It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
.
.
Kang Dong-Joon menatap Edgar sedikit prihatin. Pasalnya, wajah yang sering sekali terlihat berbunga – bunga~ maksudnya agak sedikit gila~ terlihat seperti tak punya jiwa. Bahkan saat di kantin kampus, ia hanya menusuk – nusuk jajangmyeon tanpa ada minat sama sekali. Padahal jajangmyeon adalah makanan kesukaan Dong-Joon. Ia merasa mubazir melihat makanan itu dianggurin. Tapi… selain makanan, sebenarnya Dong-Joon tetap lebih mengkhawatirkan Edgar. Sungguh!
“Edgar-yah, apa yang terjadi? Jika tak ingin mie lada hitam, boleh itu untukku?” Tanya Dong-Joon siap – siap mencomot jajangmyeon dengan sumpitnya.
“Hmmm…” Jawab Edgar tanpa minat. Membuat Dong-Joon mengurungkan niat untuk mengambilnya dari piring Edgar.
“Apa kau ingin memakan nasi goreng saja? Atau… makanan apa yang ditusuk itu?... sato…”
“Sate…” Balas Edgar tanpa minat. Dong-Joon menaikkan sebelah alisnya. Ia tahu benar Edgar sedang tidak fokus hari ini. Saat ini.
“Apa kau mau menikahiku?” Tanya Dong-Joon iseng.
“Ya…”
“Kau—” PLAK! PLAK! PLAKK!!
“Yah! Noona! Apa yang kau lakukan, hah?!” Edgar mengusap – usap kedua pipinya yang terkena jurus tapak Buddha dari temannya itu. Setidaknya ekspresinya tak lagi sendu dan pucat seperti sebelumnya. Dong-Joon membuat pipi Edgar memerah.
“Pertama – tama, selamat datang kembali ditubuhmu tapi… KENAPA KAU MEMANGGILKU NOONA HAH?! Dan… dan… DAN KAU MAU MENIKAHIKU?! YAH—” Edgar menutup mulut Dong-Joon saat seisi kantin terkejut dengan teriakannya dan menatap curiga kearah mereka berdua.
“Kau gila?! Kau mau membuat orang menyangka kita akan menikah?!” Kata Edgar dengan nada penuh ancaman. Dong-Joon memperhatikan tatapan sekitar dan menyadari kesalahannya. Ia kemudian tersenyum cengengesan dalam bekapan Edgar.
“mmhhiiannhhaeehhh (mianhae)…” Ucapnya santai. Edgar membuka bekapannya perlahan.“Kau ini kenapa, sih? Apa kau sedang ada masalah. Kau bahkan tak sadar memanggilku noona! Untung bukan ahjumma…” Kata Dong-Joon berbisik. “Bahkan kau bilang ingin menikah denganku?! Gila!”
“Benarkah aku berkata seperti itu? Oh Tuhan, aku mulai terbawa pikiran karena dia…” Edgar seperti sedang meracau sendiri. Ia mengacak – acak rambut kecokelatannya dengan frustasi. Dong-Joon menatapnya dengan iba.
‘Anak ini sepertinya sedang mengalami hari yang buruk,’ batin Dong-Joon.
“Kau mau menceritakannya?” Tawar Dong-Joon dengan wajah yang sudah didekatkan. Bersiap mendengarkan cerita. Edgar mendengus. Menurutnya menceritakan kepada Tim beberapa hari yang lalu sepertinya sudah cukup. Tak perlu ada lagi orang lain yang tahu.
“Ani,” Jawab Edgar. Dong-Joon mendesah pelan. Kentara sekali pemuda pendek-berisi itu agak sedikit kecewa.
“Jadi… sekarang apa yang ingin kau lakukan?” Dong-Joon mencoba menghibur. Edgar mem pout kan bibirnya. Ingin rasanya Dong-Joon mencubit pipi Edgar saat itu juga karena gemas. Tapi suasananya sedang tidak pantas.
Edgar memikirkan pertanyaan Dong-Joon. Benar juga, akhir – akhir ini ia memang melewati masa – masa sulit dalam percintaan. Sudah sekitar lima hari semenjak ia tahu tentang masa lalunya dengan Thomas di pagi hari itu. Mereka berdua benar – benar lost contact. Edgar terlalu takut untuk memulai percakapan terlebih dahulu. Thomas pun sepertinya memang tak ingin lagi berhubungan dengan dirinya. Untuk melewati masa – masa sulit itu Edgar benar – benar melaluinya dengan aktivitas yang membosankan.
Kuliah – kerja – flat – tidur – makan dan kembali kuliah lalu seterusnya. Di tempat kerja sudah sangat membosankan ketika Tim tidak lagi menjadi butler disana. Di rumah pun Tim jarang ada karena kesibukannya sebagai trainee yang membuatnya seperti kerja rodi. Aktivitas yang membosankan itu membuat rasa frustasinya semakin menumpuk. Dia butuh penyegaran baru. Setidaknya membuat pkirannya teralihkan dari kisah cinta pahitnya dengan Thomas.
“Apa aku pulang saja ke Indonesia?” Tanya Edgar meminta pendapat.
TUK!
Dong-Joon memukul kecil kepala Edgar dengan ujung buku tebal. Edgar sedikit meringis. “Kau gila?! Kau sudah satu tahun telat semester! Sekarang kau ingin mengundurkan diri?! Kau mau menunda berapa semester lagi, hah?! Kau ingin menjadi mahasiswa asing yang abadi di Korea Selatan?”Omel Dong-Joon. Edgar menggaruk – garuk kepalanya yang tidak gatal. Ia membenarkan perkataan Dong-Joon.
“Aku… hanya butuh suasana baru. Sepertinya aku mulai tenggelam dengan kegalauan ini,” Edgar mengerucutkan bibirnya dan kemudian membanting kepalanya sendiri hingga membentur meja. Sedikit berdentum namun tak menghasilkan rasa sakitnya. Dong-Joon berpikir sejenak sambil menatap ujung rambut pemuda manis itu.
“Butuh suasana baru ya? Hmmm…” Dong-Joon mengetuk – ngetukkan ujung jari telunjuknya kebawah dagu. Tampak berpikir. “Kajja! ” Ajak Dong-Joon sambil menarik tangan Edgar. Edgar tak sempat berkata apapun ketika Dong-Joon menariknya untuk berdiri. Bahkan dengan cepat Edgar menarik tasnya dari atas meja yang nyaris ia tinggalkan disana.
“Kita mau kemana?” Tanya Edgar. Dong-Joon tersenyum penuh arti.
“Semangatlah! Sebentar lagi kan tahun baru! Ayo kita pergi ke suatu tempat!” Ajak Dong-Joon penuh semangat.
“Kemana?”
“Namsan Tower, Nami Island, Lotte World, Banpo Bridge, bahkan kalau mau ayo kita menceburkan diri ke Sungai Han. Setidaknya jangan terus menerus merasa kurang bertenaga seperti ini!” Kata Dong-Joon tanpa melihat kearah Edgar yang sedang diseret paksa.
“Tapi… kita kan masih ada kuliah malam.”
“Masa bodoh! Sekali – kali bolos tak apa – apa,” Kata Dong-Joon mempengaruhi Edgar. mau tak mau Edgar lebih baik mengikuti Dong-Joon. Bagaimanapun ia tak akan konsentrasi kalau keadaannya seperti ini terus.
-oOo-
Ting…
Sebuah dentang membuat mata Thomas terbuka. Dentang yang terdengar sangat familiar itu terdengar mengalun dari ruang sebelah tak jauh dari kamarnya. Semenjak hari itu, Thomas merasa ingin sendirian saja. Tak ada Senja disana. Bahkan Thomas merasa ada sedikit rasa ketidaksudian jika ia tahu Senja ada di dekatnya. Hatinya kini benar – benar marah dan kacau. Sekali lagi ia ditipu karena kebutaannya. Bahkan Senja juga berpengaruh besar dalam penipuan itu. Ironis sekali. Saat dimana kau mulai bangkit dari keterpurukan, kau malah di banting keras kembali untuk jatuh. Seolah tak ada yang spesial dalam hidup.
Ting… Ting…
Suara dentingan grand piano yang sekali terdengar. Thomas masih merasa tak asing. Suara dentingan yang membuat dirinya gamang, kecewa, sekaligus rindu yang menyakitkan. Kerinduan yang mungkin sulit untuk di obati.
Perlahan Thomas menurunkan kakinya dari ranjang. Menyentuh lantai kayu yang dingin. Ia berjalan menuju kearah suara. Tanpa perlu bantuan Min-Young ataupun Senja yang memang sedang tidak ada disana. Dentingan itu seperti memanggilnya. Seolah hendak mengobati luka hati Thomas. Meski ia sakit hati, namun ia berharap orang itu akan kembali lagi meski tanpa mengucapkan kata maaf. Bagaimanapun, ada cinta berduri yang menancap kokoh didalam hatinya.
Thomas membuka pintu itu perlahan. Samar – samar ia seperti merasakan sekelebat bayangan seolah ia bisa menggunakan matanya kembali. Sebuah grand piano yang sangat mengkilap di sinari bias mentari yang mengintip dari balik tirai – tirai putih.
“Ah! Thomas-ssi? Apa aku membangunkanmu? Maaf aku akan memainkannya perlahan – lahan,” Ujar orang itu dengan wajah selalu tampak manis. Jari – jarinya berhenti tepat diatas tuts saat Thomas menghampirinya. Ia berhenti memainkan piano karena kehadiran Thomas rupanya.
“Tak apa Edgar-ssi, lanjutkan saja,” Gumam Thomas kemudian mendapati senyuman Edgar sebagai balasannya. Edgar mengangguk dan kemudian kembali memainkan grand piano dengan lihai dan professional. Membuat Thomas berjalan menuju kearahnya dan duduk tepat disebelahnya. Memperhatikan tangan kurus Edgar yang sedang asyik – asyiknya bermain piano.
Kembali pikiran Thomas mengawan. Dimana saat pertamakali ia mendengar Edgar bermain piano ketika ia masih tinggal di apartemen dengan Senja. Permainan Edgar inilah yang membuat Thomas seakan dejavu ketika ia memainkannya kembali. Seolah Thomas merasa sesuatu yang hilang itu kembali pulang dan membawanya terbang. Samar – samar ia merasa sesuatu yang hangat membasahi pipinya.
“Thomas-ssi? Kau menangis?” Tanya Edgar membuat permainan pianonya kembali berhenti. Thomas menggeleng dan menghapus butir airmatanya.
“Tidak.” Jawab Thomas dusta. Namun Edgar tak mempermasalahkannya. “Ed, mainkan sesuatu untukku,” Pinta Thomas.
“Apapun, Thom.”
“Mainkan Moonlight Sonata.”
“Kau selalu menyukai lagu sedih…” Ujar Edgar sambil tersenyum jahil.
“Kau yang selalu membuatku sedih, Ed.” Ujar Thomas. Membuat Edgar kembali tersenyum.
“Baiklah… dengarkan ini…”
Ting… ting… ting…
Alunan musik itu terus terngian didalam pikiran Thomas. Hingga tanpa sadar dirinya serasa disedot kembali ke alam sadar. Ia kembali ke saat dimana kegelapan masih menyelubungi dan grand piano itu kembali usang. Namun tetesan airmata masih menodai wajahnya sehingga penampilannya sangat hancur dan kusut. Ia masih terduduk disana, didepan piano yang nyaris tak pernah disentuh oleh pemiliknya. Seolah piano keramat itu seperti menjadi kesialan karena mengambil cinta yang ia terima. Dari ayahnya dan tentu saja… Edgar.
JRREREENNNG!!!!
Thomas menekan tuts secara asal dan penuh kefrustasian. Kali ini tangisnya tak lagi terdiam, namun juga tersendat – sendat menyedihkan. Seolah menangis saja tak cukup untuk memuaskan hatinya dan melegakan pikirannya. Jarinya bergetar menahan emosi. Suara paraunya terdengar hingga keluar ruangan dimana orang lain yang sedang memandangnya tampak ikut merasakan kesedihannya.
Mencoba menyadari cinta suci yang sedang terjalin antara mereka. Selama ini...
-oOo-
Malam itu...
Thomas berdiri disana. Diatas jembatan yang membelah sungai Han. Mungkin saja di flat kini Min-Young sedang panik karena ka mendapati dirinya dirumah. But, who care? Ketika dunia tidak mempedulikanmu, untuk apa kau peduli pada hidupmu. Rasanya ingin mat saja bukan?
Itulah yang dipikirkan Thomas sekarang. Ia berjalan dua jam lamanya hanya untuk sampai di tengah – tengah jembatan. Tempat dimana yang menurut Senja adalah negeri dongeng nyata yang berada di Korea. Tapi mungkin akan menjadi pemakamannya kini.
Wajahnya terasa membeku tatkala angin yang berhembus dari bawah menyapanya. Seolah mengajaknya untuk melompat saja. Seolah membisikkan bahwa tak ada gunanya lagi berada didunia jika selalu dikhianati. Syalnya tampak menari – nari bertiup diterpa angin musim dingin yang mencekam. Dalam bayangannya, ia telah berpegangan erat pada palang besi dan sedikit mencodondongkan tubuhnya untuk terjun. Tongkatnya tak ia bawa karena ia tak percaya pada apapun lagi. Semenit saja berada dalam sungai yang dingin itu, pasti ia akan menjadi seperti balok es dan mati membeku.
Byurr…
Ia membayangkan bagaimana ia berada di bawah sana dan kelak menjadi hantu air seperti pada drama Master’s Sun. ia menghela nafas dan akhirnya menaikkan pijakan pertamanya ke palang besi dan bersiap untuk terjun mengakhiri hidupnya—
SRATT!
Thomas merasa tubuhnya ditarik paksa oleh seseorang. Sengatan sentuhan itu, ia seolah tahu itu siapa.
PLAKKK!
“YAH! KAU GILA, HUH?! KAU INGIN MATI DENGAN MELOMPAT?!” Pria itu segera menampar dan memaki Thomas. Tamparan itu berhasil membawa Thomas kepada kesadaran normal setelah sebelumnya ia membayangkan mati di telan arus sungai Han.
“Edgar-ssi?” Thomas termangu. Ia sudah hafal betul bagaiaman tekstur sentuhan Edgar. dan suaranya… suara tenor yang ia rindu sekaligus ia benci.
“Kau! Kau… Arrrgh! Apa yang kau pikirkan?!” Edgar tak sabaran dan merasa ingin menampar Thomas lagi. Menampar wajah yang seolah menyiratkan bahwa kematian hanyalah hal sepele dan tak perlu ditakutkan.
“Kenapa kau disini?” Thomas membalas pertanyaan dengan pertanyaan lagi. Membuat Edgar semakin frustasi. Meski ia tahu bahwa semua ini adalah salahnya, namun ia tak menyangka bahwa Thomas akan bertindak nekat dan melampaui batas.
“Kenapa aku disini?! Aku sedang berjalan – jalan di tepi sungai Han bersama Dong-Joon ketika kami melihat pria gila sedang bersiap melompat dari atas Banpo Bridge!”
“Kau masih bisa… jalan – jalan? setelah semua yang terjadi?” Tanya Thomas terdengar sarkastik. Membuat Edgar mengernyitkan dahi “Kau membuatku iri,” Thomas tersenyum meremehkan dirinya sendiri. “Kau bahkan masih bisa berusaha move on setelah semua yang telah menimpa kita. Tapi aku… aku selalu terjebak dalam gelap ini…”
“Berhentilah bicara omong kosong! Pikiranmu sedang tidak jernih. Setidaknya aku lebih baik terus hidup daripada menginginkan mati dengan menceburkan diri ke sungai Han, kan?” Kata Edgar datar.
“Waktu yang indah bersamamu, semua kenangan itu…” Thomas tak memperdulikan omelan Edgar. “Kenangan dimana kupikir aku bahagia, bila mengingat kembali kau hanya menipuku seolah memanfaatkan kebutaanku… tak bisa kupungkiri aku merasa dikhianati…”
“Sudah kubilang kau untuk diam!” Edgar merasa Thomas tak perlu mengungkit lagi kesalahannya. Segalanya telah selesai dan ia tak perlu meneruskan kedekatan mereka lagi. “Itu hanyalah salah paham…”
“Salah paham?” Thomas meluapkan segala umpatannya. “Aku menantimu dalam ruang gelap selama satu tahun dan kau hanya bilang ini semua hanya salah paham?”
“Thomas! Apa yang kau harapkan? Aku akan pergi dan takkan menganggu hidupmu lagi sesuai permintaanmu! Biarkan kita hidup masing – masing dan jangan mencampuri urusan satu sama lain—”
“LALU MENGAPA KAU MENAHANKU UNTUK TERJUN?!!” Thomas tak tahan lagi membendung sebuah umpatannya. Ia ingin Edgar merasakan apa yang dirasakan hatinya. Matanya kembali berkaca – kaca. “Kenapa kau datang dan mengataiku gila seolah kau mengurusi hidupku?!”
Edgar terdiam.
“Kau sudah tahukan kalau sejak dulu aku ingin mati?! Lalu kenapa kau menghalangiku? Kenapa kau menghalangiku untuk mati? Kau ingin menjadi penyelamat? Kau telah terlambat untuk menyelamatkanku! Kau terlambat satu tahun…” Mata Thomas mulai memanas dan siap meleleh. Edgar terenyuh sesaat. Seolah ia kembali menyesal bahwa penipuannya telah membuat orang didepannya menunggu terlalu lama. Menunggu untuk sebuah jawaban. Menunggu untuk sebuah kepastian.
Edgar masih terdiam ketika tubuh itu seperti tak bertenaga. Jatuh terduduk diatas salju tipis di tepian bahu jembatan. Lemas untuk semua kejadian yang menghantamnya bertubi – tubi. Edgar terpaku menatapnya. “Kau begitu mudah untuk… mengakhiri semuanya! Kau… begitu mudah… untuk pergi meninggalkanku…
“Sementara aku menantimu disini… dengan kepercayaan semu! Aku hanya menantimu… dengan kepercayaan yang tak berbalas darimu! Katakan saja kau gay! Katakan saja kau seorang pria! Aku lebih baik ditampar oleh kejujuran dibandingkan dikecup oleh kebohongan!... aku juga tak sempurna, Ed...” Ujar Thomas sambil bergetar. Nafasnya yang menderu berubah mengembun ketika udara itu keluar.
“Tak ada yang bisa kupercayai lagi kini! Bahkan kau juga dengan mudahnya melangkah pergi… meninggalkanku disini!” Tetesan itu berubah menjadi menyakitkan tatkala Edgar menyusul memeluknya. Memeluk tubuh ringkih itu. Membiarkan Thomas menangis dibahunya.
“Hentikan! Jangan memelukku seolah kau bisa memperbaiki perasaanku…” Thomas mencoba menepis pelukan Edgar. “Jangan membuatku lebih sakit lagi… pergilah!”
“Maafkan aku…” Ujar Edgar. Thomas terdiam sesaat sebelum ia mencoba kembali melepas pelukan Edgar. Edgar melepas rengkuhan itu dan melihat Thomas menghapus sendiri airmatanya. Ia berdiri dan menahan dingin yang menyelubungi tubuhnya.
“Maaf?” Ulang Thomas. Seolah kata itu begitu ganjil di telinganya.
“Aku berhenti menemuimu karena aku merasa sudah tak berhak. Meskipun… itu begitu sulit…” Ujar Edgar pelan.
Bukan… ini lebih dari kau meninggalkanku, Ed. Kau… kau meninggalkanku disaat… aku… menaruh cinta padamu… Sanubari Thomas berbisik namun ia mencoba menepis pelan.
“Maaf… kau meminta maaf dariku setelah semua yang terjadi… hanya itu?” Thomas mulai bisa mengendalikan suaranya.
“Mungkin…” Kata Edgar pelan.
Thomas menghela nafas berat. Ia bahkan sadar masih ada rasa kecewa dan benci pada pria didepannya ini. Jadi untuk apa ia mengharapkannya kembali? Toh, saat dia kembali detik ini, yang dipintanya hanya maaf darinya. Tidak ada yang lain. Bahkan tidak memberikan obat untuk luka hatinya.
“Ingin minta maaf? Sekarang pergilah! Kau sudah mendapatkannya. Aku sudah memaafkanmu,” ujar Thomas dingin. Membuat Edgar semakin salah tingkah dibuatnya.
“Tapi aku tidak melihat kau memaafkanku,” Edgar berkata seperti sebuah rengekan. Pemuda itu seperti meminta dengan wajah memelas.
“Lalu aku harus bagaimana?” Thomas mulai sedikit membentak kembali. “Kau mau aku menandatangani perjanjian tertulis dengan darah?”
Edgar menganga dengan pernyaataan itu. “Kau… jangan bicara seperti itu…”
“Lalu apa yang kau inginkan?!” Tanya Thomas mendengus.
Edgar terdiam. Kemudian menyentuhkan tangan dinginnya ke lengan Thomas. Thomas kembali mendapatkan setruman familiar yang membuatnya terpaku. Tangan yang telah memberinya banyak kenangan. Gelang lonceng masih terpasang disana. Gelang lonceng yang mereka dapatkan dari Lotte Mart beberapa bulan yang lalu.
Triinng…
“Thomas. Maafkan aku…”
“Kau sudah mendapatkannya, Ed. Sekarang pergilah,” ujar Thomas datar.
“Bukan seperti itu…” Edgar mencengkeram lengan Thomas erat. Suaranya terdengar parau.
“Lalu… kau mau seperti apa?”
“Percayalah padaku.”
Thomas diam. Percaya? Benar! Kata itu memang kunci dari segala kegelisahannya~ kegelisahan mereka. Dirinya memang sudah memaafkan Edgar. Tak peduli salah paham apa yang akan dijelaskan pemuda itu padanya, Thomas hanya ingin memaafkan. Dengan begitu seseorang akan tahu dengan pasti bahwa dia bukanlan pria pendendam.
Tapi… percaya? Inilah masalah yang sebenarnya. Apakah Thomas masih mau mempercayai seseorang yang sudah membuatnya sebagai orang buta yang mudah ditipu? Orang yang dengan bodohnya jatuh cinta pada pria gay yang mengaku wanita?! Bagaimanapun ia sudah dipermainkan selama ini. Bodoh jika ia kembali memberi kepercayaan pada orang tak tahu diri seperti itu lagi. Maaf saja sepertinya sudah cukup. Tapi… memberikan kepercayaan… tidakkah itu berlebihan?
“Thomas-ssi… kau mau percaya padaku, kan?” Tanya Edgar tak sabaran hingga ia lupa telah menggunakan dialek Korea.
“Aku tidak bisa memberikanmu hal yang lebih banyak dari memaafkan. Aku tak ingin menjanjikan apa-apa padamu. Kau paham maksudku, bukan?” Kini lengannya yang masih bebas juga terulur mendekap jemari Edgar yang masih bertengger di lengan kokoh miliknya.
“Aku… paham. Tapi… tak adakah keinginan untuk itu. Jika kau ‘ingin’ saja mempercayaiku, aku akan berusaha membuatnya jadi nyata.”
“Maksudmu?”
“Aku akan membuatmu percaya padaku.”
“Bagaimana jika kata ‘ingin’ itu saja tidak ada?”
“Aku akan tetap berusaha. Dua kali… tidak, dua puluh kali lipat lebih keras.”
“Aku tidak mengerti maksudmu.”
“Aku tahu kau paham maksudku.”
Thomas mengernyitkan dahi. Ia mengerti namun tak paham. Setidaknya ia bisa mencerna dengan baik apa yang ingin dilakukan Edgar kedepannya meski ia tak tahu bagaimana Edgar mampu untuk melakukannya.
Thomas menghela nafas. “Lalu? Apa yang bisa kau usahakan untuk sekedar mendapatkan kepercayaanku lagi?”
“Aku bersedia memberikanmu apa saja agar kau percaya padaku.” Edgar berujar dengan mantap. Berjuta keyakinan mengiringi kalimatnya tadi.
Thomas menarik napas panjang, “Benarkah? Kalau begitu—
berikan kedua matamu.”
Entah apa yang ada dalam pikiran Thomas, suaranya pun terdengar menantang dan tanpa keraguan di dalam sana. Memutuskan untuk menjadikan sebuah perkara yang mungkin sederhana menjadi masalah besar. Mata? Ya… tentu saja. Hal paling diinginkannya saat ini adalah ‘anugerah’ Tuhan tadi. Dua pasang mata sehat, yang akan membawanya keluar dari kegelapan berkepanjangan semenjak empat tahun terakhir. Melihat kembali warna – warna indah yang pernah ia lihat dan ia manifestasikan kedalam kanvas. Melihat kembali tanah Korea yang sebelumnya belum pernah ia lihat sampai detik ini. Atau mungkin, melihat wajah – wajah yang ia ingin lihat seperti apa bentuknya. Setidaknya tidak ada lagi gelap yang mencekik sehingga orang – orang dengan gampang memanfaatkan hal tersebut. Thomas menginginkannya, sangat menginginkannya.
Tapi… memintanya pada seseorang? Apa itu wajar?
Dan gilanya… seseorang itu masih sehat dan tak memiliki alasan kuat untuk sekedar ‘membagi’ sedikit anggota tubuhnya kepada—mungkin—orang-orang yang membutuhkan.
Edgar terdiam. Menatap lekat orang yang pernah dicintainya dan masih dicintainya. Sebuah prestasi besar ketika ia mengingat dulu ia hanya mampu melihatnya dari balik meja kasir. Dan kini, ia bisa mengobrol dan menatap dekat wajah sempurna itu. Setidaknya penipuan itu ada sisi positifnya juga.
Edgar menghela nafas, “hanya itu?”
HAH?!
“Hanya itu yang kau pinta?” Edgar mengulang pertanyaannya.
“Aku akan memberikannya padamu. Mulai sekarang, kedua mata ini milikmu.”
“Edgar… kau…”
Sekarang pulanglah. Aku akan mencarikan taksi untukmu…”
-oOo-
ikut prihatin yah sama masalahnya, semoga diberikan jalan terbaik. amin. seperti thomas dan edgar, ayo semangat.. !!!
wajar sih senja dendam ma edgar. thomas sakit buat kedua kalinya nih, sabar yah thomas.
ditunggu lanjutan ceritanya.. ^^
jgn sampe' sad end lho lif kalau gak awas aja
jgn sampe' sad end lho lif kalau gak awas aja
Pengen segera tau lanjutannya,,, udah mau tamat kan???
okaay nanti dibaca, spt biasa save duly
@prend @Wita @Unprince @ananda1
maaf membuat kalian lama menunggu. episode - episode akhir akhrnya bisa di apdet...
.
Jo In-Ho memandang pemuda manis itu dengan takjub. Sudah satu tahun mereka tak berjumpa, rasanya Edgar semakin manis saja. Dengan balutan v-neck chocolate soft yang menjadi warna favoritnya serta syal merah yang membebat leher tirusnya. Membuat In-Ho kembali merasa bahwa ia seharusnya mempertahankan hubungan dengan orang dihadapannya meskipun cintanya tak berbalas waktu itu.
In-Ho segera berdiri dan menghampiri Edgar. tubuhnya yang terlampau besar dan tinggi membuat Edgar seperti anak kecil didekatnya. Ia memasukkan pulpen ke saku jas putihnya dan segera memeluk Edgar seperti seorang kekasih yang telah lama berpisah dari jodohnya.
“Apa kabar Ed…” Ucapnya setelah melepas rangkulannya.
“Aku baik. Selalu. Kau sendiri?”
“Seperti yang kau lihat, selalu sibuk mengurusi pasien,” ujar In-Ho sambil memperlihatkan seluruh tubuhnya yang terbalut jas. Tentu saja ia sangat sibuk, secara In-Ho adalah ketua tim di bagian eye center.
“Kau selalu saja tampan, In-Ho,” ujar Edgar berbasa – basi.
“Dulu kau tak pernah memujiku seperti ini,” Kata In-Ho sambil tersenyum. “Kemana saja kau selama ini?”
“Kau yang kemana saja? Kau tidak pernah menjenguk aku dan Tim,” Kata Edgar sedikit merajuk.
In-Ho terkekeh, “mianhae. Aku merasa tak berhak lagi menemuimu lagi semenjak hari itu.” In-Ho tersenyum masam.
“Cemen…” Gumam Edgar sambil meremehkan. ‘baru begitu saja udah nyerah…’ lanjut Edgar dalam hati.
“Apa?”
“Tidak…”
In-Ho menahan senyum, “kau masih saja seperti dulu. Mengumpat dengan bahasa Indonesia yang tidak aku ketahui.”
Edgar hanya tersenyum. Tujuan kesini setidaknya bukan hanya untuk sekdar basa – basi. Melainkan ada hal lain yang mungkin hanya In-Ho saja yang bisa mengusahakannya. Bagaimanapun, ini semua berada dalam bidang keahliannya.
“Apa yang bisa kubantu? Apa ada yang ingin kau bicarakan?”
Bingo! Tepat sekali. In-Ho tahu apa yang sedang dipikirkan Edgar.
“Aku ingin berbicara sesuatu—”
“Lebih baik kita membicarakannya sambil duduk,” Ajak In-Ho yang langsung menarik kursi tamu di depan meja kerjanya. Edgar kemudian menghepaskan bokongnya dan merileksasikan nafasnya.
“Jadi, hal apa yang membuatmu kemari?” Tanya In-Ho memulai percakapan.
“Itu… aku… ingin mendonorkan mata.” Kata Edgar. kali ini nada bicaranya mulai gugup. Ia terlihat menunduk. Tak berani melihat manik milik pemuda yang pernah mencintainya itu.
In-Ho mengangkat alisnya, “Baiklah… atas nama siapa?” Tanya In-Ho mulai mengambil pulpen dari dalam sakunya.
“Diriku sendiri. Edgar Baskoro.”
In-Ho terdiam dan menatap langsung ke arah mata namja yang memliki bibir delima itu. Edgar menggigit bibir bawahnya sehingga shape M sangat terlihat jelas di buah bibir atasnya.
“Nnng… kau seharusnya pergi ke perusahaan ansurasi—”
“Tidak. Aku ingin mendonorkan mataku saat ini! Ya. Saat ini juga,” kali ini Edgar terdengar mantap. Membuat In-Ho tampak meragu dengan ucapan si manis didepannya.
“Apa kau sedang mengalami sakit mata? Kalau begitu, biar aku periksa?” Kata In-Ho mulai cemas.
“Kurasa mataku sehat.”
“Kalau begitu kau sedang mabuk, Ed.”
“Aku tidak sedang mabuk!” Edgar mempertegas dengan nada yang terdengar tajam. Membuat In-Ho yakin kalau Edgar benar – benar serius.
“Kami tidak menerima pendonor dengan orang yang masih sehat dan terutama… masih hidup,” Kata In-Ho dengan nada formal.
“Itu sebabnya aku datang kesini, hanya kau yang mampu membantuku dalam hal ini.” Tatapan mata Edgar mulai merajuk. Bahkan terlihat mata itu mengiba dan memelas.
“Edgar-ssi…” In-Ho tersenyum masam, “Apa kau gila? Kau menyuruhku untuk mencongkel matamu yang masih sehat dan masih bernyawa?! Kau ingin aku dipenjara karena melakukan tindakan malpraktek terhadap orang hidup?” In-Ho menaikkan nadanya. Nada yang agak terdengar mengancam sepertinya.
“Kau pasti bisa mengusahakannya, kan? Ayolah… kumohon…” Edgar seperti merengek. Membuat In-Ho gelisah dan geleng – geleng kepala.
“Yah! Memangnya apa yang membuatmu berpikiran gila seperti ini?!”
“Aku… punya janji dengan seseorang…” Kata Edgar sambil menerawang. ‘seseorang…’ batin In-Ho. Beberapa detik kemudian, ia merasa mendapat gambaran seseorang yang dimaksud Edgar. mungkinkah orang itu…
“Apa namja buta itu?” Tanya In-Ho hati – hati. Edgar tak menjawab. Membuat In-Ho semakin yakin. Ini selalu ada kaitannya dengan si buta itu!
“Kau gila…” Umpat In-Ho kesal. Edgar merengut. “Apa cintamu padanya membuatmu gila seperti ini?”
“Mungkin saja…” Kata Edgar meragu. “Jadi kumohon… ambil mataku ini… ambillah… ambil…nghk—”
Ting!!!
“Ed… kau tak apa?” In-Ho cemas ketika pemuda itu tiba – tiba saja memegangi kepalanya. Ia kemudian berdiri dan menghampiri kursi pria itu.
“Ed, kenapa?” Tanya In-Ho ketika Edgar terlihat kesakitan memegangi dahinya yang pening.
“aku… aku… tidak tahu…. kepalaku... rasanya sakit seperti ada yang memukulku dengan beton…” Jawab Edgar. ia tak kuat lagi menahan derita di dalam kepalanya itu. Rasanya seperti meradang dan menggerogoti otaknya. Untuk sesaat ia langsung jatuh dari kursinya serta membuat In-Ho semakin khawatir.
-oOo-
“Hanya itu? Baiklah… mulai sekarang kedua mata ini adalah milikmu…”
Kata – kata itu masih terus terngiang didalam benak Thomas bahkan hingga tak mampu membuatnya terlelap semalaman. Pagi ini bisa dipastikan ia terbangun dengan mata panda di matanya. Setelah kepergian Edgar, insomnia nya serasa kembali mengganggunya. Matanya tak ubah seperti burung hantu, selalu terbuka lebar bahkan hingga bias mentari pagi menusuk – nusuk kulitnya melalui lubang ventilasi jendela.
Ia melangkahkan kaki di lantai kayu flatnya. Kepalanya sedikit pusing akibat memikirkan masalah hidupnya yang tiada habis – habisnya. Ditambah lagi perkataan Edgar yang seolah mempengaruhi otaknya. Rasanya seperti ingin membenturkan kepala ke dindin saja!
“Ah… masa bodoh…” Gumam Thomas lebih pada dirinya sendiri. “Dia tidak akan berani memberikan kedua matanya untukku…” Katanya menganggap remeh Edgar.
Ia berjalan menuju jendela bermaksud untuk membukanya. Setika ia mendorong terali dan membiarkan tirak tersibak oleh angin musim dingin…
Triiinnggg… triinnngg… triiinnnggg…
Ia mendengar sesuatu sedang berbunyi. Sesuatu yang sangat familiar. Seperti halnya gelang yang dipakai oleh Edgar. gelang lonceng yang begitu nyaring dan merdu. Ia mendengar suara itu ketika ia membuka jendela. Apa jangan – jangan…
“Min-Young-ssi! Apa kau menaruh lonceng jelek ini dijendela kamarku?!” Teriak Thomas sambil menutup kembali jendelanya. Tak sudi mendengar suara yang mengingatkannya pada masa – masa yang menyakitkan.
“Min-Young-ssi—”
“Itu aku…”
Suara lengking lembut terdengar tak jauh dari keberadaan Thomas. Asalnya seperti berada di depan pintu kamar. Langkah kakinya yang memakai sepatu high tinggi bermerek serta wangi parfum dari brand ternama. Ia sudah bisa menebak melalui suara dan aroma tubuh meski mereka baru bertemu sekali.
“Eliana…” Gumam Thomas. “Sedang apa kau disini?”
“Hanya… penasaran…” Kata Eliana santai. Bisa dirasakan bibir ruby itu tengah tersenyum. Thomas bisa merasakannya.
“Penasaran?” Thomas meminta kejelasan.
“Aku penasaran. Seberapa jauh namaku mempengaruhi kisah cinta kalian berdua.” Kata Eliana meremehkan. Ada sedikit rasa direndahkan dari Thomas ketika ia mendengar Eliana berkata demikian.
“Aku bukan gay!” Tegas Thomas. “Dan aku sedang tidak ingin membicarakan hal itu!” Thomas hendak melenggak pergi.
“Tapi kau mencintainya, kan?” Thomas berhenti melangkah ketika Eliana membalasnya seperti itu. Eliana tersenyum senang.
“Dulu saat aku menyangkanya sebagai wanita.” Thomas berkilah.
“Faktanya, kau telah mencintai pria itu.” Ujar Eliana.
“Dia menipuku!”
“Karena dia ingin menunjukkan seberapa kagumnya dia kepadamu!”
“Tetap saja… dia seorang penipu!” Thomas keras kepala. Kali ini Eliana tidak membalasnya. Hanya desahan nafas sebagai jawabannya. Thomas terdiam, “Seandainya saat itu kau datang… mungkin semua ini takkan terjadi, El.” Kata Thomas sendu. Eliana mengigit bibirnya.
‘Tidak! Kalian sudah ditakdirkan bertemu! Makanya kalian telah melangkah sejauh ini’ Batin Eliana.
Thomas mendesah pelan. Seolah ia sudah cukup kesal dengan pembicaraan mereka pagi itu. “Tolong kau lepas lonceng itu! Suaranya mengganggu!” Thomas bersiap kembali melangkah pergi.
“Lonceng itu…” Gumam Eliana. “Hadiah natal dari Edgar untukmu. Masih tersimpan rapih didalam kotak yang berada di ruang perapian. Sepertinya sengaja tidak kau buka, atau kau tak sadar bahwa itu ada disana…”
Thomas menerawang. Ia tak tahu menahu jika dihari yang paling bersejarah itu, Edgar akan memberikan sesuatu yang sepertinya… sangat berkesan.
“Maaf aku telah lancang membukanya…” Lanjut Eliana. Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan secarik kertas dari sana. “Pria itu juga memberikan surat ini untukmu…terselip didalam kotak hadiah natal. Kurasa kau harus membacanya…” Kata Eliana. Ia menaruhnya diatas meja nakas. Membiarkan Thomas sendiri yang membukanya nanti. Setelah itu ia melenggak keluar meninggalkan Thomas yang masih terdiam tak bereaksi.
“Aku tidak bermaksud mendukung cinta kaum gay atau mendukung Edgar dalam hal ini…” Kata Eliana tanpa berbalik. “Tapi melihat dari usahanya… kurasa… sia – sia saja jika kisah ini selesai begitu saja,” Ujar Eliana sambil berlalu.
Thomas menghela nafas. Ia tak mengubris titah Eliana. Ia lebih memilih untuk mengacuhkan kertas itu dan segera pergi keluar kamar.
-oOo-
Edgar bangun dari rebahan ketika In-Ho masuk ruang perawatan. Ia sudah menunggu lebih dari dua jam untuk dokter yang menangani spesialis mata itu. Kepalanya tidak lagi terasa pening karena sudah diberikan obat penenang sehingga Edgar sedikit mengantuk. Edgar segera menangkap wajah In-Ho yang terlihat serius.
“Edgar…”
“In-Ho, syukurlah. Kau harus segera selesaikan masalahku. Aku haru segera pergi bekerja karena—”
“Sudah berapa lama kau memiliki tumor otak?” Tanya In-Ho dingin.
“Apa?!” Edgar terkejut campur bingung. Ia perlu merespon beberapa detik untuk menyadari situasi.
“Aku mendapat laporan dari hasil rontgent. Dokter Cha yang menangani spesialis otak mengatakan kalau ia mendapati adanya tumor yang bersarang di kepalamu,” Ujar In-Ho sambil melempar map yang berisi hasil pemeriksaan. Edgar menatap map itu dengan canggung.
“Separah apa?” Tanya Edgar cemas.
“Dari hasil penglihatan sebelumnya, sebesar ini…” In-Ho membuat lingkaran kecil dengan jempol dan telunjuk kanannya. “Tidak lebih besar dari kerikil namun sekarang sedang bertumbuh. Apa sebelumnya kau tidak menyadari adanya tumor di otakmu?”
“Aku sudah menyadarinya sekitar enam tahun yang lalu ketika aku masih di Indonesia. Tapi kupikir… tumor itu sudah hilang dari dalam otakku seiring dengan kemotherapy yang aku jalani. Setidaknya… itu kata dokter yang menanganiku dulu,” Jawab Edgar mencoba untuk tidak panik.
“Sepertinya dokter di negaramu sangat buruk. Dia hanya menekan agar tumor itu tak berkembang lebih cepat. Bukan menghilangkannya,” Kata In-Ho sambil duduk dan menghadap Edgar. pemuda tirus itu hanya tertunduk.
“Apa efek sampingnya?” Tanya Edgar.
“Jika dibiarkan, tumor itu akan membesar dan mematikan sistem syaraf dan panca – indra.” Kata In-Ho menerangkan. “Tapi jangan khawatir. Tumor mu tidak terlalu fatal dan masih bisa diangkat dengan sekali operasi. Jadi kemungkinan sembuh, 99.9%.”
Sebuah pernyataan yang terlintas menggelitik Edgar.
“Me-mematikan sistem syaraf?” Tanya Edgar.
“Ya.”
“Membuatku buta?”
“Bahkan bisa membuatmu tuli dan mengeluarkan darah dari hidung.” Tambah In-Ho. "Itu sebabnya kau , merasa puisng akhir - akhir ini. Bukan karena ingatanmu yang kembali. Tapi karena tumor otak itu. Sembuh dari amnesia tidak akan sesakit itu."
Edgar terdiam. Memikirkan hal gila yang sebenarnya agak kurang waras untuk diutarakan. Namun tak ada salahnya patut untuk dicoba. Setidaknya itu bisa menjadi alasan terbaik untuk membujuk In-Ho.
“Ambil saja mataku.” Kata Edgar.
“Eh? Maksudmu, selamatkan matamu?” In-Ho sedikit tidak mengerti.
“Tidak. Ambil saja mataku dan berikan kepada orang lain,” Gumam Edgar enteng. Kali ini In-Ho ingin menjitak kepala pria manis ini. Ia tidak menduga perkara tentang memberikan-mata-kepada-orang-buta masih berlanjut. Dibandingkan memikirkan dirinya sendiri, ia lebih memilih untuk memikirkan orang lain yang belum tentu orang lain itu memikirkannya.
“Gila!” In-Ho mulai membentak.
“Eh! Kenapa kau malah marah?” Tanya Edgar polos.
“Disaat seperti ini kau masih bisa bertanya seperti itu?! Yah! Paboo-yah! Kenapa kau lebih mementingkan orang itu,huh?!dia bahkan tidak peduli jika kau sakit seperti ini! Dengar! Setelah empat bulan kau akan kehilangan mata dan telingamu!” In-Ho berdiri dan mulai memarahi Edgar.
“Kalau begitu kau harus mempersiapkan segalanya sebelum empat bulan bulan.” Kata Edgar masih dengan nada ringan.
“Kau menginginkanku untuk menjadi tersangka malpraktek?! Kau pikir perkaranya semudah itu?!” Demi tuhan In-Ho ingin membenturkan kepala anak ini hingga otaknya tidak lagi berpikir yang macam – macam!
“Hey Ahjussi! Bukankah kau sebelumnya tidak mau mengoperasiku karena aku tidak punya alasan kuat untuk mendonorkan mataku? Sekarang Tuhan berkehendak lain, lalu kenapa kau malah mengahalangiku untuk melaksanakan niat mulia—”
“Niat mulia?!” In-Ho memotong dengan emosi. “Kau tidak lebih dari orang yang tidak kenal rasa syukur! Lihatlah diluar sana, yang meninggal karena tumor! Kau masih terhitung beruntung karena kau hanya akan buta karena tumor! Bahkan tumormu masih bisa bisa dihilangkan sekarang juga jika kau mau!”
“Demi Tuhan aku akan menjadi sangat menyesal jika aku tak memberikan mata ini kepadanya!!” Edgar berkata agak serak. Membuat In-Ho tersadar bahwa ia seharusnya tak bersikap berlebihan kepada pasien yang meminta bantuannya. Sudah saatnya ia bersikap professional dan mengesampingkan perasaan pribadinya.
“Aku telah membuatnya menunggu, In-Ho. Setahun… tidak… bahkan empat tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk kesepian dalam kebutaan. Dia telah menanti pendonor yang sampai hari ini belum ia temukan.” Bibir Edgar mulai bergetar. Namun sebisa mungkin ia tak ingin menangis. Ia tak mau jika orang lain melihat airmatanya. "Menurutku itu hal yang wajar ketika ia meminta mataku...
“Biarkanlah aku menjadi yang pertama untuknya. Setidaknya… jika aku akan mati dengan tumor ini…” Edgar mengigit bibir bawahnya. “Maka aku akan mati dengan bangga karena telah memenuhi hadiah yang paling diinginkannya. Dinginkan Thomas. Dua mata sehat yang dapat memperlihatkan dunia padanya.”
Kali ini In-Ho tak bisa membalasnya. Ia hanya menggaruk resah belakang kepalanya. Ia merasa jengkel dan cemas dengan Edgar. dalam hati, ia menyumpahi Thomas yang telah membuat Edgar begini gilanya. Matanya berputar – putar gamang seolah tidak yakin dengan keputusan yang akan diambilnya.
“In-Ho pleaseee…” Edgar mulai merajuk. In-Ho menghela nafas.
“Baiklah… akan kubantu kau. Akan kuberi formulir pendaftaran untuk membuat kartu pendonor mata sehat.” In-Ho mendecakkan lidah kesal dan mengambil sebuah kertas dari file.
“Terimakasih In-Ho. Kau sungguh membantu. Aku mencintaimu.” Ujar Edgar senang. “Ummm… dan juga… tolong jangan ceritakan pada siapapun tentang masalah tumor ku, ya. Biar ini jadi rahasia antara kita berdua. Jangan sampai Tim ataupun Thomas tahu tentang ini.”
“Kuharap kau segera menghentikan pikiran gilamu, Ed.” Jawab In-Ho setengah hati.
-oOo-