Ada yang tak kunjung hilang dari ingatan. Tentangnya dan tentang jalan itu. Cinta yang terlalu pahit. Entah aku tak tahu apa nama jalan itu, namun di sanalah aku dan dia bertemu.
Rencana malam mingguanku batal, hujan rintik-rintik memaksaku berteduh di sebuah kios sederhana yang memiliki emperan yang cukup menjorok ke arah jalan, memberiku ruang untuk berteduh. Sebagai basa basi, aku membeli sebungkus rokok filter. Dan dialah pemilik sekaligus penjaga kios sederhana itu.
“Pulang kerja, mas?” tanyanya. Sebuah pertanyaan basa-basi.
“Ya, begitulah,” jawabku sekedarnya.
Dan hujan tak juga berhenti, bahkan bertambah deras.
“Sialan, aku terjebak hujan di sini,” gumamku.
“Jangan menyesalinya, mungkin ini berkah dari langit,” kata mas pemilik kios. Rupanya dia mendengar gumamanku.
“Hehehe… iya juga, mungkin banyak orang yang mendapat berkah dari turunnya hujan,” kataku menanggapinya.
“Masuk saja mas, dari pada di situ kena tampias air hujan. Nanti bisa basah,” katanya.
Agak ragu-ragu, tapi mau, akhirnya aku pun memasuki kios itu. Sebuah ruang cukup sempit yang terletak di belakang etalase sederhana. Ada dua kursi plastic, sebuah televisi kecil dan beberapa perlengkapan pribadi.
“Malam mingguan, mas?” tanyanya berbasa-basi.
“Rencananya begitu, tapi nggak jadi, deh. Soalnya hujan, dari pada nanti masuk angin,” jawabku.
“Yudha,” katanya memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan. Aku menyambutnya berjabat tangan.
“Zura,” kataku singkat.
Yudha masih muda, mungkin seumuran denganku. Kuakui dia cukup ganteng dengan rahang yang tegas dan badan yang proporsional. Kami duduk sangat dekat. Aku merasakan hawa hangat menguap dari tubuhnya meski kami tidak bersentuhan badan.
“Tanganmu dingin sekali. Kau kedinginan?” kata Yudha masih sambil berjabat tangan denganku. Rupanya aku masih memegang tangannya, lalu kemudian kulepaskan.
“Jangan khawatir, aku baik-baik saja,” kataku sambil mengosok-gosokkan tanganku dan memasukkannya ke dalam saku celana jeansku.
Di kios sempit itu, aku dan Yudha ngobrol sambil menjaga kios, melayani pembeli, menghabiskan waktu menunggu hujan reda seperti kawan lama. Entah mengapa aku suka ngobrol dengannya, padahal baru kali itu kami bertemu.
Dan ketika hujan telah reda, waktu telah terlalu malam untuk acara malam mingguan. Dengan perasaan berat aku pun berpamitan.
“Makasih sudah memberi tumpangan tempat berteduh,” kataku.
“Jangan sungkan, mas. Cuma tempat berteduh saja,” jawabnya.
“Malahan saya yang berterima kasih, Zura sudah menemani saya jaga kios,” kata Yudha.
“Kapan-kapan boleh mampir lagi, kan? Meskipun tidak sedang hujan?” kataku.
“Boleh. Saya senang bias ngobrol sama Zura, sambil menjaga kios, supaya tidak jenuh,” kata Yudha.
Tapi sejurus kemudian aku melakukan sesuatu yang sangat bodoh. Aku merasa Yudha bukan sekedar teman yang baru kukenal, tapi aku merasa bahwa dia lebih dari itu. Entah mengapa aku memiliki dorongan yang begitu kuat, aku menciumnya, mencium pipinya. Yudha begitu kaget, dan langsung mendorongku.
“Kamu HOMO ya?” kata Yudha.
“Nggak tahu Yud,” jawabku cuek dan tidak meyakinkan.
“Gila, Zura. Kamu beneran homo,” katanya dengan ekspresi bergidik ngeri.
“Maaf, aku telah bersikap kurang ajar, padahal baru kali ini kita bertemu. Aku telah merusak awal persahabatan kita,” sesalku.
Dan dengan hati yang hancur lebur, aku beranjak pergi.
Comments
kek nya crt bkl trs lanjut ke jln2 lainnya di kotanya..
yah... namanya juga khilaf..
@octavfelix
pengin bikin lanjutannya, tapi masih sibuk...
@lulu_75
hehehe... suasana dingin.... pernah ngalamin yang kayak gitu kah?
kayaknya cerita singkat saja deh ya.. kalo dipaksa lanjut jadinya kayak sinetron.
;-)