BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Doost Dashtan

Ah..ah..ah..aggrr….

Aku bangun terengah-engah, menatap langit-langit yang tampak gelap. Keringat mengucur deras membasahi seluruh tubuhku. Kusibakkan sarung yang aku kenakan, basah. Sekali lagi ini terjadi, aku memimpikannya. Bukan mimpi biasa, ini mimpi yang menyenangkan sekaligus membingungkan. Aku bermimpi bersetubuh dengannya, Lathief. Entah kenapa aku bisa bermimpi seperti itu dengannya.

Kuusap cairan lengket yang membasahi selangkangan dan separuh perutku. Aku tak tahu secara pasti kenapa cairan ini bisa keluar. Jariku malu-malu merasakan cairan yang melengket pekat, ini bukan kencing. Rasanya menjijikkan..

Kenapa semua ini harus aku alami? Kadang aku berpikir untuk membicarakan masalah seperti ini dengan ustad atau teman dekatku. Namun aku takut kalau mereka justru mentertawakanku atau bahkan menganggapku sakit. Aku kira lebih baik menyimpannya dan berusaha mencari tahu sendiri. Entah bagaimana caranya.
***

Tidak terasa sudah lima bulan kami menjalani sekolah di Aliyah, sebentar lagi kami akan menghadapi ujian akhir semester. Walau kami agak khawatir dengan datangnya ujian, tetapi kami juga tidak bisa menyembunyikan kegembiraan kami atas datangnya masa liburan. Namun sepertinya bayangan kami harus kami kubur dalam-dalam.

Sore Hari setelah sholat ashar Ustad Fajri mengumpulkan kami di kamar asrama. Sebuah ta’limat dari Kyai, pemimpin pesantren, mengatakan bahwa kami akan dikirim ke daerah untuk membantu masyarakat disana, serta belajar dari sumber ilmu berasal.

Aku membaca lembar yang dibagikan Ustad Fajri. Kelihatannya kelompok kamar kami dipecah dan digabungkan secara acak. Setiap kelompok didampingi oleh seorang ustad. Sayang seribu sayang Ustad Fajri yang baik hati bukan pendamping kelompokku. Tertulis Ustad Sholeh yang akan membimbing kelompokku.

Ada sedikit keraguan apakah aku bisa membaur dengan teman-teman baruku nanti. Apalagi aku dan Lathief harus terpisah, padahal selama ini dia banyak membantuku mengerjakan tugas dan berbagai pekerjaan di asrama.

Kulihat Lathief yang sedang membaca kertas pembagian kelompok. Dia terlihat antusias membaca, seolah dia bisa membayangkan petualangan fantastis yang akan dia hadapi. Jika saja dia bisa membaca hatiku.
***

Mataku terbelalak tajam mendengar dentuman detik jam. Aku terbangun tidak tahu ada apa gerangan. Remang mengisi ruang kamar, semua terlihat samar. Aku mencoba untuk tidur kembali, tetapi tidak bisa. Ada rasa gelisah yang tidak bisa aku terjemahkan. Aku mencoba untuk merenung dan bertanya ada apa denganku.

Pikiranku berkecamuk hebat, hanya ada satu hal disana, Lathief. Aku meremas bantalku erat-erat, mencoba untuk meredam pikiranku. Berkali-kali aku berkata pada diriku sendiri bahwa pikiranku itu salah, dosa!

Aku bangkit dari tempat tidurku, aku benar-benar tak punya kuasa atas diriku. Pelan-pelan aku berjalan mendekati cahaya, disana Lathief tertidur. Aku duduk di samping tempat tidurnya, mendekatkan diriku lebih dekat, memandangnya sangat dekat. Raut mukanya sangat polos dan jujur. Selintas keinginanku untuk mengecup keningnya, tetapi ada ketakutan luar biasa untuk melakukannya. Bagaimana jika dia terbangun nanti? Bagaimana aku mempertanggungjawabkan perbuatanku kelak di hadapan Allah? Beribu bayangan ketakutan melayang-layang.

Aku melihat raut muka Lathief sekali lagi, menenangkan. Sudah sedekat ini kataku dalam hati. Aku condongkan tubuhku berniat untuk mengecup keningnya. Aku memejamkan mataku untuk menghilangkan rasa takutku. Namun tiba-tiba.

“Dzik, ngapain kamu?” Teman kamarku memergokiku.

Aku kaget dan menjadi salah tingkah. Aku tak tahu harus berbuat apa, apalagi Lathief ikut terbangun dan menyadari keberadaanku di sampingnya.

Temanku bangkit dari tempat tidurnya dan menghampiri aku. Dia menarik bajuku dengan sangat kuat, melemparkanku kearah tembok. Teman-teman lain juga ikut mengelilingi dan menghakimiku.

“Kamu homo ya?” Tuduhnya.

Aku tak bisa mengelak dan diam saja. Bulir air mata mengalir begitu saja tak bisa aku tahan. Kulihat mata mereka satu-satu. Pandangan mereka menyiratkan betapa hina dan jalangnya diriku.
Mereka lalu ramai-ramai mengusirku dari kamar. Sama sekali tak ada welas asih kulihat dari mata mereka. Apakah mereka tidak pernah tahu betapa dinginnya malam hari diluar sana. Pintu kamar ditutup dengan kasar setelah mereka mengeluarkanku.

Aku berlari kedalam gelap menuju entah kemana. Muncul penyesalan yang amat dalam atas perbuatanku tadi. Tetapi semua sudah terlambat. Aku buka pintu masjid dan berbaring di pojokan serambi masjid yang terlihat gelap dan tenang. Kunaikkan sarungku sampai menutup dada, kudekap tubuhku erat-erat. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana hari-hari kedepanku di pesantren.

Dalam hati aku berdoa memohon petunjuk dari Allah SWT. Sebuah petunjuk pencerahan atas batasnya kemampuan manusia untuk berpikir. Jalan yang terang.
***

Beberapa Hari setelahnya…..

Angkot yang aku tumpangi terhenti oleh kemacetan pasar. Tumpukan kendaraan dan manusia lalu lalang berebut jalan memaksa supir harus lebih bersabar menembusnya. Aku duduk bersama teman-teman baruku, tim yang akan bekerja sama selama satu bulan kedepan. Ada rasa lega ketika aku bertemu dengan mereka. Seolah aku bisa melupakan masalah yang baru saja aku hadapi.

Angkot memasuki area perkampungan, aku melihat rumah-rumah berdinding bambu dengan ilalang sebagai atapnya. Jalan kampung belum diaspal, kadang kami harus tergoyang-goyang ketika angkot yang kami tumpangi melintasi jalan yang tak rata.

Dari angkot aku melihat sosok yang cukup ganjil. Seseorang yang cukup tua, rambutnya beruban samar, dandanannya serba hitam dengan gaya pendekar jawa klasik. Tiba-tiba dia menatap tajam ke arahku, aku segera berbalik seolah-olah tak melihatnya. Ada kengerian yang muncul ketika dia menatapku balik. Bulu kudukku tiba-tiba berdiri seolah tatapannya melemparkan sebuah serangan ghoib.

Kami berhenti di pelataran masjid yang tak begitu luas, di sampingnya berdiri sebuah rumah yang cukup besar dan lebih mewah daripada rumah-rumah yang aku lihat sebelumnya. Ustad Sholeh menyuruh kami untuk keluar dari angkot dengan rapi dan sopan. Di depan masjid yang cukup sederhana itu berdiri seorang tua dengan sarungnya yang cukup istimewa untuk seumurannya. Ustad Sholeh memberikan salam dan berbincang kepadanya sementara kami hanya mengikuti dari belakang. Beliau adalah Kyai Jumali, seorang pemuka agama setempat yang berasal dari kampung ini.
***

Sore hari yang biasa, aku mengajar ngaji anak-anak di masjid. Semua berjalan lancar-lancar sampai seorang bapak tua datang dan membentak salah satu anak di masjid.

“Ngopo kowe neng kene, ayo muleh! ” Bentaknya.

Anak yang dipanggil terlihat ketakutan, dia segera keluar dari masjid mengikuti bapak tua itu dari belakang. Si bapak tua kelihatan gusar. Aku kebingungan berada di situasi itu. Kulihat bapak itu dengan seksama, sepertinya aku pernah melihat dia sebelumnya. Aku ingat, bapak tua itu adalah bapak yang pernah aku lihat waktu aku berada di angkot menuju kampung ini. Siapakah dia gerangan?

Anak-anak kembali melanjutkan aktivitasnya masing-masing seolah tidak terjadi apa-apa. Mungkin kejadian-kejadian seperti ini cukup sering terjadi dan dianggap biasa saja. Aku juga mencoba untuk bersikap biasa saja, melanjutkan mengajar anak-anak.
Selesai sholat maghrib aku menghampiri teman sebaya anak yang tadi dibentak-bentak oleh pak tua itu.

“Mau tanya, anak yang dipanggil sama bapak tua tadi namanya siapa ya?”
“Namanya Slamet, mas.”
“Bapak tua itu bapaknya Mas Slamet ya?”
“Bukan mas, Pak tua itu Warok yang tinggal di kampung sini. Nuwun sewu , Mas Slamet itu gemblaknya.” Hadi menjelaskan.
“Apa itu warok dan gemblak?” Tanyaku heran.
“Itu lho mas yang main reog ponorogo.”

Aku sama sekali tidak tahu menahu apa yang dia coba jelaskan kepadaku. Kami berpamitan karena aku tak punya hal lagi yang ingin aku tanyakan.

Bada isya aku kembali ke rumah kyai untuk beristirahat. Aku melihat Ustad Sholeh sedang berbincang dengan Kyai Jumali di serambi rumah. Dengan ramah aku menyapa mereka. Aku juga mengutarakan kebingunganku mengenai gemblak dan warog kepada mereka.

“Oiya Kyai, Ada suatu hal yang ingin saya tanyakan, gemblak dan warok itu apa ya kyai?” Tanyaku kepada Kyai Jumali.
“Warok dan gemblak itu haram! Mereka musyrik, kaum Nabi Luth.” Jawabnya dengan nada tinggi.

Mendengar nadanya yang tinggi aku tidak berani melanjutkan perbincangan. Raut muka kyai yang tenang tiba-tiba berubah. Seolah aku telah membangkitkan emosi yang sudah lama dia pendam dengan pertanyaanku. Dan tanya itu pun masih terngiang-ngiang, entah dimana aku bisa mencari jawabannya.
***

Hari Minggu pagi, kabut terlihat tipis di pesawahan sekitar kampung. Aku tertatih-tatih berjalan di pematang sawah yang sangat sempit mengindari lumpur dan rerumputan yang basah oleh embun. Menghirup udara pagi sungguh menyenangkan, rasanya begitu membebaskan.

Dari kejauhan aku melihat sekumpulan anak-anak yang bermain di dekat gubuk. Aku mempercepat jalanku menghampiri mereka. Dari kejauhan aku mendengar sayup-sayup suara olokan.

“Gemblak, gemblak, gemblak…!”

Kulihat seorang anak dikepung oleh teman-temannya sambil disoraki dan dilempari dengan lumpur sawah. Setibanya aku disana anak-anak membubarkan dirinya masing-masing. Seorang anak mendekam menangis tersenggut-senggut. Aku mendekati dia dan mencoba menenangkan. Ketika dia melihat kearahku aku baru menyadari bahwa dia adalah Slamet, bocah yang aku bicarakan beberapa hari yang lalu. Dia berdiri, lalu pergi meninggalkanku. Aku mengejarnya.

“Mas Slamet diejek ya tadi?” Dia terlihat diam saja. Aku mencoba untuk mengiringi kecepatan langkahnya.
“Tak ada yang salah menjadi gemblak, mas.” Aku sontak berkata. Entah apa yang merasukiku hingga aku berkata demikian. Slamet menghentikan langkahnya. Aku terkejut dengan reaksinya, aku sempat khawatir jika dia marah atau sedih dengan kata-kataku.
“Kok mas bisa bilang begitu?” Tanyanya.
“Ya tidak ada yang salah menjadi gemblak.” Aku kebingungan untuk mencari alasan.
“Huh…. Mas kan nggak tahu apa itu gemblak.” Slamet bernada menyepelekan.
“Bukankah itu bagian dari budaya kita mas, kenapa kita harus rendah diri?”
“Ah siapa yang bilang. Gemblak itu ibarat pesuruh rendahan, laki-laki murahan yang dibeli dengan harta. Masih berpikir bisa bangga?” Pertanyaannya menohokku.
“Apakah Mas Slamet terpaksa menjadi gemblak?” Aku bertanya mencari tahu bagaimana perasaannya.

Dia terlihat gundah dengan pertanyaanku. Ada sesuatu kejanggalan yang dia pikirkan. Pelan-pelan dia melanjutkan langkahnya. Sampai di gubuk pinggir sawah dia berhenti dan duduk disana. Dia menghela nafas dan melihatku dengan seksama. Raut mukanya berubah melas membuang jauh bayangannya ke masa silam yang pernah dia lalui.

“Mas, kedua orang tuaku itu hanya buruh petani. Mereka hidup dari pekerjaan membantu petani yang sedang menggarap sawahnya. Kami dulu pernah dililit hutang karena ibuku sakit-sakitan. Lalu datanglah seorang tua dengan sebuah jalan keluar dari masalah. Orang tuaku sangat senang dengan tawarannya. Tetapi, ada pertukaran yang harus kami berikan kepadanya. Aku adalah harga tukar yang ditawarkan itu.”
“Pasti Mas Slamet sangat sedih waktu itu.” Aku mencoba untuk berempati.
“Aku tidak tahu kesepakatan antara orang tuaku dengannya. Yang aku tahu, setelah kedatangannya kerumahku. Orang tuaku menyuruhku untuk ikut dengannya. Belajar, menuruti perintah, dan melayaninya. Pada awalnya aku kecewa dengan keputusan orang tuaku. Tetapi aku berpikir ulang bahwa kepergianku dari rumah bisa mengurangi beban orang tuaku.” Raut wajahnya sedikit tenang. Dia menatapku penuh arti. Aku merangkulnya sebagai tanda keterbukaanku kepadanya.
“Seandainya mereka tahu ya mas.”
“Apa yang mereka tahu hanyalah olok-olokan bagiku. Mereka berkata haram dan rendah tanpa bertanya kenapa?”
“Apakah Mas Slamet berbahagia sekarang?” Aku bertanya. Dia cukup kaget dengan pertanyaanku.
“Hmmm…memang hidupku terdengar sangat berat dan tidak adil. Pada awalnya aku juga merasa seperti itu. Tetapi dalam perjalanannya aku menemukan suatu hal lain yang mungkin tak akan pernah disangka oleh orang-orang. Warokku bukan hanya guru dan pelindungku, tetapi dia adalah orang yang aku cintai.”
“Cintai? Maksudnya?”

Dari kejauhan pak tua yang beberapa Lathief yang lalu membentak-bentak di masjid datang menghampiri. Dia berhenti dan menjaga jarak cukup dekat dengan kami. Mas Slamet beranjak dari tempat duduknya, dia datang menyambutnya.

“Mas pasti tahu apa itu cinta.”

Aku tertegun diam dengan perkataannya sampai lupa untuk mengucapkan selamat tinggal. Aku mencoba untuk memahami apa yang ia maksudkan, tetapi bagiku hal itu sangat ganjil. Kulihat Slamet nyambut pelukan terbuka dari bapak tua itu.. Mereka kemudian pergi, saling bergandengan tangan, mesra sekali. Semesra itu? Lalu mereka hilang bersama kabut yang semakin tipis.

Sejak saat itu aku tidak pernah melihat mereka berdua. Sempat aku tanyakan mengenai Slamet kepada anak-anak pengajian. Kata mereka Slamet tidak ada di rumahnya. Dia pergi bersama bapak tua itu, entah kemana. Katanya mereka sedang ada pentas di luar kota.
***

Teman-teman sedang tiduran di kamar, beristirahat setelah melakukan rutinitas yang cukup padat hari ini. Aku sedang membaca buku di ruang tengah, menunggu sampai aku merasa kantuk. Ustad Sholeh memanggilku, dia mengajakku berbicara di serambi rumah kyai.

“Antum tahu soal gemblak dan warok dari mana?” Dari kerutan dahinya, kulihat Ustad Sholeh heran dengan keingintahuanku.
“Dari anak pengajian, ustad.”
“Oh gitu….. Antum penah lihat reog ponorogo? Warok itu seniman reog.” jawab Ustad Sholeh.
“Cuma liat di televisi, ustad.” Jawabku singkat.
“Kalo antum liat orang yang pake baju hitam-hitam, biasanya pake blangkon dan berjenggot, dia disebut sebagai warok. Nah terus ada penari yang mengelilingi reog kan? Biasanya dia pake seragam putih menunggangi jaran kepang, dia desebut sebagai gemblak.” Papar Ustad Sholeh.
“Terus kenapa tadi Kyai Jumali marah, malah mengharamkan warok dan gemblak ustad?” Aku bertanya heran.
Aku melihat Ustad Sholeh tersenyum tipis. Dia mengelus rambutku, mungkin gemas mendengar pertanyaanku.
“Antum kritis juga ya? Dibalik pertunjukkan reog, ada hubungan yang cukup dekat dan ganjil antara warok dengan gemblak.”
“Hubungan seperti apa, ustad?” Aku menyela pembicaraan.
“Stt…sabar dulu. Ana jelaskan. Hubungan antara antara warok dan gemblak ini terjadi di luar pertunjukkan. Warok adalah sosok yang digambarkan sebagai orang yang bijaksana secara batin dan spiritual. Kadang setiap warok memiliki gemblak, sosok muda yang selalu mengikuti warok. Dzikri tahu jenis kelamin dari gemblak?” Tanya Ustad Sholeh.
“Dia laki-laki kan, ustad?” Jawabku singkat.
“Betul, gemblak itu laki-laki. Hubungan mereka sangat dekat, mungkin tidak terlihat seperti guru dan murid atau bahkan ayah dan anaknya. Setahu ana hubungan mereka lebih mirip seperti hubungan antara suami-istri.”
“Apa? Berarti seperti kaum Sodom dan kaumnya Nabi Luth ya?” Aku terkaget.
“Hahahaha…tunggu sebentar. Dzikri harus mendalami sejarah turunnya ayat yang menceritakan Kaum Sodom dan Nabi Luth sebelum mengatakan hal seperti itu. Tapi yang jelas, sepemahaman ana, Islam itu hanya mengharamkan perilaku seks-nya, bukan cinta-nya.” Ustad Sholeh terlihat bijak dan berhati-hati dengan penjelasannya.
“Dzikri bisa pelajari lagi apa itu reog ponorogo, warok dan gemblak selagi masih di sini. Dzikri benar-benar dekat dengan mereka saat ini. Seperti Kyai di pesantren katakan, kita berada di sumber ilmu berasal, masyarakat.” Ustad Sholeh menambahkan.
“Jazakallah ustad. Saya akan belajar lagi mengenai hal itu.” Aku menundukkan kepalaku sebagai tanda hormat dan terima kasih.
“Silahkan kalo antum mau beristirahat, besok kita diskusi lagi.” Ustad Sholeh mempersilahkan diriku untuk beristirahat. Aku beranjak dari tempat duduk dan pergi menuju rumah Kyai.
“Dzikri!” Panggil Ustad Sholeh tiba-tiba.
“Ya, ustad, ada apa? Aku membalikkan badanku menghadap kearahnya.
“Ingat ya, tak satupun Tuhan pernah mengharamkan cinta.”

Pernyataan Ustad Sholeh membuatku berpikir lebih jauh dan dalam. Cinta, kata yang beliau tekankan di akhir diskusi. Aku mengaitkan antara Kaum Sodom, perilaku seks dan cinta. Bertanya-tanya kenapa dulu Allah meng-adzab Kaum Sodom. Apakah Allah juga meng-adzab cinta-cinta mereka? Atau?

Comments

  • ada lanjutannya..?? mentionn dongg...kayaknya religi banget..^^ gay di pandangan agama..hihi
  • ada lanjutannya..?? mentionn dongg...kayaknya religi banget..^^ gay di pandangan agama..hihi
  • lanjhootttt
  • wah berat ini temanya..

    membawa pandangan ustad yg 'pro' gay?
    *ga brani komen ttg itu banyak2

    btw masi ada yg miss, itu si slamet, dia umur brapa? anak2 ngaji itu biasanya SD kan? kalimat dia saat dialog dg dzikri terlalu berat untuk ukuran pemikiran anak SD.

    tp cara penggambaran suasananya udah dapet, nulisnya udah bagus..

    next
  • Cc. @sinjai @zephyros si anak santren, lol
  • oya lupa blg, tema warok pernah ada yg angkat, punya tito, judulny lanang kalo ga salah, tp keknya beda, ini cenderung ke nilai agama, yg tito ke budaya
  • hihi thanks mensyennya, mbae @yuzz‌ ;))
  • alurnya cepet bgt mas @rasidian
  • terima kasih kawan2 masukan dan apresiasinya. Iya memang berat ya? hehehe...sengaja kok. :P

    terlalu ceept alurnya ya? iya nih. susah nyingkatnya. Sya lagi mau pakem ke cerpen.

    btw terima kasih apresiasinya sekali lagi
  • no comment ajalah kalau udah menyangkut agama n masyarakat,, :)
    kalau up jangan lupa mention ya,,
  • kecepetan ... sampe ngos2an bacanya
    ada salah ketik tu harusnya saat tapi terketik lathief
  • ntah lah mau koment apa
  • banyak yg mau dikomentari, salah satunya udah disampaikan yuzz. gaya bicara slamet sangat dewasa sekali.
    terus si tokoh utama ketahuan tuh hampir mencium si latief lanjutannya gmn???
    dan, berdasarkan kisah nyatakah?
Sign In or Register to comment.