It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
By: lian48
Enjoy it...
NP: idenya sih mainstream tapi semoga bisa dinikmati dengan mudah, dan ini lebih condong curhatan hidupku sih.. idenya juga dadakan .
-Adam POV-
TIITTTTTTT
Aku terkejut saat mendengar suara klakson penuh emosi dari para pengendara, saat aku mendongak rupanya sudah lampu hijau. Haah... aku melamun di lampu merah lagi, aku gerakkan leherku yang terasa kaku kemudian menyesap kopi yang ada di dasbor mobilku.
Aku uring-uringan, tidak bergairah dan unmood. Mungkin aku berada di titik jenuh memiliki kehidupan seperti ini, bangun pagi-pagi untuk kerja, pulang di larut malam, tidur dan besoknya kerja lagi. Flat... melelahkan dan menjenuhkan.
Bukankah menjadi pria mapan dan memiliki pacar yang manis adalah impianku dari dulu? Tapi entah kenapa aku mulai kehilangan kebahagiaan. Oh ya, aku memiliki pacar yang biasanya selalu jadi dongkrak mood untukku, tapi semenjak dia kuliah beberapa bulan ini jarak kami jadi jauh.
Mungkin dia kelelahan dengan aktifitasnya, sehingga ketika aku berangkat kerja dia belum bangun sedangkan ketika aku datang dia sudah tertidur. Ah shit! Aku baru menyadari jika sudah dua bulan kami tidak bercinta. Hubungan macam apa ini?
Sesampainya di rumah kami aku langsung masuk ke dalam rumah dengan gesture yang cukup emosi, kepalaku benar-benar sakit karena berbagai tekanan. Aku harap Fahmi kekasihku belum tidur karena Cuma itu satu-satunya hal baik yang aku harapkan bisa datang hari ini.
Senyumku langsung mengembang saat aku melihatnya masih terduduk di depan TV, seolah ada kupu-kupu yang terbang di dadaku. Entah kenapa aku merasa kami seolah pasangan LDR yang baru berkesempatan bertemu setelah sekian lama.
Aku langsung mendekapnya dari belakang sambil tersenyum manja namun yang aku dapatkan justru pekikan kesal, “Aaaagh! Mati kan! Kaka ngapain sih?” tanyanya ketus sambil membanting stik PSnya.
Hal itu sukses membuat moodku semakin hancur, tapi aku menghela nafas panjang dan kembali mengembangkan senyuman palsu dengan harapan dia kembali terpana denganku, tapi sepertinya dia justru mengalihkan pandangannya pada monitor.
“Kangen... love you..” bisikku sambil menggesekkan hidung mancungku kepada sosok imut di depanku ini, tapi dia bersikap kaku tanpa ekspresi.
“Ok ok..” hanya itu jawaban yang aku dapat dari Fahmi?
Aku tetap bersabar. Menghirup aroma shamponya membuatku cukup tenang, aku merapatkan tubuh, melingkarkan tanganku pada pinggangnya sedangkan bibir lembabku mencoba meraih tengkuknya. Tapi dia bersikap seolah ogah-ogahan akan sentuhanku. Ada apa ini? apa dia bosan denganku? Jangan-jangan ada pemuda lain yang lebih perhatian dan sekarang menendang posisiku dari hatinya? Membayangkan semua itu membuat mataku terasa panas.
Astaga.. apa yang aku pikirkan. Fahmi bukan orang yang seperti itu, dia hanya lelah. Aku kembali bergelayut manja dan kini berbaring di pahanya, “Kaka capek dek, pegel.. pijitin dong..” bujukku sambil mengusap tangannya.
Tatapannya sangat serius pada monitor, aku bahkan tidak yakin dia mendengarkan ucapanku. Dadaku bagaikan bom waktu yang sebentar lagi akan meledak namun tetap aku tahan, aku mencoba bangkit di antara lingkaran tangannya yang memegang stik sehingga posisinya seolah memelukku, dia tatap wajahku sekilas seolah tatapannya berkata, ‘Apa-apaan sih..’
Aku mencoba mengecup bibirnya tapi dia membuang muka, “Males...” desisnya pelan.
Aku tidak membalas ucapannya, aku tarik dagunya dengan paksa tapi dia bersikeras mendorongku. Kesabaranku benar-benar habis, “Kamu pacar macam apa sih! Aku lagi capek minta dilayani, kamu malah asik sendiri, kamu gak mikir apa aku kerja mati-matian kaya sekarang buat siapa? Buat kamu dek! Kamu sudah bosan hah punya pacar sibuk? Gak perhatian? Sudah ada yang lain hah?”
Dia cukup shock akan reaksiku, tanganku sangat gatal ingin menghajarnya tapi aku tetap menahannya, “Kakak ngomong apa sih...” lirihnya pelan sambil mencoba meraih tanganku. Tapi aku tepis tangannya, aku lepaskan dasi dengan gesture marah, aku keluar dari rumah itu sambil membanting pintu kesal.
Terlihat Fahmi mengikutiku, dia menarik ujung kemejaku kemudian memelukku dari belakang, “Kaka mau kemana? Jangan tinggalin aku...”
“Aku mau senang-senang, mencari brondong manis yang bisa melayaniku lebih baik..” ucapku asal, meskipun aku bukan orang yang seperti itu tapi rasanya ada kepuasan tersendiri bisa membuatnya kesal.
Sontak tinjuan keras menghantam wajahku, “Aku gak nyangka kamu orang kaya gitu! Pantas saja kamu jarang pulang...” lirihnya dengan suara menahan tangis, bahunya bergetar hebat karena menahan emosi dan bulir bening itu seolah lepas begitu saja mengaliri pipinya, dia langsung menutup wajahnya dengan telapak tangan kemudian menangis histeris.
Aku merasa bersalah, segala amarahku langsung luntur, yang ada rasa sesaknya penyesalan. Aku mencoba mendekapnya dan kini malah dia yang ngambek. Astaga... cobaan macam apa lagi ini, dengan segala beban yang aku rasakan kini aku harus dihadapi oleh uke yang merajuk?
Aku memejamkan mata sejenak dan menghela nafas berat, “Semua yang kaka ucapin barusan Cuma bohong, kaka Cuma mau bikin adek kesal karena mood kaka sekarang benar-benar buruk jadi ada naluri untuk menularkan kekesalan itu..” bisikku lembut sambil mengusap kepalanya. “Kaka gak sungguh-sungguh, dek... sudah ya ngambeknya.. nanti kaka belikan ice cream...” aku merasa lucu ketika membujuk pemuda 18 tahun seolah membujuk anak kecil 5 tahun.
Perlahan dia membuka jarinya dan memperlihatkan matanya yang sayu, aku benar-benar luluh. Kudekap hangat pemuda mungil itu, rasanya memeluk tubuhnya benar-benar membuatku gemas ingin memeluk lebih erat.
Aku tangkup kedua pipinya yang cukup bulat kemudian aku mengecup kedua kelopak matanya yang terpejam, “Udah jangan nangis.. ih malu-maluin, ganteng-ganteng kok cengeng....”
“Huh..” desahnya pelan sambil memukul dadaku dengan manja, aku terkekeh tapi masih kesal kenapa dia begitu kaku dan hemat sekali dengan kalimatnya.
Lebih menyebalkan lagi dia tetap menolak saat aku mintai ciuman, “Kenapa sih dek? Kaka tuh kangen... kangeeen banget...”
Matanya menatap liar, “Aku lagi sariawan, gak mood ngomong apalagi ciuman.”
Aku tertawa pelan, astaga... aku sudah berprasangka jelek ternyata hanya sebuah sariawan penyebabnya. Lalu aku memasang wajah mengejek, “Jadi gak ada ciuman nih buat kaka malam ini...”
“Gak...” jawabnya singkat.
Aku memasang pose berpikir, “Itu kan kalau di bibir, gimana kalau ciuman yang lain?”
Fahmi memiringkan kepalanya dengan imut, haah benar-benar minta ‘dimakan’ uke satu ini. “Cium dimana?” tanyanya polos.
Aku tersenyum mesum, aku merendahkan tubuh untuk berjongkok di depannya kemudian menarik resleting celananya, “Disini..” desisku pelan.
Wajah Fahmi merah seketika, “DASAAR MESUUUM!!”
END
Tinggalkan komentar temanku yang baik hatii
Author: Lian48
Enjoy it~
-Habil POV-
Di bioskop, aku melirik orang yang duduk di sampingku terduduk tegang dengan memeluk dadanya, kadang dia menggenggam tanganku ketika ada adegan mengejutkan, itu ekpresi dari ketakutannya akan film horror yang sedang kami tonton.
Namanya Dirga, pemuda berumur 20 tahun yang berwajah manis namun berpenampilan serampangan dan berkepribadian keras. Kadang dia imut namun kadang garang, dia selalu membuatku gemas. Beberapa hari lalu dia curhat bahwa kekasihnya memutuskannya tanpa alasan, padahal dia sangat mencintai ceweknya itu. Maka dari itu aku berusaha mengajaknya menghabiskan waktu bersamaku, mungkin ideku sedikit aneh... orang patah hati diajak menonton horror? Kalau komedi aku rasa sudah mainstream, mungkin dia akan tertawa saat menonton namun jika filmnya selesai perasaan suramnya akan kembali. Beda halnya dengan sensasi horror, aku rasa akan lebih melekat di batinnya, paling tidak rasa takutnya bisa menutupi sakit hatinya. Syukur-syukur dia yang ketakutan mau mengajakku bermalam hehe.
Sekarang Dirga memeluk lenganku, menyembunyikan wajahnya di balik jaketku, aku sedikit tersenyum. Aku dapat mengendus aroma shamponya yang menenangkan, haah... aku hanya fokus akan sosoknya, bukannya ketakutan karena film, celanaku justru menyempit karena aroma dan juga sentuhannya.
Saat adegan menyeramkan mulai hilang, dia mulai melepaskan pelukannya. Aku melihat sosoknya yang cukup terselimuti kegelapan, dia mengenakan kaos merah, jaket berbahan jeans, dan celananya yang sobek-sobek. Tatapannya fokus pada layar, aku bisa melihat jakunnya yang naik turun saat dia menelan air liurnya. Film terus berjalan, aku hanya sibuk memikirkan bagaimana caranya aku membuat posisi kami lebih nyaman.
Secara perlahan tangan kiriku mencoba merangkul Dirga yang duduk di sebelah kiriku, sedangkan tangan kananku mencoba menggenggam tangan kanannya. Tidak ada pemberontakan, dia justru membalas genggaman tanganku, senyumku merekah selebar mungkin.
Aku teringat saat pertama kali kami saling mengenal. Sebenarnya aku seorang vokalis dari band indie, band kami berjalan lancar hanya saja ayahku menghancurkan segalanya. Dia memintaku untuk mengurus usahanya di bengkel, awalnya aku tidak mau. Tapi aku juga tidak ingin membuat ayah kecewa sehingga aku menerima perintahnya. Aku hanya ingin membuat hidup orang lain berarti.
Tidak seburuk yang aku pikirkan, ternyata jalan yang Tuhan berikan ini lah yang membuatku menemukan cintaku, Dirga. Dia adalah salah satu montir dari bengkelku, dia pekerja keras, tidak kenal lelah dan dia jujur. Walaupun sifat tempramentnya kadang membuat pelanggan ketakutan.
“Bil, udah habis filmnya...” kata Dirga sambil mengguncang tanganku, aku tersadar dari lamunanku dan tersenyum saat mengusap kepalanya.
“Ah sorry, gimana kalau kita cari makan?” tanyaku lembut.
“Kalau gratisan sih gue gak pernah nolak hehe...” ucapnya memberi kode.
“Iya iya, aku yang traktir.” Ucapku sambil berdiri, kami mulai berjalan keluar dari bioskop itu awalnya santai saja, saling bergurau dan dia bercerita tentang film tadi dengan antusias, sepertinya dia sudah melupakan sedikit rasa sakit hatinya.
Tapi mendadak mataku membulat saat melihat Dewi mantannya Dirga sedang asik bergandengan dengan lelaki lain, aku berusaha mengecoh Dirga, “Eh Ga, kita kesana yuk.. kayanya seru...” bujukku sambil menoleh ke belakang dan mengarahkan tubuhnya, aku tidak mau Dirga galau lagi.
“Apaan sih lu mendadak aneh gitu. Gak ah... gue kan laper, food courtnya di sana kan...” ucapannya terhenti saat menunjuk arah di depannya karena akhirnya dia melihat apa yang seharusnya tidak boleh dilihat.
Dengan berang dia mendatangi Dewi, “Siapa nih?!!!” tanya Dirga dengan nada lantang.
Dewi memutarkan bola mata seolah malas, “Pacar aku lah emangnya siapa lagi..” balasnya tidak kalah lantang.
“Ohh jadi cowok ini yang bikin lu mutusin gue? Bitch lu!!!” bentak Dirga.
Cowoknya Dewi tidak tinggal diam, dia cengkram leher baju Dirga, “Eh lu jangan kasar sama cewek gue ya!!”
Dengan bringas Dirga menghajar cowok tadi tanpa ancaman ataupun ancang-ancang, “Bajingan lu!!! Aaarghh... cowok pengambil pacar orang dengan cewek peselingkuh! Ok serasi, makan tuh cewek jalang!!” bentak Dirga sambil menendang cowok tadi tanpa ampun.
Aku langsung memeluk pinggangnya saat melihat di kejauhan ada banyak satpam berlarian, “Udah... kita kabur sekarang.” Bisikku, Aku berusaha menyeretnya walau dengan keras kepalanya Dirga masih menghajar cowok tadi.
Tapi aku hentak tangannya agar cepat kabur, aku menunjuk satpam tadi dan kami pun lari. Aku tidak mau masalah ini membuatnya berurusan ke kantor polisi, cukup lah cowok tadi babak belur untuk membalaskan amarahnya sedari tadi.
Wajahnya benar-benar murung sekarang, tidak lagi aku lihat antusias dari matanya, “Kita makan apa?” tanyaku hati-hati.
Dirga hanya diam sambil tertunduk dengan tinju yang mengepal, terus berjalan hingga keluar mall, cukup lama dia membalas ucapanku, “Gue gak nafsu makan, Bil.”
Aku menepuk bahunya dan tidak memaksakan, aku hanya menuntunnya ke mobilku di parkiran. Setelah masuk di mobil dia memukul dasbor dengan kesal, kemudian dia menangis histeris sambil menutupi wajahnya, “Aaaaargghh sial banget tuh cewek!! Kenapa gue dibikin sekecewa ini!!!”
Aku hanya menepuk kepalanya pelan, “Free hugs untuk sobatku yang sedang patah hati.” Tawarku, tidak menunggu lama dia langsung mendekapku erat. Aku ikut merasakan keperihannya saat dia menggerang kesal, dia meremas baju di bahuku sedangkan dadaku basah total karena air mata, ingus maupun air liurnya yang tumpah ruah.
Aku menciumi kepalanya dengan lembut, “Tuhan baik sama kamu makanya kalian dijauhkan, karena kamu terlalu baik buat cewek jalang kaya dia.” Ucapku menenangkan.
“Gue tau... tapi gue gak ngerti kenapa rasanya sakitttt!!” ringisnya sambil tersengal-sengal. Aku angkat dagunya dan spontan tertawa melihat ingusnya yang belepotan kemana-mana, Dirga langsung memukul dadaku, “Rese lu.. malah ngetawain gue!” rajuknya sambil membuang muka.
Aku mengambil tissue kemudian menarik lagi wajahnya untuk kubersihkan, “Lucu banget, hidungmu sampai merah kaya gini.. udah lah, mana Dirga yang sangar, garang yang katanya ngalahin preman pasar itu? Masa iya cemen sih, nangis, ngehancurin harga diri demi cewek yang jalang kaya gitu.” Pancingku.
Dia langsung membersihkan wajahnya lagi, tatapannya seolah bersemangat dan sinis, “Iya.. gue pasti bisa! Gue kuat kok... tapi gue galau aaakhh..” dia kembali menangis di pelukanku. Ah ya sudahlah, mungkin tidak mudah berada di posisi seperti itu, dia hanya perlu waktu untuk tenang. “Habil, gue nginep di tempat lu ya.. gue bener-bener nyesek kalau sendirian. Gue galau maximal, kalau sendirian gue bisa bunuh diri nih.” Ucapnya lebay.
Aku kembali terkekeh, “Lebay ah.. masa bunuh diri karena cinta. Yaudah aku temani.”
Aku berharap penuh atas menginapnya Dirga, dia memang sering menginap yang membuatku bisa mengambil banyak kesempatan untuk melakukan hal yang ‘mendalam’ apalagi Dirga termasuk bocah yang manja, dia tidak risih berpelukan ataupun dipangku olehku, mungkin karena sosokku yang selama ini hangat mampu membuatnya merasa memiliki kaka bersamaku sehingga dia tidak segan lagi denganku.
Yang dimaksud hal ‘mendalam’ yaa eumm ketika kami tidur bersama aku bisa menyentuh tubuhnya, kami sering mandi bersama, atau menonton ‘video’ bersama dan melepaskan ‘hasrat’ dengan ‘kerja sama’ tapi mungkin semua itu normal di mata Dirga, ya memang begitu lah gaya hidup cowok-cowok yang sudah sangat akrab meskipun mereka normal, tapi sisi romantis itu kadang melekat tanpa sengaja. Bisa disebut kami ini bromance.
Sesampainya di rumah, aroma wangi bronis mendominasi rumahku, “Wah ada yang masak kue hasek hasek!” teriak Dirga semangat berlari ke dapur, dasar tukang makan. Galaunya langsung hilang jika melihat makanan. Dan jangan heran dengan sikap Dirga yang seenaknya di rumahku, dia sudah dianggap seperti keluarga di rumah ini karena sikapnya yang mudah akrab.
Saat masuk ke dapur, aku lihat Rini memukuli kepala Dirga dengan loyang, “Hei seenaknya saja colek-colek! Kan belum disajikan..” teriak Rini, adik perempuanku yang masih SMA.
“Wah enak banget, beli dimana Rin?”
“Enak aja beli! Bikin tauk!”
Dirga langsung mencolek dagu Rini, “Wah baru tau gue cewek judes kaya lu bisa masak hehe boleh dong..”
Rini mengembungkan pipi, “Boleh apa hah hah?”
“Boleh dong dipacarin hehe... ampun ampun becanda kali..” ucap Dirga cengengesan ketika Rini siap ancang-ancang memukulnya dengan loyang lagi. Aku menatap dengan mata tidak suka, mereka terlihat akrab dan potensi mereka jadian sangat besar melihat chat mereka di BBM cukup akrab.
Rini kembali berteriak ketika Dirga mengambil banyak sekali brownisnya, “Aaaaak bang Habil cepetan pasung istrimu yang liar ini! rese!”
Aku tertawa pelan, menjepit kepala Dirga di ketiakku kemudian menyeretnya ke kamar. Bagaikan bocah dia menjilati jarinya yang belepotan, mulutnya penuh dengan kue, dan bibirnya berantakan. Kadang melihat dia yang menggemaskan seperti sekarang aku gemas ingin melahap bibir mungil itu, sayangnya bibirnya bisa jadi milikku ketika dia tidur saja. Aku hanya menepuk wajahnya, “Makan blepotan kaya bocah..”
“Biarin! Ucapin dong belcihin!!” rengeknya manja.
Aku langsung mendekatkan wajah, “Sini aku jilat..”
Dirga langsung menjitakku, “Najisss ahaha..” aku hanya terdiam sambil memegang kepalaku, wajah Dirga langsung panik, “B-Bos Habil gak kenapa-kenapa? Ampun jangan pecat saya!!” ucapnya sambil sujud-sujud.
Aku hanya terkekeh dan menarik badannya, “Ah santai aja, kita kan udah kaya sodara.”
“Haseek sodara ahaha!” dia langsung menerjangku hingga terjatuh di kasur, dia duduk di atas perutku sekarang, tingkah kekanakannya kumat, aku balas menindihnya, tapi dia menghantam wajahku dengan bantal, kami jadi perang bantal, saling serang, tindih dan tertawa-tawa.
Tapi akhirnya dia lelah juga dan menyerah, “Capek ahaha...” mendadak Dirga menggenggam tanganku, aku berdebar kencang, “Bil, adek lu manis ya.. kayanya gue bakal cepet move on nih..”
Mendadak wajahku langsung murung, aku hanya terdiam, tapi Dirga juga ikutan murung dan mendadak dia tertawa, dia sangat ekspresif, “Hahaha... gue lucu ya.. gue terlalu ngarep. Ya walau lu udah anggap gue kaya sodara tapi gak mungkin juga lu mau serahin adik semata wayang lu sama gue, siapa gue? Gue Cuma montir kecil, Cuma bawahan lu ahaha.. iya gue sadar diri.”
Aku menggeleng, “Bukan karena itu..”
“Lalu apa?”
Aku berdebar-debar, haruskah aku ungkapkan sekarang? Tanganku dingin seketika saat aku berniat mengungkapkan segalanya, tapi sulit... aku takut kebersamaan kami hilang, tapi disisi lain aku tidak akan rela dia jadian dengan adikku sendiri, aku bisa combo sakit hati jika begini. Aku harus memberanikan diri.
You never try, you never know...
Paling tidak aku harus mengetahui suatu kepastian, “Dirga, aku sayang kamu..”
Dirga tertawa gelak sambil meninju dadaku pelan, “Yaelah Bil, gue juga sayang lu kali. Lu sobat gue yang paling baik dan paling murah hati.” Dirga langsung memelukku erat.
Aku mendorongnya perlahan, “Gak.. bukan sayang yang kaya gitu. Aku sayang kamu, aku cinta kamu atas dasar hasrat yang terpendam, naluri tentang asmara. Get it?”
Dirga terdiam dengan matanya yang membulat, apa dia masih sulit menerima kenyataan? Apa dia masih mengira aku bercanda? Benar saja, dia tertawa gelak. Aku geram, langsung aku tarik lehernya dan melumat bibirnya.
PLAK!
Sebuah tamparan panas menerjang wajahku, dia menutup bibirnya, matanya berkaca-kaca, menampakan ekspresi seolah seperti gadis desa *?* yang baru diperkosa, dia menggeleng kuat, dia memberikanku tatapan keji sebelum akhirnya menghilang dari pintu kamarku. Aku terpaku di tempat dudukku.
Aku shock, apa dia membenciku? Aku langsung meneleponnya puluhan kali tapi tidak juga diangkat, aku sms, aku bbm. Sama sekali tidak ada respon, bbm hanya dia read. Lebih mengejutkan lagi saat aku mendapat kiriman surat pengunduran diri darinya. Astaga! Seserius ini kah dampak yang harus aku rasakan?
Aku menangis terpojok di kantorku, Dirga tidak sepicik itu kan? Dia tidak mungkin membenciku karena aku seorang gay. Wake up Habil, dari awal juga aku tau kan bahwa resiko ini pasti ada? Tapi... aku tidak siap! Aku menginginkan Dirga.
-Dirga POV-
“Hahaha gila muka lu cemong...” ejek Jodi sambil mengoleskan lagi bedak tabur ke wajahku, kami bermain kartu dengan taruhan yang kalah dicemongin pakai bedak.
“Ah rese lu ntar gue balas!” ucapku kesal. Beginilah aktifitasku semenjak jadi pengangguran, Cuma uring-uringan di kosan atau bermain-main dengan teman sekosanku.
Mungkin kalian pikir keputusanku ini terlalu ekstrime, tapi dia gay! Ya.. aku benar-benar tidak menyangka kenapa dia bisa suka cowok? Sama sekali tidak mencurigakan, dia punya kepribadian tenang, cool, tidak gemulai, benar-benar manly lah..
Aku tentu saja shock, apalagi mengingat aktifitas yang sering kami lakukan, aaakh!! Sialan aku sudah telanjang di depan dia ketika mandi bersama, pasti dia memikirkan fantasy yang aneh-aneh, pantas saja dia ‘bangun’ sssshhh itu kan menjijikan?
Berat memang, Habil orang yang baik, tapi aku merinding! Aku tidak bisa terima, aku kecewa ternyata dia begitu. Pokoknya semua ini tidak bisa diterima akal sehatku, aku merasa risih di dekatnya sekarang, aku takut dia memikirkan yang macam-macam, apalagi dia menyukaiku, bagaimana bisa dia menahan diri lebih lama? Aaah ciuman itu benar-benar mengacaukanku sampai-sampai aku membencinya.
Di lorong terdengar suara larian, pintu digebrak kemudian ada seseorang yang menamparku.
PLAK
Aku terpaku, saat mendongak rupanya Rini sedang menangis menatapku kesal, “Lu apa-apaan sih? Datang-datang main tampar...” ucapku kesal.
“Kenapa aku didelcon? Sms gak dibalas, telepon gak diangkat?!!” ucapnya seolah lagi nyanyi dangdut *?*
Aku menggaruk kepala yang tidak gatal, “Suka suka gue dong, hp punya gue. Eh kangen ya sampe segitu marahnya?” ucapku genit sambil mencolek dagunya.
Rini tepis kasar tanganku, “Kamu apain bang Habil?”
“Maksud lu? Hmmm datang-datang ngerusuh.. gue sengaja delcon kalian soalnya gue udah gak mau lagi ada hubungan dengan kalian. Gue mau move on!”
Rini geram dan dia menarikku keluar kamar, “Karena Bang Habil sayang kamu? Apa sih salahnya menyayangi! Bang Habil juga gak mau ini semuanya terjadi, tapi dia juga gak bisa kendalikan perasaannya! Kamu pikir sayang bisa dikontrol hah?”
Aku memegang tengkukku yang merinding, “Lu aneh ya.. salah lah, cowok naksir cowok itu salah. Lu malah ngedukung.”
“Sesalah apapun perasaan itu tapi harusnya kalian masih tetap bisa berteman kan? Bukannya lari kaya gini!” Rini memukul dadaku kesal.
Aku menatapnya datar, “Gue gak bisa, gue jijik.. coba lu ngertiin gue, lu jijik sama kecoa walau kecoa itu baik nyari nafkah buat keluarga dia, tetap aja kan lu jijik? Emang lu mau temenan sama kecoa?”
“Oh jadi semenjijikan itu abangku di mata kamu, Dirga? Aku gak nyangka kamu orang yang sepicik itu, memandang seseorang hanya dari statusnya, padahal jelas-jelas bang Habil banyak berkorban buat kamu. Aku pikir kamu tulus, harusnya pertemanan itu gak mandang status. Kamu jangan nyesel kalau bang Habil pergi...” ucap Rini sambil membalikkan badan.
Aku langsung menangkap tangan Rini, “Maksud lu apa? Habil pergi?”
Rini menoleh, menatapku dengan matanya yang basah, “Bang Habil sakit parah, dan dia kumat lagi karena psikisnya terganggu akan kepergianmu, Ga.”
“Oh hmm..” gumamku pelan, Rini langsung pergi. Aku terdiam dalam posisisku, dengan pikiran yang berkecamuk. Astaga! Orang macam apa aku yang berpikiran buruk tentang Habil!
Tapi tetep saja aku tidak bisa terima... apa aku terlalu kekanak-kanakan ya dengan keputusanku? Aku mengingat-ingat dia orang yang selalu ada saat aku susah maupun senang, sudah sering aku repotkan lahir batin, dia orang yang sangat berpengaruh lah dalam hidupku. Tapi mengingat-ingat sisi gelap yang lain... ketika kami main ‘burung’ aaaaarggh tidak burungku di pegang gay! Dia pasti berpikir yang tidak tidak dengan menistakan badanku. Geli!
Tapi Habil sakit... aduh perasaan macam apa ini, membayangkannya saja membuat dadaku nyeri. Ya wajar mungkin karena aku sayang dia layaknya sahabatku yang lain, apalagi dia sudah seperti malaikat di dalam hidupku.
Dengan cepat aku berlari mengejar Rini, syukurlah belum terlambat karena dia baru membuka pintu mobilnya. Tanpa konfirmasi aku langsung menerobos memasuki mobilnya, “Gue ikutan. Gue mau liat Habil..”
Rini tersenyum tenang, dari tatapannya seolah terbaca, ‘Syukurlah..’
Sepanjang jalan aku tidak banyak bicara, aku Cuma melamun sambil menatap jendela. Sesekali aku membayangkan kebersamaan kami yang hangat, aku baru sadar kalau kedekatan selama ini sudah seperti orang pacaran. Astaga.. tapi disisi lain rasanya takut, tanganku sampai dingin karena gelisah dengan kondisi sekarang. Mataku panas membayangkan Habil dengan kondisi kritis, dan aku hanya jadi orang bodoh yang menangisi penyesalan karena akhirnya aku baru sadar kalau dia berarti, terus badannya terbalut kain kafan, dia jadi pocong dan malam-malam mendatangiku sambil teriak, “Sodomi nih sodomi nih...”
Njirrr... aku jadi merinding sendiri. Disodomi pocong, nanti keluar lagi judul absurd untuk film horror indonesia, ‘Pocong yang menyodomi’
Ngaah... aku berpikir terlalu jauh, sampai-sampai aku baru sadar ternyata kami sudah sampai tujuan. Tapi kenapa di rumah? Ah.. mungkin Habil perawatan inap di rumahnya, dia kan kaya, dia bisa angkut itu isi rumah sakit ke kamarnya.
Dengan hati gelisah nan gundah gulana aku berlari ke lantai atas, menggebrak kamarnya dan melihat pemandangan tidak elit, dia sedang telanjang bulat dan menaik turunkan tangannya pada si ‘otong’. Aku langsung menahan Rini yang juga ingin mencoba masuk, terdengar Habil gelabakan berlari kesana kemari untuk mematikan DVD bokep yang dia tonton dan juga membenahi badannya.
Sedangkan aku berteriak murka pada Rini, “Lu bilang dia sakit!!!”
Rini terkekeh pelan, “Iya sakit... sakit hati kok.”
Aku langsung menarik kepang Rini, “Jadi lu bohongin gue hah?!!!”
Rini langsung memelintir perutku, “Kamu tuh keras kepala, kalau gak dipaksa mana mau. Sana masuk! Kamu tuh jangan membohongi diri sendiri, nih liat mukamu pucat, matamu merah nahan tangis. Baru dibohongin gitu udah cengeng.” Aku berjingkrak geram karena dibohongi, lalu buat apa aku disini huft... “Udah kamu masuk aja. Aku tinggal nih.. kamu tuh masih care kan sama Bang Habil. Yaa apapun jawaban kamu nantinya, aku mau kamu sampaikan dengan cara baik-baik. Bukannya lari dari kenyataan.”
“Ehem... ada apa ini?” tanya Habil yang mengeluarkan secuil kepalanya dari pintu.
Rini mendorongku mendekati Habil, “Ini, Dirga mau ngomong katanya.”
“GAK!” elakku. Dasar tukang karang, seenaknya dia memfitnahku. Tapi Rini malah menginjak kakiku nista dan menatapku garang. Cewek memang merepotkan, sukanya main perintah.
Aku akhirnya terpaksa masuk kamar Habil. Tetap santai seperti biasa. Habil ikut duduk di sisi kasurnya, bersebelahan denganku, kami terdiam cukup lama. Entahlah.. suasana jadi canggung. Hingga akhirnya dia membuka suara, “Sorry buat yang tadi... aku sedikit bosan jadi yaa ‘main-main’, Cuma itu yang bisa jones lakuin di saat weekend.”
Aku mengibaskan tangan, “Nyantai aja.. gue tau siapa lu. Kaya baru kenal aja, lagian kan kita sering main barreeng...” astaga kalimat nista apa yang barusan aku ucapkan. Aku tertunduk dengan wajah memanas.
“Uhem...” Habil berdehem, terdengar sedikit canggung. Aku memberanikan diri menatap wajahnya untuk pertama kalinya, astaga dia pucat sekali. Bahkan matanya terlihat sembab. Apa semua karena aku?
“Gue minta maaf Bil...” lirihku.
Habil tertawa pelan, “Kamu gak salah kok... wajar sih.”
“Gue picik Bil... gue jahat berpikir buruk tentang lu. Gue coba buka pikiran kalau gay juga manusia, ada yang baik ada yang buruk. Dan lu termasuk yang baik dengan kualitas tinggi. Yang normal belum tentu baik, masih banyak yang bejad. Status gak menentukan sih, tergantung individunya. Gue lupain semua ucapan lu beberapa hari lalu, kita lakukan aktifitas kaya biasa dan yaa kembali bersahabat kaya biasa.” Ucapku ceria.
Habil tersenyum, “Thanks, Ga..” tapi dia mulai menggenggam tanganku, apa ya.. rasanya nyesss... cenat cenut.. gak jelas, sudah beda euforianya. Intinya jadi... gugup! “Jadi benar-benar Cuma dianggap teman ya. Mungkin aku yang terlalu geer dengan sikapmu selama ini, aku pikir kau punya potensi sama sepertiku.”
“Gue sayang lu sih... tapi gay itu hal baru buat gue.”
Habil tertawa pahit, “Ok ok.. bisa jadi temenmu lagi juga sudah membuatku tenang.”
Aku mengangkat dagu mantab, “Tapi gue mau deh pacaran...”
Habil membulatkan mata, “LOH? Kok cepat banget berubah pikirannya.”
Aku menggaruk kepala, “Hehehe apa ya... penasaran aja.. ajarin gue jadi gay..” aku menarik karet celana boxer Habil dan menengok ke dalam, ada yang masih ngembang *?
Habil tertawa pelan, dan aku shock saat dia menekan kepalaku masuk di dalam boxernya dan aku Cuma bisa mengepak-kepakkan tangan bagaikan anak ayam.
END
koment dong koment >w< entar aku balasin loh.. komentar kalian bikin aku seneng, tolong yaa.. luangkan waktu beberapa detikkk saja.
By: Lian48
Enjoy it~
SINOPSIS: Tau tidak bagaimana rasanya ketika kamu dituduh selingkuh dengan cewek orang lain, padahal jelas-jelas kamu seorang gay? Mana sang penuduh ganteng luar biasa pula, buat aku mau bilang, “Mending lu jadi pacar gue aja deh...” (terinspirasi dari curhatan member grub yaoi indonesia, lupa apa fbnya)
-Arie POV-
Aku menghempaskan bokongku pada kursi di kantin yang membuat tubuh Dini sahabat tomboyku jadi tergeser cukup jauh hingga nyaris jatuh, “Woi! Bukan main ya mas bro ini, ngajak brantem ya lu?” ucapnya sewot.
Aku hanya cengengesan sambil menghembuskan asap rokokku, “Eh Din, sorry mbak bro... gue mau menyampaikan berita duka dan permintaan maaf nih.”
Dini langsung merampas rokokku seperti biasa dan menjejalkan lolipop pada mulutku, walau jengkel tapi aku hanya menurut, dia paling kesal jika aku merokok di depannya, “Ngomong apaan Rie?”
“Cowok lu habis gue lahap kemarin.” Ucapku santai sambil mengupil.
Dini mengedip-kedipkan matanya dengan cepat aku yang iseng menempelkan upilku pada pipinya yang berujung jotosan maut, “Eh maksud lu apaan Rie? Gue gak ngerti.” Ucap Dini sambil menggaruk-garuk kepalanya yang memiliki rambut pendek seperti laki-laki.
“Cowok lu gue kasih sponge wkwkwk...” aku terngakak sendiri karena geli memikirkan caraku menjelaskannya.
“Sponge? Kue sponge? Ice cream spongebob?” tanyanya dengan wajah bloon.
Aku langsung menjitak kepala Dini, “Cowok lu gue sepong bego!” (sepong= blow job= isep mr.p)
“What the fuck hell is that! Gimana bisa? Eh setau gue Dimas totally straight!” Dini langsung menepuk wajahnya dengan mimik shock.
“Cowok straight kok pacarannya sama cewek jadi-jadian kaya lu, Din Din...” aku geleng-geleng seolah Dini yang salah.
Dini yang emosi langsung menjepit kepalaku di ketiaknya, “Eh gini gini gue imut tau! Baaah! Gimana bisa tuh lu ngelahap Dimas?”
“Aduh Din, dada lu nempel di pipi gue. Yang kaya gini nih yang ngundang cowok lu ke rumah gue.” Ucapku terkekeh.
Dini langsung menginjak kakiku, “Bodo! Lu sih gak bakal horny sama gunung kembar juga. Jadi gimana ceritanya?” bukannya marah, justru mimik antusias yang terlihat dari sosok Dini. Dasar faghag. (FagHag= cewek yang suka gay, sejenis fujo tapi lebih berat ke manusia dibandingkan anime)
FLASHBACK
Sayup-sayup aku mendengar suara gedoran yang cukup keras seolah mau mengajak perang, dengan mata setengah niat aku melirik jam yang masih menunjukkan pukul tujuh pagi. Hell, ini minggu woi... waktunya aku tidur sampai jam sebelas atau bahkan jam satu siang. Dan gangguan ini benar-benar membuatku unmood.
Aku yang hanya mengenakan boxer mulai mengeluarkan diri dari dalam selimut, mengacak-acak rambut dengan kesal kemudian menggaruk-garuk selangkangan. Tapi niatanku menghajar sang pembuat kehebohan tertunda ketika aku lewat di depan kaca besar, aku tersenyum mempesona sambil menyapa kaca, “Hai tampan, pagi ini lu tambah charming, makin sexy lagi...” pujiku yang seolah sangat maniak akan fisik sendiri. Aku mengusap tato bintang yang ada di pusarku, kemudian meraba otot dadaku yang semakin terbentuk, tidak lengkap jika aku tidak memainkan otot tanganku dan bertingkah sok sexy ala peserta L-men.
Tapi sepertinya sang pembuat keributan sudah tidak sabar, suara gedorannya semakin murka. Dengan wajah kesal aku membuka pintu, tapi wajah ketusku langsung berubah cengiran lebar ketika melihat siapa yang ada di depanku. Sesosok pemuda tinggi, dengan tubuh tegap, beralis tebal, wajah yang maskulin apalagi ketika rahang sexy-nya mengencang saat menatapku, “Hei tampan, ada perlu apa?” tanyaku dengan nada tengil sambil mengusap daguku ketika memperhatikannya dengan mata binalku.
Sayangnya bibir merah merekah itu menyemburkan kalimat tidak indah, “Heh ada hubungan apa lu sama Dini hah? Gue cowoknya, jangan berani-berani ya lu rebut dia dari gue! Bangsat lu!” ucapnya memburu dengan mata melotot seolah ingin keluar saja itu mata.
Aku mengerutkan kening dan menggaruk ketiakku, “Apaan sih cemburu buta gini. Gue itu Cuma temennya Dini kali.” Baru kali ini memang aku melihat langsung cowok Dini secara jelas, dulu sering aku lihat di depan gerbang ketika cowok ini menjemput kemudian membukakan pintu mobil untuk Dini, tapi aku Cuma melihat punggungnya. Dini tidak berani memperkenalkan cowoknya denganku, katanya sih posesif jadi dia tidak boleh dekat dengan cowok mana pun.
“Temen mana coba kalau boncengan duduknya semepet itu? Terus maksudnya berbagi payung Berdua itu apa hah? Eh gue peringatin lu, jangan dekatin Dini atau gak mampus lu!”
Aku menatap malas dan menguap santai, “Hoaaam... Dini Cuma temen, gak lebih. Gak usah dah lu khawatir, gue gak tertarik sama Dini karena gue doyannya cowok.”
Mata si tampan yang tadinya sangat tajam setajam silet mulai berubah menjadi tatapan heran kemudian ada sedikit keraguan, “Halah... Gak usah ngeles lu! Pengecut lu beraninya main belakang, giliran gue labrak mana nyali lu! Pengecut lu!”
Aku menatap tajam, “Oh jadi ceritanya lu ini ngajak berantem? Hayoo siapa takut, sini kalau mau tarung, kasur gue udah siap hehe..” njirrrr kalimat nista macam apa barusan. Modus sekali mengajak perang kasur.
Mungkin dia menanggapi kalimatku tadi cukup serius sehingga yang aku terima bogeman mentah, astagay perut sexy-ku retak~ tidak puas dengan tinjuan keras itu dia menerjangku hingga aku tersungkur di lantai dan dia duduk tepat di atas burungku yang masih morning erection. Rasanya Linu.
Sebisa mungkin aku tangkis serangan demi serangannya, benar-benar agresif ya cowok ini. Membuatku gairahku untuk memperkosanya muncul. “Woi bangke lu, gue tuh homo baah!”
“Gak usah ngeles! Pertanggung jawabkan tindakan lu secara jantan!” tantangnya dengan nada menyebalkan.
Aku mulai meremas pinggulnya, “Oh jadi lu mau mengadu kejantanan hah?” okay, terdengar ambigu. “Biar gue tunjukin, apa itu pertarungan kejantanan dan juga bukti kalau gue doyannya cowok!!” aku mengangkat tubuhnya sedikit agar aku bisa memisahkan diri kemudian mengunci pintu, dan beberapa detik kemudian aku menyeretnya dengan kasar untuk aku hempaskan ke kasur.
Dia ternganga saat aku merobek T-shirtnya dan melahap nipplenya, “Aaaaargghhh...” erangnya sambil meremas sprei. Dia masih terlalu shock untuk bereaksi, aku yang menindihnya mulai menggesekkan organku dan juga organnya. Dia mencoba melawan tapi aku cukup kuat untuk mengunci tangannya sedangkan bibirku mulai melahap lehernya, aku bisa lihat urat-urat lehernya mulai mengencang dan itu terlihat sexy. Aku semakin bernafsu menghisap ataupun menggigit lehernya dengan bertubi-tubi.
Ketika tanganku mencoba meremas batangannya lidahku kembali berpetualang pada tonjolan coklat kemerahan di dadanya, benar-benar segar dan menggiurkan. Aku kalap kali ini, tidak perduli lelaki yang aku tindih sekarang adalah kekasih sahabatku sendiri yang pasti tubuhku yang terasa panas akan bakaran gairah tidak bisa aku tahan lagi, padahal awalnya aku hanya menggertak.
**
Dini menggebrak meja, “Heh! Terus Dimas takluk semudah itu? Gimana reaksinya?!!”
Aku mengibas-kibaskan tangan untuk meminta Dini sedikit tenang, “Kalem woi... biar gue lanjutin ceritanya.”
**
Terlihat Dimas terengah-engah dan sesekali menggigit bibirnya, kadang dia bergidik saat aku menggigit dadanya, “Aaaaarghh... eeessssshhh... eummmhh... Lepas!!!”
Aku mulai mengecup dagunya, saat aku mencoba menciumnya aku langsung menjauhkan wajahku karena gigi ganasnya siap mencabik-cabik bibirku. “No... No... lu udah terlanjur bikin gue khilaf, gue kan jadi pengen ngerasain sejantan apa sih cowok yang bisa takhlukin sahabat gue.” Ucapku dengan senyuman sinis. Dini bukan cewek yang mudah memang, harus lelaki yang memang tangguh yang bisa taklukin hatinya, bahkan dulu aku sempat mengira dia lesbi saking lamanya dia menjomblo.
“Bukan ini pertarungan kejantanan yang gue maksud bangsat!!” bentaknya dengan murka dan wajah yang penuh keringat di pagi hari yang dinginnya menusuk seperti sekarang.
Aku terkekeh, “Jantan itu di kasur mainnya. Wah lu aja nih baru tau.” Aku mulai menurunkan resletingnya dan mengocok penisnya dari balik CD-nya, penisnya boleh juga, jumbo nih dan aku bisa merasakan perkembangannya secara perlahan di telapak tanganku.
Dia sedikit mengejang saat aku menguatkan hisapanku pada dadanya, “Aaaaargghh... gila!” erangnya.
Kakinya mulai liar memberikan perlawanan namun aku tekuk lututku pada pahanya, sakit pasti tapi lumayan efektif untuk membuatnya diam. Tanganku memberanikan diri melesak masuk di dalam celananya sedangkan bibirku mencumbu lehernya penuh gairah, aromanya sangat maskulin yang membuatku nyaman dan sangat menggebu-gebu ingin melahapnya.
Dan penis besar kemerahan itu pun mulai mengacung kokoh, bahkan nyaris menyentuh pusarnya. Membuatku harus menelan air liurku berkali-kali. Apalagi warnanya mulai mengkilat saat cairan-cairan nafsunya mulai basah, wah sepertinya tubuhnya cukup wellcome akan kehadiranku ya.
Aku mencengkram pinggulnya dengan gemas, sesaat aku melahap perut sexy Dimas kemudian aku tidak sabar melahap senjata kebanggannya ini. “Aaaaaaarghhh!!! aaaaah.... aaaaahhh!!! ooooohh...” erangnya dengan heboh hingga tubuhnya melengkung dan matanya terpejam. Dimas mematung sekarang saat aku menaik turunkan kepalaku pada selangkangannya, aku hanya bisa merasakan jari-jarinya bermain lembut pada rambutku.
Sesekali dia menggerang dengan tubuh sedikit mengejang saat aku mempercepat ritme hisapanku, “Aaaakh... aaakhhh stopp aaaah!”
Aku memainkan lidahku pada ujung kejantanannya kemudian menghisap dengan kuat, itu membuatnya mendesis seolah menikmati permainanku, rasanya kegemasanku semakin memuncak saking gemasnya ingin aku kunya penis imutnya ini.
Aku menggila akan reaksi horny-nya, semakin cepat aku bergerak maka semakin sexy juga desahannya, hingga akhirnya aku bisa merasakan penisnya berdenyut kencang dan menyemprotkan cairan kentalnya. “Aaaaaargghhh... aaaaah... gaaaaah! Keluar aaahh essshhh! Aaakhhh..” Saat itu lah isengku kumat, ini penyiksaan yang sesungguhnya. Dengan kondisinya yang sedang klimaks hebat, aku justru mengocok penisnya tanpa ampun kemudian jari tengahku menusuk lubangnya untuk meraih prostatnya.
Dengan bringasnya aku menyerang Dimas yang sukses membuatnya mengejang dan mengamuk hebat saat diserang orgasme dalam waktu yang lama. Aku tidak puas sampai disana, horny-ku sudah di ubun-ubun, aku mulai melebarkan pahanya, saat penisku menyentuh liang lubangnya dia menendang dadaku dengan kuat. Aku tersungkur sambil terbatuk-batuk, “Aaakh uhukkk... uhukk.. gila lu..” protesku.
Dimas terlihat sangat kebingungan, dia hanya menaikkan CD dan jeansnya hingga akhirnya kabur dengan telanjang dada. Aku bisa dengar suara mobilnya yang terpacu kencang di luar sana.
END FLASHBACK
“Gila...” desis Dini sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Kenapa Din?” aku mengerutkan kening, takut-takut dia ngamuk lagi.
“Lu bikin gue basah tau gak!” bisiknya dengan nada tajam.
Aku terkekeh, “Gak usah dijelasin, jijik gue woi!”
“Wuuuu sesexy itu kah Dimas?”
Aku menggaruk pipi karena heran, “Emang lu gak pernah ML sama dia?”
Dini meremas rambutnya, “Gak lah, Rie.. Dimas itu bener-bener gantle, dia bilang serius mau jadi masa depanku makanya dia gak mau rusak aku. Tapi aku jadi iriiii dengar ceritamu!”
Aku terbahak, zaman gini masih ada pacaran sehat, salut. “Yaudah, ML aja. Tapi jangan lupa ajakin gue, threesome gitu.”
“NJIRRRRR!!!”
Kami pun terbahak sambil jitak-jitakan. Benar kata orang, kadang wanita adalah sahabat terbaik gay.
END
tolong banget ya komentarnya, kamu kan baik ya, manis lagi bentar aja kasih koment
ayo bikin cerita lagi. abis yg cerbung pada lama update nya. enakan cerpen
Bagus semuanya, klau bikin lagi jgn lupa mention lgi ya, ok
Kasi 3Like.
yg kedua kocak juga yg ketiga gilaaaa