BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Cerpen lama. Maaf. Karena jelek, jadi bingung nentuin judulnya.

"Menurutmu... gay itu bagaimana?"

Pertanyaan mendadak, sukses membuat jantungku hampir berhenti berdetak. Aku melirik sebentar, berharap wajahku tak menunjukan kegugupan apapun.

Lian tersenyum, menyodorkan ponselku yang telah selesai dipinjamnya, setelah itu kembali memfokuskan pandangannya pada layar televisi.

"Pasti susah ya, hidup jadi seorang gay,..." Ia menggumam. "...Dimana lumrahnya cowok itu suka sama cewek, tapi para gay justru menyukai sesama jenisnya," lanjutnya.

Aku diam.

Kenapa disaat seperti ini dia justru membicarakan tentang orientasiku? Ya, benar. Orientasiku.

Apakah Lian sudah mengetahui 'sesuatu' tentangku? Tetapi bukannya dia tahu kalau saat ini aku tengah menjalin hubungan dengan seorang gadis?

"Hei, Mik?"

"Y-ya-yaa?"

"Kenapa kamu jadi gugup begitu?"

Aku tak sanggup menjawabnya.

Mampus! Apa-apaan aku ini?

"Bentar ya, aku mau ngambil minuman dulu." Lian beranjak dari sampingku, kemudian berjalan menuju ke dapur.

Tanpa pikir panjang, aku segera saja mengotak-atik poselku yang masih ada dalam genggaman. Kugunakan untuk menghubungi salah satu sahabat penaku.

Kami berkenalan hanya melalui jejaring sosial saja.

[To: Lani.

Bebh,... Masa tadi Lian nanyain soal gay sih ke aku!]

Tak aku hiraukan bunyi dering ponsel yang terdengar dari arah dapur selesainya aku mengirimkan pesan.

Ponselku bergetar. Ada pesan masuk. Balasan dari Lani.

[From: Lani.

Hah? Masa? Terus kamu jawab apa?]

[To: Lani.

Ya aku gak jawab apa-apa. Aku takut, Bebh!]

Lagi, dering ponsel terdengar dari arah dapur. Kali ini tak bisa aku abaikan.

Apa-apaan itu tadi? Bagaimana—Ah, ada balasan lagi.

[From: Lani.

Eh? Kok gitu?]

Aku mengetik cepat.

[To: Lani.

Gak tau, bebh. Padahal di pesbuk jelas-jelas status kita udah pacaran, kan? Masa iya sih dia masih curiga sama aku?]

Pesan aku kirimkan, dan sekali lagi dering ponsel Lian—yang masih berada di dapur terdengar.

Ini sudah tiga kali berturut-turut. Apa jangan-jangan...?

"Lian, kamu lagi apa, sih?" aku berseru, cukup kalut.

"Bentar. Lagi ngebales sms temen."

Lalu, pesan masuk ke ponselku.

[From: Lani.

Gak tau, deh. Dia punya radar kali.]

Ini konyol. Apakah mungkin Lian juga...?

[To: Lani.

Mana mungkin! Dia kan gak kaya aku, Bebh]

Pesan terkirim, dan sekarang dering ponsel terdengar amat jelas dari dekatku.

Aku mencelos.

Bagaimana bisa? Apakah benar Lian ini...?

Tidak, tidak mungkin. Aku paling tahu sosok seperti apa Lian selama ini. Bahkan, saat aku ber-sms ria dengan Lani, seringkali Lian sedang tepat berada di sampingku. Tidak mungkin jika Lani adalah Lian 'kan?

Juga, sejak kapan Lian sudah duduk kembali disini?

"Kenapa kaya yang takut gitu ngeliat aku?" Tanya Lian terheran. Aku menggeleng kaku.

Ya Tuhan. Perasaan apa ini?

"Hmm, dia gak kaya aku, ya?"

Aku hampir melonjak. Satu degupan keras kembali menyeruak ke dalam dadaku.

Bukankah itu isi sms dariku untuk Lani tadi?

Terburu-buru dan sedikit ragu, aku mencari-cari kontak Lani yang setelah itu langsung aku hubungi.

Jantungku tak hentinya membunyikan degup keras. Kian mengeras, tatkala aku sadar kalau justru nada ponsel Lian lah yang bersuara.

Aku menoleh ngeri, dia menatapku sambil mengernyit.

"Ngapain kamu nelpon aku, bebh?" katanya seraya menunjukan layar ponsel. Membuat aku membelalakan mata melihat namaku yang tertera disana, tengah memanggil nomor miliknya.

Tetapi, namanya bukan 'Kak Iko' yang aku ketahui Lani gunakan untuk menyimpan kontak nomorku, melainkan 'Miko'. Kontak namaku yang memang telah Lian simpan selama ini.

Jangan bilang...

Aku pun melirik layar ponselku sendiri. Lantas shock mendapati nama Lani namun nomor Lian lah yang tercetak disana.

Kenapa jadi seperti ini?

Lian menolak panggilanku, ia mendesah lesu. "Aku ngeganti semua pengaturan ponselmu sejak kemarin, Mik. Dari pengaturan inbox, kontak hape sampai password. Password ponselmu itu make tanggal lahirku kan?"

Apa? Aku tak berani menatap Lian sama sekali.

" 'Password ponselku merupakan tanggal lahir dari seseorang yang aku cintai, lho'..."

Dia mengutip isi status yang aku update beberapa hari lalu.

"Tapi aneh. Kok, tanggal lahir yang cocok di ponselmu justru punyaku, bukannya Lani si Fujoshi yang jadi pacar pura-puramu itu?"

Apa yang Lian katakan?

"Aku udah tau semuanya, Mik,"

Tidak, jangan teruskan.

"Kenapa kamu gak jujur aja sama aku, Mik?"

Mana mungkin aku bisa jujur kan?

"Kenapa?"

Ponsel dalam genggamanku jatuh, bersamaan dengan jatuhnya air mata.

"Maaf, Mik," suaraku gemetaran. Aku menutupi wajahku sendiri dengan kedua tanganku. "Maaf!" aku mengucap lebih keras.

Kepalaku aku tundukan dalam-dalam. Merutuki habis-habisan keteledoranku sendiri. Mengapa aku sebodoh ini?

Sekarang Lian sudah tahu. Tentang rahasia terbesarku yang berusaha aku sembunyikan mati-matian darinya.

Apa yang harus kujelaskan padanya? Lian pasti akan marah besar padaku.

Tiba-tiba, puncak kepalaku merasakan belaian lembut. Tekstur gerakan tangan ini. Ini tangan milik Lian, bukan?

Comments

  • Belaiannya terhenti, tangan itu beralih menyingkirkan tanganku yang menutupi muka. Mau tak mau, aku memberanikan diri untuk mendongak, menatap Lian takut-takut.

    Lian tersenyum.

    Tunggu, aku tidak salah lihat, kan? Apa karena mataku penuh oleh air mata jadi pandanganku berubah berdelusi?

    Aku mengusap kuat-kuat mataku, menyingkirkan sisa-sisa air mata. Tak ada yang berubah, Lian masih tersenyum ke arahku. Aku mengerjap, dihinggapi kebingungan.

    Lian menyentuh pipiku yang lembab, jemarinya mengusap-ngusap. "Ngapain kamu nangis segala?"

    Aku diam. Kenapa apanya?

    Lian mendekatkan wajahnya, aku refleks mundur. Gerakannya terjeda.

    "Kenapa ngejauh? Kamu takut?"

    Gelengan lemah aku berikan.

    Jarak antara kami kembali menipis, aku tak mengelak. Punggungku merasakan sentuhan dari kedua tangan yang besar, wajahku menabrak dada kokoh, membaui wangi parfum yang selalu sukses menggoda imanku.

    "Gak apa-apa. Aku sama kaya kamu, kok," suara merdunya membisik.

    "Kaya apa? Maksudnya?" antara sadar dan tidak, aku menjawab seperlunya.

    Lian tak menjawab, pelukan ini sedikit dibatasi jarak, dan aku terkejut bukan main ketika satu kecupan mendadak ia daratkan pada kedua bibirku. Cuma sekilas, tetapi efeknya begitu besar terhadapku. Nafasku tertahan, kedua mataku membola, dan tubuhku terasa melemas.

    Aku ambruk dalam dekapannya. Silahkan nyatakan ini sebagai modus semata. Entah kenapa, sejujurnya aku merasa senang, walaupun masih sedikit dibuat kebingungan oleh tindakannya barusan.

    "Yan?" panggilku.

    "Ya?" menjawab, seraya membelai helai-helai rambutku.

    "Apa itu artinya... ki-kita sama?" tanyaku ragu sekaligus gugup.

    Aku dengar Lian tertawa pelan. "Kan aku udah bilang tadi. Aku sama kaya kamu, bebh."

    Kontan saja aku tersenyum mendengarnya. Sungguh lega. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun aku memendam rasa cintaku, semua keberanianku yang tertahan aku lampiaskan. Tanganku melingkar pada kedua pinggangnya. Memeluknya erat, sambil tergugu melepas bahagia.

    "Please, say it to me," bisikku meminta.

    "I love you, Miko. I love you, baby." seusai mengabulkan ucapan yang aku inginkan, Lian mencium puncak kepalaku.

    Meski yakin ini bukanlah mimpi, tetapi entah mengapa aku serasa diterbangkan tinggi-tinggi. Bersama Lian dalam pelukanku, dia telah menjadi milikku.

    Aku tarik kata-kataku. Bersyukur, karena aku bodoh dan teledor, perasaanku padanya terbalas seindah ini.

    ***

    'Akhirnya kami jadian! Ya Tuhan, aku bahagia! Terima kasih karena telah membuatnya jatuh cinta padaku juga. M <3 L.'

    Sekali lagi aku terkikik ketika membaca ulang status yang aku update beberapa jam lalu di akun facebook-ku itu. Lani adalah orang pertama yang mencantumkan komentar, sekaligus orang pertama yang aku beritahu perihal jadinya hubungan kami.

    'Lani Lalalili
    SELAMAT, YA, KAK IKO!
    TRAKTIR, YA. AWAS, LHO KALAU GAK.'

    Aku menghembuskan nafas lega, menutup laptop kemudian melirik ke jendela di seberang kamarku.

    Lian melambai dari kamarnya, membuat mimik mencium yang menggemaskan. Aku tertawa, membalas ciuman pura-puranya.

    Bertetangga selama belasan tahun, selalu bersekolah di tempat yang sama, saling jatuh cinta dan sekarang perasaan kami tersampaikan satu sama lain. Katakan, apa pantas jika aku dan Lian tak merasakan bahagia sampai detik ini?

    Jangan pernah takut memendam perasaan, sebab semua pasti selalu akan ada waktunya. Waktu untukku menerima, melepas ataukah justru meninggalkan rasa.

    Cukup percaya saja. Apapun hasilnya nanti, itu merupakan kebaikan untukmu juga. Dan semua itu, telah aku yakini berkat mencintainya. Lian Angrestu, kekasihku.

    .end.

    Bagi yang merasa kenal dengan tulisan ini dan siapa penulisnya. Ya, ini aku.
    Tapi lebih baik tidak usah bertanya.
    Aku hanya sedang mencari suasana baru.
    Beberapa cerita milikku yang lain akan menyusul.
    Semoga berkenan untuk menerima dan membacanya.
    Sampai nanti. :)
    Hihi...
    Berharap tidak ada yang mengenali aku, sih, di sini. :)
  • Belaiannya terhenti, tangan itu beralih menyingkirkan tanganku yang menutupi muka. Mau tak mau, aku memberanikan diri untuk mendongak, menatap Lian takut-takut.

    Lian tersenyum.

    Tunggu, aku tidak salah lihat, kan? Apa karena mataku penuh oleh air mata jadi pandanganku berubah berdelusi?

    Aku mengusap kuat-kuat mataku, menyingkirkan sisa-sisa air mata. Tak ada yang berubah, Lian masih tersenyum ke arahku. Aku mengerjap, dihinggapi kebingungan.

    Lian menyentuh pipiku yang lembab, jemarinya mengusap-ngusap. "Ngapain kamu nangis segala?"

    Aku diam. Kenapa apanya?

    Lian mendekatkan wajahnya, aku refleks mundur. Gerakannya terjeda.

    "Kenapa ngejauh? Kamu takut?"

    Gelengan lemah aku berikan.

    Jarak antara kami kembali menipis, aku tak mengelak. Punggungku merasakan sentuhan dari kedua tangan yang besar, wajahku menabrak dada kokoh, membaui wangi parfum yang selalu sukses menggoda imanku.

    "Gak apa-apa. Aku sama kaya kamu, kok," suara merdunya membisik.

    "Kaya apa? Maksudnya?" antara sadar dan tidak, aku menjawab seperlunya.

    Lian tak menjawab, pelukan ini sedikit dibatasi jarak, dan aku terkejut bukan main ketika satu kecupan mendadak ia daratkan pada kedua bibirku. Cuma sekilas, tetapi efeknya begitu besar terhadapku. Nafasku tertahan, kedua mataku membola, dan tubuhku terasa melemas.

    Aku ambruk dalam dekapannya. Silahkan nyatakan ini sebagai modus semata. Entah kenapa, sejujurnya aku merasa senang, walaupun masih sedikit dibuat kebingungan oleh tindakannya barusan.

    "Yan?" panggilku.

    "Ya?" menjawab, seraya membelai helai-helai rambutku.

    "Apa itu artinya... ki-kita sama?" tanyaku ragu sekaligus gugup.

    Aku dengar Lian tertawa pelan. "Kan aku udah bilang tadi. Aku sama kaya kamu, bebh."

    Kontan saja aku tersenyum mendengarnya. Sungguh lega. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun aku memendam rasa cintaku, semua keberanianku yang tertahan aku lampiaskan. Tanganku melingkar pada kedua pinggangnya. Memeluknya erat, sambil tergugu melepas bahagia.

    "Please, say it to me," bisikku meminta.

    "I love you, Miko. I love you, baby." seusai mengabulkan ucapan yang aku inginkan, Lian mencium puncak kepalaku.

    Meski yakin ini bukanlah mimpi, tetapi entah mengapa aku serasa diterbangkan tinggi-tinggi. Bersama Lian dalam pelukanku, dia telah menjadi milikku.

    Aku tarik kata-kataku. Bersyukur, karena aku bodoh dan teledor, perasaanku padanya terbalas seindah ini.

    ***

    'Akhirnya kami jadian! Ya Tuhan, aku bahagia! Terima kasih karena telah membuatnya jatuh cinta padaku juga. M <3 L.'

    Sekali lagi aku terkikik ketika membaca ulang status yang aku update beberapa jam lalu di akun facebook-ku itu. Lani adalah orang pertama yang mencantumkan komentar, sekaligus orang pertama yang aku beritahu perihal jadinya hubungan kami.

    'Lani Lalalili
    SELAMAT, YA, KAK IKO!
    TRAKTIR, YA. AWAS, LHO KALAU GAK.'

    Aku menghembuskan nafas lega, menutup laptop kemudian melirik ke jendela di seberang kamarku.

    Lian melambai dari kamarnya, membuat mimik mencium yang menggemaskan. Aku tertawa, membalas ciuman pura-puranya.

    Bertetangga selama belasan tahun, selalu bersekolah di tempat yang sama, saling jatuh cinta dan sekarang perasaan kami tersampaikan satu sama lain. Katakan, apa pantas jika aku dan Lian tak merasakan bahagia sampai detik ini?

    Jangan pernah takut memendam perasaan, sebab semua pasti selalu akan ada waktunya. Waktu untukku menerima, melepas ataukah justru meninggalkan rasa.

    Cukup percaya saja. Apapun hasilnya nanti, itu merupakan kebaikan untukmu juga. Dan semua itu, telah aku yakini berkat mencintainya. Lian Angrestu, kekasihku.

    .end.
  • Belaiannya terhenti, tangan itu beralih menyingkirkan tanganku yang menutupi muka. Mau tak mau, aku memberanikan diri untuk mendongak, menatap Lian takut-takut.

    Lian tersenyum.

    Tunggu, aku tidak salah lihat, kan? Apa karena mataku penuh oleh air mata jadi pandanganku berubah berdelusi?

    Aku mengusap kuat-kuat mataku, menyingkirkan sisa-sisa air mata. Tak ada yang berubah, Lian masih tersenyum ke arahku. Aku mengerjap, dihinggapi kebingungan.

    Lian menyentuh pipiku yang lembab, jemarinya mengusap-ngusap. "Ngapain kamu nangis segala?"

    Aku diam. Kenapa apanya?

    Lian mendekatkan wajahnya, aku refleks mundur. Gerakannya terjeda.

    "Kenapa ngejauh? Kamu takut?"

    Gelengan lemah aku berikan.

    Jarak antara kami kembali menipis, aku tak mengelak. Punggungku merasakan sentuhan dari kedua tangan yang besar, wajahku menabrak dada kokoh, membaui wangi parfum yang selalu sukses menggoda imanku.

    "Gak apa-apa. Aku sama kaya kamu, kok," suara merdunya membisik.

    "Kaya apa? Maksudnya?" antara sadar dan tidak, aku menjawab seperlunya.

    Lian tak menjawab, pelukan ini sedikit dibatasi jarak, dan aku terkejut bukan main ketika satu kecupan mendadak ia daratkan pada kedua bibirku. Cuma sekilas, tetapi efeknya begitu besar terhadapku. Nafasku tertahan, kedua mataku membola, dan tubuhku terasa melemas.

    Aku ambruk dalam dekapannya. Silahkan nyatakan ini sebagai modus semata. Entah kenapa, sejujurnya aku merasa senang, walaupun masih sedikit dibuat kebingungan oleh tindakannya barusan.

    "Yan?" panggilku.

    "Ya?" menjawab, seraya membelai helai-helai rambutku.

    "Apa itu artinya... ki-kita sama?" tanyaku ragu sekaligus gugup.

    Aku dengar Lian tertawa pelan. "Kan aku udah bilang tadi. Aku sama kaya kamu, bebh."

    Kontan saja aku tersenyum mendengarnya. Sungguh lega. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun aku memendam rasa cintaku, semua keberanianku yang tertahan aku lampiaskan. Tanganku melingkar pada kedua pinggangnya. Memeluknya erat, sambil tergugu melepas bahagia.

    "Please, say it to me," bisikku meminta.

    "I love you, Miko. I love you, baby." seusai mengabulkan ucapan yang aku inginkan, Lian mencium puncak kepalaku.

    Meski yakin ini bukanlah mimpi, tetapi entah mengapa aku serasa diterbangkan tinggi-tinggi. Bersama Lian dalam pelukanku, dia telah menjadi milikku.

    Aku tarik kata-kataku. Bersyukur, karena aku bodoh dan teledor, perasaanku padanya terbalas seindah ini.

    ***

    'Akhirnya kami jadian! Ya Tuhan, aku bahagia! Terima kasih karena telah membuatnya jatuh cinta padaku juga. M love L.'

    Sekali lagi aku terkikik ketika membaca ulang status yang aku update beberapa jam lalu di akun facebook-ku itu. Lani adalah orang pertama yang mencantumkan komentar, sekaligus orang pertama yang aku beritahu perihal jadinya hubungan kami.

    'Lani Lalalili
    SELAMAT, YA, KAK IKO!
    TRAKTIR, YA. AWAS, LHO KALAU GAK.'

    Aku menghembuskan nafas lega, menutup laptop kemudian melirik ke jendela di seberang kamarku.

    Lian melambai dari kamarnya, membuat mimik mencium yang menggemaskan. Aku tertawa, membalas ciuman pura-puranya.

    Bertetangga selama belasan tahun, selalu bersekolah di tempat yang sama, saling jatuh cinta dan sekarang perasaan kami tersampaikan satu sama lain. Katakan, apa pantas jika aku dan Lian tak merasakan bahagia sampai detik ini?

    Jangan pernah takut memendam perasaan, sebab semua pasti selalu akan ada waktunya. Waktu untukku menerima, melepas ataukah justru meninggalkan rasa.

    Cukup percaya saja. Apapun hasilnya nanti, itu merupakan kebaikan untukmu juga. Dan semua itu, telah aku yakini berkat mencintainya. Lian Angrestu, kekasihku.

    .end.
  • So sweet..bagus ni cerpennya..

    "Maaf, Mik," suaraku
    gemetaran. Aku
    menutupi wajahku
    sendiri dengan kedua
    tanganku.-> tu yg minta maaf si Miko bukan yg ditujukan ke Lian?kan seharusnya "Maaf Yan" #maaf klo salah.
  • edited June 2014
    udah baca berkali2, tapi tetep suka ko' :D
  • setau aku penggunakan kata kaya (baca kayak) biasanya diakhir dengan tanda kutip supaya tidak rancu dengan kata KAYA, jadi bagusnya ditulis kaya'

    itu setau aku lo... hehehe

    deg2an juga bacanya.
  • So romantic :-)
  • oww tadi kirain Lian pura2 jadi cewk yg namanya Lani...

    jadi Lian n Miko saling mencintai tapi sama2 gak tau, si Miko pura2 pacaran sama fujo yg namanya Lani... n karena status kunci hape itu si Lian tau perasaan Miko, trus ngeganti nomer Lani pake nomor dia dan voila! jadilah begini... iyakah??

    seru seru><

    udah end? ada sekuelnya gak nih?
  • gue suka baca nih cerita berulang2..
  • lian keren juga...
  • cerita yang keren ahir yang melegakan jadi selama ini Lani itu Lian ya ...
Sign In or Register to comment.