Suara Kita mengundang kawan-kawan untuk hadir dalam kegiatan:
Bedah Buku dan Temu Penulis
Judul Buku: “Kubunuh Disini”
Penulis: Soe Tjen Marching
Kegiatan akan dilaksanakan pada:
Hari: Jum’at, 18 Juli 2014
Pukul: 16.00 – berbuka puasa
Tempat: Sekretariat Suara Kita. Kalibata Timur 1, No. 51. Kalibata – Jakarta Selatan.
Untuk informasi hubungi panitia: Yatna Pelangi: 087777797334
Info Buku:
Poster (1)
Judul Buku: Kubunuh di Sini
Penulis: Soe Tjen Marching
Editor: Christina M.Udiani
Isi: xii+250 hlm.
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia, 2013.
Ulasan Buku: J.D Salinger dalam “The Catcher in The Rye” (1951) pernah berujar “tulisan yang baik itu adalah seperti cerita seorang kawan yang dapat kita telepon atau temui kapan kita mau”.
Meski kalimat itu datang lewat karakter nyeleneh Holden Caulfield bikinan Salinger, sebenarnya tak mudah di zaman kini menemui buku seperti keinginan sederhana Caulfield. Apalagi merujuk pada industri buku Indonesia yang belakangan ini cenderung “mati gaya” dengan lebih banyak menerbitkan buku kiat sukses anti gagal, agama, dan motivasi -sedangkan sisanya kebanyakan karya penulis yang bukan lahir dari tradisi baca-tulis yang baik, alias baru terbit jika jumlah pengikutnya di sosial media berjumlah ribuan lantas abai pada mutu.
Kubunuh di Sini, buku memoar karya Soe Tjen Marching (STM) ini berpusat pada tiga titik kecemasannya: empat kali dinyatakan terserang kanker ganas, divonis hidupnya tak akan bertahan lama, dan pergulatannya sebelum ia sendiri nanti wafat. Dari kisah dirinya sebagai seorang perempuan Indonesia, penulis yang juga dikenal sebagai komposer dan aktivis perempuan asal Surabaya ini menyisipkan kritik sosial dan politiknya terhadap berbagai negara. Misalnya kritik terhadap sistem kesehatan di Indonesia yang menuntut dana luar biasa untuk mendapatkan layanan kesehatan layak, sedangkan ia sendiri bisa masuk rumah sakit dan mendapatkan operasi gratis dari pemerintah Australia dan Britania.
“Inilah gunanya pajak,” tulisnya. Sedangkan di Indonesia: kemanakah larinya pajak?
Sekilas STM adalah sosok perempuan beruntung walau lahir dari keluarga biasa, namun orangtuanya bisa bangkit dari keterpurukan dan menjadi salah satu pendiri sebuah sekolah swasta SD-SMP di Surabaya, lulusan terbaik kampus terkemuka di Selandia Baru, dapat beasiswa di Australia, mengajar di beberapa universitas ternama di Australia dan Inggris, sehingga (sekilas) ia hidup nyaman di negara maju. Tapi semua itu nyaris runtuh karena selain kesakitan karena kanker, ternyata ia menunjukkan bahwa “hidup di negeri maju tak sebaik yang kamu duga”.
Sebutlah sebagai penderita kanker STM sempat diusir di Australia (hlm.50) hingga terpaksa menyewa jasa pengacara untuk meyakinkan pihak imigrasi bahwa ia bakal sembuh dan tak merepotkan negara. Ada juga refleksi kritisnya terhadap praktik oligarki yaitu kekuasaan dana Rupert Murdoch sebagai raja media yang juga berpengaruh dalam politik Australia, sampai STM sendiri terlibat aksi mogok kerja bersama para dosen Australia lantaran dana pendidikan dikurangi pemerintah John Howard sehingga menyulitkan pelbagai kegiatan akademik (hlm.87).
Detail teman sekamarnya di rumah sakit mulai dari tingkah usil mengganggu jam istirahat STM sendiri juga tak ketinggalan sehingga ia tak tampak coba-coba “mengajari” pembaca dengan harapan klise khas kisah inspirasi menguatkan jargon “hidup ini indah”, karena walau buku ini memoar tapi diposisikan penerbitnya sebagai ‘kisah motivasi’ dalam kerangka bisnis perbukuan zaman sekarang.
“Pertarungan” adalah satu kata yang tepat menggambarkan seluruh isi buku ini sehingga amarah, ketidakpuasan, juga berontak terhadap nilai-nilai tabu dan kerap dituding sebagai “amoral” senada dengan kejengkelan Holden Caulfied tatkala menatap hidupnya yang brengsek dan penuh orang munafik. Baiklah, hidupmu memang brengsek dan kamu dikelilingi orang-orang menyebalkan, tapi nyatanya tak semua orang bisa menerima lantas mengisi hidup itu sendiri sebisanya, begitu yang terasa dalam buku ini. Kalau “Catcher” terasa sebagai sinisme dan pesimistik, di buku ini lebih pada tersirat harapan walau ditulis dengan nada kedongkolan serupa.
Maka, para pembaca yang merindukan tema kesantunan “rags to riches” (perjuangan orang biasa sukses di luar negeri) ala kebanyakan kisah motivasi mungkin bakal kecewa karena buku ini bisa dibilang sebagai himpunan catatan kolase yang cemas dengan hidup itu sendiri seperti perasaan depresi, frustrasi, keterasingan, kerinduan, tapi masih menyisakan keriangan dan cinta.
Apalagi ketika buku ini diterbitkan jauh dari perayaan besar-besaran plus aneka rupa gimmick guna mempercantik buku agar seolah “penting”. Pendek kata, STM tetap kembali pada idealisme karyanya tanpa pretensi berlebihan sehingga buku ini bisa cepat habis dibaca.
Sebuah catatan yang cukup jujur, dibandingkan kebanyakan memoar serupa. Apalagi STM tak mencantumkan deretan penghargaan di buku memoarnya ini walau ia pernah meraih penghargaan internasional untuk komposisi musiknya pada tahun 2010 dari Singapura. Belum lama ini, setelah bukunya terbit, lewat jejaring sosial Facebook dan Twitter, kegeraman sekaligus kesadaran kritis STM sebagai aktivis sosial muncul: menggerakkan petisi menolak Jenderal Sarwo Edhie yang konon akan ditahbiskan mendapat gelar Pahlawan Nasional lantaran terlibat sebagai aktor intelektual pemusnahan orang-orang yang diduga terlibat partai komunis.
Namun, agar Anda sendiri tak cemas, aspek naratif STM yang selain mampu mengikuti kemauan Caulfield seperti di awal tulisan ini, buku ini juga seolah mengingatkan kita kembali pada ucapan Budi Darma dalam pengantar novel Olenka (Balai Pustaka, 1988): karya yang baik itu bukan sekedar mengungkapkan tindakan hebat tokoh-tokohnya melainkan lebih kepada pergulatan pemikirannya.”
Sumber ulasan: jakartabeat.net
Untuk mengenal lebih dekat dengan penulis silahkan berkunjung ke blog : www.soetjenmarching.com
http://www.suarakita.org/event/bedah-buku-dan-temu-penulis/