Yogyakarta pagi ini, langit biru tak berawan seperti lautan terbentang luas. Hari yang cerah dan menyenangkan, setidaknya bagi kebanyakan orang. Namun ternyata seorang laki-laki tak mampu menerjemahkan hari yang indah menjadi kebahagian. Dia adalah Ivan. Kasihan!
Dia tahu betul, sebagai seorang laki-laki yang sudah beranjak dewasa tak boleh lagi manja. Seharusnya dia tidak terlalu menthel. Dia seharusnya bermain futsal bersama teman-temannya, bukan malah menyendiri dan menyibukkan diri dengan mendesain baju-baju berpola cantik.
Begitulah ia menempatkan dan menjerat dirinya dengan nilai-nilai lingkungannya. Dengan begitu dia menjadi sesuatu yang lebih bisa diterima oleh lingkungannya.
Dia sangat benci hal itu. Namun kadang ia tak punya kuasa untuk hanya mengatakan tidak! Seperti hari ini, Ivan pada akhirnya tidak bisa menolak paksaan teman-temannya untuk pergi ke festival musik rock. Bayangkan Ivan yang sering terhanyut oleh lagu-lagu Tulus pergi ke sebuah festival rock?
Mood-nya sudah hancur ketika dia tidak bisa menolak ajakan teman-temannya. Ditambah dia dipusingkan dengan urusan baju yang seharusnya ia kenakan ke konser itu. Bayangannya melayang ke baju-baju seram berwarna hitam atau gelap, sebuah mimpi buruk!
Ivan berdiri mematung di belakang gerombolan yang sebagian besar adalah laki-laki. Seperti dugaannya, kebanyakan mereka berpakaian serba hitam. Di atas panggung sudah ada beberapa orang yang memainkan musik bertempo cepat. Ivan terkaget ketika tanggannya ditarik oleh temannya. Dia diseret ke depan, menembus keramain laki-laki berbau keringat tanpa parfum. Berdesakan dengan mereka yang berjoget gila, tersikut kanan dan kiri. Dia hampir pingsan ketika menelisik keramaian itu. Ivan sekarang benar-benar yakin datang ke tempat ini adalah sebuah kesalahan besar.
Beberapa band sudah naik-turun, tak satu pun dia tahu bagaimana orang-orang bisa berjingkrak gila menikmati musik dengan tempo cepat dan bersuara serak seperti itu. Dan berjam-jam yang dia nikmati hanyalah kekosongan sampai akhirnya band utama dipanggil oleh host. Dia sumringah, penderitaannya akan segera berakhir.
Panggung yang awalnya terang menjadi gelap. Lagu festival diputar, kita seperti berada diantara arakan parade. Semua penonton mendadak tenang. Ivan merasakan sebuah atmosfer yang sangat kontras dan aneh. Lampu panggung perlahan menyala, menarik semua perhatian ruangan. Seorang laki-laki berdiri di depan electro keyboard dan mixer. Dialah yang memainkan musik bergaya festival itu. Tak nampak sekalipun sosok seorang rocker darinya.
Tak lama anggota band lainnya bermunculan dengan baju mereka yang serba hitam. Diantara mereka bahkan tak memakai baju, memamerkan tatto.
Jika penonton lain memusatkan perhatian pada si front man, mata Ivan belum beralih pada sosok pemain electro keyboard yang berpenampilan biasa saja itu. Dicermatinya laki-laki biasa itu. Gerak-geriknya memainkan papan keyboard atau ketika dia menjadi backing vocal. Walau dengan tempo musik secepat itu, dia terlihat menari anggun gemulai di mata Ivan. Sesuatu yang aneh telah menghipnotisnya secara misterius.
Tanpa dia sadari betul dirinya ikut berjingkrak. Teman-temannya sempat terkaget melihatnya. Namun mereka tak mau berpikir panjang dan turut berjingkrak bersama. Satu jam berlalu dengan sangat cepat. Ivan kecewa ketika laki-laki itu akhirnya harus menghilang dibalik tirai panggung. Festival telah usai, dia pun tak lagi berbahagia. Raut mukanya nampak kecewa.
Malam itu Ivan masih terbayang oleh seorang laki-laki biasa yang dilihatnya di atas panggung. Dia mencoba memastikan hal misterius yang membuat semua kontradiksi yang ada tiba-tiba lenyap. Tak sedikit pun jawaban yang ia temukan, justru imajinasi bersamanya lah yang ia temukan sebagai pemupuk tidur. Dan dia akhirnya melayang bebas. Lalu jatuh. Hatinya.
Pagi harinya dia mencoba mengulik berbagai informasi mengenai idola barunya. Sayang, teman-temannya pun tidak terlalu banyak. Katanya dia adalah additional player dari band, bisa saja tampil di festival kemarin, bisa jadi panggung berikutnya dia tidak akan tampil. Air muka Ivan berubah kecewa. Teman-temannya tampak bingung dan bertanya-tanya. Setan seperti apa yang merasuki Ivan hingga dia mulai menyukai musik rock.
Akhir pekan yang tenang. Ivan sedang mendesain beberapa baju di halaman belakang rumahnya. Tiba-tiba seorang teman menghampirinya tiba-tiba. Dia duduk di kursi bersebelahan dengan dengan Ivan. Ivan sepertinya sudah terbiasa dengan perilaku temannya yang urakan dan serba bebas. Dia mengacuhkan temannya dan terus menggambar.
“Band idolamu mangung malam ini.” Kata temannya.
Ivan seketika menghentikan gambarnya. Dia terkejut, mendengar kata-kata temannya. Walau dia yakin pemain electro keyboard-nya belum pasti datang. Dia sangat terharu dengan perbuatan temannya. Namun dia tak lantas terbawa dengan kebahagiannya. Temannya mewanti-wanti bahwa band idolanya akan manggung di tempat “spesial”. Tanpa pikir panjang Ivan mengatakan dengan sangat antusias akan datang di panggung mereka malam ini.
Sore harinya Ivan kelabakan memilih baju untuk pergi ke konser. Dia tidak punya waktu untuk membeli baju baru agar terlihat seragam dengan pecinta musik rock. Akhirnya dia memilih baju yang paling lekong dari koleksi bajunya.
Malam hari temannya menghampiri Ivan. Betapa kaget dia ketika melihat Ivan membuka pintu rumahnya. Dari atas kepala hingga kaki temannya melihat Ivan. Topi berduri, rompi jeans tanpa lengan, kaos hitam dan celana jeans yang dipotong tak lebih panjang dari hot pants. Kali ini temannya semakin yakin bahwa Ivan telah kerasukan sebuah setan misterius.
Temannya sempat menanyakan apakah Ivan benar-benar yakin mau memakai pakaian itu. Dengan muka riang Ivan menjawab yakin. Temannya melengos menuju mobilnya.
Mobil diparkirkan di depan kafe yang lebih mirip terlihat seperti klub malam. Di depan kafe sudah berjibun banyak orang dengan pakaian serba hitam. Entah kenapa, Ivan sepertinya merasa seperti sedang diawasi. Dia melihat sekeliling, banyak orang yang sepertinya telah teler.
“Oi, mau nonton konser apa nge-mall!” Dari kejauhan terdengar sayup-sayup suara.
Ivan sempat menghentikan langkahnya. Antusiasnya seketika padam. Dia merasa lingkungan seperti ini tidak lagi kondusif baginya. Terlalu patriarkhis dan maskulin strict, dia tidak terlalu suka aturan seperti itu.
Temennya segera menyeret Ivan dan tidak terlalu memikirkan kata-kata orang tidak jelas itu. Mereka masuk kafe, bau rokok yang menyengat adalah hal pertama yang Ivan rasakan. Kira-kira sama pekatnya ketika dia pergi ke klub malam. Namun di tempat ini, baunya telah tercampur dengan berbagai hal yang sulit ia diskripsikan.
Beberapa band sudah bermain. Mereka belum maju ke depan panggung, memilih melihat dari belakang sembari menanti band idola Ivan tampil.
“Kamu suka musik mereka?” Temannya bertanya tentang band yang sedang bermain di panggung.
Ivan hanya menggeleng tanda tidak suka. Tak lama kemudian band lain naik ke atas panggung.
“Kalo mereka, suka?”
Ivan menggeleng lagi. Temannya semakin heran apakah Ivan benar-benar menyukai musik rock. Tetapi kenapa dia bersikeras untuk datang ke tempat semacam ini. Dia sendiri kadang berpikir dua kali untuk pergi ke tempat macam ini.
Akhirnya waktu yang dinanti tiba juga. Host acara memanggil band idola Ivan. Dia bergegas menyelinap diantara kerumunan agar bisa berada di depan panggung. Posisi yang paling bagus untuk melihat konser. Sementara temannya mati-matian berdesakan mengikuti Ivan.
Lampu ruangan padam remang kemerahan. Ivan sangat berharap pemain idolanya bermain malam ini. Musik festival terdengar lirih dan semakin keras. Degup jantung Ivan semakin kencang. Ivan berjingkrak, benar-benar berjingkrak, ketika lampu menyoroti pemain idolanya. Dia tidak mampu membendung rasa bahagianya. Orang-orang yang berada disekitarnya memandang Ivan dengan tatapan aneh. Mungkin dalam hati mereka heran, pertunjukan belum dimulai tapi sudah ada orang yang kesetanan.
Pemain band lain segera masuk dan musik segera dimainkan. Seketika lautan penonton yang tadinya tenang berubah menjadi ombak yang ganas. Penonton yang berada di depan panggung seolah kesetanan dan mulai berjoget liar. Tonjok sana-sini, tendang sanasini. Ivan tidak siap dan tidak pernah membayangkan bahwa pertunjukan konser bisa seliar ini. Dia mencoba bertahan dari deraan joget hantam dan tendang dari tendang dan menikmati si pemain idolanya bermain.
Sayang, sepertinya sangat susah untuk menikmatinya. Semakin lama band musik itu bermain, lautan penonton semakin ganas hingga Ivan terombang-ambing. Suasana semakin tak kondusif ketika penonton lain mulai meludah ke arah Ivan tanpa suatu sebab yang pasti. Tak mampu bertahan, Ivan tersungkur. Dia beruntung temannya segera menolongnya dan membawa dia pergi ke belakang sebelum terinjak oleh penonton yang sedang trance.
Ivan berakhir duduk di kursi bar. Temannya membawakan sebotol aqua untuk membantu agar Ivan menjadi lebih tenang. Raut muka kaget dan kecewa beraduk terlihat jelas di wajah Ivan. Hatinya bergejolak, imajinasinya runtuh. Dia sadar bahwa idolanya terlalu mustahil untuk diraih walau dia pernah berjarak hanya 5 meter saja.
Pertunjukkan telah usai temannya mengajak Ivan untuk pulang. Namun Ivan belum mau beranjak dan ingin menenangkan hatinya yang hancur.
Secara ajaib pemain idolanya datang, duduk di kursi bar tah jauh dari Ivan berada. Hati Ivan berbalik lagi, sekarang dia gundah. Inilah satu-satunya kesempatan baginya untuk berada setara dengannya. Di bar, mereka hanyalah orang yang memesan minuman, bukan penonton dan rockstar.
Teman Ivan kembali heran melihat Ivan terus melirik-lirik salah satu band pemain band idola Ivan. Tak lama kemudian, Ivan beranjak dari kursi menuju pemain band Idolanya yang hingga saat ini tidak ia ketahui namanya. Temannya yang duduk menemani Ivan hanya bisa melongo.
“Maaf mas mengganggu.” Sapa Ivan.
“Ada apa?” Pemain musik itu menoleh.
“Bisa minta tanda tangan?” Ivan menyodorkan spidol.
“Kertasnya mana?” Tanya pemain musik itu.
Ivan menyodorkan pergelangan tangannya.
“Tangan?” Pemain musik itu heran. Dengan raut muka yang aneh dia memberikan tanda tangan di pergelangan tangan Ivan.
Selesai memberikan tanda tangan, pemain musik itu kaget karena tanpa seijinnya Ivan menarik tangan dan menuliskan kombinasi angka dan huruf yang sepertinya adalah nomor Pin BBM Ivan.
Ivan memanggil temannya dan bersiap untuk pulang. Temannya tidak bisa berkata apa-apa melihat kejadian itu. Keluar dari kafe, Ivan menemui udara yang lebih segar. Suasana hatinya pun kembali bahagia. Dilihatnya tanda tangan dari sang idola di pergelangan tangannya.
Tertulis “FRZ”
“Tanpa huruf vokal?” Ivan kebingungan bagaimana menyebut nama si idola.
Comments
Klo update lagi mention ya.trims.
puyeng
tp menarik, beda dr yg laen..
moga ga jd ngebosenin nantinya. :