BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

8 Maret

Delapan Maret tidak berbeda dengan hari-hari lainnya selain sebuah memori yang tertaut dalam sebuah kisah. Kisah itu sebenarnya telah dijunamkan dalam-dalam di jurang Serebrum yang gelap. Tertimbun bersama ribuan memori terbuang lainnya. Menjadi tumpukan sampah, rosok tak diharapkan.
Namun ketika hari itu tiba, seolah lahir sebuah atraktor yang mengangkat memori-memori itu dari jurang kegelapan. Membawanya tepat di deretan hal pertama yang diingat ketika bangun di pagi hari. Kenangan.

Tak ada pesta dengan lilin-lilin yang menyala jingga atau dekorasi lampu kerlap-kerlip romantis. Tak ada pula kontemplasi sakral untuk masa lampau yang telah lewat. Sekelumit waktu itu hanyalah ruang kecil dalam ingatan, hanya ada mereka saja, Panda dan Beaver.

Sudah tiga tahun ini mereka tinggal berjauhan dan sudah tiga tahun pula ikatan itu terurai. Tak ada yang menyangkal bahwa jarak spasial tidak ada kaitannya dengan kedekatan hati. Namun otak-otak kiri mereka berkata lain. 369 km atau 9 jam perjalanan kereta adalah sebuah angka nyata, sebuah ukuran tempuh yang memisahkan mereka. Rasanya sangat jauh. Jauh adalah sauh tanpa labuh, hati yang tak tertambat. Pahit, namun tetap saja 8 Maret menjadi bekas dalam ingatan mereka. Seolah ia berada diantara tidak bisa dilupakan dan terpaksa diingat.

Dua orang sahabat mereka mengatakan bahwa akan pergi ke Kota Bandung di akhir pekan, tepat di Hari Sabtu tanggal 8 Maret 2014. Sudah tiga tahun Panda tinggal di kota ini, kota yang dijadikannya perantauan studi setelah jenuh dari kekacauan di Kota Yogyakarta.

Dua orang sahabat itu tak sabar lagi untuk merealisasikan rencananya. Berlari dari kepenatan realitas kerja, sweet escape. Juga ingin bertemu Panda karena sudah sangat lama tidak berjumpa. Mereka selalu ingat mengenai petualangan 4 sekawan, Panda, Beaver dan dua sahabat itu. Menggagahi alam atau sekedar berpura-pura menjadi bohemian.

Seorang sahabat akan berangkat dari Yogyakarta, kota yang membesarkan Beaver sekaligus kota dimana mereka bertemu beberapa tahun silam. Terlintas dalam angan Panda sebuah kejutan jika Beaver turut ikut serta pergi ke kotanya. Jika hal itu terjadi, maka hari itu akan menjadi hari yang ajaib. Dia tak bisa membohongi lubuk hatinya. Sudah lama mereka tidak berkomunikasi, paling-paling hanya sekedar sapa. Mereka sama-sama masih memegang ego dan tak mau mengalah. Batu dan batu, begitulah ketika mereka beradu.

Sebenarnya Panda juga ragu apakah manusia rasionalis seperti Beaver masih ingat tentang 8 Maret. Kenangan melankolis, sebuah hari dimana mereka berjumpa dan pertama kali hati-hati mereka dipilih untuk saling jatuh terkait. Air muka Panda berubah kecut ketika memikirkan hal itu.

Tengah malam dia terbangun dari waktu bedrest-nya. Sejak beberapa hari ini badannya terasa sangat letih bahkan dia sempat demam. Mungkin ini akibat deraan kegiatan berjubel dari unit mahasiswa yang dia ikuti.

Panda duduk di pinggir kasur, kaosnya basah berkuyub peluh. Diteguknya air dari gelas yang ada di meja samping tempat tidurnya cepat-cepat. Mengguyur dahaga dari rongga kerongkongan yang gersang.
Pelan-pelan dia mengatur nafasnya yang tersengal. Tenang sekali malam itu, hingga terdengar suara alam melantun dari kejauhan. Dia menghela nafas panjang. Melepaskan beban yang ia pendam. Seketika dia sadar jika akhir-akhir ini dia memikirkan Beaver. Lama sekali dia tak memberi kabar. Tetapi apakah selalu harus dia yang memulai? Keputusasaan itu muncul.

Diraihnya handphone yang tergeletak tergeletak di kasurnya. Dia memandang layar handphonenya dengan mata sayu, pandangan yang terbuat dari campuran keinginan dan keputusaan. Tiba-tiba mimik mukanya berubah, tangan sebelah kiri mengayun turut memegang handphonenya. Dua jempolnya menginjak-injak keypad secara bertubi-tubi. Kecamuk keresahan itu berubah menjadi keyakinan dari intuisi. Hal yang selama ini coba dia hindari.

“Mas, sudah tidur?”
[sending…] [sent] [seen]

Matanya terbelalak tak yakin, tengah malam seperti ini dia belum tidur batinnya. Intuisinya berbuah, kini semua bergantung pada Beaver. Bagaimana dia membaca dan melihat pesan. Apatis atau sebaliknya, degup jantung Panda mulai cepat.

“Baru saja pulang, kamu lagi apa?” Balas Beaver. Panda tersentak, gembira kali ini.
“Bed rest seharian ini.”
“Sakit lagi?” Dia bertanya. Pertanyaan retoris pikir Panda.
“Biasa, langganan.”
“Kecapekan?”
“Tebak!” Panda mulai bosan dengan pertanyaan yang menurutnya retoris.
“Banyak kegiatan, pikiran, lalu kamu drop.” Beaver menebak.
……………………………………
“Aku pengen curhat!” Panda menyergah.
“I will be good listener.” Jawab Beaver diplomatis.
“Aku ingin kamu kesini.” Pinta Panda.
[sending…] [sent] [seen]
…………………
Panda menunggu kata-kata yang akan keluar dari jendela chatnya. Lama dia menunggu namun tak kunjung muncul juga.
“Mas?”
[sending…] [sent] [……]

Obrolan malam itu telah usai, tanpa pamit atau ucapan selamat malam yang mereka ucapkan tiap malam dulu. Seharusnya dia tidak perlu mengobrol dengannya jika akhirnya seperti ini. Panda kembali tidur dalam gelisah. Digantung.

Di kamar lain di Kota Yogyakarta. Hanya tinggal lampu bolham menyala kuning, sisi lain rumah telah gelap. Beaver duduk di sofa hijau di ruang tengah. Dia baru saja pulang dan belum sempat ganti baju. Dia menatap layar handphone yang menyala terang, matanya menyiratkan keraguan. Pikirannya berkecamuk. Dia sungguh tidak percaya, seseorang yang tak mampu ia gapai berhenti dan memanggilnya balik justru ketika dia sudah merasa lelah dengan semua itu. Bukankah mereka telah sama-sama lelah dan jengah dengan drama dan melankolia.

Aliran neurotransmitter menjalar melalui sel saraf otaknya. Ditariknya berbagai memori yang tersebar dalam central nervous system menuju bagian Asosiasi di Serebrum. Potongan-potongan fragmen masa lalu terbaca kembali secara runtut. Dia terjerumus kedalam delusi masa lampau. Gelap dan dingin.
Tanpa dia sadari tubuhnya gemetar, pelupuk mata tak mampu menahan lelehan air mata yang datangnya entah darimana. Seolah-olah dia mengalami dehidrasi Zat Serotonin secara mendadak. Kegelisahaan menyelimutinya, menutup matanya yang terang oleh cahaya.

Dia yang merasa berdosa atas semua yang terjadi. Entah berapa kali dia pernah menyakiti Panda, tak terhitung. Luka, derita dan hal-hal yang tidak masuk akal lainnya. Semua bermuara pada dirinya.
Mereka pernah berdebat apakah cinta harus saling memiliki atau cinta adalah sebuah pembebasan. Beaver bersikukuh bahwa tak ada tujuan lain selain kebebasan yang seharusnya diraih oleh manusia. Baginya relasi hanyalah jeratan yang disetir oleh ego, norma dan pandangan sosial. Katanya lagi cukuplah cinta untuk cinta saja. Tak perlu melankolila. Dari pandangan itulah dia merasa menjelma menjadi binatang liar. Bersikap semena-mena bak raja hutan dalam belantara.

Kini, dia baru sadar akan arti kehilangan. Bahkan dia juga tersadarkan bahwa tidak semua hal bisa kembali seperti sedia kala. Penyesalan selalu datang di akhir.

Dia meringkuk dalam sofa hijau. Dipegang erat kedua tangannya, menghangatkan hatinya yang dingin. Terbayang wajah kekasihnya yang dulu. Kehangatan senyum yang tak pernah dia lupakan. Dia berbisik lirih, merapal maaf. Perlahan dia terjatuh dalam alam bawah sadarnya.

Sistem yang telah dia rancang untuk kebal dengan melankolia akhirnya rubuh. Titik bifurkasi ada tepat berada di hadapannya kini. Sebuah kekuatan maha dasyat dirasakannya. Seolah baru saja melihat light of elora. Dia berada berada di dalam jalan perubahan atau hanya sekedar chaos.
***

Sabtu pagi tanggal 8 Maret di Stasiun Kiara Condong, lalu-lalang manusia menembus kabut udara pagi Kota Bandung. Panda duduk di deretan bangku stasiun. Hawa dingin menembus pori-pori bajunya, menelisik seluk tubuhnya. Diremas-remas kedua tangannya, mengumpulkan hangat dari tubuhnya. Seperti orang-orang yang duduk di sampingnya, dia menunggu kereta yang akan tiba.

Suara surau petugas kereta dari speaker stasiun memberitahukan kedatangan kereta. Dari timur tempat sang mentari muncul, kereta yang ditunggu-tunggunya datang. Beberapa petugas peron bersiap mengamankan daerah sekitar yang mulai diserbu oleh penumpang yang ingin segera masuk ke kereta.

Decit rel kereta, pelan-pelan kereta itu berhenti. Orang-orang berhamburan keluar dari gerbong-gerbong kereta. Dari kejauhan Beaver melihat sahabatnya berkelit menghindari penumpang yang berjalan ke arah berlawanan. Matanya mencari-cari ke sisi lain. Dia masih berharap akan datangnya hari keajaiban. Sayang hanya satu orang saja yang berada di hadapannya. Kini.

Senyum manis sahabat menyambut Panda yang telah cukup lama menanti. Dipeluknya sahabat yang sudah lama tidak ditemuinya.

“Hey apa kabar?” Tanya sahabatnya riang, tak mampu menyembunyikan kebahagiaannya.
“Sendirian saja?” Panda memandang jauh, matanya tak berhenti menelisik keberbagai arah.
“Sama siapa lagi? Kan Sofi berangkat dari Jakarta.”

Panda tersentak, seseorang yang menciptakan perayaan 8 Maret tidak akan datang ke Bandung bersama sahabatnya. Angan-angan yang menyala kini mati tertiup angin pagi. Dia melihat sahabatnya yang berada di depannya bukan Beaver yang secara ajaib berada di depan matanya. Gambaran nyata yang dihadapinya saat ini, bukan khayalan. Dia tersadar.

Momen. Dirinya merasakan kesadaran di waktu kini. Dia berada di saat ini dan sekarang. Akhirnya mampu melepaskan dari jeratan masa lampau yang tak bisa dia kembalikan ke masa kini. Sensasi kelegaan setelah berbagai ekspektasi terjawab. Beaver memang tidak datang ke Bandung. Itulah realitasnya saat ini. Tak perlu galau akan masa lalu dan tak perlu cemas akan masa depan yang masih tanda tanya. Tak ada hal lain yang dia hadapai saat ini. Dia dan sahabatnya di Stasiun Kiaracondong.

Cukuplah 8 Maret menjadi miliknya dan sahabatnya yang berkunjung di akhir pekan. Dia hanya bisa berharap semoga di akhir pekan yang akan padat bersama sahabatnya, ada waktu sejenak untuk secara syahdu menikmati kenangan manisnya bersama Beaver. Tak ada lagi getir pahit. Hanya itulah satu-satunya yang dimilikinya sekarang.

Sabtu pagi di Kota Yogyakarta, Beaver melihat jam dinding yang terpajang setia di tembok bercat putih. Seolah ada yang memanggil-manggilnya pagi ini. Bayangannya terbuang jauh ke sebuah kota yang lama tidak ia kunjungi, Bandung. Jika saja dia berangkat menggunakan kereta tadi malam, saat ini dia akan tiba di kota tersebut.

Matanya beralih ke sebuah kalender kecil di mejanya. Lingkaran warna merah melingkari angka 8 di Bulan Maret. Akhirnya hari ini tiba juga. Sejak semalam dia belum tidur terpaku di depan laptopnya. Berlari ke dalam dunia layar dimana dia bisa menjadi siapa saja.

Dia bertanya-tanya apakah orang yang berada di kota lain itu masih mengingat tentang 8 Maret. Senyum tipis terlihat dari wajahnya, wajah yang semalam gelisah berangsur menjadi lebih tenang dan santai. Dia mengoreksi pikirannya, buat apa dia bertanya seperti itu.

Kembali dia menatap layar laptop, tertulis sebuah judul “8 Maret” di bagian atas landskap microsoft word.
Dia menuliskan dirinya dan Panda bertemu di pagi yang berkabut tanggal 8 Maret di stasiun Bandung. Dia muncul dibalik keramaian orang yang lalu-lalang. Kadatangannya adalah hari keajaiban. Dihampirinya Panda yang duduk di bangku peron. Tak ada kata atau sapaan, tetapi pelukan. Tak ada lagi rasa canggung. Seketika waktu berhenti dalam keabadian, seperti cinta mereka.

Beaver menghela nafasnya, merasa lega. Tulisan baginya adalah sebuah jalan yang membawanya pada simulakrum, kumpulan kepingan-kepingan dari realitas dan ilusi melebur dalam satu ruang dan waktu. Darinya dia membangkitkan alterego, dirinya yang sesungguhnya.

Pagi ini, cukuplah baginya sebuah dunia lain dalam tulisan untuk 8 Maret dan dia yang jauh disana. Dia mematikan laptop yang semalam telah menemaninya. Dan semuanya telah usai.
Sign In or Register to comment.