FIRST LOVE
PROLOG
Di sebuah museum, pada suatu siang…
“Kenapa kamu suka mengambil objek foto seperti ini?” tanya seorang pengunjung.
“Saya suka mengambil foto close-up karena dengan itu kita akan focus melihat sesuatu yang biasanya kurang diperhatikan jika diambil secara keseluruhan,” terang seorang pria, yang tak lain adalah pemilik foto-foto yang sedang dipamerkan.
“Lalu bagian mana yang biasanya sering kamu jadikan objek dan menjadi focus utama dalam karya-karyamu?” tanya salah seorang dari tiga dara yang sejak tadi tersipu-sipu malu sembari terus mengarahkan kamera ke arah sang pria.
“Mungkin mata,” jawab sang pria seraya memandang satu potret berupa potret sepasang mata yang di close-up tepat tergantung di hadapannya.
Sedang asyik berbincang, tiba-tiba terdengar suara rengekan bayi dari arah belakang. Serta merta pria itu menoleh dan berkata, “Sorry ya, bayi kecilku menangis…” dan langsung berjalan menuruni tangga.
Sepeninggalan pria itu, ketiga dara tersebut saling pandang. Salah satu dari mereka berujar, “Cakeepp bangeeettt…”
“Iya. Sayang banget udah punya anak,” ujar temannya sambil merengut dan mengigit jari.
Sementara itu sang pria dengan senyum manisnya mendekati kereta bayi dan berkata dengan lembut, “Kenapaaa? Kok nangis sih sayang? Lapar yaaa? Jangan marah yaaa…”
Bayi lelaki yang imut dan menggemaskan---semakin menggemaskan dengan selotip hitam yang menempel di atas alisnya--- itu langsung diam.
“Hey, jangan marah, sayang,” kata sang pria sembari merogoh kantongnya dan, “Taraaa…!!!” ia mengangkat dua potong selotip hitam pendek dan menempelkan ke atas alisnya.
Sang bayi pun tersenyum.
***
Comments
Seseorang yang selalu ada di lubuk hatiku terdalam…
Saat aku memikirkannya, hatiku selalu merasa..uhmm, sedikit sakit.
Tapi, entah kenapa aku selalu ingin bersamanya. Meskipun aku tak tahu di mana dia sekarang… apa yang sedang dilakukannya…
Tapi yang aku tahu, dia adalah seseorang yang membuatku mampu memahami sesuatu yang dinamakan CINTA…
-Zeko-
***
Dia. Cowok yang mengendarai motornya dengan santai lantas berhenti ketika lampu lalu lintas berganti merah…
Spontan Zeko menunduk, meskipun matanya masih masih ingin menatap wajah cowok itu.
Tiba-tiba segerombolan gadis-gadis berlari melintas.
“gW tahu kenapa lu selalu ngajak pulang lewat jalan ini,” kata si pemilik tubuh subur pada temannya. “Karena dia kaaannn???” seraya menunjuk ke arah cowok itu.
“Bukaaannn!!” bantah cewek berkaca mata keras. “Anu, motornya itu lho, aneh, hihihih..”
Zeko kembali menatap cowok itu dan juga motor yang dikendarainya. Tidak ada yang aneh dengan motor itu, kecuali warnanya yang orange. Dan apakah orange itu aneh?
“Ah, alesan,” gumam Zeko. “Bilang aja kalo lu suka sama dia…” gerutunya kesal.
Well, nggak salah sih banyak orang yang menyukainya. Dia sangat pintar dan…tampan. Hanya saja sampai saat ini Zeko belum tahu siapa nama cowok itu.
“Woyyy! Ayooo!!!” teriak Esa membuyarkan lamunan Zeko.
***
Sepulang sekolah Zeko kerap membantu Mamanya. Entah itu menjemput turis yang ingin menginap atau sekedar mengantar makanan dan mengambil piring kotor di atas meja.
“Ma, meja nomor 3 pesan nasi goreng!” seru Zeko.
“iya…” jawab Mama.
“Wait a minute, sir,” kata Zeko ke turis yang baru saja memesan menu seraya berjalan menuju belakang dengan tangan membawa piring dan gelas kotor.
“Bantu woyy!” Zeko merebut majalah Bobo yang tengah dibaca oleh adiknya.
Dira yang duduk di atas meja, di dekat sang Mama yang sedang mengiris wortel langsung berteriak dan mencebikkan bibirnya.
“Ko, habis anter nasi gorengnya ntar, kamu ke pasar ya?” pinta Mama tanpa mengalihkan pandangannya dari wortel yang tengah beliau iris.
“Sip!” sambut Zeko.
“Ikut ya, Kak?” pinta Dira.
‘Ogaahhh!” sambar Zeko cepat.
Dira yang masih duduk di bangku SD itu langsung pasang wajah cemberut.
“Kok teman-teman kamu nggak mampir ke sini, Ko?” tanya Mama.
“Emang nggak bosen liat muka mereka tiap hari di sini, Ma?” Zeko balik nanya.
“Lha, kamu sendiri nggak bosan dari kelas satu sama-sama mereka terus?” Mama balik nanya lagi.
“Kak Zeko mah nggak punya pilihan, Ma. Mana ada yang mau gabung sama geng culun kayak mereka, hihihihi…” sambar Dira.
“Oh, yaaa?” Zeko menarik kepang rambut adiknya dengan gemas.
“Teman tetaplah teman, jangan hanya melihat tampang saja…” kata Mama.
“Tapi kebanyakan orang berteman karena cantik atau nggak, Ma…” kata Dira lagi. “Dan untung aku cantik kayak Mama… coba kalo kayak Papa, pasti aku culun kayak Kak Zeko dengan kaca matanya itu, kikikiki…” sambung Dira bangga luar biasa.
Mama tersenyum sambil geleng-geleng kepala.
Zeko mengatupkan gigi kuat-kuat.
“Kalo nggak, bisa-bisa pas gede aku nggak punya pacar…” Dira masih nyerocos.
“Ya, ya, ya. Pintar banget. Mendingan kamu pacaran aja, nggak usah sekolah,” Zeko menarik kepang rambut adiknya lagi.
“Hey…! Udahhh….Kaliankan udah besar, masih aja berantem…” lerai Mama. “Dira, kamu juga. Jangan ngomong kayak gitu, Nak. Nggak bagus menjelek-jelekkan orang tua…”
Zeko langsung meletin lidah ke Dira.
“Udah. Ko, buruan ke pasar. Biar Mama yang nganter nasi gorengnya.”
“Siap laksanakan…!” jawab Zeko sambil ngeloyor pergi. Tapi tentu saja saat melewati Dira, ia kembali menarik kepang rambut adiknya itu.
Dira serta merta langsung menoleh ke Mama minta pembelaan. Sayangnya sang Mama nggak ngomong apa-apa.
‘Papa lagi di Amerika. Dia nggak bisa dengar!” gerutu Dira akhirnya untuk melampiaskan kekesalannya.
***
Tiba-tiba sesuatu mengejutkannya ketika melewati sebatang pohon. Tiba-tiba saja sesuatu melompat turun dari atas pohon dan hampir menimpanya. Ia pun refleks menghindar.
Angin lembut tiba-tiba berhembus semilir saat seseorang berdiri tepat di hadapannya. Cowok itu lagi. Dengan seekor anak kucing lucu di pelukannya dan dua tangkai buah mangga di tangan kanannya.
“Mau Mangga?” ia menyodorkan sebuah mangga itu dengan senyum manisnya.
Zeko langsung menahan nafas. Dia…ngasih gw…mangga? Gumamnya dalam hati.
Zeko menyambutnya dengan kikuk tanpa mengucapkan terima kasih. Cowok itu lalu langsung berbalik dan berjalan dengan setangkai Mangga yang lain.
Oh Tuhaann, apa yang barusan terjadi??? Dia menghadiahi gw buah Mangga? Zeko bengong sambil menatap langkah si cowok. Cowok itu berhenti di depan seekor induk kucing yang tengah tiduran di bawah pohon dan menaruh anak kucing di pelukannya ke dekat sang kucing.
Jadi tadi ia manjat pohon mangga itu untuk gw dan untuk nyelamatin tuh anak kucing? How sweet, jerit hati kecil Zeko.
“Mau Mangga?” cowok itu menyodorkan setangkai Mangga yang tersisa ke seorang gadis yang kebetulan melintasinya.
Zeko langsung menelan ludah. Oke, Zeko, jangan ngimpi ya. Mangga ini bukan cuma buat lu! Kenyataan kembali menghempaskannya ke bumi.
***
“Kapan ya kita jadi bagian mereka? Bosan nih dari TK ketemu sama kalian lagi, kalian lagi…” desis Bella, teman sebangku Isna.
“Kita sih belajarnya ogah-ogahan,” kata Isna.
“Udah, udah. Sudah dijumlahkan belum? Berapa?” Pungkas Jivika, teman mereka yang tempat duduknya di belakang dan sengaja bergabung buat ngobrol di bangku depan.
“Yang lu 28,” kata Bella.
“Oke. 25-30 cowok yang cocok, yang memiliki jiwa kepemimpinan dan dapat memberikan rasa nyaman. Cowok ini sepertinya… Tom, pemimpin Risma?”
Zeko langsung tergelitik mendengar percakapan ketiga cewek itu.
“Kalau gw?” tanya Isna.
Bella langsung membaca buku-entah-apa di tangannya. “Jumlahnya 15-25. Cowok yang cocok adalah yang suka olahraga. Uhmmm, Ken kali ya? Pemain basket?”
‘Awww…!” Isna langsung bergerak-gerak kayak orang sarap sambil mendorong-dorong Bella.
“Tapi Ken kan demen berantem?” timpal Jivika.
“Ih. Iya ya? Gak jadi dah ah!” Isna langsung merengut.
“Nah, kalo untuk gw pastinya anak geng dong…” kata Bella kemudian.
‘Ya, ya. Untuk lu seharusnya Beno, si berandal sekolah!” sambar Isna.
Mereka semua cekikikan. Termasuk Zeko, yang mencuri dengar. Siapa yang tidak kenal dengan Beno. Cowok berandal di sekolah, dengan badan gede, tapi otaknya kecil. Hahaha.
Mereka bertiga langsung menoleh saat mendengar kekehan Zeko.
“Kenapa, Ko? Ketawa sendiri…” tegur Isna.
“Yup. Bella-Beno. Sama-sama B. Kayaknya emang jodoh,” kata Zeko.
“Benar! Hahahaha…!” sambut Jivika.
“Ugh!” Bella langsung mencubit lengan Zeko.
“Kalian lagi ngapain sih?” tanya Zeko.
“Mau diramal?” tawar Isna.
“Sebentar…” kata Jivika sembari menjumlahkan angka-angka entah apa di secarik kertas. “Jumlahnya 30!”
“Hmmm,” Bella langsung membuka bukunya. “Yang cocok buat lu itu adalah orang yang terkenal. Uhmmm, siapa ya???”
“Orang gila… orang gila… hahaha!” tiba-tiba serombongan cowok melewati kelas Zeko sambil mengarahkan telunjuk ke salah satu cowok di antara mereka dan ketika cowok itu menoleh…
Cowok itu lagi, dengan selotip hitam yang menempel di atas alisnya.
“Pake selotip, hahaha…dasar Avid stress…” Bella geleng-geleng kepala.
Avid? Namanya Avid?
“Dulu Avid itu anaknya berandalan juga. Nggak nyangka sekarang bisa masuk ruang 10,” kata Jivika.
Dia di ruang 10?
“Dengar-dengar gara-gara dia pas SD dua siswa dikeluarkan dari sekolah ya?”
‘Yup. Teman gw kan sekelas sama dia dulu. Berandal banget dianya,” jawab Jivika.
Berandal? Sekarang masih nggak ya?
Ah, mau berandal atau nggak, yang penting gw udah nemuin sosok yang terkenal itu, gumam Zeko dalam hati.
***
“Kenapa saat jam bahasa Inggris muka kalian jadi ditekuk semua, eh?” tegurnya seraya menaruh buku ke atas meja.
“Ceria dong seperti saat makan siang tadi…” sambungnya.
Zeko senyum-senyum. Well, bahasa inggris adalah mata pelajaran favoritnya.
“Tapi jangan juga senyum-senyum sendiri kayak si Zeko…”
Zeko nyengir.
“Pintar Cuma bahasa Inggris aja…”
Deg. Cengirannya langsung sirna seketika.
“Tapi dalam mata pelajaran lain, so bad!”
Sial.
Anak-anak langsung cekikikan.
“Oke, hari ini kita masuk materi tentang vocabulary and grammar dari sebuah puisi, “ terang Bu Meg tanpa rasa bersalah sudah mempermalukan Zeko.
Tiba-tiba saja Zeko merasa tak bersemangat untuk mengikuti kelas bahasa Inggris saat ini. Entah kenapa pikirannya sedari tadi selalu tertuju ke dia—Avid.
Avid… ruang 10.
Zeko langsung berdiri dan buru-buru permisi. Dan tujuannya sudah jelas ingin melewati ruang 10 sekedar melihat wajah Avid.
Ruang 10 terletak di lantai atas. Saat ia melewati koridornya, tak ada satupun manusia yang lewat. Sangat lengang. Zeko langsung merapikan seragam sebelum melintas di depan pintu ruang 10 yang terbuka lebar.
Uhmm, Avid. Sayang ia lagi menunduk dan Nampak focus melakukan entah apa di ikat pinggang teman di depannya.
Ugh, gerutu Zeko kesal. Ia terus saja berjalan menyusuri koridor….
Sementara itu, di dalam kelasnya, Avid tengah sibuk mengikat tali ke tiang meja. Ujung tali yang satunya sudah diikat ke belt loops*-nya Kevin, teman yang duduk di depannya.
Tiba-tiba sang guru berkata, “Kevin, jawab pertanyaan di papan tulis!”
Kevin yang tengah memandangi wajah Aira--cewek yang sudah ditaksirnya sejak lama—yang duduk di barisan depan sangat terkejut.
Avid tak kalah terkejut. Mampus deh gw, desisnya dalam hati.
Beberapa buah meja ikut terseret ketika Kevin berdiri dan berjalan. Semua karena tali yang diikatkan Avid ke meja tadi.
“SIAPA YANG MELAKUKANNYA?!”
Semua mata langsung tertuju ke Avid. Avid pun hanya bisa nyengir kuda.
***
Langkah Zeko terhenti ketika menyadari di koridor ini bukan hanya ada dia. Tepat di depan ruang 10, berdiri Avid dengan tangan terentang dan kaki di angkat sebelah seperti orang lagi kena hukuman.
Emang dia habis melakukan kesalahan apa? Hati Zeko bertanya-tanya.
Tiba-tiba Avid menurunkan tangannya dan mengeluarkan headset dari saku celananya dan menempelkannya ke telinga. Lalu ia mulai joget tak karuan.
“Sssttt..!” Avid langsung menaruh telunjuk ke depan bibir saat melihat Zeko.
Zeko tersenyum geli dan mengangguk.
***
Setelah hari itu, Zeko keranjingan menyambangi ruang 10 saat jam istirahat. Sengaja berdiri di ujung tangga hanya untuk melihat Avid berjalan melintasinya. Ia sudah menjadi penguntit Avid. Mengikuti kemana Avid pergi secara diam-diam. Melihatnya bercanda bareng teman-temannya, bermain bola bareng teman-temannya… dan ternyata Avid jago bermain bola. Tapi ia tidak ikut jadi team sepak bola sekolah.
‘Hebat lu, Vid. Kapan lu gabung jadi tim sepak bola sekolah?” tanya Hendra, teman sekelasnya yang tergabung dalam tim sepak bola, selepas Avid mencetak gol.
“Main kayak gini tiap hari udah cukup menyenangkan,” balas Avid.
“Lu masih takut? Ayolah…”
Avid hanya tersenyum.
“Vid! Avid!” seorang cewek cantik melambaikan tangan kea rah Avid yang lagi ngobrol sama Hendra.
“Eh, ntar gw balik lagi ya!” Avid menepuk pundak Hendra sebelum berlari menemui cewek cantik itu. Ditilik dari seragamnya, cewek itu tidak bersekolah di tempat yang sama dengan Avid.
Karuan saja seluruh cewek-cewek menatap cewek cantik itu dengan tajam. Tatapan mata mereka penuh selidik. Bukan hanya cewek saja ternyata. Ada cowok juga, salah satunya Zeko.
“Itu ceweknya Avid?”
“Bisa jadi. Cantik sih…”
Entah kenapa, dada Zeko langsung bergemuruh mendengar celotehan dua cewek sok tahu di sampingnya.
“Nggak mungkinlah!” bantah Zeko sambil berjalan cepat meningggalkan lapangan bola.
Dua cewek itu mengernyitkan kening dan saling pandang. “Kenapa sih dia?”
“Tahu. Dasar culun!”
***
Semuanya berampur baur dalam benak Zeko.
Ia menatap wajahnya di cermin toilet. Meneliti setiap lekuk wajahnya lekat-kekat. Jangankan cowok, cewek aja mana ada yang mau dengan cowok bertampang culun kayak gw, desisnya. Muka kusam, berkaca mata, rambut lepek. Seandainya saja Avid itu gay, dia juga pilih-pilih cowok juga lah. Nggak mungkin milih yang kayak gw, desis hatinya.
***
“Tadi Papa kalian telepon Mama,” kata Mama saat Zeko dan Dira lagi makan siang.
‘Oh ya? Papa bilang apa?”
“Papa nyuruh Mama cek kiriman uangnya---“
“Yeee!” seru Dira.
“Bisa beli komik baru nih…” kata Zeko.
“Komik terus…” gerutu Mama.
“Tahu deh. Mendingan buku pelajaran,” Dira sok menasehati.
“Anak kecil diam aja. Noh, main sama Oki dan Nirmala,” balas Zeko sambil menunjuk majalah Bobo di atas meja.
“Papa bilang kalo kalian dapat rangking satu, papa bakal kirim tiket ke Amerika. Liburan di sana…”
‘Wawww…! Serius, Ma?!” seru mereka berdua kegirangan.
“Ah, pasti boong. Tiket kesana kan sangat mahal. Mana mungkin Papa mau beliin…” kata Dira kemudian.
Mama ketawa. “Papa kalian tahu kalo kemungkinan kalian dapat rangking satu itu sangat sulit,” kata Mama dengan kalem.
Zeko dan Dira misuh-misuh.
“Kalo nggak, mana mungkin dia berjanji seperti itu…”
“Lihat aja. Aku bakal mendapat rangking satu! Papa lihat aja ntar!” tekad Zeko.
“Oh ya? Kapan? 30 tahun lagi?” celetuk Dira.
Hhh. Dasar nih anak. Selalu mematahkan semangat orang lain, gerutu Zeko.
***
“Mang, fanta satu ya!” seru Zeko.
“Gw duluan Mang!” tiba-tiba saja Beno datang dan langsung menyerobot antrian.
“Antrian dong, Bro…” gerutu Zeko kesal.
“Gw haus. Masalah?!” ia menghardik Zeko.
Zeko menghela nafas.
“Lu pada itu harus utamain kita yang anak-anak tim basket. Kita yang harumin nama sekolah ini,” Brian, temannya Beno ikut-ikutan.
Keributan itu rupanya memancing perhatian. Tak terkecuali Avid yang sedang main bola sama teman-temannya. Ia langsung berjalan menghampiri kerumunan. Tetapi bukannya ikutan menonton seperti yang lain, ia malah langsung ngeloyor menuju kantin.
“Uhm, Mang, Fanta-nya satu!”
Suara Avid barusan langsung menyita perhatian. Bahkan Brian planga-plongo kayak orang bego ngeliatin Avid. Sementara yang diliatin setelah membayar langsung berjalan gaya cool menghampiri Zeko.
“Fanta?” Avid menyodorkan botol Fanta yang tadi ia beli ke Zeko.
“Engg, I-iya..” Zeko menerima dengan salah tingkah. Oh, God, mimpi apa gw semalam??? Desis hati Zeko kegirangan.
Avid tersenyum lalu kembali berjalan menuju lapangan. Tapi saat melewati Brian dan Beno, ia kembali melempar senyuman. Seyuman sinis yang meremehkan.
“Brengsek!” umpat Brian kesal.
***
Avid berjalan gontai menuju ruang olahraga untuk menyimpan bola saat sebuah tangan menarik belakang bajunya. Saat ia menoleh, sebuah tinju langsung menghantam pipi kirinya.
“Apaan nih??”
“Lu mau jadi pahlawan di lapangan kayak Bapak lu?” ejek Brian.
“Jangan sok-sokan lu ya. Lu tuh sama kayak bapak lu!”
Mata Avid menyipit.
“Woyyy! Lu pada tahu nggak, provinsi kita nggak dapat piala nasional karena ayahnya!” seru Brian ke kerumunan siswa yang menonton mereka sambil mengarahkan telunjuk ke Avid. “Bapak nih orang yang udah membuang kesempatan kita buat menang! Dasar brengsek!!!”
Rahang Avid langsung mengeras. Tanpa banyak ngomong ia langsung melesakkan bogem mentah ke rahang kiri Brian. Cowok itu langsung terhuyung. Belum puas, Avid kembali menyarangkan tendangan ke perut Brian.
“Ayo maju! Jangan modal bacot doang lu!!” tantang Avid.
***
“Serius?”
‘Iya. Gw baru aja liat.”
Zeko langsung bisa menebak penyebab perkelahian itu. Pasti karena insiden di kantin tadi.
“Kalian pulang aja duluan!” Zeko langsung berlari menuju ruang olahraga.
“Kooo!!! Mo kemanaaa???!” teriak Esa.
Zeko tak menggubris seruan Esa. Ia terus berlari. Tetapi sesampai di sana, ia tak menemukan siapa-siapa.
“Mana? Katanya berantem…” gumam Zeko.
“Lu mo ngapain sih?” tanya Esa yang ternyata berlari mengejarnya.
“Mana yang berantem?”
“Udah kelar kali…”
Zeko menghela nafas. Ia menatap sekeliling dan menemukan bercak darah di lantai. Apa mungkin ini---ada kancing baju juga di sana. Zeko langsung memungutnya. Ini pasti kancing baju Avid, desis Zeko.
***
“Jangan diminum? Terus kenapa ditaruh di kulkas sih?” Mama Zeko mengangkat sebotol Fanta yang ditaruh di dalam kulkas lengkap dengan catatan: jangan diminum.
“Buat penelitian,” jawab Zeko asal seraya berjalan masuk ke kamar. Ia mengeluarkan kancing baju yang didapatnya di gedung olahraga tadi dan mengambil spidol permanent. Zeko lantas membubuhkan garis melengkung ke atas pada kancing baju itu, sehingga jika dilihat, kancing baju itu memperlihatkan wajah orang yang lagi tersenyum. Sepasang lubang kancing sebagai mata, dan garis melengkung ke atas sebagai tanda bibir yang tersenyum. Lantas ia taruh kancing itu di bawah bantal.
“Malam ini aku akan memimpikan dia…” desis Zeko
***
“Untuk nama yang disebutkan harap menuju ruang kepala sekolah saat jam istirahat nanti. Avid Ovidio Yudantara dan Briando Wiguna!” terdengar pengumuman yang dibacakan lewat toa.
Zeko menghela nafas. Pasti gara-gara perkelahian semalam…
Saat jam istirahat…
“Adaww!”
“Berdiri yang tegap!” bentak kepala sekolah.
Zeko mengigit bibir menyaksikan Avid dan Brian mendapat hukuman. Pantat mereka dipukul pakai Mistar kayu sebanyak dua puluh kali.
“Jika kalian berkelahi lagi, pihak sekolah akan memanggil orang tua kalian!” ancam Kepala sekolah sebelum menyuruh mereka keluar ruangan.
“Paham?!”
Mereka berdua mengangguk.
“Terutama kamu, Avid. Kerjaan Cuma buat ulah. Kenapa tidak melakukan kegiatan bermanfaat?”
Avid mangguk-mangguk.
“Sekarang ada perlombaan photographer tingkat provinsi. Dia punya talenta di bidang itu, Pak,” celetuk Ibu Salwa, wali kelasnya Avid.
“Oh ya? Kalo gitu sebaiknya kamu ikut itu. Bisa menaikkan reputasi sekolah kita…”
Avid mengangguk.
‘Ya sudah. Kalian boleh keluar!”
“Terima kasih, Pak..” kata Avid dan Brian berbarengan.
Uhm, Zeko yang sedari tadi menyaksikan Avid dihukum langsung menegapkan tubuhnya saat Avid lewat.
“Uhm, Vid, ak—gw minta maaf ya soal kemarin. Gara-gara gw lu jadi dihukum..”
‘Nggak apa-apa kok,” jawab Avid. Ia senyum sambil mengelus-elus pantatnya. “Bukan salah lu juga.”
“Eng, ini…” Zeko menyodorkan plester dengan malu-malu.
“Waahhh, kebetulan gw butuh nih.”
Zeko tersenyum senang.
‘Ya udah. Moga cepat sembuh,” jawab Zeko sambil ngibrit.
“Zeko…” panggil Avid.
Zeko berbalik dengan dramatis.
“Thank you,” Avid mengangkat plester.
Zeko mengangguk.
Oh my God, dia tahu nama gwww?? Ohhh, mana kasur?? Gw pengen pingsan rasanya, desis Zeko girang bukan kepalang.
***
Bu Megi berhalangan hadir karena ada keperluan mendadak. Seisi kelas langsung teriak kegirangan. Jivika langsung bergabung dengan Bella dan Isna ke bangku depan.
“Gw punya buku baruuuu…” Bella memamerkan sebuah buku berwarna pink di tangannya.
“Buku apaan?” tanya Isna.
“20 Cara Menggaet Gebetan…”
“Wawww!! Baca-baca…”
Zeko langsung pasang kuping dan menutup buku dengan judul “Meraih Rangking 1 Saat Ujian” yang sedari tadi dibacanya.
“Lu tahu nggak, gara-gara buku ini, Mbak gw berhasil ngegaet senior incerannya!” teriak Bella.
“Kebetulan aja kali?”
“Nggak percaya. Temannya juga gara-gara mengikuti saran buku ini, akhirnya jadian sama kapten baskeeettt!”
“Wawww….!”
“Halah, mau aja dikibulin…” timbrung Zeko.
Bella langsung menoleh.
“Coba lihat! Mana bukunya?” pinta Zeko.
Bella menyodorkan buku itu.
Zeko langsung membaca judul buku dan pengarangnya. Hmmm, ntar pulang sekolah bakal aku cari di toko buku terdekat. Semoga aja ada…, desisnya dalam hati geli.
“Ah! Boong ini buku!” ia mengembalikannya lagi ke Bella.
“Kalo buat cowok macam lu sih, mau pake cara apa aja nggak bakal berhasil!” ejek Bella.
Jivika dan Isna langsung ngakak.
Kampret!
***
…..
CARA PERTAMA:
Mengambil hati gebetan dengan kepercayaan Yunani.
“Lihatlah bintang di langit, lalu hubungkan garis-garis bintang dengan jarimu. Buatlah singkatan nama dari cowok yang anda taksir.”
Zeko langsung menghampiri jendela dan menatap angkasa. Malam ini begitu banyak bintang. ia langsung menghubungkan bintang-bintang sehingga membentuk huruf A.
***
“Eh, kok lu dari tadi diam aja sih, Ko? Ada apa? Nggak ngomong-ngomong… dieemm mulu,” tegur Esa saat mereka lagi di kantin.
“Niihhhh…” Zeko membuka mulut lebar-lebar.
“Astaga!!!”
“Gimana? Baguskan??”
“ngapain lu pake behel segala?”
“Ini saran dokter.”
‘Lu pikir itu keren? Kayak Betty La Fea lu.”
Tiba-tiba mata Zeko menangkap sosok Avid di antara kerumunan siswa yang lagi makan. Ia pun jadi teringat cara kedua dari buku itu. Saatnya beraksi.
….
CARA KEDUA:
“Metode lama dari kepercayaan suku Maya. Kita harus memusatkan pikiran, lalu tatap target yang kita suka, dan cobalah mengendalikan pikirannya. Buatlah dia mengikuti kemauan kita dan mengikuti perintah kita. Jika berhasil, itu pertanda bahwa dia memang ditakdirkan untuk kita…”
Uhm Zeko berdehem. “Look at me, look at me now…” desis Zeko seraya menatap Avid intens.
***
Hanya terpisah satu meja dari tempat Zeko dan Esa, Avid makan dengan lahap.
“Eh, eh, lihat ke sana deh…” Hendra mengarahkan telunjuk ke arah Zeko.
“Apa?” Avid mengarahkan pandangan kearah telunjuk Hendra.
Dan disaat Avid menoleh itulah Hendra langsung memanfaatkan kesempatan menyantap bakso milik Avid.
“Kena deh, “ Hendra terkekeh.
***
“Dia noleh ke gw!!!” seru Zeko kegirangan dan keceplosan.
“Siapa? Lu ngagetin aja…”
“Eng… hehehe… bukan apa-apa kok…” Zeko nyengir. Tapi cengirannya itu langsung lenyap ketika ngelihat Avid ngejitak kepala Hendra.
“Dasar lu! Gw kirain ada apaan nyuruh gw noleh ke sana. Cuma mau ngambil bakso gw lu???!” seru Avid.
Hendra cengengesan.
Hufhhh, bahu Zeko langsung merosot…
***