It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Anak laki-laki itu duduk di bangku kedua dari belakang. Matanya nanar menatap jendela kelasnya yang ditembus mentari pagi. Angin membelai rambut pendeknya yang berwarna kemerahan. Dagunya erat menopang dagunya yang mungil. Mulutnya terkatup rapat, namun pikirannya terbang melayang entah kemana.
Pintu kelas terbuka, seorang wanita paruh baya lalu masuk, dibelakangnya ada seorang anak laki-laki mengikuti dengan malu-malu.
“Selamat pagi, anak-anak...” sambutnya.
“Pagi, Bu...” jawab murid-murid.
“Ini teman baru kalian. Ayo, perkenalkan diri.” Tukasnya sambil mendorong punggung anak itu pelan.
Anak itu maju dengan sedikit panik, wajahnya tertunduk dan memerah karena malu. Pipinya yang gemuk tampak sedikit menggumpal. Tangannya diletakkan di depan tubuhnya, seolah ingin menutupi perutnya yang sedikit maju. Jarinya saling meremas satu sama lain untuk menutupi kegugupannya, namun hal itu tampaknya tak cukup membantu.
Anak laki-laki yang duduk di bangku kedua dari belakang menatap anak di depan dengan seksama, namun tak melepaskan tangan yang menopang dagunya.
“Na..nama..ku Tamaki. Ka..Kalian bi..sa memanggil..ku Ta.. Tama..” ujarnya dengan wajah yang merah padam.
Satu kelas tertawa mendengar nama “Tama” yang berarti bola. Dan, nama itu sangat cocok untuknya. Namun hal itu hanya membuat wajahnya semakin merah padam.
Anak laki-laki yang duduk di bangku kedua dari belakang kembali memalingkan wajahnya menuju jendela. Sementara itu Tama berjalan menuju sebuah bangku kosong dibelakangnya.
Dari belakang, Tama dapat melihat rambut kemerahan anak itu yang berkibar ditiup angin sambil menatap jendela.
“Hai, aku Tama. Sa..salam kenal..” ujarnya berusaha akrab.
Anak yang dimaksud lalu menoleh tipis.
“Rei.” Jawabnya singkat, lalu kembali pada jendela yang ditatapnya sejak tadi.
Tama ikut menatap jendela, berharap mengetahui apa yang sedang dilihat teman barunya itu. Namun dia tak melihat apapun yang menarik disana.
(* * *)
Hari-hari disekolah dilewati Tama dengan penuh ejekan dari teman-teman barunya. Semua mengejek bentuk tubuh Tama yang seperti bola. Tama berusaha untuk selalu tersenyum dan menjadi menyenangkan agar bisa berteman dengan mereka, tapi tak satupun ingin berteman dengannya. Semuanya mencibir dengan tulus.
Ketika itu jam istirahat telah usai, namun Tama tak kembali ke kelas. Seisi kelas tampaknya tak peduli dengan Tama yang tak kembali seusai jam istirahat.
Sementara itu Rei melirik bangku Tama yang kosong, dengan tatapan tipis dan dagu yang selalu tertopang menutupi bibirnya.
Hingga pulang sekolah, Tama tak kembali, dan tasnya masih di kelas. Sementara semua anak telah pulang.
(* * *)
“Tolong!” teriak Tama sambil menggedor pintu kamar mandi. Bajunya basah kuyup karena disiram oleh anak-anak nakal yang menguncinya di kamar mandi.
Namun teriakannya sejak istirahat tak ada yang mempedulikan. Dia lelah dan putus asa.
Tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka, dan Tama berlari keluar.
“Terima kasih banyak!” seru Tama sambil memeluk penolongnya tanpa sadar.
Menyadari bahwa dia sedang basah kuyup, dia minta maaf dan kontan melepaskan pelukannya. Wajahnya tertunduk dan merah padam.
“Ini tasmu..” kata anak yang menolongnya.
“Rei!?”
Tampak rona kegembiraan muncul di wajah Tama yang putih. Sekali lagi, ia memeluk Rei.
“Bisakah kau berhenti memelukku karena kau membuatku basah?”
Tama tertawa kecil dan sekali lagi berterima kasih, lalu mengambil tasnya dari tangan Rei.
“Untung kau menyadariku terkunci di kamar mandi, kalau tidak pasti aku akan menginap disini seharian..” kata Tama dengan senyum simpul dari bibirnya yang mungil.
“Tak perlu berterima kasih.” Jawab Rei dingin, berbalik menuju pintu keluar.
“Ngg, bagaimana sebagai rasa terima kasih, aku mentraktirmu makan?” ujar Tama berusaha mencairkan kebekuan diantara mereka.
“Maaf, aku ada urusan.” Jawab Rei sambil memakai headphone dan berjalan meninggalkan Tama.
(* * *)
Atap sekolah adalah tempat favorit Rei ketika istirahat. Dengan headphone yang tergantung malas di telinganya, dia merebahkan diri dan menatap langit.
“Rei!” panggil seseorang.
Rei pun menoleh ke arah suara tersebut. Ternyata Tama, dan tampaknya dia membawa sesuatu.
“Aku membawa banyak Onigiri hari ini. Kita makan sama-sama yuk?” ajaknya dengan ramah.
Rei pun bangun dan berjalan ke arah Tama.
“Sudah kubilang, tak perlu berterima kasih.”
Rei berlalu melewati Tama yang menyodorkan kotak makannya dan pergi dari atap sekolah, sekali lagi meninggalkannya.
(* * *)
Hari demi hari terus berlalu, dan perlakuan kasar terhadap Tama semakin menjadi. Dijauhi orang-orang membuatnya sangat tersiksa. Senyum simpul yang diberinya terasa percuma. Semua orang selalu mencibir bentuk fisik Tama.
Ketika itu, sepulang sekolah dia dihadang dan digiring ke belakang sekolah oleh segerombolan anak. Tanpa alasan yang pasti, mereka memukuli Tama dan meninggalkannya menangis di belakang sekolah.
Ditengah rasa sakit yang mendera, seseorang datang dan menyodorkan tangannya pada Tama.
Tama tahu kalau tangan itu milik Rei, dia lalu menggenggam tangan Rei erat dan berusaha bangun sekuat tenaga.
“Rei, kau tahu kan kalau aku dipukuli disini?”
Rei mengangguk pelan.
“Lalu kenapa kau tidak menolongku dari mereka!?” teriak Tama emosi, meremas lengan baju Rei. Air matanya kembali menetes. “Kenapa kau membiarkanku dipukuli, Rei. Kenapa?” lanjutnya berteriak dan menatap mata Rei. “Hiks..hiks.. Kenapa Rei?” isaknya.
Tangan mungil Rei merengkuh tubuh Tama dan memeluknya. Membiarkan Tama merebahkan kepalanya sejenak dibahunya.
Tama terisak dalam pilu, dadanya terasa sesak. Tangannya erat memeluk Rei, seolah tak ingin melepaskannya
“Maaf. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku ini lemah, dan tak akan bisa jadi lebih kuat lagi.” Bisik Rei.
“Lalu untuk apa kau berbuat sejauh ini untukku, Rei?”
Rei terdiam sejenak. Lalu melepas pelukannya dan mengalihkan tangannya menuju bahu Tama dan menatap matanya.
“Aku tak bisa jadi lebih kuat lagi, tapi kau bisa, Tama.” Jawabnya seolah mengalihkan pembicaraan. “Kau bisa menjadi kuat, dan melawan mereka semua.”
Pandangan mereka beradu sejenak dalam keheningan siang itu.
(* * *)
Setelah itu, Rei selalu menjadi orang yang muncul setelah penderitaan yang dialami Tama. Bukan seorang pahlawan, hanya seorang penolong. Bukan malaikat, hanya seorang anak biasa. Tama pun tak khawatir terhadap perlakuan kasar yang ia alami, selama ada Rei yang akan selalu ada untuk membawakan tasnya, atau sekedar memberinya pelukan semangat. Rei yang selalu hangat dibalik sosok dinginnya.
Tama menelisik ke dalam hatinya, bertanya-tanya rasa apa sebenarnya yang muncul di dalam hatinya. Rasa yang hangat ketika ia menggenggam tangan Rei yang selalu membantunya berdiri, rasa hangat yang ia rasakan ketika memeluk Rei yang selalu memberinya semangat. Rasa hangat yang begitu asing, yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Suatu hari, sepulang sekolah ia mengikuti Rei, penasaran atas siapa Rei dibalik sosok dinginnya yang tersembunyi dibalik headphone dan tangannya yang selalu bersembunyi di balik kantong.
Tama mengikuti Rei bus demi bus yang ditumpanginya. Hingga akhirnya ia melihat Rei masuk ke sebuah rumah besar bergaya Eropa. Bukan rumah, mungkin lebih tepatnya sebuah mansion. Tama terpana melihat halaman rumah Rei yang berkali-kali lipat lebih besar daripada rumahnya. Dia ingin menekan bel masuk, namun diurungkannya. Lalu akhirnya kembali menuju rumahnya.
(* * *)
Namun sampai tiga hari setelah itu, Rei tidak masuk sekolah. Tama pun mulai cemas, bukan cemas karena tak ada penolongnya lagi. Namun dia cemas kenapa Rei tidak masuk sekolah selama tiga hari. Pikiran-pikiran negatif berkecamuk di benak Tama.
Dalam hatinya, Tama sadar kalau dia merindukan Rei. Perasaan aneh yang baru pertama kali ia rasakan. Rasanya seperti bakpao kosong menurut Tama, begitu hampa.
Akhirnya sepulang sekolah ia memutuskan pergi kerumah Rei. Kali ini ia benar-benar menekan bel masuk.
“Maaf, ini siapa?” jawab suara yang muncul dari balik speaker kecil di dekat bel.
Tama kebingungan dan menjawab seadanya. “Sa..saya temannya R..Rei. “
Pintu gerbang pun terbuka otomatis dan Tama masuk ke dalam. Ternyata halaman rumah Rei lebih luas daripada yang terlihat sebelumnya. Halaman yang asri, dengan rumput yang tampaknya dirawat dengan baik, kebun bunga, dan pohon-pohon pemanis halaman.
Di depan pintu, Tama disambut oleh seorang pria paruh baya berjas.
“Sudah lama sekali sejak terakhir Tuan Rei menerima tamu. Dia tidak punya banyak teman, kali ini dia pasti akan sangat senang..”
Tama tersenyum simpul, pipi gemuknya tampak menggembung.
“Mari masuk..” lanjut pria itu.
Ternyata di dalam rumah Rei lebih fantastis daripada halamannya. Mulai dari lantai bergaya era Renaissance, bahkan sampai perabotan dan juga lukisan-lukisan yang digantung.
Hingga akhirnya pria itu mengantarkan Tama ke sebuah pintu besar dengan ukiran yang tampak mewah.
“Masuk saja...”
Tama pun membuka pintu dengan pelan, terlihat Rei sedang duduk di pinggir jendelanya yang besar, menatap kejauhan dengan pandangan yang nanar.
“Rei!?” panggil Tama.
Rei tampak terkejut dengan kedatangan Tama ke kamarnya. Ia tak menduga bahwa Tama mengetahui keberadaannya.
“Ishida-san, tolong bawakan kami teh dan makanan ringan. “ perintah Rei pada pria yang mengantar Tama tadi.
Tak lama kemudian, seteko teh datang, lengkap dengan cangkir keramik elegan dan setoples biskuit.
“Tak usah malu-malu.” Kata Rei tersenyum.
Untuk pertama kalinya, Tama melihat senyum di bibir Rei yang mungil. Bibir yang biasanya terkatup rapat atau ditopang dengan dagu. Senyum itu terasa hangat di hati Tama.
Tama pun menyeruput teh di cangkirnya dan mengambil biskuit dalam toples.
“Kenapa kau tidak masuk akhir-akhir ini, Rei?” tanya Tama.
“Aku bosan.” Jawab Rei berpaling kembali pada jendelanya.
“Bosan..?” tanya Tama menggantung.
Rei menarik nafas panjang dan mulai bercerita tentang orangtuanya yang selalu sibuk mencari uang, berpindah dari satu negeri ke negeri yang lain. Meninggalkan Rei dengan setumpuk kemewahan dirumahnya. Namun bukan itu yang diharapkan Rei, yang ia harapkan hanya sebuah kehangatan.
Kurangnya komunikasi di dalam keluarga Rei tak membuatnya menjadi seseorang yang bengal dan ugal-ugalan, namun malah menjadikannya pribadi yang dingin dan jarang berkomunikasi, memendam segala hal sendirian, namun dibalik hati kecilnya ingin sekali memiliki teman. Teman yang tulus tanpa melihat hartanya, karena itu ia bersekolah di sekolah biasa dan pulang naik bus. Namun karena ia tampil sebagai orang biasa, tak ada yang memperhatikannya. Sampai ia bertemu dengan Tama, sosok yang terasa mirip dengannya, dalam hal tidak punya teman. Namun sosoknya yang dingin seolah menjaga jarak antara mereka, sementara hatinya menginginkan seorang teman.
“Jadi, kembalilah ke sekolah besok, Rei.” Kata Tama sambil melahap biskuitnya. Tak sadar biskuit di toples tersebut telah habis setengah.
“Kenapa? Untuk apa?” tanya Rei sinis.
“Karena...” jawab Tama menunduk, wajahnya perlahan memerah.
“Aku merindukanmu, Rei.”
Rei tampak terkejut atas jawaban jujur Tama. “Kau merindukanku?”
Tama mengangguk malu, sadar tak seharusnya dia merindukan Rei.
“Aku senang jika aku dirindukan...” kata Rei mendekati Tama.
“Benarkah?” jawab Tama senang.
Rei lalu duduk di hadapan Tama dan menatap matanya. “Benar sekali, Tama.”
Tama terlihat gugup, lalu mengalihkan pandangannya. Rei menyentuh pipi Tama yang lembut dan mengalihkan kembali pandangannya. “Matamu indah, Tama.. Biarkan aku melihatnya lebih lama.”
Perlahan, Tama menatap mata Rei yang berwarna kecoklatan. Seolah menghipnotisnya untuk tenggelam dan mendekat, begitu pula dengan Rei yang tenggelam dalam pantulan cahaya di dalam mata gelap Tama.
Bibir mereka bertemu sejenak dalam keheningan siang itu.
“Maaf..” kata Rei tiba-tiba menghindar. “Aku tidak bisa mengontrol diriku.. Ah, apa yang kulakukan barusan?”
Rona merah pun akhirnya muncul juga di wajah Rei, dan dia tampak sedikit gugup atas apa yang terjadi tadi.
“Tidak apa-apa, Rei.” Jawab Tama yang kali ini mendekati Rei.
Perlahan tangan mereka mendekat dan saling menggenggam erat satu sama lain. Bibir mereka bertemu untuk kedua kalinya, namun kali ini lebih lama daripada yang sebelumnya.
(* * *)
Namun di sekolah, Rei tetaplah Rei yang dingin. Tetaplah Rei yang menatap jendela dengan tatapan menerawang.
Siang itu, di atap sekolah seperti biasanya Rei menatap langit sambil mendengarkan headphonenya.
“Rei..” panggil Tama pelan. “Aku membawakanmu Onigiri.”
Tak seperti saat pertama Tama menawarkan Onigiri, kali ini Rei menerimanya dengan senang hati.
“Rei.. Kenapa kau selalu disini saat istirahat?” tanya Tama sambil melahap Onigirinya.
“Karena aku bisa menghitung berapa awan altocumulus yang muncul, atau seberapa banyak awan cirrus yang menggores langit.” Tunjuk Rei pada langit menggunakan Onigiri di tangannya.
Tama menggeleng tak mengerti.
“Lalu lagu yang kau dengar?” tanya Tama lagi.
Rei lalu bangkit dari posisinya dan duduk disamping Tama, melepas headphonenya dan memakaikannya pada Tama.
“Nobody knows who i really am..”
“Lagu ini...Life is like a boat dari Rie Fu kan?”
Nobody knows who I really am
I never felt this empty before
And if I ever need someone to come along
Who's gonna comfort me and keep me strong
We are all rowing the boat of fate
The waves keep on comin' and we can't escape
But if we ever get lost on our way
The waves would guide you through another day
Tookude iki wo shiteru toumei ni nattamitai
Kurayami ni omoe takedo mekaku shisarete tadake
Inori wo sasagete atarashii hi wo matsu
Azayaka ni hikaru umi sono hate made
(Far away, I'm breathing
As if i were transparent.
It would seem I was in the dark
But I was only blindfolded.
I give a prayer as I wait for the new day
Shining vividly up to the edge of the sea.)
Nobody knows who I really am
Maybe they just don't give a damn
But if I ever need someone to come along
I know you would follow me, and keep me strong
“Who’s gonna comfort me and keep me strong?” bisik Rei tepat disamping telinga Tama.
“Terbalik, harusnya aku yang menyanyikan lirik bagian itu.”
Tama tersenyum dan Rei tertawa kecil. Sekali lagi tangan mereka tergenggam erat, tak ingin lepas.
(* * *)
Namun beberapa minggu setelah itu, Rei kembali tidak masuk sekolah. Tama pun kembali merindukan sosok Rei yang menjadi pemberi semangat ketika semua orang memusuhi Tama.
Dan akhirnya, Tama pergi lagi ke rumah Rei. Ishida kembali mengantarkan Tama ke kamar Rei, namun Rei tidak ada disana.
Ishida lalu mengambil sesuatu dari laci di kamar Rei dan menyerahkannya pada Tama.
“Surat?”
Tama lalu membuka surat itu. Sementara itu Ishida meninggalkan Tama sendirian di kamar Rei.
Tama?
Maaf aku tidak memberitahu kepergianku padamu. Aku hanya..tak ingin membuatmu khawatir.
Tahu tidak kenapa dulu aku bilang kalau aku tak akan bisa jadi kuat?
Tahu tidak kenapa aku menyanyikan lirik “Who’s gonna comfort me and keep me strong” ?
Maaf sekali lagi, tapi aku tak jujur padamu.
Aku sakit, kata dokter sih kanker. Tapi aku tidak begitu peduli. :P
Namun akhir-akhir ini kesehatanku semakin menurun, dan aku pun tak bisa bangun lagi.
Saat kau membaca ini, aku pasti sedang di luar negeri, di rumah sakit, dengan dokter dan suster.
Doakan aku agar orangtuaku datang ya?
Aku akan sangat merindukanmu, Tamaki
Rei
(PS: Kalau aku sudah sembuh, aku pasti akan mencarimu )
Tama terpukul, hatinya terasa perih, dadanya kembali sesak. Air mata menetes menuruni pipinya yang gemuk.
Dia terisak dalam kesunyian saat ditinggalkan seseorang yang lekat di hatinya.
(* * *)
Sebuah mobil hitam berhenti di sebuah rumah tua bergaya eropa. Rumah tersebut tampak usang karena lama tak ditinggali, halamannya yang luas tak terurus. Rumput-rumput begitu tinggi, menutupi pandangan orang ke dalam.
Dari dalam mobil, keluar seorang pria paruh baya dengan perawakan gemuk, menatap lekat rumah tua itu. Sorot matanya tampak sedih, menahan tangis.
“Aku sudah jadi kuat..” gumamnya pelan sambil mengepalkan tangannya erat. “Aku sudah jadi kuat, Rei..”
Duapuluh tahun berlalu sejak surat terakhir Rei, namun sampai sekarang tak ada kabar darinya. Rumah yang dulu ditinggalinya tiba-tiba ditinggalkan.
“Who’s gonna comfort me and keep me strong?” bisik Tama pada angin yang sunyi, namun tak ada jawaban.
Tama tersenyum sedih dan kembali ke mobilnya.
“Ini rumah siapa sih?” tanya seorang wanita di dalam mobil. “Sepertinya penting sekali bagimu, sayang?”
“Bukan rumah siapa-siapa. Ayo kita pergi, Asaka.”
Mobil mereka lalu melaju pelan meninggalkan rumah tua tersebut.
And still the journey continues on quiet days as well.The moon in its new cycle shines on the boats again.I give a prayer as I wait for the new day.Shining vividly up to the edge of the sea.
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
btw cerpen ini dibuat pas awal2 bleach baru keluar xD
cuma baru dipos sekarang
soal rei, aku kasi endingnya pada interpretasi masing2 pembaca deh xD
jujur, aku nggak bisa bikin cerita dengan happy ending
pasti sad/cliffhanger
tapi sad bukan berarti bad.. setidaknya masih ada sedikit harapan di akhir yg sedih
"And still the journey continues on quiet days as well"
tapi aku juga rada nyesek nginget2 tama
#mulaimewek
ada aku.. ada aku..
nice story..
keren. and that OST cool..
i like bleach..
pas menggambarkan ruh ceritanya
*brb donlot lagunya
20 tahun gak ketemu itu nyesek btw, hahaha
updet ditunggu ya..
#authorjahat
bleach itu anime, lagu ini dipake buat ending song pertama, makanya memorable banget
Mantaplah pokoknya, thx bwt ceritanya :-)
ayo bikin cerbung bro ;-)
lebih tepatnya, nggak bisa konsisten dalam ngerjain proyek jangka panjang
aku gampang ngehype sama sesuatu yg baru, dan cepet ninggalin hal2 lama
aku punya banyak banget proyek novel yg udah ditulis panjang2 tapi nggak ada yang sampe tamat
makanya aku lebih suka nulis cerpen yg pendek2, hypenya singkat, dan langsung abis sekali duduk
kl gt ditunggu another amazing short storynya ;-) #tetep