BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Pohon Cinta

Betapa indah sore itu dengan langit jingga yang membentang sejauh tatapan horison. Seorang pemuda merebah di bawah pohon di tengah lautan rumput liar yang menari liar ditiup angin. Dengan celana jeans yang ia potong setengah paha dan kaos putih polos membuatnya terlihat seperti bohemian. Sebotol kaleng bir bintang tergeletak di sampingnya. Ia berkali-kali meraih bir itu dan menegaknya penuh nikmat, seolah itulah minuman terakhir yang akan dia minum dalam hidupnya.

Matanya tak beralih dari lembaran demi lembaran buku yang dia pegang dengan tangan kanannya. Dia telah ke dalam realitas yang disajikan oleh rangkaian kata-kata yang terukit indah. Namun ketenangannya tiba-tiba terusik oleh sebuah panggilan histeris dari adiknya yang lari kegirangan.
Remaja itu terlihat necis dengan setelah baju panel dan celana jeans hitamnya. Ia turut merebah di samping kakaknya yang perhatiannya teralih kepadanya. Remaja itu terengah-engah karena berlari, terlihat semangat membara dari raut mukanya yang menyala.

“Kak, kak, apakah dunia itu memang seindah ini?” Tanyanya sambil terengah-engah. Pemuda itu tak membalas, hanya tersenyum tipis mengamati.
“Aku bertemu dengan seorang yang membuat mataku terbuka dengan semua warna dunia. Bersamanya, dunia ini adalah singgasana kami. Alam bahkan turut menari bersama kami yang kegirangan akan cinta. Tahukah betapa bahagianya itu kak?” Wajah riangnya semakin menjadi. Pemuda yang merebah di sampingnya berbalik kepada bukunya.
“Eros telah menyemai hati-hati kami. Aku menyerahkan jiwaku ini karena ku tak lagi memiliki kuasa atasnya. Itu semua karena cinta. Cinta yang telah melahirkanku kembali menjadi orang yang jatuh cinta.”

Remaja itu seolah tak peduli ketika pemuda itu kembali berbalik ke dalam bukunya. Ia terus saja berceloteh, meletuk-letuk, seolah ia adalah manusia yang paling beruntung di dunia ini. Cahaya mulai redup seiring matahari terbelah separuh oleh bumi.
***

Musim kemarau masih berlangsung lebih dari tiga bulan lamanya. Rumput-rumput liar perlahan mulai menguning kekeringan. Pohon tua yang berdiri sendiri di tengah lautan rerumputan tak kuasa mempertahankan dedaunan yang berguguran oleh masa.

Remaja itu kembali lagi, kali ini berjalan dengan gusar. Dia menendang batu, kaleng atau apapun yang berada di sekitarnya. Wajahnya terlihat murung cenderung kesal. Dia menjatuhkan tubuhnya di samping kakaknya yang sedang menggoreskan pena di buku tulisnya. Kakaknya menyadari keberadaanya dan menutup buku tulisnya.

“Persetan dengan cinta, ia melukaiku sangat kejam. Apakah kakak tahu cinta itu hanya bualan novel-novel saja? Semua itu hanya sesaat, tak ada yang abadi. Lihat saja kak, belum genap setengah tahun hubungan kami. Dia sudah jengah dengan hubungan kami dan mulai mencari kekasih lain.” Matanya berkaca-kaca. Kesedihan mendalam menyelimutinya.
“Aku tidak mempercayai cinta lagi, ia adalah sebuah kenihilan ilusi. Ia adalah samaran dari nafsu. Aku baru tersadar bahwa bagi eros, cinta hanyalah topeng nafsu. Dia hanya menginginkan tubuhku, bukan jiwaku.” Dia sesenggukan. Tak berhenti, dia melanjutkan.
“Hatiku remuk, hari-hariku hancur karenanya. Tega-teganya dia berbuat ini kepadaku.” Air matanya berderas deras. Kakaknya memeluknya erat menenangkan.
***

Beberapa tahun setelah itu, tak banyak yang berubah. Angin masih saja berhembus lepas, rerumputan tetap menari dengan lenturnya. Seolah mereka terjebak dalam waktu. Hanya manusia-manusia saja yang berubah cepat. Lihat pemuda itu yang wajahnya semakin kusut oleh umur. Guratan keriput mulai terlihat jelas di jidatnya.

Ia terlihat sibuk menyapu buku tulisnya dengan pena. Buku itu terlihat usang termakan usia. Pemuda itu terkaget dengan kehadiran adiknya yang tak ia ketahui.

“Kak, aku akan menikah bulan depan. Aku baru saja melamarnya secara romantis di sebuah kafe premium. Kutaruh cincin sebagai simbol penyalib cinta di gelas sampanye-nya. Dia terkaget girang dengan kejutanku. Apakah aku cukup romantis?” Dia memperlihatkan cincin yang sudah terkalung di jarinya.
“Aku sudah memikirkannya matang-matang. Aku butuh seseorang yang mendampingi hidupku. Aku butuh seseorang dalam kemapananku. Bukankah hanya kekasih yang bisa melakukan itu semua?” Senyum tipis terlepas dari wajahnya.
“Bayangkan kak, sebuah rumah mungil dengan anak-anak di dalamnya. Bukankah kebahagiaan itu sederhana? Aku harap kakak bisa hadir dalam seremoni titik awal kebahagianku.”
***

Lelaki tua berjalan kepayahan membelah padang rumput dimana dia dulu sering bercengkerama dengan kakaknya. Setelan baju hitam ia kenakan, raut mukanya terlihat sedih. Ia baru saja mengunjungi makan kekasihnya yang meninggal beberapa tahun yang lalu.
Dengan usaha keras ia akhirnya sampai di bawah pohon. Ia melihat seksama pohon itu, mengingat-ingat masa yang telah ia lampaui. Ia meraba kulit pohon yang kering tua. Seolah ada emosi yang tergugah darinya.

Ia tak sadar air mata mengalir ke pipinya. Ia segera mengusapnya dengan tangan. Perhatiannya teralih ketika kakinya terantuk kotak kayu yang terpendam dalam tanah. Ia melemparkan tongkat jalannya dan mulai menggali kotak itu. Kotak itu adalah kotak yang berisi buku-buku yang digemari oleh kakaknya. Ia sengaja mengubur di bawah pohon tempat kakaknya menghabiskan waktunya agar ruh nya bisa berbahagaia kekal di alam lain.

Dia mengeluarkan kotak itu dari tanah, mengusap-usap permukaan kotak yang kotor dengan tangannya. Ia membuka kotak itu dan mengambil buku tulis yang sering digunakan oleh kakaknya. Ia membuka buku itu. Sebuah buku tulis yang tak berjudul.

Dan cukuplah cinta itu oleh cinta,
Semailah jiwa-jiwa kami dalam keabadiannya,

Kutipan diatas menjadi pembuka buku yang ditulis oleh kakaknya. Ia membuka lembar demi lembar. Membacanya membawanya pada masa silam. Membaca buku itu seolah membaca diari dirinya sendiri. Berbagai rekaman kehidupan yang ia lalui. Raut mukanya tak bersedih lagi. Perlahan raut wajahnya berubah, ada pelepasan belenggu.

Kehidupan dan cinta. Cinta memiliki kehidupan dan kehidupan sendiri memiliki cinta. Lalu apa yang dibutuhkan manusia akan cinta kecuali cinta itu sendiri. Cinta dalam harapan, cinta dalam keseharian, cinta dalam ketiadaan. Bukankah cinta itu menjiwai realitas. Realitas nyata, tak nyata dan tak terbatas. Disitulah cinta hidup.

Kakek tua itu bersandar kepada pohon dibelakangnya. Ia menutup bukunya. Angin semilir bertiup, membawa jiwanya dalam ketenangan entah kemana. Ia abadi sebagaimana cintanya.

Comments

Sign In or Register to comment.