Malam yang aneh bagi Faris, lelaki asing tiba-tiba menghampirinya. Sosok yang tidak ia kenal sama sekali. Belum pernah ia mengalami hal seperti itu sebelumnya. Mungkin dia harus membiasakan diri menjadi seorang “rockstar” dengan fansnya. Tetapi apakah seorang fans, apalagi seorang laki-laki, sampai sejauh memberikan nomor telpon? Faris berkali-kali melihat telapak tangannya tidak percaya apa yang dialaminya.
“Sup mate?” Sapa teman Stevy, si vokalis grup band.
“Kamu terlihat kosong, apakah ada yang tidak beres dengan performance kita malam ini?” Tanyanya.
“Bukan..bukan, tapi ini.” Faris menunjukkan deretan nomor telpon yang tertulis di tangannya.
“Wow man! You’ve got fuckin fans.” Stevy terkejut.
“Wait, ini dari dia!” Faris menunjuk Ivan yang sedang duduk di sisi bar lain bersama teman-temannya.
“Maksudnya laki-laki itu?” Stevy kebingungan. Faris mengangguk-anggukan kepalanya.
“Sepertinya dia tidak asing bagiku.” Kata Stevy.
“Siapa dia?” Tanya Faris.
“Dia mirip seperti adiknya Sofi.” Papar Stevy.
“Sofi……” Faris melihat Ivan. Matanya menghantui sosok asing itu, menelisik tanya mengenai siapa dia gerangan. Tiba-tiba bulu romanya berdiri. Dia mual dan merinding.
***
Hari-hari dalam penantian, bahkan Ivan tidak sadar bahwa sudah tiga pekan dia menunggu nomor asing yang akan berkata bahwa ini dari seorang “rockstar” yang ia puja. Hampir-hampir dia gila karena setiap nomor asing yang menelpon atau meng-sms, Ivan selalu bertanya apakah ini dengan “FRZ”. Ivan membacanya tanpa huruf vokal sehingga terdengar begitu sangat aneh.
Beberapa kali dia bertanya kepada temannya mengenai jadwal panggung band idolanya, namun mereka tidak tahu sama sekali. Dengar-dengar dari temannya, mereka sedang fokus untuk menggarap sebuah album sehingga tidak manggung lagi. Mendengar hal itu Ivan seolah mencari pemakluman bagi idolanya. Tidak mungkin dia mengacuhkannya mentah-mentah tanpa sebuah alasan.
Tidak bisa menemuinya dari dunia nyata, Ivan mulai menjadi seorang fans dari dunia maya. Dia mulai mengumpulkan berbagai informasi dari band rock idolanya yang dikenalnya sebagai “Revivalis”. Tidak begitu banyak informasi yang berhasil dia peroleh. Sebuah band indie memang tidak didukung dengan promosi gencar di dunia maya. Kebanyakan hanya disupport oleh komunitas lokal saja.
Pintu kamar Ivan diketuk. Sofi, kakak Ivan masuk ke kamarnya.
“Hi, sorry kalau ganggu. Tetapi sebelumnya aku ingin jelasin ini adalah rencana Mama.” Kata Sofi. Ivan bertanya-tanya ada apa gerangan.
“Nanti malam aku main di kafe. Mama bilang mungkin kita sekeluarga bisa pergi bersama. So, what you think?” Tanya Sofi agak sungkan.
“Oke.” Jawab Ivan singkat. Seolah enggan bercakap dengan kakaknya sendiri.
“Okeee..” Jawab Sofi sambil menghela nafas panjang. Dia segera menuju pintu dan bermaksud keluar dari kamar ketika Ivan mulai mengacuhkannya.
“Kak...!” Panggil Ivan tiba-tiba. Sofi terperanjat.
“Kamu suka musik rock kan? Apa yang membuatmu suka musik rock?” Tanya Ivan. Sofi kebingungan. Jarang sekali Ivan mengajaknya berbincang, bahkan kali ini dia bertanya mengenai hal yang cukup serius.
“Kenapa bertanya seperti itu?” Tanya Sofi balik.
“Jawab saja!” Ivan bernada serius.
“Musik rock adalah anti-tesis dari musik pop.” Jawab Sofi sekenanya karena tak bisa mengelak.
Ivan takjub dengan penjelasan kakaknya yang sangat singkat tetapi dalam. Dia pernah mendengar mengenai budaya alternatif atas budaya pop dari kuliah yang dia ambil di jurusan komunikasi. Dulu teori-teori yang diperolehnya itu terasa sangat mengawang-ngawang, tetapi pelan-pelan absurditas itu merekat bersama realitas yang dia temui akhir-akhir ini mengenai dunia musik rock.
Malam pun tiba, Ivan tampak sudah siap menunggu keluarganya di ruang tamu. Mama heran melihat Ivan yang cukup antusias untuk pergi ke kafe melihat kakaknya bermain musik. Seperti bukan hal yang biasa, tetapi mama tidak terlalu mempertanyakan hal itu. Cukuplah dia melihat semuanya secara positif, baginya keutuhan dan kebahagiaan keluarga adalah yang utama.
Sesampainya di Kafe, Sofi sudah menunggu di meja yang telah ia pesan untuk keluarganya.
Pelukan mama menyambut Sofi dengan hangat, memberikan dukungan agar penampilannya malam ini berjalan dengan lancar. Ivan segera duduk, matanya menelisik berbagai penjuru ruangan kafe itu. Manusia-manusia berdandan serba hitam, nuansanya tidak jauh berbeda dengan konser rock yang dia datangi akhir-akhir ini. Bedanya kafe ini terlihat lebih eksklusif, termasuk orang-orang serba hitam itu yang berdandan gahar namun rapi. Sekilas Ivan melihat papanya yang terlihat cukup risih. Dilipatnya kedua lengannya di dadanya yang bidang seolah sedang memasang benteng pertahanan atas hal-hal tak ideal yang ia lihat di ruangan kafe ini.
Tiba saatnya Sofi bermain di panggung. Riuh tepuk tangan menyambut seorang “lady rocker”. Ivan tidak pernah menyangka bahwa kakaknya bisa sepopuler itu. Alunan musik mulai bergeming dengan tempo cepat. Sofi menyanyi dengan penuh enerjik, jiwanya merasuk ke dalam alunan musik dan kata-kata yang ia lantunkan. Sebuah pertunjukkan yang sangat hidup.
Tidak ada yang berjoget liar, tidak ada yang bertepuk tangan. Seolah semua terbius, terseret ke dalam pusara kekuatan magis dari pertunjukkan. Hingga akhirnya Sofi membawa penontonnya mencapai klimak dengan suara “trance-nya”. Lalu diakhiri dengan suara lengkingan yang membelalakkan mata penonton dari segala penjuru.
Sofi membungkukkan tubuhnya, memberikan penghormatan kepada penonton atas apresiasi yang diberikan kepadanya. Dari meja terdepan, berdiri dua orang laki-laki dengan tepuk tangan dan sorakan yang paling meriah. Sofi beranjak dari panggung dan memeluk salah seorang laki-laki itu. Ivan mengernyitkan dahinya, seolah dia mengenal seorang laki-laki yang Sofi hampiri.
Sofi mengajak dua orang laki-laki itu ke meja dimana keluarganya melihat dari tengah. Dikenalkannya dua orang laki-laki itu kepada keluarganya.
“Ma, kenalkan mereka sahabat Sofi, Stevy dan Faris.” Sofi memperkenalkan kedua temannya.
Ivan menganga tidak percaya. Dia meyakini bahwa dunia adalah alam paralel tetapi tidak pernah menyangka bahwa bisa sekecil dan sedekat ini. Lelaki yang ia idolakan kini duduk berhadapan dengannya. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan, bahkan dia tidak tahu apa yang sedang ia rasakan saat ini.
S
atu hal yang ia tahu saat ini. Kini Ivan tahu ada huruf vokal diantara “FRZ”, ada “A” dan “I” diantaranya.
Mulai kini dia bisa memanggilnya
“FARIZ”.
Comments
entar kelanjutannya bakal lama lagi gak?
@September 20
@d_cetya
@tarry
@lulu_75
@caetsith
@kiki_h_n
@3ll0
@ramadhani_rizky
@Adityaa_okk
@animan
@yuzz
@Mangki36
@D_Phoenix
@reza_agusta89
@Tsunami
Maaf kawan-kawan, saya buka thread lagi untuk kelanjutan cerita. Saya pikir tulisannya lebih rapi kalau dipostng dihalaman muka.
http://boyzforum.com/discussion/16746772/you-re-rockstar-i-am-faggot-part-3
Tepat sekali wilhemina !