Ini adalah kisah nyata saya yang sekarang sedang di lakoni. Beberapa hari yang lalu alhamdulilah saya telah menjadi siswa SMA. Mungkin cerita ini tidak akan banyak konflik karena jika pun ada, maka harus saya sendiri yang membuat. Cerita ini juga mungkin akan update lama soalnya saya bercerita hanya kejadian yang menurut saya menarik.
Jika ada yang mau baca syukur. Tapi tidak pun gak masalah. Soalnya cerita yang dulu saja belum saya lanjut. Yah, kalau boleh jujur rasanya malas.
***
Dan akhirnya...
Hore!! Aku lulus SMP dengan NEM cukup memuaskan! Tak bisa di gambarkan gimana senangnya hatiku melihat peluang untuk masuk SMA favorit di kampungku begitu besar. Namun entah kenapa hati ini tetap resah. Mungkin penyebabnya aku belum tau berapa nem kedua sahabatku. Ahh... daripada penasaran, akhirnya aku berjalan menuju kelas sahabatku dengan senyum sumringah. Lega rasanya jika ternyata perjuanganku menghapal terus-menerus ada hasilnya. Ketika langkahku sudah sampai di depan kelas, aku melihat Killa, sahabatku yang sedang menatap kertas kelulusan dengan pandangan kosong. Dia terlihat putus asa. Sementara Tina menghampirilu dengan senyum sumringah, sama sepertiku. Aku tau... pasti Killa mendapatkan hasil yang tidak memuaskan.
"Kalian berdua pasti masuk. Aku gak papa kok, mungkin aku akan masuk pesantren...," ucapnya lirih dengan senyum yang terlihat dipaksakan. Aku menarik nafas dalam, mencoba mencari kata-kata untuk menghibur Killa. Namun belum saja aku bicara, ibu Killa sudah mengajak dia untuk pulang.
"Aku juga pulang deh, Yan. Ibu sudah nungguin," ucap Tina setelah Killa tidak terlihat lagi. Yah, namaku adalah Rian. Sedangkan Killa dan Tina adalah sahabatku, mereka juga sudah tau tentang orientasiku. Lucu saja jika mengingat aku membocorkan rahasiaku kepada mereka terlalu dini. Tapi apa boleh buat? Mungkin saat itu aku sedang emosi. Hal yang sangat aku benci karena jika itu terjadi, maka akan terlihat suatu kepribadian yang sangat bertolak belakang.
Pertama mungkin aku akan bercerita mengapa aku bisa bersahabat dengan Killa dan Tina. Dimulai dari aku yang sedang memuja laki-laki di sekolah, lalu menjadikan dia sahabat, hingga akhirnya bermusuhan. Dimana awalnya si Dadang-cowok yang aku taksir-mengajak terus aku untuk menginap di rumahnya, lalu tanpa sadar dia memanfaatkanku karena aku tidak pernah berkata "tidak" jika dia sudah meminta. Memang terlihat konyol jika aku tidak bisa menolak, tapi itulah kenyataannya. Dulu saja aku rela datang ke rumahnya jam 11 malam hanya untuk mengerjakan PR dia. Dengan tergesa saat itu aku mengambil jaket lalu menyalakan motor hingga akhirnya menyusuri kampung yang rimbun oleh pepohonan. Rasa takutlu kalah oleh rasa cintaku.
Ketika dia mengajakku untuk bermain skeatboard bersama temannya, saat itu aku bermusuhan dengan dia. Dadang akan selalu bersamaku jika situasi hanya ada aku dan dia. Tapi akan menghiraukanku jika dia sudah bergabung dengan temannya. Entalah... Disatu saat, aku merasa Dadang juga menyayangiku, saat menyayangiku malah. Terbukti ketika hari ulang tahunku yang ke 16, mereka membuat acara tiup lilin di rumah Tina sembari perang telur, menyulut kembang api, serta berfoto dengan senyum mengembang.
Mengingat kejadian itu, rasanya aku pengen ketawa terbahak mengingat konyolnya aku pada waktu itu. Bukan hanya aku, tapi sepertinya Tina juga. Saat itu ada masalah besar antara aku, Killa, dan Tina. Dimulai dam 9 malam lalu selesai jam 2 dini hari. Aku juga lupa lagi gimana awal permasalahannya, namun yang pasti di group BBM yang hanya beranggotakan 3 orang, aku menulis kalimat yang sukses membuat mereka menangis. "Lanjutkan saja persahabatan kalian tanpa aku, toh sekarang si Dadang udah kembali menjadi abang-abangan kalian berdua kan?"
Beberapa menit kemudian Killa menelfon. Aku mendengar dia menangis dengan ucapan menyayat dengan satu kata. "Mengapa..."
Yang kulalukan saat itu hanya diam, tak menjawab satu kata pun. Well, mungkin ini salahku yang dengan egoisnya mementingkan perasaanku ketimbang sahabatku. Oke, saat itu aku khilaf!! Sumbu pertama yang membuat permasalahan ini gara-gara Dadang curhat kepadaku yang isinya dia ingin menembak Killa ketika acara hiking yang akan dilakukan lusa. Konyol bukan? Killa yang notabennya sahabatku hampir aku jauhi gara-gara Dadang. Hingga akhirnya aku menanyakan apakah Killa dan Tina suka kepada Dadang, lalu mereka menjawab iya.
"Kamu gak ngerti perasaan kita, Yan!" ucap Tina di ujung telfon.
Aku yang saat itu lagi emosi tertawa sinis, "Kamu salah. Kata siapa aku gan mengerti perasaan kalian?"
"Ja-jadi kamu juga suka dia?" rupanya Killa cepat tanggap.
Dengan nafas bergemuruh aku menjawab, "Yah aku juga suka sama dia. Puas!? Sekarang kalian bebas menjauhiku atau tidak." Lalu kututup telepon dengan rasa penyesalan yang teramat sangat. Aku bodoh karena telah membuka rahasiaku kepada sahabat yang belum tentu akan bertahan lama. Air mataku tanpa alu sadari telah mengalir.
Setelah beberapa lama, Tina menelponku. Rasanya malas untuk mengangkat telponnya, namun entah bagaimana caranya jari ini menekan tomboh hijau lalu mengarahkan ke telingingaku. "Yan, jadi itu masalahmu selama ini? Mengapa kamu jadi orang pendiam, jarang tertawa, atau bahkan seringkali menjauhi orang?" aku tidak menjawab pertanyaan Tina karena kurasa, mereka berdua udah tau jawabannya. "Hhhhmm, kamu salah jika kita berdua menjauhimu hanya karena masalah ini. Ingat kita ini sahabat. Jujur aku kaget dan tidak menyangka. Tapi, bukankah kata kamu hidup adalah enigma? Kamu tetap sahabat kita...,"
Hingga acara penembakan pun dilakukan di tempat wisana The Rucn yang ada di kampungku. Sengaja kami tidak jadi di puncak gunung karena cuaca tidak mendukung. Aku dan Tina, yang notabennya adalah adik-adikan Dadang membantu acara penembakan agar terlihat romantis dan berkesan bagi Killa. Ahhh, mengingat kejadian itu rasanya dada ini sesak. Saat ditembak oleh Dadang, Killa hanya melontarkan pertanyaan yang aku sendiri sulit untuk menjawab. "Yan, Sit, boleh nggak?" tanyanya dengan senyum mengembang tanpa beban. Dia berada di pinggir air terjun sedangkan aku dan Tina berada di ayunan menahan rasa sesak yang entah kapan menjalar ke seluruh tubuh.
"Kalau aku iya! Kalian adalah pasangan yang romantis!" teriak Tina sembari menengok ke belakang. Ketika melihat ke arahku lagi, ada air yang tergenang di pipi Tina. Dia rupanya tak setegar dengan kata-katanya. Ahh, apakah aku juga bisa tegar?
"Aku juga iya, Kill!" teriakku agar Killa bisa mendengar. Setelah itu aku tersenyum kepada Tina bahwa semuanya akan baik-baik saja. Yah, pasti akan baik-baik saja.
"Aku ke air dulu ya, Kill!" seru Tina lalu beranjak pergi. Aku yang takut terjadi apa-apa terhadap Tina akhirnya mengikuti dia dengan langkah cepat, hampir berlari. Disana Tina terlihat termerenung. Memang sulit jika orang yang kita cintai mencintai sahabat sendiri, karena esensinya mungkin ada kata iri atau semacamnya. Munafik jika saat ini saya juga baik-baik saja, karena disini aky dianggap paling dewasa oleh Tina dan Killa, maka sekuat dan sebisa mungkin aku tetap tegar. Mencoba berdalih tentang motivasi yang belum tentu Tina bisa menerima.
"Tin, okelah disini yang paling egois adalah Killa. Jika dia menganggap kita sahabat mungkin logikanya dia tidak akan menerima Dadang. Biarlah diantara kita semua tidak ada yang menerima. Bukannya sakit satu sakit semua? Tapi disisi lain kita juga harus mengerti. Bahkan Killa sudah memendamkan rasanya udah lama. Juga, seseorang telah mengajari saya bahwa jangan naif jika menganggap sahabat yang paling utama, dan jangan naif juga jika cinta yang paling utama. Semuanya punya porsi yang pas. Kita tidak berhak mengatur kehidupan seseorang mau status kita sahabat atau pacar. Jika pun hal itu harus terjadi, kita harus tau situasi dan kondisinya...," jelasku panjang lebar. Tina menatapku lama, lalu bibirnya tersenyum timpang seraya tersenyum.
"Makasih, Yan..." dia kemudian mencuci mukanya lalu pergi ke atas rumah pohon. Disana kami berdua bisa melihat kesenangan Killa yang sedang bercanda dengan Dadang. Lalu, mata Tina pun kembali berkaca-kaca. "Yan, boleh foto aku disini menghadap ke mereka gak?" aku mengangguk mafhum. Lalu kuarahkan HP-ku ke Tina dan menekan tombol save setelah selesai. Sekarang giliranku yang difoto, yah, untuk kenang-kenangan -_-
Membuat... persahabatan yang telah terjalin renggang gara-gara Dadang!
Atau? Gara-gara Killa?
Mungkin lebih tepatnya gara-gara kami semua yang tidak bisa menahan emosi. Yah, titik dimana seseorang tidak bisa memakai akal sehatnya!
"Yan, ayo kita ke SMA. Bukannya setelah pembagian nem pendaftaran sudah dibuka?" ucap Ema ketika melihatku hanya berdiam diri di beranda. Aku mengangguk lalu memanaskan motor. Kadang aku heran sama Ema. Mau berangkat ke SMA aja pakaiannya seperti mau ke ondangan.
Setelah sampai di SMA aku melihat parkiran yang begitu luas. Ada juga siswa SMP berkeriapan kesana-kemari mencari ruang pendaftaran, atau menunduk jika senior sedang lewat dihadapan mereka. Hhffftt, semoga senioritas tidak diberlakukan di SMA ini. Malas jika karna tidak senyum saja menjadi list senior untuk mengerjai juniornya.
Baru saja aku berjalan menuju tangga, aku melihat seorang cowok hitam sedang berjalan menuju tangga di sebelahnya. Radar homo-ku tanpa ambil komando langsung menyimpan wajah tampan yang siap jadi mangsa. Arrghh, ganteng sekali cowok itu. Meskipun berkulit coklat, tapi bisa dilihat bahwa cowok itiu adalah orang baik. Mau seganteng apapun jika cowok itu berkulit putih, aku tidak akan menyimpan cowok itu dalam daftar karena bagiku, cowok berkulit coklat adalah hal pertama yang membuat seorang cowok menjadi menarik.
"Ma, disana mungkin pendaftarannya," tunjukku dimana cowok ganteng itu masuk ke dalam kelas bersama orang tuanya.
"Kamu itu udah lulus SMP, masa gak bisa baca sih?! Liat, Yan, jalur prestasi!" sahut Ema membuat harapanku untuk sekelas sama cowok itu sirna. Yah karena biasanya siswa yang masuk jalur prestasi akan masuk kelas atletik. Sedangkan aku tidak punya prestasi apapun untuk daftar lewat jalur itu. Badminton hanya juara ke empat. Itu pun sekampung! "Nah itu dia," imbuh Ema ketika melihat tulisan jalur umum. Aku mengikuti Ema dengan langkah berat. Baru saja aku menemukan mangsa, tapi gak papa lah. Pasti ada mangsa yang lain.
Setelah pendaftaran selesai dilakukan, Ema mengajakku pulang. Kata Ema, hari minggu harus ke sekolah mengikuti psikotes untuk masuk ke kelas IPA atau IPS. Aku harus optimis. Optimis masuk IPA dan optimis pasti banyak mangsa-teman baru maksudnya.
Tbc
Comments
kirain tadi itu temennya Rian yg namanya Ema ) )
lanjuut^^
@lulu_75 tidak kok. Nanti akan diceritakan ketika Rian atau dalam cerita itu saya sendiri bersahabat dengan ke 4 cowok...
Nanti kalo lanjut mention ya :-)
Dan ternyata memang benar!
Satu hari itu hanya diisi oleh permainan gak jelas, perkenalan, lalu membuat yel-yel kelas. Sayup-sayup aku mendengar di kelas sebelah mereka tertawa terbahak, bising, dan keliatan seru. Shit! Bukannya hal ini yang aku inginkan dulu? Dimana suasana kelas terdengar sepi tanpa ada keributan, atau bahkan, tidak ada yang bicara sedikit pun. Mungkin gara-gara aku bersahabat dengan Dadang dimana dunianya adalah dunia luar.
"Jangan lupa besok bawa pensin 2b ya," ucap kang Revi ketika jam pulang sudah tiba.
"Oh iya, jangan lupa juga bawa makanan berat," sambung teh Siti. "Baik sekarang kalian boleh keluar kelas," imbuhnya lalu aku pun keluar kelas dengan tergesa. Aku harus mantapkan hatiku untuk merubah segala sikap konyolku di SMP. Aku tidak mau jika masa remajaku digunakan dengan kepepian dan kesendirian. Aku harus mempunyai banyak teman. Kalau sahabat, kurasa Killa dan Tina cukup.
Di koridor cinta kulihat siswa sedang menikmati wi-fi gratis dengan gadged canggihnya. Tujuanku sebenarnya bukan untuk mencari internet gratis, tapi lebih kepada mencari cowok ganteng untuk dijadikan mangsa. Dan ternyata, ada! Aku melihat cowok berkulit coklat sedang duduk manis di tehel jauh dari siapapun. Dengan semangat 45 aku berjalan ke arah sana lalu mengeluarkan HP smartphone-ku hinggu posisiku kini berada di hadapannya. "Tau pasword wi-finya gak?" tanyaku kepada cowok itu. Ternyata namanya Deden-aku melihat di name tag yang tersemat di bajunya.
Cowok yang bernama Deden itu menoleh, "Nggak," balasnya singkat, padat, dan jelas!
"Trus maneh keur naon eta didinya!?" jawabku ketus.
("Trus kamu lagi apa disitu?" jawabku ketus.)
Akhirnya kuputuskan untuk meninggalkan SMA karena tidak ada yang menarik lagi untuk jadi bahan obrolan atau sekedar mencari teman baru. Mau sksd sama kakak kelas malu karena takutnya di SMA ini senioritas masih berlaku. Kadang aku heran kenapa harus ada senioritas. Bukannya sekolah itu tempat penitipan orang tua agar anaknya bisa nyaman dalam belajar ataupun bergaul? Tapi realitanya kebanyakan dari siswa malah tertekan akibat acara buly membuly atau karena ulah siswanya sendiri. Oke disini memang yang jadi pelaku bukan sekolah, tapi yang aku lihat, sekolah justru seperti tidak peduli-maksudku jarang ada yang langsung terjun. Tapi biarlah itu semua terjadi karena biasanya yang jadi korban adalah orang-orang yang meraaa dirinya lebih baik alias songong. Sementara orang-orang yang mempunyai sikap polos jarang di buly oleh siapapun.
Kuambil kunci motor disaku lalu kunyalakan motor beat menuju rumah, menunggu malam hari tiba untuk kemudian aku tidur karena ngantuk.
***
Hari-hari berikutnya ternyata sama dengan hari-hari sebelumnya. Membosankan! Tapi untungnya ini adalah hari terakhir psikotes. Ekspetasiku semoga saja masuk IPA biar anak-anaknya pada baik. Memang hal itu relatif sih, tapi kebanyakan atau dilihat dari fakta yang sudah beredar, kelas IPS itu banyak yang bandel. Tak jarang dari kelas IPS cara bergaulnya membuat gang atau bergumul dengan kehidupan malam. Tapi bukannya aku juga suka keluyuran malam ya? Bahkan jarang tidur di rumah.
Sialnya-mungkin lebih tepat untungnya-sebelum pembagian kelas semua siswa harus mengikuti kegiatan yang memang sudah menjadi tradisi pada setiap sekolah. Yap, kegiatan itu adalah MOPD. Hal ini juga yang membuatku bingung kenapa MOS selalu menjadi momok paling menakutkan bagi teman-temanku. Padahal MOS itu menurutku adalah seni ketika awal masuk sekolah, dimana setiap kejadiannya pasti akan dikenang karena gak mungkin duka terus yang didapat.
"Oh iya sebelum pulang, teteh mau nanya. Apakah disini ada yang mau ikut pengibaran kecamatan?" tanya mentor gugus 2. Kulihat Indra mengacungkan tangan, membuat tanganku juga tanpa sadar bergerak ke atas. Sebenarnya jika ditanya membosankan, tidak sepenuhnya karena digugus 2 ada Indra. Perawakannya seperti tentara, ganteng, tapi sayangnya berkulit putih. Rasanya aku enggan untuk menyukai cowok berkulit putih karena menurutku, itu adalah sesi feminim seorang cowok. Tapi biarlah... toh dia seru anaknya. "Indra sama Rian ya? Oke, nanti sama teteh di daftarin. Sekarang beres-beres dan jangan lupa buat perlengkapan hari senin ya. Kalau bisa parsel makanan gugus 2 harus yang paling bagus, biar jadi gugus terbaik dari gugus yang lain."
Ketika mentor keluar kelas, Indra berbicara mengenai kerja kelompok membuat parsel yang ada di rumahnya. Arrgghh, aku harus ikutan pokonya harus!
TBC
jika yang gak mau di mention bilang ya...
jika yang gak mau di mention bilang ya...
kepepian itu apa?? kesedihan bukan?
lanjuuuttt^^/
keep writing^^)9