian menyapu lantai kamar kami yang sudah cukup berdebu. Terakhir aku merapihkan kembali kasur kami beserta bed covernya.
Aku menemukan sesuatu yang terselip di bawah bed cover Juno. Sebuah album foto berukuran kecil. Besarnya dua kali buku harianku. Walau awalnya ragu, rasa penasaran akhirnya membuatku memberanikan diri membukanya. Aku tersenyum kecil saat melihat foto di lembar pertama album foto berwarna biru tua ini. Foto seorang bayi kecil dengan popok dan kaos tipis bergambar doraemon. Bayi kecil itu tertidur begitu lelap dengan posisi tengkurap. Ada sebuah catatan singkat tepat dibawah foto bayi lucu itu.
“Juno Damian Lumintang. *****, 25 Desember 1993. Umur 10 bulan. Bayi kecil bunda, harapan dan bahagia keluarga kecil ini.”
Aku kemudian sadar sesuatu. Album ini pasti pemberian orangtua Juno padanya. Aku baru pertama melihatnya saat ini. Menyadari ini aku jadi ingat peristiwa naas dua tahun yang lalu, ibu Juno meninggal karena kecelakaan mobil. Jadi teringat lagi bagaimana hancurnya seorang Juno saat itu, ia yang biasanya selalu ceria dan tanpa beban saat itu nyaris terlihat seperti mayat hidup menjalani hari-harinya.
Benar saja, foto-foto dilembar selanjutnya menampilkan Juno dimasa-masa bayi hingga balita. Beberapa juga menampilkan foto ayah dan ibunya. Beberapa kali aku tertawa mendapati foto-foto lucu Juno kecil. Ternyata memang sudah punya bakat ketampanan sejak masih muda belia.
“Waaaa!!! Ramon!!!”
Aku tersentak saat tiba-tiba album foto yang sedang ku pegang terenggut dari tanganku. Ya Tuhan, aku tak sadar Juno sudah pulang.
“Ah… ma…maaf Jun, a…aku nggak sengaja lihat. Maaf.” Ujarku terbata. Pasti dia marah barang pribadinya di sentuh orang lain.
“Hmph…” Desisnya seraya duduk di sampingku diranjangnya yang sedang kududuki sekarang.
“Kamu udah lihat sampai mana?” Ujarnya sambil membuka lagi lembar-lembar fotonya di album.
“Eh… i…itu, sampai foto kamu pertama kali pake seragam TK.” Jawabku hati-hati.
Perkiraanku semula ternyata salah. Bukannya marah, ia malah tersenyum manis padaku. Berbaring di pangkuanku, lalu mulai bercerita tentang apa yang ia tau tentang foto-foto masa kecilnya itu.
*
“Hahaha, aku ingat foto ini. Hari pertama aku masuk SD. Saking kagoknya dengan lingkungan baru aku sampai nggak mau ditinggal ayah yang nganter aku ke sekolah. Mumpung waktu itu ayah sedang libur kerja, jadilah dia nemenin aku seharian di sekolah. Nungguin aku saat sedang jam pelajaran, sampe makan di kantin sama aku pas jam istirahat. Huhu, malu banget lah kalau ingat yang dulu-dulu.” Ujar nya sambil sesekali tersenyum menerawang ke ingatan masa lalunya itu.
“Haha, ternyata kamu cengeng juga yah?”
“Huuu, itu dulu. Tapi iya juga sih agak kelewatan. Kayaknya efek ayah dan ibu yang selalu manjain aku waktu kecil. Sampai SMP juga masih kayak gitu, sampai ayah dan ibu cerai saat aku masih kelas satu. Waktu itu kakek berinisiatif membawaku ke Balikpapan untuk bersekolah disana, katanya kakek dan nenek nggak mau aku kekurangan kasih sayang saat ayah dan ibu harus hidup terpisah karena bercerai. Tinggal dengan kakek yang super disiplin selama hampir tiga tahun benar-benar mengubah caraku berpikir, setidaknya menjadi lebih menghargai hidup.” Juno kini menutup album fotonya dan focus pada ceritanya sambil sesekali menatapku.
Aku sendiri, jangan di tanya. Susah payah memposisikan diri untuk tak terlihat salah tingkah.
“Dan kamu tau Ram, aku sempat tak menyadari kalau sebenarnya kakek punya maksud tersendiri membawaku jauh di Balikpapan. Jauh dari ayah dan ibu yang notabene punya pekerjaan tetap yang susah ditinggalkan di kota ini.”
“Well, kalau sama dengan yang di pikiran aku. Sepertinya itu memberi efek bagus bagi ayah sama ibu kami.”
“Exactly, nggak bisa dipungkiri aku ini anak tunggal mereka. Dan orang tua mana yang nggak akan merindukan anaknya yang terpisah jauh dari mereka. Setiap tiga bulan ayah dan ibu menyempatkan menjengukku di Balikpapan, di waktu yang selalu nyaris bersamaan. Dan kamu tau, nenek dan kakek punya seribu satu cara untuk membuat mereka menginap di waktu yang bersamaan. Lama-kelamaan aku mulai mengerti maksud kakek dan nenek. Mereka sedang berusaha menyatukan ayah dan ibu kembali.”
“Waaaa… kakek nenek kamu jadi pasangan cupid dong!? Terus-terus?” Sergahku bersemangat.
“Hehe, ya seperti itu lah. Misi itu terus berlangsung kira-kira dua tahun lebih, selama masa SMP ku. Di beberapa kesempatan aku ikut membuat alasan yang membuat ayah dan ibu akan punya waktu bersama dengan kami di Balikpapan untuk rentang yang lebih lama. Seperti tiap libur akhir semester dan akhir tahun. Akhirnya usaha nenek, kakek dan aku pun berbuah manis saat aku lulus SMP. Di hari kelulusanku, ayah dan ibu memberi aku hadiah terindah. Kabar keinginan mereka untuk rujuk kembali.” Kali ini Juno berujar dengan haru. Aku terdiam mendapati matanya berkaca-kaca saat bercerita.
“Itu pasti salah satu hari paling bahagia dalam hidupmu.” Sahutku pelan.
“Actually, still the best day of my life. Kebahagian seperti hal mudah bagi keluargaku saat itu, kakek kemudian mengijinkan, bahkan mengusulkanku untuk kembali melanjutkan studi di kota ini. Sungguh, tahun pertama SMA aku begitu bahagia melihat ayah dan ibu yang kembali bersama. Bahkan lebih mesra dari sebelumnya. Benar-benar tahun terindah dalam hidupku.” Ada jeda, Juno sepertinya tak sadar tetes airmata mulai membasahi wajahnya. Aku masih menyimak dengan hati yang haru.
”Hmph, walaupun ibu harus di panggil Tuhan secara tiba-tiba di saat kami kembali merengkuh bahagia itu lagi. Aku percaya ibu di atas sana, menatap aku dan ayah dengan bahagia. Aku sangat bersyukur punya ayah dengan hati yang begitu kuat dan tabah. Sungguh aku bangga punya orangtua seperti ayah dan ibuku.” Ujarnya sambil tersenyum haru. Senyumnya tetap begitu indah walau berbalut tangisan.
“Iya Jun, ayah dan ibu kamu orang yang hebat.” Ujarku pelan.
Tanpa sadar jemariku bergerak menyeka airmata Juno dari wajahnya. Beberapa detik, lalu aku kemudian tersadar dan segera menyingkirkan jariku dalam ke-salahtingkah-anku.
”Hmph…” Juno hanya mendesis pelan sambil tersenyum.
“Thanks udah mau dengar curhatanku Ram, makasih juga udah mau jadi sahabatku.” Ujarnya sambil tetap tersenyum, sambil jemarinya menggenggam jemari tanganku.
“………………………….” Aku hanya bisa tersenyum tanpa
mampu menjawab apapun.
Mendengarnya berujar, tentang bahagia maupun nelangsa kisah hidupnya. Aku seperti ikut larut di dalamnya. Ikut meresapi bahagia yang ia rasakan, dan ikut larut dalam sedih yang ia rasakan pula. Semua hal dalam dirinya, membuatku semakin mencintainya. Menyayanginya.
*
‘Tuhan. Aku sadar benar yang kurasakan ini adalah tak seharusnya, mencintai seorang lelaki. Aku tau sejak dunia dibentuk, Engkau menggariskan semua makhluk untuk hidup berpasang-pasangan. Maafkan hambaMu yang lancang ini Tuhan, tapi hati hamba masih terlalu lemah untuk berkilah dari semua ini. HambaMu ini terlanjur menyayanginya, bahkan lebih dari apa yang aku miliki sekarang Tuhan. Hamba akan ikut larut dalam bahagia, jika melihat dia bahagia. Dan akan ikut larut dalam nelangsa, jika melihat dia hanyut dalam tangisan. Ini hambaMu yang hina ya Tuhan, berseru menyampaikan isi hati hamba yang terdalam.’
*
Perpisahan SMA
Malam semakin larut, naum suasana di aula sekolah semakin meriah. Suasana hatiku campur aduk saat ini. Bahagia, haru, sedih, dan sedikit kesal karena beberapa aibku terbuka di depan sana. Aku dan Juno bersama teman-teman kelas tiga dan beberapa guru sekolah kita duduk berbaur di atas karpet menikmati malam terakhir kebersamaan kita setelah kelulusan.
Saat ini sedang di putar visualisasi kaleidoskop perjalanan kami selama tiga tahun menimba ilmu di SMA tercinta kami ini, SMA Negeri 1 *******. Lengkap! Sumpah lengkap. Dari foto-foto ‘tak senonoh’ kami saat masa orientasi siswa tiga tahun lalu, hingga foto kami kepergok main kartu di dalam ruang kelas (kelas 3, waktu itu sedang masa-masa penuh senggang menunggu hari ujian nasional, dan waktu itu main kartu sangat di larang di sekolah kami). Ada pula beberapa video yang sempat di abadikan dalam rangka berbagai hari besar sekolah kami, ulang tahun sekolah, pawai tujuhbelasan, valentine, paskah, natalan, hingga acara buka puasa bersama teman-teman yang muslim (biasanya mengundang seluruh penghuni sekolah dari berbagai agama) di tambah beberapa event lain yang sempat di laksanakan semasa kami bersekolah tiga tahun terakhir ini.
Ada yang meneteskan airmata, ada pula yang terbahak-bahak mendapati kenangan kenangan konyol yang sempat terabadikan dulu. Adapun yang melakukan kedua hal itu bersamaan, sepertiku. Aku tertawa sambil menangis saat video persiapan natal sekolah tahun lalu oleh kami para pengurus OSIS waktu itu. Aku ingat benar hari itu, kami sampai harus menginap di sekolah satu malam sebelumnya karena mengejar waktu mempersiapkan berbagai hal untuk acara perayaan natal sekolah besok harinya. Kami melakukannya dengan begitu bersemangat, kami berusaha keras membuat acara ini meninggalkan kesan baik yang mendalam bagi seluruh penghuni sekolah. Mengingat ini menjadi event terakhir dari kami siswa kelas tiga SMA ini.
“Hahaha, eh Ram? Aku nggak sadar loh kalau waktu itu kita di rekam. Kangen deh, nanti bisa sibuk-sibuk kayak gitu lagi sama teman-teman. Arrghh… aku pengen SMA terus rasanya Ram.” Juno berujar sambil merangkul pundakku, aku terdiam sejenak merasakan hangat tubuh Juno yang separuh mendekap tubuhku.
“Haha sama Jun, benar kata orang-orang… masa-masa SMA is the best, irreplaceable deh. Hahaha…”
Di samping Juno. Tanpa di sadarinya, menikmati momen indah ini. Menatapnya sedang tertawa sambil sesekali tersenyum haru dari dekat. Mendapat kesempatan merasakan rangkulan tulusnya, rangkulan seorang sahabat. Tanpa disadarinya, sudut mataku tak lepas mendapati indahnya wajahnya ketika tersenyum dan sesekali tertawa. Sungguh tak ada yang lebih indah dari merasakan bahagia yang juga sedang di rasakannya kini.
Acara terus berlanjut. Kali ini bagian malam apresiasi anak-anak kelas tiga kepada guru-guru yang selama ini sudah berjasa mengambil bagian mendidik kami selama kami menimba ilmu di sekolah ini. Dimulai dengan apresiasi untuk para wali kelas. Masing-masing ketua kelas atau perwakilan kelas maju ke depan mimbar lalu memberi cindera mata kepada wali kelas masing-masing setelah sebelumnya memberikan sepatah dua patah kata untuk wali kelas kita masing-masing, tiga kelas untuk jurusan IPA, tiga kelas untuk IPS dan dua kelas untuk Bahasa. Rata-rata diliputi haru dan jenaka, seluruh peserta acara larut dalam bahagia dan kebersamaan. Rangkaian acara kemudian diakhiri dengan pesta
dansa di dalam aula.
***
“Ram! Ramon!”
Mataku menjelajah mencari suara yang memanggilku, agak sedikit semu karena bising suara music pengiring dansa. Suaranya familiar, suara Juno.
“Ramon! Di atas!”
Ketemu, dia ada di balkon aula. Tepat di tengah. Bersandar di pagar pembatasnya menghadap ke mimbar aula.
“Juno, ngapain di situ?”
“Ke sini dong, temenin. Males di situ, berisik.”
“Hmm, ok. Wait there.” Aku melangkah dengan semangat. Harus berjalan memutar mengelilingi aula karena nyaris penuh sesak oleh pasangan-pasangan penari.
Juno menyambutku dengan senyuman dan segelas cola yang entah kapan dipersiapkannya.
“Hhhh… makasih.” Ujarku seraya mengambil cola dari Juno, toast, lalu meminumnya bersama.
Kami terjebak hening untuk beberapa saat. Lebih tepatnya sama-sama menikmati keheningan ini. Entah Juno tau atau tidak, di sampingnya aku merekam setiap detik dari momen indah ini bersamanya. Juno masih punya kebiasaan unik seperti pertama aku menemuinya dulu. Dia pada dasarnya suka menyanyi, tapi selalu malu untuk memperdengarkan suaranya pada sekitarnya.
Seperti saat ini. Bibirnya bergerak-gerak dengan suara kecilnya mengikuti lirik lagu yang sedang di putar sebagai pengiring dansa di bawah sana.
How can I just let you walk away
Just let you leave without a trace
When I stand here taking every breath
With you, you’re the only one
Who really knew me at all
How can you just walk away from me
When all I can do is watch you leave
Cause we’ve shared the laughter and the pain
And even shared the tears
You’re the only one
Who really knew me at all
*
“Ehm, kalo nyanyi tuh yang kenceng dong… suara bagus di simpen sendiri.” Sindirku menghentikan sejenak tariannya.
“Hah? Hahaha, kamu dengar ya? Aduh, jangan ah… malu…” Sahutnya tersipu.
“Huu, kamu dari dulu juga gitu…” selorohku setengah merajuk.
Juno hanya tersenyum lalu mengambil gelas cola yang hampir habis isinya dari tanganku, lalu meletakannya di dudukan tribun di belakang kami.
“Ya maaf, hehe. Than sing, I love dance the more…” Ujarnya lalu berbalik menghampiriku seraya mengulurkan tangannya layaknya seorang mengajak berdansa.
“Would i?”
“What? Juno, a…aku…”
“Oh, ayolah Ram… jangan lupa kamu masih punya hutang berdansa di depanku. Itu sudah lama sekali, tapi aku masih ingat. Kamu kelamaan nyari partnernya, kita udah lulus ini! jadi… nggak ada alasan untuk nolak.”
Entah apa yang ada di pikirannya, segera setelah kalimat terakhirnya itu selesai. Lengan kirinya menarik pinggangku hingga tubuh kami nyaris menempel, lalu jemari tangan kanannya bertaut dengan jemari tangan kiriku. Kali ini, kami berhadapan untuk pertama kalinya dengan posisi sedekat ini. sungguh, aku ingat saat itu. Jantungku kembali berdebar tak karuan mendapat perlakuan dari Juno seperti ini.
“Haha… tak ada pacar, Ramon pun jadi! Hahaha…”
“What? Oh, let me hit you here…” Aku tersentak, berusaha berontak tapi Juno kian mempererat dekapannya.
“Eh eh eh… hehe, iya deh iya aku nggak ngeledek lagi.” Sahutnya manja. Dia tak pernah tau, nada bicaranya seperti itu selalu sukses membekukan tubuhnya yang sedia meledak marah sebenarnya.
Aku tak mengerti, sebagai apa Juno menempatkanku di hatinya. Dan tak cukup berani untuk lancang berharap kalau ia juga punya rasa yang sama dengan yang ku rasakan padanya. Aku tak mengerti, dan tak ingin mengerti. Yang ingin ku lakukan sekarang hanyalah, aku ingin menikmati. Menikmati setiap masa yang masih bisa kami lalui bersama.
“…. So take a look at me now, cause there’s just an empty space. And there’s nothing left here, to remind me just the memory of your face… So take a look at me now, cause there’s just an empty space. And you coming back to me is against the odds, and that’s what I’ve gotta face…” Kembali kemudian satu kejutan manis dari Juno menggetarkan hatiku.
Suara baritonnya yang indah, memanjakan telingaku dengan lantunan lagu itu. Dia tak pernah sadar, dikaruniai suara begitu indah dari yang Kuasa. Selalu terasa berlebih di telinganya jika ada yang memuji suaranya, siapapun itu. Sungguh, ingin aku menangis segera saat itu. Juno, untuk kesekian kalinya memberikan bahagia yang tak terkira dalam hidupku. Aku diam, diam dalam perasaan yang campur aduk. Bahagiaku tumpah ruah.
“Ram, terima kasih ya…” Tiba-tiba ia berujar, setelah nyanyian indahnya usai.
“U…untuk apa Jun?”
“Semuanya, kamu benar-benar sahabat terbaik yang pernah aku punya. Aku harap persahabatan kita bisa terus terjalin selamanya.”
“I…iya Jun, aku juga berharap begitu.”
Aku mengambil resiko, menuruti kata hatiku yang sedang bergejolak ini. Lenganku balas memeluk Juno dengan erat, membuat tubuhku bersandar sepenuhnya ke tubuh tegapnya. Aku hanya ingin menikmati kebahagiaan ini sedikit lebih lama lagi. Walau bayangan menakutkan kata 'perpisahan' mungkin saja menghampiri kita. Entah apa yang di pikirkan Juno saat ini, ku harap tak terlalu buruk...
Pesta dansa usai. Pertanda seluruh rangkaian acara malam perpisahan SMA telah berakhir. Juno mengantarku pulang ke rumah dengan motornya. Dalam perjalanan, ia menyuruhku memeluknya erat. Ia ingin mengebut agar bisa cepat sampai rumah. Membuat satu lagi akhir hari yang bahagia antara aku dengannya. Sekali lagi, yang menurutnya biasa tetapi bagiku begitu berharga.
‘Dia. Sekali lagi menjebakku dalam tanya yang menyiksa. Yang membuatku selalu mengutuk diri jika berani memikirkannya.
“Apa dia menyukaiku?” “Apa dia punya perasaan yang sama denganku?” Memikirkan semua itu akhirnya hanya akan membuatku menangis tersedu, meratap dalam tanya yang tak mampu kutemukan jawabannya. Sahabat terbaik yang ia miliki… pantaskah gelar itu ia sematkan padaku? Aku tak berani membayangkan apa yang akan terjadi jika ia tau seperti apa diriku sebenarnya. Aku takut, sangat takut.’
Tarik Koko @Tsunami
serba-salah kalau udah jatuh cinta ama sahabat ya.. hmmm
pilihan katanya bagus. titip mention ya mas.