KOMPAS.com/Abba Gabrillin
Ignatius Ryan Tumiwa (48), seorang penderita
depresi, saat menunjukan photo copy ijasah
kelulusan dari Pascasarjana UI tahun 1998, Senin
(4/8/2014).
Senin, 4 Agustus 2014 | 20:27 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Ignatius Ryan
Tumiwa (48) mengaku mengajukan permohonan
uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) soal
keinginannya untuk melakukan suntik mati karena
dilatarbelakangi ketidakmampuannya untuk
berobat ke psikiater.
Karena tak juga memiliki biaya, Ryan sempat
mengajukan keinginannya untuk melakukan suntik
mati kepada Komnas HAM dan Kementerian
Kesehatan. Namun, karena keinginannya ditolak
atas alasan undang-undang, Ryan kemudian
mengajukan gugatan ke MK.
Warga Taman Sari, Jakarta Barat, itu mengajukan
permohonan uji materi Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Pasal 344 terhadap Undang-
Undang Dasar 1945. Pasal itu digugat karena
dianggap tidak melegalkan upaya bunuh diri.
Pasal 344 berbunyi, " Barang siapa menghilangkan
jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri,
yang disebutnya dengan nyata dan dengan
sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-
lamanya dua belas tahun."
"Keinginan lain saya melakukan gugatan ke MK,
supaya dilihat oleh media, siapa tahu nanti ada
yang mau bantu saya berobat ke psikiater supaya
sakit depresi saya bisa sembuh," ujar Ryan, saat
ditemui di rumahnya di kawasan Tamansari,
Jakarta Barat, Senin (4/8/2014).
Ryan mengatakan, karena hidup seorang diri dan
tidak mempunyai pekerjaan, selama ini ia tidak
mempunyai biaya untuk dapat berkonsultasi
dengan psikiater.
Saat ditanya soal keseriusannya untuk suntik
mati, Ryan menjawab, itu hanya salah satu solusi
apabila nanti ia sudah tidak memiliki jalan keluar
untuk menyelesaikan masalah yang ia hadapi,
terutama depresi yang dialaminya.
Ryan terakhir kali bekerja sebagai karyawan di
sebuah perusahaan swasta sebagai staf
keuangan, pada 1998. Sejak saat itu, hingga
setahun belakangan, ia hanya mengandalkan
pekerjaan paruh waktu dan uang tabungan yang
ditinggalkan orangtuanya.
"Saya ini jobless, sudah tidak punya apa-apa lagi.
Kedua orangtua saya juga sudah meninggal," ujar
pria yang mengaku lulusan pascasarjana
Universitas Indonesia pada 1998 tersebut.
Baca juga: Minta Bunuh Diri Dilegalkan, Ryan
Dinasihati Hakim MK
Penulis: Abba Gabrillin
Editor: Desy Afrianti
Comments
#Alhamdulilah… jangan sampe gw seterpuruk itu, kayaknya smua orang pernah di masa sulit, tapi bukan brarti hidup brenti sampe di situ aja… slalu ada jalan buat orang2 yg brusaha…
Suntik mati yg dia maksud itu euthenasia yak? Biar mati bahagia n legal gitu? Heuuhh
kemampuan untuk merasakan,
mengendalikan, dan mengevaluasi berbagai
emosi.
Pnilaiannya pke test berupa kuis mirip2 iq dgn mnjwb prtnyaan2 yg brkaitan emosi seseorang
@g700
emank depresi spt apa sih yg dia alami? sampe2 menganggap mati sbg solusi
Patrialis Akbar mengaku dirinya menangis saat
membaca berkas permohonan Ignatius Ryan
Tumiwa (48) yang melakukan uji materiil Pasal
344 KUHP. Patrialis merasa sedih saat
mengetahui permohonan Ryan yang ingin
melegalkan suntik mati karena merasa depresi.
"Saya menangis membaca permohonan dan
keluhan dia di negara ini. Tapi hati saya sudah
tersampaikan ke dia dan dia juga menangis
terisak dalam persidangan," ujar Patrialis di
Gedung MK, Jakarta, Selasa (5/8/2014).
Patrialis mengatakan, dia bertugas sebagai
anggota panel saat sidang perdana Ryan pada 16
Juli lalu. Secara etik, imbuhnya, hakim tidak boleh
berkomentar mengenai perkara yang tengah
ditanganinya. Namun, secara pribadi, Patrialis
mengaku iba dan berharap Ryan berpikir ulang
mengenai permohonannya.
"Saya minta Ryan pikirkan apa permohonan ini
dilanjutkan apa tidak. Kasihan, dia itu saudara
kita juga," ujarnya.
Patrialis menambahkan, sebelum munculnya
permohonan Ryan itu, MK belum pernah
menangani persidangan dengan kasus unik. Ia
berharap, tidak ada lagi permohonan yang
diajukan ke MK serupa dengan permohonan Ryan.
Ketua MK Hamdan Zoelva mengatakan,
permohonan Ryan akan menjadi bagian dari
pengajuan judicial review ke MK. Namun, Hamdan
enggan mengomentari lebih jauh karena
kewenangannya berpendapat mengenai perkara
hanya saat berada di dalam persidangan.
"Tapi karena menyangkut isu personal, saya
sebagai hakim tidak bisa komentari di luar
sidang," kata Hamdan.
Sebelumnya, dalam sidang perdana Ryan seperti
dilansir dalam risalah sidang di laman resmi MK
www.mahkamahkonstitusi.org , Ryan menganggap
Pasal 344 menghalangi niatnya untuk mengakhiri
hidup dengan suntik mati.
Pasal tersebut berbunyi " Barang siapa merampas
nyawa orang lain atas permintaan orang itu
sendiri yang jelas dinyatakan dengan
kesungguhan hati, diancam dengan pidana
penjara paling lama dua belas tahun."
Ryan mengaku depresi karena sejak setahun
terakhir ia tidak memiliki pekerjaan sehingga
kesulitan menghidupi kesehariannya yang tinggal
sebatang kara. Ia mengaku ingin mengobati
depresinya ke seorang psikiater, tetapi lagi-lagi
tersandung masalah finansial. Hal tersebut
melatarbelakangi Ryan nekat melayangkan
permohonan kepada MK untuk melegalkan upaya
bunuh diri.
KOMPAS.com/Abba Gabrillin
Ignatius Ryan Tumiwa (48), menunjukan bagian
dalam rumahnya di kawasan Tamansari, Jakarta
Barat, Senin (4/8/2014).
Selasa, 5 Agustus 2014 | 09:05 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Keinginan Ignatius
Ryan Tumiwa (48) yang ingin melakukan suntik
mati dengan mengajukan uji materi kepada
Mahkamah Konstitusi (MK) untuk merevisi Pasal
344 KUHP tentang euthanasia atau upaya untuk
mengakhiri hidup seseorang dengan tenang, telah
diketahui keluarganya.
Kakak Ignatius, Alvin, menolak mengomentari
keinginan adiknya itu. Menurut dia, sang adik,
bisa jadi hanya depresi.
"Iya, saya tahu soal itu, tapi saya tidak mau
berkomentar soal itu," ujar Alvin, kakak kandung
Ryan, kepada Kompas.com , Selasa (5/8/2014).
"Mungkin saja memang dia lagi depresi," kata
Alvin menambahkan.
Ignatius merupakan anak bungsu dari empat
bersaudara. Hery, tetangga Ignatius, mengatakan,
salah satu kakak Ryan tinggal di Malaysia, yang
lainnya tinggal di Kebon Jeruk, Jakarta Barat, dan
Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Sebelum tinggal seorang diri, Ignatius tinggal
bersama kedua orangtuanya. Namun, pada 2005,
ibunya meninggal dunia, dan pada 2012 ayahnya
juga meninggal dunia. Sejak ditinggal ayahnya,
dia mengaku stres.
"Mau gimana lagi, saya sudah hidup sendirian.
Ayah serta ibu saya sudah meninggal. Kakak
saya sudah punya keluarga sendiri, sudah jarang
ke mari. Makanya lebih baik saya mati saja," kata
Ignatius.