Adam Levine sedang bernyanyi melengking di earphoneku sementara aku masih melangkah cepat di atas treadmill. Aku dapat melihat lalu lintas yang masih lengang dari jendela luas yang terpamang di depanku. Ini masih belum genap pukul tujuh pagi. Aku melirik kananku. Deretan tradmill masih kosong. Hanya ada seorang wanita dengan balutan tanktop navy dan celana stretch sedang berlari kecil. Telinganya tersumbat earphone, sama sepertiku. Kecepatan treadmillku berkurang dan akhirnya berhenti. Aku mengambil tumblerku dan meneguk isinya. Berjalan menuju alat lain, saatnya melatih bahu.
Fitness center berlantai dua ini terletak di sebuah pusat perbelanjaan baru di kotaku. Dan, yang penting, hanya berjarak kurang dari lima menit dari kantorku, by walk. Yippie! Setelah rencana untuk berusaha bugar harus terbengkalai ketika di kantor lama yang bagai penjara. Seorang pria dengan kaus tanpa lengan sedang berlatih dada di sebelahku. Kami bertatap mata sejenak dari pantulan cermin. Aku bersiap berlatih set pertama. Kaca masih memantulkan refleksi kami berdua. Tampak keringat di dahi pria itu. Aku mengamati profilnya: thirty something, bayangan facial hair tipis di pipi dan dagunya, rambutnya bergaya stylish modern, kaki yang kokoh menahan beban, lengan yang tampak kuat hasil latihan. Hm, kulitnya coklat bersih. Pria itu tersenyum. Bibir bawahnya sedikit tebal, senyumnya manis dan hangat. Hatiku berdesir. Aku refleks melanjutkan latihanku.
"Sudah lama latihan disini?", suaranya dalam namun renyah. Serenyah keripik kentang yang sering ku jadikan cemilan sembari menunggu jam pulang kantor.
"Baru tiga bulan.", aku menjawabnya sambil tersenyum.
"Saya Pras."
"Saya Sentana."
"Saya baru lihat kamu di sini."
"Biasanya latihan malam pulang kantor."
"Oh."
Aku mengangguk. Menyudahi latihanku.
"Duluan, Mas."
Aku melangkahkan kaki ke loker setelah melirik jam dinding yang terpasang di belakangku.
"Saya juga. Sudah harus siap-siap."
Kami berjalan menuju loker bersama. I don't why, but my mind is telling that he is same like me. Um, should I say it? I don't think so.
Pras membuka baju dan celananya. Dengan berbelit handuk, ia melangkah menuju shower. Dan aku menangkapnya, sebuah kerlingan jahil sebelum ia memasukki bilik shower. Damn!
*
Aroma Fleur d'Oranger dari Sephora masih melekat di tubuhku ketika aku mengantri di kasir Starbucks. Ekor mataku menangkap sosok Pras dengan kemeja kerjanya. Berjalan keluar menuju sebuah sedan silver metalik. Aku tersenyum, pada barista yang menunggu pesananku, Double Shaken Espresso, make it short.
*
"Mas, ada tamu di lobby. Mau nanya untuk wedding.", Irene, Guest Relation Officer mencolekku dari belakang. Aku menganggukkan kepalaku mantap.
"I'm coming."
Irene berjalan keluar kantorku kembali menuju lobby. Langkah kakinya beradu dengan lantai marmer menimbulkan suara ketukan yang tegas namun elegan. Aku memasang dasi dan memakai blazer yang selalu memeluk punggung kursi, mengambil name tag dan memakainya di dada kiri. Berjalan mengambil sales kit dan berpatut sebentar di depan cermin. I'm okay.
"Daya tampungnya memang tidak terlalu besar. Cocok untuk pesta yang hangat dan intim. Tinggi ceilingnya delapan meter, dan biasanya pelaminan di sisi ini."
Gadis ini nampak anggun dan elegan. Rambutnya di sanggul croissant dengan sirkam kemilau, blouse dengan kerah sabrina menampilkan jenjangnya leher, pencil skirt dan stilleto menyempurnakan pesonanya. Hm, who's the lucky guy? Aku selalu berpikir ketika bertemu dengan calon klienku. Who's the lucky woman? Why this charming guy choose this woman to be her future wife and mom? How long they have been and how long they will be?
Handphonenya berdering, Anita, nama gadis ini menyebutkan kata "ballroom, lobby level, naik lift". Sedang memberikan petunjuk menuju ruangan ini. Dan benar saja, seorang pria kemudian melangkah masuk menghampiri kami. Aku menahan napas. Anita merangkul pinggang pria yang berdiri di depanku. Aku menatap wajahnya. Ia nampak canggung. Aku mengulurkan kartu namaku, "Sentana, banquet sales executive. Pasti ini calonnya ya Mbak Anita? Gagah loh." Anita tertawa kecil sambil mengangguk. Pras menerima kartu namaku. Ia mengulurkan kartu namanya. Ignatius Prasantya Nugraha, Branch Manager.
Anita mengulurkan tangannya sambil tesenyum hangat. "Thank you atas waktunya ya Mas. Kami tunggu Wedding Packagenya."
Aku mengangguk. Anita berjalan dulu sementara Pras mengulurkan tangannya. Ia mencondongkan badannya.
"Call me."
Aku tersenyum. Mengingat cumbuan hangat kami di bawah kucuran shower pagi tadi. Mengingat pagutan demi pagutan yang kami nikmati. Aku membungkukan badanku melepas langkah kaki mereka. Berbalik ke arah kantor, melihat lagi kartu namanya dan merobeknya menjadi empat.
***
Comments