It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Suarakita.org-Christina Siahaan orang tua tunggal dari empat orang anak adalah satu dari sekian banyak “pendamping” orang dengan HIV/AIDS (ODHA) yang ada di Jakarta. Pada kesempatan memperingati hari AIDS Sedunia tim Suara Kita mewawancarai Christin untuk berbagi kisah pengalaman hidupnya menjadi pendamping ODHA.
Danau di Taman Makam Pahlahwan Kalibata Jakarta Selatan tempat tim redaksi bertemu dengan Christin. Senyumnya yang ramah mengawali perjumpaan sore itu. Sambil menghadap ke danau kami mulai pembicaraan yang membahas tentang pengalamannya mengawali sebagai pendamping ODHA.
Pengalaman Mendampingi
Melakukan pendampingan ODHA adalah hal yang baru bagi Christin, kegiatan ini ia lakukan dua tahun belakangan. Segala hal tentang HIV/AIDS ia ketahui dari membaca selebaran yang dibagikan oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang melakukan kunjungan dibeberapa tempat termasuk tempat tinggal Christin di Rusun Cawang Jakarta Timur.
“Awal gue melakukan pendampingan karena ada beberapa kawan-kawan terdekat gue “pergi” padahal usianya masih muda, dan setelah gue telusuri, mereka pergi karena telat mengetahui ada virus HIV ditubuhnya, padahal jika tahu lebih awal pasti tidak akan secepat itu meninggalkan gue”. ungkap Christin dengan wajah memelas membuka pembicaraan sore dibawah langit kota Jakarta yang mendung.
Hingga pada suatu ketika ia berinisiatif untuk meminta sebuah LSM untuk melakukan Dokling* bersama kawan-kawanya di tempat ia bermukim. Kegiatan cukup sukses hingga Pak Lurah ikut melakukan VCT * (Voluntary Counselling and Testing) bersama. Waktu berjalan hingga akhirnya Christin banyak diminta kawan-kawanya untuk melakukan sosialisasi dan menemani ke puskesmas dan rumah sakit rujukan yang ada di Jakarta dan sekitarnya. Karena seringnya mengantarkan kawan-kawan Christin berkenalan dengan dokter dan konselor .
“Sekilas menjadi pendamping ODHA terdengar mudah, tapi diperjalananya gue malah tidak hanya jadi pendamping justru sekaligus menjadi konsultan keluarga”, tutur Christin sambil tersenyum
Sekitar setahun lalu, Christin mendampingi ODHA laki-laki yang sudah berumah tangga, dan pada suatu ketika obat-obatan terapi yang biasanya diminum dibuang oleh istrinya karena sang istri tahu bahwa obat yang diminum suaminya adalah obat terapi HIVAIDS. Mau tak mau Christin akhirnya memberikan penjelasan kepada istrinya dengan sabar sekaligus memberikan pengetahuan singkat tentang HIV/AIDS hingga akhirnya istrinya luluh dan mencoba mengerti tentang keadaan suaminya.
Christin meneteskan airmata saat ia bercerita tentang pengalamannya beberapa waktu lalu. Ia mengantarkan jenazah dampinganya dengan menggunakan ambulan ke sebuah kota di Jawa Barat. Setibanya di alamat almarhum, sang istri tidak sedikitpun meneteskan airmata dan bahkan keluarga tampak ragu menerima jenazah. Saat Christin bertanya kenapa sang istri tak bersedih, sang istri hanya menjawab “Saya kesal karena baru tahu bahwa kepergian suami saya karena karena HIV”.
“Selain pengalaman yang gue sebutkan diatas, ada juga pengalaman lain yaitu saat hendak melakukan pendampingan untuk naik ojekpun kadang gue gak punya uang, ini bagi gue menyedihkan karena gak bisa bertemu dengan dampingan gue. Ya maklumlah gue melakukan dampingan dengan suka rela dan tidak tergabung dengan lembaga manapun” ujar Christin dengan senyuman.
“Oya, satu lagi, dampingan gue kebanyakan dari orang-orang kelas menengah kebawah, gue senang mendampingi mereka, alasanya sederhana ketika mereka sudah mulai pulih dari dropnya, mereka selalu menggap gue sebagai kakaknya. Dan disaat ia bertanya tentang apa yang gue butuhkan, gue hanya mengatakan “Bantu kakak untuk mensuport temanmu yang lain” dan merekapun selalu dengan senang hati mendukung kegiatan gue mendampingi kawan-kawan ODHA yang lainya. Dan disitulah gue banyak belajar dari kawan-kawan ODHA tentang kasih dan kesabaran”.
Tangan Christin merogoh telpon gengam yang ada ditasnya dan membuka facebook. Ia kembali meneteskan airmata ketika menunjukan beberapa dampinganya yang telah tiada namun masih berteman difacebook. “Andai saja mereka tau lebih awal virus yang ada ditubuh mereka, mungkin mereka bisa bersama kita didanau ini berbagi cerita bersama”. Ucap Christin lirih sambil menyandarkan tubuhnya ditembok ditepi danau Kalibata.
Kendala
Menurut Christin yang menjadi kendala selama melakukan pendampingan diantaranya adalah kawan-kawan yang ia dampingi tidak memiliki asuransi kesehatan. Ini sangat menyulitkan sekali, karena jika kawan-kawan yang terlambat mengetahui statusnya, biasanya kondisi kesehatannya sudah sangat menurun dan jalan satu-satunya adalah dirawat di rumah sakit selama berhari-hari. Jika ini sudah terjadi maka sudah pasti akan menghabiskan banyak sumberdaya (uang) untuk membayar biaya rawat inap serta obat-obatan.
Masih lekat dalam ingatanya ketika ia mendampingi seorang kawan ODHA Waria yang tidak memiliki BPJS. Hingga pada suatu ketika sebelum ia wafat berkata “Kakak, saya tidak punya uang, ambil saja apa yang ada di kos saya untuk kakak, wig dan sepatu tolong dibantu di jual”. Kejadian ini membuat gue teriris. Ini diceritakan Christin dengan raut wajah sedih.
Kendala selanjutnya adalah langengnya stigma negatif bahwa virus HIV adalah sebuah virus akibat dari pergaulan bebas membuat Christin harus bersabar dan mengurut dada jika berhadapan dengan masyarakat dan keluarga ODHA yang masih memberikan cap buruk tersebut.
Christin menambahkan bahwa saat ini masyarakat sudah cukup melek tentang HIV/AIDS. Banyak yang ditanya tentang HIV/AIDS orang akan dengan mudah menjawabnya, namun ketika dihadapkan pada pertanyaan bagaimana jika orang terdekat ternyata positif HIV mereka bungkam.
Harapan
Diakhir pertemuan Christin mengatakan bahwa virus HIV bisa menyerang siapa saja tanpa kecuali, mengetahui lebih awal itu lebih baik daripada mengetahui ketika tubuh sudah drop. Sekarang sudah banyak tempat VCT yang bisa diakses secara berbayar maupun gratis, dan bahkan www.aidsdigital.net cukup membantu memberikan petunjuk lokasi VCT di berbagai kota di Indonesia. Jadi jangan pernah takut dan malu untuk melakukan pemeriksaan lebih dini.
Selain itu Christin juga menekankan bahwa pentingnya kita untuk memiliki asuransi kesehatan dan dalam hal ini minimal BPJS, walau tak semua ditanggung oleh BPJS ini akan mempermudah pendampingan jika dampingan ada dirumah sakit berhari-hari. Kawan-kawan ODHA tidaklah ingin diistimewakan, tapi yang mereka butuhkan adalah dukungan dari orang-orang terdekat dan keluarga. Karena itulah obat yang terbaik bagi kawan-kawan ODHA untuk melanjutkan hidup.
Sebelum mengakhiri wawancara Christin mengatakan “Jika virus HIV sudah terlanjur ada didalam tubuh jangan jadikan ia ancaman tapi jadikan ia sahabat dengan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan seperti merokok, begadang dan segala hal yang selama ini sulit ditinggalkan. dan ia juga berharap pada kawan-kawan ODHA yang kini masih menyendiri tidak ada salahnya untuk bergabung dikelompok-kelompok ODHA seperti OBS (ODHA Berhak Sehat), Positive Hope Indonesia dan komunitas ODHA lainya, mereka seringkali melakukan pertemuan rutin dan berbagi informasi terkait dengan kesehatan ODHA. Banyak hal yang bisa didapat jika bergabung dengan mereka . (Yatna Pelangi)
*Jika ingin terhubung dengan Christin silahkan hubungi alamat emailnya di: [email protected]
*Dokling/ Dokter Keliling/ Mobile Clinic adalah sebuah Program Pencegahan dan Pengobatan Untuk Kelompok Dampingan yang tidak ada waktu pergi ke Penyedia Layanan pemeriksaan IMS dan VCT.
*VCT Voluntary Counselling and Testing,yang dalam bahasa Indonesia kurang lebih artinya konseling dan tes sukarela, dalam hal ini adalah untuk tes HIV. Bagaimanapun, VCT adalah pintu masuk untuk membantu seseorang yang beresiko ataupun tidak beresiko terkena HIV untuk mendapat akses semua layanan baik informasi, edukasi, terapi, atau dukungan psikososial.
http://www.suarakita.org/2014/12/kisah-ibu-pendamping-orang-dengan-hivaids/
Suarakita.org- Pada awal tahun 2013 lalu Tanti Noor Said,Master Cultural Anthropology and Sociology of Non-Western Society dari Universiteit van Amsterdam, Belanda berkunjung ke sekretariat Our Voice Jakarta Selatan untuk memberikan materi serial kuliah umum politik dan seksualitas terkait hasil kajian penelitiannya tentang gay yang bermigrasi ke Belanda. Perempuan yang memulai kuliah Antropologi di Universitas Indonesia ini sudah tertarik dengan isu gender. Namun saat itu Tanti masih meneliti tentang perempuan, karena perempuan memiliki posisi yang marginal di bidang politik. Sehingga Tanti meneliti perempuan dalam politik di DPRRI.
Kemudian setelah bermigrasi ke Belanda, Tanti menemui tidak hanya perempuan yang bermigrasi untuk menemui pria belanda, namun juga gay dan transgender. Kemudian Tanti mulai menggali cerita gay dan transgender akan sulitnya bertahan hidup di Belanda karena masih terikat kuat dengan keluarga.Salah satu sebab melakukan imigrasi karena penolakan dari keluarga akan identitasnya.
Maka dari itu Tanti mulai menyadari gay dan transgender di Belanda memiliki konflik batin dan masalah sosial yang sangat nyata. Baik antara hubungan dengan keluarga dan konflik batin. Hal inilah yang mendorong tanti untuk meneliti gay dan transgender di negara lain.
Dari hasil penelitiannya, Tanti menyatakan seharusnya gay dan transgender tidak perlu ditolak dan tidak merasa bahagia di negaranya sendiri. Tetapi karena adanya system diskriminasi yang sangat kuat di Indonesia, yang bermuara dari agama ataupun hirarki sosial yang menyebabkan LGBT sangat marginal.
Terkait pergerakan hak LGBT di Indonesia, Tanti menyarankan, “Seharusnya Aktivis LGBT di Indonesia mendorong pemerintah secara diplomatsis dengan banyak diskusi. Mengundang pemerintah untuk bermitra dengan aktivis LGBT sehingga pemerintah terbuka cara berfikirnya. Bukan dengan mengakui hak-hak LGBT, tetapi memberikan informasi dasar tentang LGBT, apa sebenarnya yang dialami, kendala, rasa sedih dan sakit”.
Saat di tanyakan apa yang harusnya dilakukan negara untuk menghapuskan diskriminasi terhadap LGBT di Indonesia? Tanti menjawab, “Jika negara punya Political Will untuk mengubah diskriminasi dan ketidaksetaraan ini, dengan mensosialisasikan ide-ide ke dalam media. Kemudian di dalam undang-undang tidak boleh ada pelecehan dalam bentuk berbeda. Pemerintah dan penegak hukum harus bekerjasama dalam penghapusan diskriminasi terhadap LGBT”. (Rikky)
http://www.siperubahan.com/read/1805/Tanti-Noor-Said-Terdorong-meneliti-LGBT-Indonesia-di-Belanda
Suarakita.org- Pada awal tahun 2013 lalu Tanti Noor Said,Master Cultural Anthropology and Sociology of Non-Western Society dari Universiteit van Amsterdam, Belanda berkunjung ke sekretariat Our Voice Jakarta Selatan untuk memberikan materi serial kuliah umum politik dan seksualitas terkait hasil kajian penelitiannya tentang gay yang bermigrasi ke Belanda. Perempuan yang memulai kuliah Antropologi di Universitas Indonesia ini sudah tertarik dengan isu gender. Namun saat itu Tanti masih meneliti tentang perempuan, karena perempuan memiliki posisi yang marginal di bidang politik. Sehingga Tanti meneliti perempuan dalam politik di DPRRI.
Kemudian setelah bermigrasi ke Belanda, Tanti menemui tidak hanya perempuan yang bermigrasi untuk menemui pria belanda, namun juga gay dan transgender. Kemudian Tanti mulai menggali cerita gay dan transgender akan sulitnya bertahan hidup di Belanda karena masih terikat kuat dengan keluarga.Salah satu sebab melakukan imigrasi karena penolakan dari keluarga akan identitasnya.
Maka dari itu Tanti mulai menyadari gay dan transgender di Belanda memiliki konflik batin dan masalah sosial yang sangat nyata. Baik antara hubungan dengan keluarga dan konflik batin. Hal inilah yang mendorong tanti untuk meneliti gay dan transgender di negara lain.
Dari hasil penelitiannya, Tanti menyatakan seharusnya gay dan transgender tidak perlu ditolak dan tidak merasa bahagia di negaranya sendiri. Tetapi karena adanya system diskriminasi yang sangat kuat di Indonesia, yang bermuara dari agama ataupun hirarki sosial yang menyebabkan LGBT sangat marginal.
Terkait pergerakan hak LGBT di Indonesia, Tanti menyarankan, “Seharusnya Aktivis LGBT di Indonesia mendorong pemerintah secara diplomatsis dengan banyak diskusi. Mengundang pemerintah untuk bermitra dengan aktivis LGBT sehingga pemerintah terbuka cara berfikirnya. Bukan dengan mengakui hak-hak LGBT, tetapi memberikan informasi dasar tentang LGBT, apa sebenarnya yang dialami, kendala, rasa sedih dan sakit”.
Saat di tanyakan apa yang harusnya dilakukan negara untuk menghapuskan diskriminasi terhadap LGBT di Indonesia? Tanti menjawab, “Jika negara punya Political Will untuk mengubah diskriminasi dan ketidaksetaraan ini, dengan mensosialisasikan ide-ide ke dalam media. Kemudian di dalam undang-undang tidak boleh ada pelecehan dalam bentuk berbeda. Pemerintah dan penegak hukum harus bekerjasama dalam penghapusan diskriminasi terhadap LGBT”. (Rikky)
http://www.siperubahan.com/read/1805/Tanti-Noor-Said-Terdorong-meneliti-LGBT-Indonesia-di-Belanda
Sebuah penelitian di Universitas Toronto yang telah dipublikasikan dalam Journal Psychological Science, menemukan bahwa wanita sebenarnya berpotensi memiliki “gaydar – radar untuk mengidentifikasi seorang pria gay atau tidak”, yang dipengaruhi oleh masa menstruasi puncak.
Penelitian tersebut melibatkan 40 perempuan dengan menunjukkan 80 foto wajah pria dengan ekspresi yang sama, dan ternyata melalui intuisi mereka cenderung dapat menebak seksual orientasi pria dalam foto tersebut dan sangat lebih baik ketika masa ovulasi.
Peneliti juga menemukan bahwa perempuan yang berhasrat melakukan perkawinan setelah membaca karya fiksi romantik yang begitu banyak dan seronok lebih akurat memprediksi seksual orientasi seorang pria, dibandingkan dengan yang tidak diberikan bacaan yang berkaitan dengan cerita romantik sebelum ditunjukkannya foto sejumlah pria yang menjadi objek penelitian tersebut.
Ternyata ketika eksperimen serupa dicoba oleh 34 perempaun dengan menunjukkan 200 foto wajah perempuan, dimana separuhnya lesbian, dan separuhnya tersebut heteroseksual, tidak ditemukan relasi yang kuat antara siklus menstruasi dan penilaian perempuan terhadap orientasi seksual perempuan lain.
Dari penelitian itu memberi tanda bahwa fertilitas berpengaruh terhadap perhatian perempuan heteroseksual untuk menemukan pasangan yang potensial daripada hanya meningkatnya sensitifitas terhadap seksual orientasi atau sinyal non-verbal secara umum.
Jadi bagaimana jika pasangan atau suami anda ternyata gay? Dan anda benar-benar tidak bisa memprediksi orientasi seksual pasangan anda, meskipun anda berada pada menstruasi puncak?
Sebagaimana diketahui, menjadi gay lalu menikah dengan seorang perempuan bisa dikarenakan berbagai faktor, misalkan membangun citra yang dianggap “baik” di mata keluarga, kerabat, dan pekerjaan. Karena masih adanya anggapan jika seorang gay coming out, tentu akan dipersulit oleh banyak diskriminasi, pelecehan, dan penolakan nilai-nilai tradisional yang mau tidak mau masih menggantungkan diri terhadap tradisi tersebut.
Lalu jika perempuan tersakiti, dibohongi, atau dijadikan objek “menjaga nama baik” dengan menikahi seorang gay tentu bukan hal yang mustahil. Kecuali memang ada keterbukaan pada pasangan dan terjadi kesepakatan rahasia diantara kedua belah pihak.
Berikut ada beberapa cara yang menurut saya bisa dipertimbangkan bagi wanita dalam membantu memprediksi apakah pasangan atau suami anda memiliki orientasi seksual gay atau bukan,
1. Berteman dengan gay. Semacam chemistry yah, biasanya seorang gay bisa mengenal gay yang lain. Tentu mempermudah anda untuk meminta bantuan pada teman gay anda tentang orientasi seksual pasangan anda yang sebenarnya.
2. Perbanyak baca literatur dan isu-isu tentang homoseksual. Memiliki pengetahuan mengenai homoseksualitas tentu akan membuat anda semakin memahami dilematika hidup jika seorang gay terpaksa berpura-pura menikah dengan wanita, atau menyembunyikan orientasi seksualnya karena berbagai alasan tertentu.
3. Memerhatikan keseharian pasangan. Anda bisa melihat dari penampilan yang flamboyan (meskipun tidak semua yang flamboyan itu gay), atau memiliki teman lelaki yang terlampau amat sangat-sangat akrab dan bahasa tubuh yang berbeda dengan pertemanan antar lelaki pada umumnya (anda mungkin bisa merasakan perbedaannya melalui intuisi anda sebagai seorang wanita), lalu beberapa kali anda mendapatkan pasangan atau suami anda mengakses situs porno gay.
Sebelum merujuk pada sebuah kesimpulan, mengenai pembahasan apakah suami atau pasangan anda gay atau bukan, penjelasan disini bukan berarti saya seorang yang homophobia, dan isi artikel ini tidak bermaksud mengucilkan bagi teman-teman yang gay. Tetapi lebih memberi perspektif yang berbeda tentang sebuah pemahaman tentang homoseksualitas dan beberapa rentetan dilematis situasi yang dihadapi.
Ketika pada akhirnya anda mengetahui bahwa pasangan atau suami anda memiliki orientasi seksual gay, tentu bukan sebuah kebodohan atau kebencian. Tetapi bisa jadi perlu pemahaman yang membutuhkan keluasan hati tentang arti cinta kasih dan memaafkan.
Misalkan muncul pertanyaan dari anda, “kenapa gak bilang diawal?”
TAKUT PENOLAKAN.
Semua dari kita bergerak pada ketakutan-ketakutan akan penolakan, ketidakterimaan, karena pada intinya kita memiliki dasar ingin mencapai apa yang kita mau. Seorang gay yang menikahi anda, juga mungkin berpijak pada esensi tersebut. (Jane Maryam)
Sumber : janeontheblog.wordpress.com
http://www.suarakita.org/2014/01/apa-yang-akan-anda-lakukan-jika-suami-anda-gay/
- See more at: http://www.siperubahan.com/read/1806/Apa-yang-akan-anda-lakukan-jika-suami-anda-gay#sthash.yINPYjJ3.dpuf