It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Pikirannya tidak fokus. Sejak tadi dibiarkannya kursor itu berkedip di halaman yang sama tanpa terpikirkan kata apa yang selanjutnya akan ditulis. Setumpuk buku referensi padahal sudah ada di sampingnya, sebut saja Financial Statement Analysis milik Martin S. Fridson dan Fernando Alvarez sama sekali tidak memberikannya inspirasi.
Reza gelisah perihal kejadian kecil tadi. Tentu saja bukan karena dia tidak enak pada cowok yang ditemuinya tadi di perpustakaan, namun entah mengapa Reza berharap bisa bertemu dengannya lagi. Padahal cowok tadi bukanlah cowok yang begitu spesial. Tidak tampan, tidak memiliki badan ideal, dan lebih terlihat seperti seorang kutu buku. Namun hal itulah yang membuat Reza merasa penasaran dengannya.
Reza Pandu, itulah nama yang diberikan oleh kedua orangtuanya. Mahasiswa tingkat akhir ini memiliki wajah yang lumayan tampan. Perawakannya jangkung, dengan postur tubuh tegap berisi, walaupun tidak atletis, karena memang Reza sendiri tidak pernah menjalankan program pembentukan otot di pusat kebugaran. Hanya olahraga basket saja yang menarik minatnya, itupun jarang dilakukan karena saat ini Reza lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mengurus skripsinya.
Reza menyadari kalau dirinya berbeda dengan anak laki-laki pada umumnya ketika kelas dua SMA. Dan dengan kakak kelasnya itulah dia pertama kali menjalin hubungan sesama jenis. Tentu saja semuanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi, selain karena norma-norma yang melarang hal itu, juga karena Reza tidak ingin membuat orangtuanya kecewa. Karena Reza memiliki keinginan kalau suatu saat dia akan menikah dengan seorang wanita. Namun untuk saat ini, hatinya lebih memilih laki-laki untuk dijadikan tambatan hati.
Satu jam telah berlalu dan sosok laki-laki yang dilihatnya tadi tak kunjung muncul. Pada akhirnya pemuda ini memutuskan untuk segera meninggalkan perpustakaan dan pergi ke kantin. Perutnya lapar, dan otaknya tidak bisa diajak bekerjasama untuk fokus pada skripsinya. Lagipula untuk apa juga dia membuang waktu percuma hanya untuk seorang anonim yang tak dikenalnya. Belum tentu juga laki-laki itu kembali, atau bahkan memiliki kesamaan dengannya.
Reza terlalu skeptis untuk menyebut ini sebuah kebetulan, hanya saja ketika dirinya berjalan keluar perpustakaan dari pintu yang menuju kantin, sosok laki-laki culun itu terlihat berjalan hati-hati di depan perpustakaan sambil sesekali melongok ke dalam. Jiwa geernya muncul, mengira kalau orang itu mencarinya. Reza berjalan menghampiri sosok lelaki kurus itu dan berjalan di belakangnya perlahan.
"Loe cari siapa? Kenapa gak masuk aja?" ucapnya cuek. Tak peduli kalau dia terkejut, atau bahkan nantinya akan kabur karena pertanyaannya.
"Eh... nggak cari siapa-siapa kok."
Senyumnya mengembang. Kenapa laki-laki itu mendadak salah tingkah? Mungkin masih teringat pada kejadian tadi, pikirnya.
"Gue Reza, tadi kenapa keluar buru-buru? Keganggu ya?" dia bertanya dengan harapan dapat mencairkan suasana.
Ah, nggak juga. Tadi temen gue SMS ngasih tau kalau dosen pembimbing akademik udah dateng, jadi gue buru-buru masuk kelas." respon sang pemuda anonim.
"Ohh.. kirain elu keganggu pas gue banting draft sialan ini," tunjuknya pada draft skripsi yang dibawanya.
"Nggak kok, tadi emang cuma lagi baca buku aja. Eeh udah dulu ya, temen gue udah nunggu."
Reza hanya bisa bengong melihat punggung pemuda itu semakin menjauh dari hadapannya. Bahkan dia belum mengetahui namanya. Pertemuan singkat tadi membuatnya semakin penasaran dengan sosok pemuda kurus itu. Dia malas mengejar karena merasa tidak perlu untuk mengejar, toh kalau memang berjodoh, nanti akan bertemu lagi.
kalo lanjut mention ya mas @MahesaRangha
Satu minggu telah berlalu sejak pertemuannya dengan pemuda bernama Reza, Al tidak pernah lagi melihatnya. Kesibukannya di kampus membuat Al melupakan sejenak rasa penasarannya terhadap pemuda itu. Minggu ini saja banyak tugas kuliah yang harus dikerjakannya, entah itu tugas individual maupun tugas kelompok.
Sebenarnya Al tidak terlalu berharap banyak akan bertemu dengan cowok yang menyukai sesama jenis seperti dirinya di kampus ini. Al menyadari memiliki perasaan yang berbeda ini sejak dirinya di kelas dua SMA. Saat itu Al mengikuti karantina pasukan pengibar bendera sebagai perwakilan dari sekolahnya. Al sendiri tidak mengerti, namun baginya laki-laki atau perempuan sama saja, yang penting dirinya tidak pernah membohongi hatinya sendiri.
Sebenarnya kalau mau, Al bisa berpacaran dengan Dea yang dengan terang-terangan menyatakan cinta kepadanya saat awal mereka bertemu. Tapi Al tidak mau membohongi hatinya ataupun hatinya Dea. Dan untuk saat ini Al merasa hidupnya cukup bahagia, walaupun masih ada keinginan menjalin hubungan dengan seorang pria seperti ketika Al menjalin hubungan dengan El, mantannya di SMA.
Alexander duduk termenung sendirian di sebuah taman kampus yang ramai oleh mahasiswa yang sedang menunggu kelas, atau sekedar mengobrol ringan dengan temannya. Tidak ada Dea, tidak ada Rangga, tidak ada Febby, teman gengnya di kelas. Entah mengapa hari ini Al sedang ingin menikmati kesendirian, sambil membaca kembali buku Kieso Intermediate Accounting jilid kedua bagian liabilitas jangka panjang.
Tidak ada satupun materi yang bisa masuk ke otaknya. Rasanya selaput abu-abunya sudah tidak bisa menampung angka-angka dengan penjelasan text berupa jurnal. Alasannya sederhana, mata Al tidak berada pada buku. Fokusnya jelas tidak pada buku yang isinya. Pandangan Alexander terpatri pada sosok yang saat ini tampak sedang mengantuk itu. Dia menyukai bagaimana pemuda itu mengerjap berusaha mengatasi rasa kantuknya, bagaimana pemuda itu mengucek matanya. Rasanya sudah lama sekali dia tidak melihat rambut rancungnya, tubuh tegapnya.
Pipinya memanas, menyadari dirinya terlalu intens menatap pemuda itu dan memilih untuk memalingkan pandangannya. Sejak pandangan pertama, Al memang menaruh perasaan terhadap sang pemuda yang ditemuinya di perpustakaan. Dan selanjutnya Al menatapnya kembali dari balik buku tebal yang pura-pura dibaca olehnya. Lama sekali Al memperhatikan sosok pemuda yang berbaring di kursi kayu panjang itu.
Lamunannya kemudian dipecahkan oleh sebuah suara yang terdengar samar. Suara pemuda itu.
"Elu gak cocok jadi intel! Gue yang lagi ngantuk aja bisa liat dengan jelas kalo elu lagi ngeliatin gue!"
Eh? Jangan bilang pemuda itu tahu kalau Al memang sedang mengintipnya. Tapi tidak mungkin dia sudah melihatnya dari tadi. Al sudah mengamatinya sejak beberapa puluh menit yang lalu dan pemuda itu satu kali pun tak pernah menghadap ke arahnya kok. Kalau memang dia sudah menyadarinya, kenapa pemuda itu tidak menghardiknya dari tadi?
"Jangan kegeeran, saya cuma pengen kasih tau kalau gak boleh tiduran disitu!" ucapnya dengan nada sedikit kesal.
Pemuda itu tertawa, kemudian bangun dari posisinya yang tertidur tadi. Sesaat kemudian tubuh tegap itu sudah berpindah dari kursi yang berjarak tak jauh darinya menjadi tepat di sampingnya. Tangan kokohnya menggeser buku-buku milik Al yang berantakan karena habis dipakai belajar. Jarak mereka kini hanya dibatasi oleh kertas kerja milik Al.
"Boleh duduk disini?" dia bertanya.
"Boleh—" ucapannya tertahan. "—asal kamu ajarin saya ngerjain soal ini. Deal?"