BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

My Diary.

Salam.
Page ini saya buat untuk memposting beberapa cerita pendek yang pernah saya buat.
Disini, cerita yang saya posting tak berdasarkan pada satu orang saja. Ada banyak objek, banyak setting dan banyak cerita.
Semoga apa yang saya bagi masih bisa bermanfaat bagi semua. Kalau ada kekurangan dan hal-hal yang perlu diperbaiki, saya mohon saran dan masukannya.
«134

Comments


  • Bulan Maulid.
    Bulan ini mengingatkanku akan kenangan ringan tak terlupakan akan kedatangan dua orang yang paling kucintai.

    "Assalamu'alaikum." sapa sebuah suara sambil mengetuk pintu. 'Siapa yang bertamu malam-malam begini?' setengah sigap, aku beranjak dari kamar untuk melihatnya.
    "Assalamu'alikum. Kak?" setengah berlari aku segera membuka pintu saat kudengar panggilan 'kak' itu.
    "Walaikumsalam." jawabku didepan pintu dan segera membukanya. Senyumku terkembang sempurna melihat anak yang ada dihadapanku saat itu. "Ichal? Kenapa gak bilang kakak kalau mau kemari?" tanyaku langsung mendekapnya erat. "Kakak rindu padamu." desahku pelan.
    "Ichal juga." sahutnya tulus.
    "Bagaimana denganku?" seru suara lain yang membuatku langsung membeku. "Apa kamu juga rindu padaku?" kalau bukan karena Ichal yang melepaskan rangkulanku, aku takkan melepasnya dan terpaksa memutar arah pandangku. Perlahan tapi pasti, Mas Candra mendekat dan merangkulku, lembut dan semakin erat. "Karena aku sangat merindukanmu." bisiknya lembut di telingaku, membuatku merinding.
    Aku tak mampu menjawabnya, tapi semua organ tubuhku yang mendadak lemas dan mataku yang mengabur telah menjawab betapa aku lebih merindukan orang yang mendekapku saat itu dengan segenap rasa rinduku. "Jangan lepas dulu!" bisikku sangat pelan saat dia hendak melepaskan rangkulannya.
    "Kenapa?" dia bertanya lirih yang langsung berseru "oh!" saat dia mengerti aku tak sanggup berdiri.
    Jantungku berdetak diluar kewajaran. Tubuhku masih meremang dan lemas karena kejutan beruntun yang kudapat. 'Aku rindu padamu. Sangat merindukanmu.'
    "Kakak kenapa, yah?" tanya Ichal pelan. Aku tak bisa melihat ekspresinya ataupun ekspresi mas Candra waktu itu. Apakah tadi mereka bicara tanpa suara sampai Ichal bertanya seperti itu?
    "Kamu bawa barang-barangnya ke dalam! Ayah bantu kakak dulu." tapi bukannya membantuku berjalan, mas Candra justru merangkulku dengan erat dan mengangkat tubuhku sampai ke ruang tamu untuk kemudian merebahkanku di kursi sofa.
    "Aku senang mengetahui kamu masih memiliki rasa itu padaku." bisiknya lembut disusul kecupan pelan di pipiku sebelum akhirnya dia benar-benar melepasku. Bisa kulihat gurat penuh kebahagiaan di wajahnya saat itu.
    Kuraih dan kugenggam jemarinya saat dia hendak pergi membantu Ichal, menahannya pergi. "Bagaimana kabar istrimu mas?" tanyaku lirih dengan kepala miring menyandar punggung kursi.
    "Dia sehat dan tengah hamil empat bulan." jawabnya pelan dengan wajah berseri bercampur getir. Apapun itu? Seorang pria pasti akan bahagia mendapati dirinya akan memiliki momongan lagi. Walaupun luka itu masih ada dihatiku, tapi kapasitasnya sudah sangat kecil. Kebahagiaan mereka adalah segalanya, itu yang utama. "Apa dia..." ucapanku terputus saat Ichal datang bergabung.
    "Kakak kenapa?" tanya Ichal dengan raut muka khawatir. Dirabanya keningku pelan, memastikan suhu tubuhku.
    "Kakak gak apa-apa, Chal. Hanya terkejut." aku tersenyum lembut dan meraih tubuhnya untuk kurangkul. "Adik kakak..." gumamku syahdu. "Kamu makin tinggi saja, Chal. Makan apa kamu disana?" candaku pelan mengundang gelak tawa keduanya.
    "Makan nasilah, kak. Emangnya mau makan apa?" jawabnya lugu. "Justru kakak yang keliatan kurus dan pendek."
    "Bagus! Sekarang kamu udah berani ngeledek kakak ya?" godaku berlagak kesal. Wajah Ichal nampak sedih seketika membuatku tertawa dan mencubit hidungnya. "Becanda."
    "Kakak...." rengeknya memelukku sangat erat. "Ichal sampe takut tadi."
    Aku tersenyum geli melihatnya. "Biarpun pendek dan kurus, tapi kamu sayang kan sama kakak?" godaku sambil mengusap rambutnya yang panjang.
    "Ichal sayang banget sama kakak."
    "Rambutmu waktunya dirapiin, Chal." tuturku lembut.
    "Dia sengaja membiarkan rambutnya panjang dan menunggu kamu yang memotongnya." sahut mas Candra yang daritadi hanya menyaksikan kami sebelum akhirnya ikut duduk di sebelahku.
    "Mas juga ya?" tawarku pelan menatapnya.
    "Sekalian sama hatiku, ya!" sahutnya berbisik pelan di telingaku sebelum dia mengecup pipiku dan merangkulku.
    "Mas! Ada Ichal!" geramku tanpa suara, takut Ichal mendengarnya. Tapi mas Candra malah menjulurkan lidah dan kembali merangkulku.
    "Kami berdua rindu padamu."
    "Aku juga." malam itu, adalah malam terhangat dan terbahagia setelah bertahun-tahun aku menyendiri, berusaha bertahan dan tetap hidup tanpa mereka. Aku tak tahu apakah keputusanku mendatangi mereka waktu itu bisa dibenarkan atau tidak, yang jelas aku bahagia bisa berkumpul bertiga lagi dengan mereka.



    "Atas rekomendasi siapa, kalian punya inisiatif kesini?" tanyaku penasaran. Walaupun tak pernah ketempat itu sebelumnya, tapi aku sering mendengar namanya dan gambar-gambar menakjubkannya di beberapa papan iklan di tiap sudut jalan raya.
    "Aku sengaja browsing apa saja yang bisa dijadikan alasan untuk datang kemari." jawabnya sambil tersenyum bersekongkol dengan Ichal yang merebahkan kepalanya dipangkuanku dalam mobil Landcruiser hitam yang sedang menembus gelap jalan raya menuju arah barat. "Dan aku menemukan info tentang 'Segitiga Berlian-nya Banyuwangi'. Waktu kubuka, aku langsung tertarik dengan Kawah Gunung Ijen. Ichal juga sangat antusias waktu aku menunjukkannya."
    'Gimana mau gak antusias kalau dia diajak kesini?' batinku meledek geli.
    "Kakak belum pernah kesini ya?" tanya Ichal mendongak untuk melihat wajahku.
    "Belom. Lagian mau pergi sama siapa?" jawabku ringan. "Tapi kawah Ijen memang bagus. Kakak sering liat gambarnya di reklame jalan. Tapi kenapa harus berangkat jam dua? Disana pasti akan sangat dingin dan gelap."
    "Ayah bilang sekalian aja liat 'Api Biru' yang ada disana. Ichal sendiri gak tau seperti apa jelasnya. Tapi menurut kabar, hanya ada dua api biru di dunia, Islandia dan di Banyuwangi ini. Jadi sekalian saja, kita lihat api biru, matahari terbit, penambang belerang dan kawah Ijen." jelas Ichal lancar bak pemandu wisata. "Sebenernya Ichal pengen ke 'Sukamade' atau 'Plengkung'. Ichal kan lebih suka pantai. Tapi tempat tinggal kakak kan deket pantai, jadi kita ambil gunung aja."
    "Mas yakin gak bakal tersesat? Kita kan belum pernah kesini?" tanyaku khawatir melihat sepanjang jalan yang kami lalui lebih banyak ditumbuhi pepohonan dan jurang.
    "Insya Allah enggak. Kan ada penunjuk arahnya. Lagipula kabar terbaru yang kudapat, akses menuju tempat itu sangat mudah dan jalannya juga sudah sangat bagus." jawab mas Candra santai. "Kamu bisa tidur dulu kalo masih ngantuk! Nanti aku bangunin kalo udah nyampe."
    "Enggak ah! Mas terjaga sendiri nanti. Kalau kita nyasar gimana?" aku masih saja khawatir.
    "Tenang saja! Kurasa kita gak akan tersesat. Ada jeep di depan kita yang kuyakin mereka juga menuju tempat yang sama."
    Walaupun berusaha agar tetap terjaga, tapi karena melihat pemandangan sekitar yang masih gelap dan udara yang mulai terasa dingin, akhirnya aku terlelap juga.
    Kami berdua terbangun setelah mas Candra menepuk pelan punggung tanganku. "Kita udah nyampe. Kalian pakai jaket, sarung tangan, syal, tutup kepala dan jangan lupa maskernya!" perintah mas Candra tegas. Kulihat dia sudah berpakaian lengkap dan segera keluar dari mobil.
    Benar saja. Begitu mas Candra membuka pintu, udara dingin sekoyong-koyong menyergap pori-pori kulitku. Hawa dingin yang sangat menusuk membuat tubuhku merinding. Kudekap perutku erat sebelum kami berdua keluar dari mobil.
    Setelah membayar tiket dan mengisi daftar tamu, petugas yang berjaga menanyakan pada kami tentang lampu senter yang dijawab sudah oleh mas Candra. Sepertinya dia sudah mempersiapkan semuanya. Sedikit himbauan dan saran di berikan oleh petugas tersebut yang hanya bisa kami iyakan sebelum kami memulai pendakian.
    "Kalau kakak kecapekan, kita berhenti dulu ya!" pintaku yang mendadak ngeri membayangkan seperti apa perjalanan yang akan kami lakukan saat itu.
    "Kurasa kalian bisa naik bersama penambang belerang kalau kalian takut tersesat. Kebetulan ada satu yang hendak naik. Lihat cahaya senter itu!" tunjuk penjaga tersebut ke arah kanan dan ya, aku melihatnya.
    "Baik, Pak. Terima kasih." ucap mas Candra sopan. "Kalau begitu kami berangkat dulu! Mari!" pamitnya disusul aku dan Ichal yang pamit hampir bersamaan.
    "Dingin ya, kak?" tanya Ichal yang melihatku gemeteran.
    "Iya, Chal." sahutku dengan gigi gemeletak. Perutku saja sampai kaku rasanya saking tak tahan dengan udara dingin pegunungan itu.
    "Nyalain senternya!" aku dan Ichal langsung mematuhinya. "Coba lihat ke atas!" lanjutnya sambil mendongak.
    Dan "Waaooow...." itulah satu-satunya ucapan yang bisa keluar dari bibirku. Sudah lama sejak aku kecil tak pernah bisa melihat bintang dilangit. Di Surabaya terlalu banyak cahaya lampu yang membuatnya kabur. Ketapang juga tak jauh beda. Tapi disini. Di tempat parkir yang nyaris tanpa sorotan lampu ini, aku bisa melihat langit dengan sangat jelas, berikut ratusan bintang yang bertaburan disana. Sinar Bulannya juga indah dengan bias samar di sekelilingnya. Sangat indah. Aku bisa melihat bintang yang berbentuk seperti layang-layang dan banyak bintang lain yang berpijar dengan indahnya.
    "Indah ya, kak." gumam Ichal kagum.
    "Iya. Kakak jadi ingat waktu kecil dulu. Bintang yang selalu tampak sama adalah itu." tunjukku ke bintang layang-layang tadi. "Bintang layang-layang." aku memberi nama sesukaku.
    "Di Surabaya sangat sulit untuk melihatnya." seru mas Candra menimpali. "Penambangnya sudah dekat. Ayo!" alihnya mengajak kami bergegas.
    Kulihat ada papan kayu yang tertancap di pohon dengan tulisan 3 KM yang berarti perjalanan kami akan menempuh jarak tersebut. "Semangat, Yoga! Kamu pasti bisa!"






  • Diawal-awal jalan, kami masih bisa bercanda sambil berkenalan dengan bapak penambang yang kuketahui namanya Pak Bahri. Tapi begitu kutemui jalan menanjak pertama, nafasku mulai tersengal dan batuk. Disusul tanjakan-tanjakan selanjutnya, nafasku sudah tak teratur.
    "Chal...." engahku. "Ichaaal.....!!" seruku memintanya berhenti karena tanpa sadar aku berjalan paling belakang. Kulihat beberapa pendaki melewatiku yang kuyakin mereka bule semua masih bisa ngobrol santai seolah pernafasan mereka tak terganggu sama sekali dengan sudut jalan yang menanjak sadis. 'Paru-paru menyebalkan! Kenapa aku memalukan begini?' umpatku dalam hati.
    "Ayo, kak!" panggil Ichal sabar. Menungguku di belokan yang lumayan landai.
    "Kakak gak sanggup!" engahku menyerah.
    "Yeah kakak... masak gitu aja udah nyerah?" dia meraih tangaku untuk digenggamnya. "Kakak duduk dulu disini!"
    "Kenapa, Ga?" tanya mas Candra yang terpaksa kembali turun saat dia lagi asik ngobrol sama pak Bahri.
    "Dadaku sakit." jawabku saat coba mengatur nafas senormal mungkin.
    "Ikuti perintahku! Tarik nafas panjang..." pandu mas candra sambil memberi contoh. "Tahan.... Hitung sampai lima! Lalu, hembuskan lewat mulut!" kuikuti arahannya. "Lakukan sampai kamu merasa baikan! Kita berhenti dulu disini!" lanjutnya sembari melepas tas ranselnya, mengeluarkan sebotol tanggung air mineral untuk ditenggak bergantian dengan Ichal.
    "Kak?" tawar Ichal menyodorkan botol tersebut padaku. Tanpa ragu kuterima dan kutenggak beberapa. "Gimana?"
    "Lumayan." jawabku masih berusaha mengatur nafas.
    "Kenapa, mas?" tanya pak Bahri santun.
    "Mboten nopo-nopo, pak. Namung sesek mawon." jawabku dengan bahasa jawa halus.
    ( Tidak apa-apa, pak. Hanya sesak. )

    "Lho, bisa bahasa jawa ya?" tanya beliau kaget.
    Aku tersenyum kecil. "Hanya sedikit. Suka dibiasakan kalau bicara dengan orang yang lebih tua di sini."
    "Oalah.... tinggal dimana, mas?"
    "Ketapang, pak. Dekat stasiun. Bapak sendiri?"
    "Saya licin. Dekat dari sini." dan obrolan demi obrolan mulai tercipta diantara kami berempat. Ajakan mas Candra untuk lanjut juga kuiyakan tanpa sadar.
    Kala itu, perjalanan yang mereka lakukan lebih pelan, mungkin berusaha mengimbangiku. Saat itu, pak Bahri juga menunjukkan pada kami tentang nama gunung terdekat dari sana yang bernama gunung Ranti. Ada juga gunung Raung, dan dampit yang bisa kita lihat diwaktu siang. Dan tanpa terasa, walaupun dadaku juga kembali tersengal, kamipun tiba di sebuah warung atau orang-orang menyebutnya pos kedua.
    Tak lama kami beristirahat disana, sama seperti para turis asing lainnya yang hanya singgah sebentar karena waktu itu warungnya juga masih tutup. Setelah menenggak air dan mengatur nafas sambil duduk-duduk
    menikmati suasana sunyi di sana, mas Candra mengajak kami lanjut. Pak Bahri bilang, api birunya akan hilang saat langit terang. Kulihat jam di handphoneku menunjukkan pukul 03.35 yang berarti kami sudah berjalan selama satu jam. 'Hah!' sungguh perjalanan yang menyiksa.
    "Dari sini, membutuhkan waktu sekitar setengah jam untuk nyampai kawah. Dan turunnya juga lumayan sulit. Kalau tidak bergegas, kita bisa kehabisan waktu." jelas pak Bahri.
    Kutatap langit gelap diatasku untuk menikmati semburan bintang yang sebentar lagi akan menghilang tertelan cahaya mentari. Kuatur nafasku seperti yang dituntun mas Candra tadi sekali, lalu aku beranjak dari dudukku. "Oke! Mari kita lanjut!"
    Ichal berjalan di depan dengan pak Bahri, mengobrol sekitar Banyuwangi. Dan sekarang giliran mas Candra yang mendampingiku. "Mas!" tegurku sedikit terlonjak saat dengan pelannya dia mulai meraba jemariku dan menggenggamnya untuk menggandengku.
    "Gak ada yang liat. Jadi tenang saja!" sahutnya pelan dengan senyum nakal sambil menyorot lampu senter ke wajahnya, membuatnya nampak menyeramkan. 'Menyeramkan tapi tampan.'
    "Maaf sudah menyusahkanmu! Tapi menurut blog yang kubaca, suasana di kawah Ijen cukup romantis dikala sepi. Aku ingin membuktikannya."
    "Dengan Ichal bersama kita?"
    "Semua kan ada jatahnya." jawabnya tersenyum misterius.
    "Aku mencium bau modus disini." ledekku berlagak kesal membuatnya tertawa lirih. Tawa yang anehnya terdengar seksi bagiku.
    "I love you." bisiknya lembut ditelingaku disusul kecupan ringan yang bermaksud diberikannya dipipi tapi malah kena hidungku karena aku yang berniat menatapnya, tak mempercayai pendengaranku. Tapi itupun jadi terasa manis bagiku. "Nanggung, Ga!" serunya cepat dan menarikku ke dinding tebing untuk dikecupnya bibirku sekilas.
    "Mas! Kamu gila ya?" sungutku kesal. "Kalo ada yang liat gimana?" bukannya aku tak mau, aku hanya takut kalau-kalau ada yang melihat.
    "Kamu gak suka?" rajuknya dan mulai berjalan mendahuluiku.
    Kutangkap tangannya supaya dia berhenti. "Bukan begitu." sahutku cepat. "Aku hanya takut ada yang tau."
    "Tetep saja kamu gak mau." dia masih saja merajuk.
    "Mas...." mas Candra masih berusaha berjalan lebih cepat. Kutarik lengannya dan kudorong ke batu besar di belakangnya. Kuraih kedua sisi wajahnya dan kukecup bibirnya cepat tapi lembut, membuatnya tersenyum kecil dan hendak menciumku lagi. "Sudah!" cegahku. "Mas kayak anak kecil kalau merajuk." omelku pelan. Dia masih saja seperti itu. Kukira sifat kekanakan itu sudah hilang setelah dia menikah dengan Reny. Dan tiba-tiba saja aku merasa bersalah pada istrinya itu. 'Apa yang sudah kulakukan? Tak seharusnya aku melakukan itu?'
    "Ada apa?" tanya mas Candra melihat kediamanku.
    "Aku ingat istrimu. Maaf, mas! Tak seharusnya aku melakukan hal itu." jawabku dan berjalan mendahuluinya.
    "Aku tak ingin membahasnya sekarang. Yang kuingin hanya bersamamu. Kekasihku." tegasnya terdengar tak ingin dibantah. "Kamu tau aku tak bisa merubah hatiku. Jadi jangan pernah protes!"
    "YAH...!!" panggil Ichal yang sudah berada jauh dari kami. Bisa kulihat dia memutar-mutar lampu senternya.
    "IYA... KAMI DATANG!" sahut mas Candra tak kalah kencang. "Ayo!" serunya. "atau kamu mau aku gendong?" godanya yang membuatku geram.
    "Dasar!" dan kamipun berlari kecil karena mas Candra berusaha menghindari pukulanku.
    "Stop!" serunya. "Aku gak mau kamu jatuh kesana." dia menuding jurang di bawah kami. "Jadi cukup lari-lariannya!" kembali diraihnya jemariku untuk digandengnya. Tak ada lagi kata yang keluar dari bibir kami berdua. Saat kami kembali berempat, Ichal juga tak komentar apa-apa melihat ayahnya menggandeng tangan orang yang sudah dianggap kakaknya ini.
    "Nah. Kita sudah sampai di kawahnya." seru pak Bahri.
    Setelah undakan terakhir, bisa kulihat kepulan asap kecil dan hampir saja aku terperosok ke depan kalau saja mas Candra tak memegangiku. "Hati-hati, Ga!"
    Tak ada apapun yang terlihat selain kepulan asap dan siluet gunung-gunung disekitar kubangan yang diameternya pasti lebar tersebut.
    "Kita kesana! Dari sanalah kami berjalan untuk mengambil belerang." lanjut pak Bahri menuntun kami ke arah yang dia tuju.
    Bisa kulihat papan nama yang bertuliskan larangan untuk turun ke bawah disusul fenomena alam yang membuat mas Candra, Ichal dan termasuk aku mau tak mau harus berdecak kagum melihat bara api berwarna biru yang berpijar terang di sana.
    "Yah, kak, itu api birunya." Seru Ichal gembira.
    "Mau turun, mas?" tawar pak Bahri padaku.
    Kupalingkan wajah ke mas Candra dan Ichal bergantian meminta pendapat. "Jalannya gimana pak? Berapa lama?" tanyaku ragu.
    "Kurang lebih 20 menitan. Soal jalan jangan khawatir! Saya yang memandu." jawabnya yakin.
    "Gak papa. Kita turun aja! Nanggung, Ga. Sekalian saja." lagi-lagi mas Candra mengucapkan kalimat itu. Dia pasti bisa melihat wajahku yang bersemu merah saat ini kalau saja langit sudah terang.
    Akhirnya kami berempat turun juga. Aku tak tahu harus menyesal atau bagaimana? Karena jalan turun yang dimaksud pak Bahri adalah jalan bebatuan yang menyesatkan, sulit dan berbahaya. "Bagaimana mereka bisa begitu mudah naik ke atas dengan beban seberat itu?" gumamku setengah mengumpat. Jujur aku kesal karena kondisi jalan yang buruk, tapi melihat mereka yang bekerja keras seperti itu, rasa manusiawiku sedikit tersentil. 'Inikah yang dimaksud dengan manusia memegang peranannya masing-masing? Ada si kaya dan si miskin. Ada atasan dan bawahan. Ada pekerja keras dan kantoran. Jika semua orang menjadi dokter lalu siapa yang akan jadi pasiennya? Jika semua orang ingin jadi bos lalu siapa yang jadi buruhnya? Jika semua orang ingin bekerja enak lalu siapa yang mau bekerja seperti para penambang itu? Bukannya mereka tak mau. Semua orang pasti mau memiliki pekerjaan yang enak dan mudah. Tapi mereka juga memegang peranan penting dalam hidup.' Tak bisa kupungkiri, aku salut dan bangga pada mereka.
    Setelah melewati jalan yang serasa tak berujung dan tak terkenali, akhirnya kami bisa juga mendekat ke sumber api birunya. Suara bara apinya lumayan keras bahkan dari radius lima meter. Setelah mengambil foto sang api biru disusul aksi narsis kita bertiga dengan background api biru yang menyala dibantu pak Bahri, kami menyempatkan diri untuk turun lebih dekat lagi ke tempat para penambang mengambil batu belerang. Kepulan asap belerang yang berbau sangat menyengat tak membuat kami kapok. Begitu angin bertiup ke arah utara, kami bisa melihat dengan jelas bagaimana proses pengambilannya serta warna oranye di padatan sulfur yang masih muda.
    Puas dengan si Api biru, kami pun berniat naik ke atas untuk menikmati sunrise dari puncak diatas. Dan percayalah! Perjalanan balik ke atas jauh lebih menyakitkan daripada turunnya. Aku baru bisa melihat dengan jelas bagaimana struktur tanah dan bebatuan yang kami lalui setelah langit mulai cerah, sangat tak beraturan.
    "Pak Bahri!" panggilnya mulai terengah. "Berapa lama anda bekerja disini?"
    "Sekitar 30 tahunan, mas." jawab beliau santai.
    "Apa? 30 tahun? Lalu umur berapa anda sekarang?"
    "56 tahun, mas." mengetahui diusia setua itu beliau masih bekerja, aku tak tahu harus mengatakan apa? Yang jelas aku salut dan malu padanya. Dengan usiaku yang baru setengahnya saja, aku sudah tak sanggup naik turun tebing ini.
    "Dimana keranjang anda tadi?" tanyaku yang teringat kalau beliau tadi kan naik dengan membawa keranjang bambu.
    "Saya taruh diatas, mas."
    "Bisa berhenti sebentar?" tanyaku yang lebih tepatnya meminta. Nafasku sudah tersengal hebat. Begitu ada tanah datar dan bebatuan di dekatku, aku langsung duduk dan mengatur nafas sebentar. "Mas! Aku gak ikut kesana ya!" pintaku menyerah.
    "Aku akan membantumu." jawabnya sambil menyerahkan botol air baru karena botol yang tadi sudah kandas isinya.
    Saat itu aku ingin pingsan rasanya. Liburan yang sangat melelahkan. "Anda gak takut ranjangnya diambil orang, pak?"
    "Enggaklah, mas. Kan sudah ada tandanya. Jadi saya gak kuatir kalau ranjangnya hilang."
    "Lalu..." aku mengatur nafas terlebih dahulu. "Belerang yang di letakkan di pinggir jalan tadi ada yang punya ya, pak? Kok ditinggal begitu saja?" tanyaku mulai ingin tahu atau bahasa kerennya kepo.
    "Jadi begini mas!" wah, pencerahan lagi nih kayaknya. "Dalam sehari kami membawa 2 pasang ranjang, seperti yang saya bawa tadi." aku mengangguk paham. "Setelah turun kebawah, kami isi keranjang pertama untuk dibawa naik lalu diletakkan sementara untuk kami turun kembali mengisi ranjang satunya. Kami bawa naik dulu ke tempat yang lebih jauh lalu kembali lagi untuk mengambil keranjang pertama sampai tiba di warung bunder, tempat kita istirahat tadi."
    "Oh, jadi seperti estafet gitu ya, Pak?" sahut Ichal menimpali.
    "Apa itu estafet, mas?" tanya pak Bahri tak mengerti.
    "Ya seperti yang bapak lakukan tadi dalam membawa dua keranjang itu." jelasku seadanya.
    "Oh, iya mas."
    "Udah terang. Ayo!" seru mas Candra. Kuatur nafas sekali lagi dan melanjutkan perjalanan.
    Setelah sampai diatas, mas Candra, Ichal dan aku berpamitan dengan pak Bahri. Kami ucapkan banyak terima kasih atas panduan dan bantuannya menuruni dan menaiki tebing curam tadi. Tak lupa, mas Candra menyelipkan uang terima kasih padanya. Aku juga memberikan uang tips sekedarnya. Pengalaman yang sangat berharga bersama beliau.
    Dan kami melanjutkan perjalanan ke arah matahari terbit. Pak Bahri bilang disana ada bekas benteng Belanda yang dialih fungsikan sebagai tempat menanam alat vulcanologi. Pemandangan disana juga tak kalah menakjubkan, katanya. Kulihat beberapa turis juga menuju kesana.
    Perjalanan menanjak yang kulalui tak kusangka membuatku kembali menyerah. Dadaku terasa sesak karena terus dipaksa mendaki. Tapi semua siksaan itu langsung terbayar saat kami sampai di atas. Pemandangan yang disuguhkan... aku tak bisa menjelaskan dengan tepat, tapi disana benar-benar indah. Pegunungan yang berjajar, awan yang menggulung seolah kita berada di atas langit, kawah ijen yang berwarna hijau toska yang menakjubkan, dan Ichal yang berada disampingku serta mas Candra yang mengulas senyum tampan saat menatapku. Sungguh pemandangan pagi paling menakjubkan yang pernah kudapatkan.
    "Udah baikan?" tanya mas Candra pelan.
    Aku menatapnya dengan senyum simpul. "Ya."
    "Mau lanjut lagi?"
    "Kemana?"
    "Kesana!" tunjuknya ke arah yang lebih jauh lagi. Dalam hati aku sudah mulai ciut. "Nanggung, Ga. Sekalian saja!"
    "Ini ketiga kalinya mas bilang begitu." gumamku mengalihkan pandangan ke arah kawah dengan wajah tertunduk.
    "Eh?" serunya disusul tawa rendah. "Memang kapan aku mengucapkannya?"
    "Mas menggodaku ya?" wajahku pasti merah padam sekarang.
    "Katanya gak mau, tapi wajahmu memerah gitu?" kian menjadi-jadi saja orang ini. "Aku cinta padamu."
    "Aku juga." sahutku pelan sekali.
    "Ichal datang." bisiknya membuatku kaget dan sempat kosong sementara. 'Bagaimana aku bisa lupa dengannya.'
    "Udah selesai ambil gambarnya?" seru mas Candra menyapa anaknya.
    "Sudah, yah. Kita kesana ya!" pintanya sepaham dengan ayahnya. Aku selalu kalah kalau kedua orang itu sudah punya niat yang sama, jadi aku ikuti saja kemana mau mereka.
    Jalan setapak yang dipenuhi dengan pepohonan berdaun hijau kemerahan itu terkadang menyesatkan juga. Tapi hampir di tiap belokan yang bertemu dengan bibir tebing menyuguhkan pemandangan indah. Walaupun hanya seonggok kayu kering, tapi gambar yang diambil Ichal dengan background kawah ijen, tebing barat dan kepulan asap belerang yang ada jadi terlihat menakjubkan.
    "Ayo! Kakak dan ayah berdiri disana!" perintahnya bak fotografer profesional memintaku dan mas Candra berdiri di dekat pohon kering tadi. "Kurang deket kak!"
    Mendengar ucapan anaknya, mas Candra tanpa buang waktu langsung merangkul pinggangku. "Anakku memang paling pengertian." bisiknya genit ditelingaku.
    Perasaanku benar-benar kacau saat itu. Tak kupungkiri kalau aku bahagia, tapi terbesit rasa bersalah dan sedih. Bagaimana kalau suatu saat nanti Ichal tahu apa yang sebenarnya terjadi diantara ayah dan kakaknya? Tapi egoku juga tak mau kalah. Dia ingin aku menikmati semua moment yang kumiliki dan saat itu aku menurutinya.
    Kulingkarkan lenganku ke pinggang mas Candra. Awalnya dia sempat tertegun melihatku sebelum detik berikutnya sebuah senyum indah terukir disana.
    "Oke! Bagus banget!" puji Ichal akan hasil jepretannya sendiri. "Sekarang gantian ya, yah! Aku juga mau berfoto sama kakak." setelah aku dan Ichal pose bersama disusul mereka berdua yang bergaya, kami melanjutkan perjalanan menuju benteng Belanda.
    Suara serangga dan kicauan burung menambah suasana semakin alami. Rasanya menenangkan sekali. Aku juga melihat sebuah gunung di arah terbitnya matahari, entah apa nama gunung itu. Kukira itu pulau Bali, tapi ternyata bukan, dilihat dari tak adanya selat yang membelah pulaunya. Jadi kemungkinan itu pojok utara.
    "Itu bentengnya, ya?" tanyaku ragu saat kami sampai di sebuah bangunan tua yang sudah runtuh. Terpasang sebuah alat dan kabel-kabel yang tak kuketahui benda apa itu. Tapi menilik banyaknya orang yang berhenti disana, aku yakin itu bentengnya. Kukira benteng tersebut seperti kastil atau apa, tapi yang berdiri adalah bangunan kotak-kotak yang sudah tak sempurna bentuknya.
    Udara disana sangat sejuk cenderung dingin. Mungkin karena angin yang bertiup bebas tanpa hambatan. Aku juga bisa melihat lebih jelas gunung tadi serta lengkung garis pantainya, sangat indah.
    "Kak! Ada bunga edelweis." seru Ichal memanggilku.
    Saat kuhampiri, dia menyuruhku merunduk untuk melihat lebih jelas. "Kamu yakin ini bunganya?"
    "Yakin kak. Ichal pernah melihatnya."
    "Bunga edelweis juga terkenal dengan nama bunga abadi." seru mas Candra ikut bergabung. Perlahan dia duduk santai di dekat tanaman tersebut. "Walaupun bentuknya tak rupawan tapi keabadiannya mengagumkan. Banyak orang yang mengaitkan keabadian bunga tersebut dengan cerita cinta. Tak perlu kesempurnaan untuk mencinta. Terkadang, kekurangan dan kelemahan yang dimiliki manusia serta cinta yang tak sempurna tak berarti kisahnya juga biasa. Terkadang cinta yang tak biasa juga bisa menyentuh jiwa jika semua orang tahu sedalam dan setulus serta seabadi apa perasaan diantara keduanya."
    "Ichal gak ngerti soal cinta, yah. Ichal kan masih kelas enam SD." Ichal boleh tak mengerti, tapi aku sangat tahu apa maksud ucapan ayahnya. Tatapannya padaku membuktikan kalau yang kutangkap dari ucapannya adalah benar.
    "Itu dilema orang dewasa. Nanti juga kamu akan merasakannya saat kamu menemukan gadis idamanmu." sahutku lembut sambil mengusap punggungnya.
    "Ayo!" seru mas Candra mengajak kami menjajaki tempat lain. Pengunjung yang lain sudah mulai kembali turun. Hanya tersisa kami bertiga dan dua orang turis asing di tempat itu.
    "Ichal mau ambil foto kita bertiga. Bentar ya!" Ichal berjalan cepat ke arah dua turis asing tersebut dan bercakap-cakap sebentar. Dari gerak-geriknya, kutahu dia meminta tolong pada mereka untuk mengambil gambar kami bertiga dan sepertinya dia berhasil.
    Dua kali jepretan telah mengabadikan moment indah kami bertiga. Hidupku terasa lengkap saat itu. Sempat terbesit rasa tak ingin moment kebersamaan kami tersebut berakhir. Aku ingin sekali bersama mereka selamanya. Tapi aku sadar hal itu takkan pernah terjadi.
    Saat Ichal berjalan kesana kemari untuk mengambil gambar. Mas Candra menuntunku duduk di atas tebing yang bersih dan aman. Pemandangan kawah dibawah kami menjadi suguhan indah dipandang mata. Pesona gunung itu memang sangat menentramkan ditambah lagi pesona dari pria tampan disampingku saat itu. Tanpa sadar aku pun menatapnya terlalu lama.
    "Jangan memandangku seolah-olah kamu baru melihatku."
    Aku mendengus geli dan segera tertunduk malu. "Maaf!" ucapku lirih.
    "Ternyata benar apa yang dikatakan mereka. Suasana disini sangat tenang dan romantis. Apalagi dengan adanya dirimu disampingku, aku jadi betah berada disini." aku setuju dengan ucapannya. Suasana ditempat itu memang menentramkan dan cenderung syahdu.
    Mas Candra mendengus geli saat dia tahu aku berusaha menyentuh jemarinya yang ditumpukannya di tanah sampingku. Tanpa mengatakan apapun, dia langsung meraih jemariku untuk digenggamnya. Kami berdua tertawa lirih dengan pandangan malu-malu.
    "I love you, Ga. Seperti bunga Edelweis, yang walaupun cintaku salah dan tak sempurna, tapi rasa itu akan selalu abadi untukmu." mulutku terbungkam mendengar penuturannya sampai setetes air bening jatuh membasahi kacamataku. "Ada apa?" tanya mas Candra terdengar khawatir. Aku hanya mampu menggeleng pelan dan mengusap mataku. "Aku sadar akan siapa diriku. Tapi aku tak dapat menampik perasaanku padamu. Aku menyanyangi istriku, kalau itu yang akan kau tanyakan." selanya yang ternyata dia tahu akan isi kepalaku yang hendak memprotesnya. "Tapi aku juga menyanyangimu, jauh sebelum itu. Kamu tahu pasti akan hal itu." kuanggukkan kepala lemah. "Ichal datang." cepat-cepat kulepas kacamataku untuk mengusap air mata yang tersisa.
    "Kakak nangis ya? Kenapa?" segera Ichal menghampiriku untuk memastikan keadaanku. "Ada apa?"
    "Gak papa, chal. Cuma kena debu." 'alasan konyol' batinku setelah sadar.
    "Bohong...." godanya. "Kakak nangis, kan? Ngaku aja!"
    "Iya." desahku mengaku.
    "Kenapa?"
    "Kakak pengen ngerangkul kalian berdua."
    "Ih, kakak...." walaupun tersenyum geli, tak urung Ichal medekat dan merangkulku juga, disusul mas Candra yang ikut mendekapku dan Ichal.
    Hatiku kian pilu. "Aku mencintai kalian berdua."
    "Ichal juga.."
    "Aku juga..." sahut mereka bebarengan.








  • Sepulang dari kawah Ijen, kami bertiga langsung ambruk di kamar. Kami tiba dirumah sekitar jam 12 siang dan baru bangun sekitar jam 6 sore, itupun karena lapar.
    Usai mandi, aku langsung menyiapkan makan malam.
    "Lagi apa?" seru mas Candra mengejutkanku.
    "Bikin ongseng sawi. Mas suka ikan asin?"
    "Suka. Bikin sambal juga?"
    "He em." anggukku singkat dan kembali sibuk dengan acara memasakku.
    "Udah mandi ya?" aku jadi sedikit belingsatan saat mas Candra merangkulku dan mengecup leherku lembut.
    "Udah, mas! Geli." alih-alih berhenti, dia justru mempererat pelukannya sambil sesekali mengecup puncak kepalaku. "Mas! Mandi dulu sana! Kamu bau sulfur." usirku yang membuatnya tertawa.
    "Gak mau! Aku mau begini terus sama kamu." bantahnya manja.
    "Tadi waktu tidur kamu juga merangkulku kan?"
    "Tapi kan aku gak sadar."
    Kuhentikan acara masakku dan kumatikan kompornya. "Ada apa?" tanyaku lirih. "Tumben mas bersikap manja begini padaku?"
    "Aku disini hanya dua hari, karena itu ingin menghabiskan waktuku bersamamu dengan sebaik-baiknya." bisiknya lirih ditelingaku.
    Aku tak bisa berkata apa-apa saat itu. Jadi kupejamkan mata untuk memikirkan dan menikmati dekapan orang yang sangat kucintai tersebut. Setelahnya, kubalikkan tubuhku menghadapnya dan kurengkuh sisi kanan wajahnya dengan lembut. "Tanpa kukatakan isi hatiku, kuharap kamu tau bagaimana perasaanku." kuusap pelan pipi yang putih nan bersih itu dengan ibu jari tanganku. "Walaupun aku tak pernah menghubungimu, aku harap kamu tahu kalau aku selalu merindukanmu. Aku sadar dimana posisiku. Aku tak ingin mengusik kehidupan rumah tanggamu. Terkadang aku menyesal sudah mendatangimu waktu itu..."
    Dibekapnya bibibku dengan tangan kanannya. "Aku justru bersyukur kamu kembali, Ga. Aku tak pernah siap berumah tangga kalau hatiku selalu mengkhawatirkanmu. Setelah kedatanganmu, aku memantapkan diri untuk melanjutkan hidupku. Tapi satu hal yang tak bisa kuperbarui... yakni mencintaimu. Hatiku tak pernah mau berubah padamu. Aku tak tau kenapa aku bisa seperti itu? yang aku tau hanyalah aku mencintaimu."
    Dadaku kian sesak mendengar penuturannya. "Sudah berapa kali mas mengatakan itu padaku hari ini?" kusandarkan keningku ke dadanya sebelum mas Candra kengecup ujung kepalaku.
    Dia mendengus geli. "Kata yang mana?"
    "Aku mencintaimu."
    Kembali dia mendengus geli. "Aku sendiri tak tau? Mungkin karena aku terlalu rindu padamu."
    "Aku juga."
    "Masakanmu mulai dingin, Ga." celetuknya membuatku membuka mata, disusul gelak tawanya. "Sebaiknya aku mandi dulu. Hmm...... atau mungkin aku harus mengajakmu mandi berdua denganku."
    "Jangan macem-macem!" semburku kesal.
    "Wajahmu memerah, Ga." dan diapun tertawa lepas.
    "Pergi sana!" usirku mendorongnya ke kamar mandi dan Mas Candrapun manut sambil terus tertawa.

    Selesai makan malam, Aku menawarkan diri untuk merapikan rambut Ichal.
    "Kak.."
    "Hmmm..."
    "Ichal kok ngantuk ya?" ucapnya saat kubilas rambutnya yang sekarang sudah rapi.
    "Ya tidur, Chal." jawabku lembut.
    "Besok pagi bangunin ya! Sebelum pulang, Ichal pengen jalan-jalan dulu ke pantai."
    "Iya, kakak bangunin." selesai mengeringkan rambutnya, Ichal kembali menuju kamar untuk melanjutkan tidurnya.
    "Aku juga ya!" seru mas Candra mendatangiku.
    "Ayo!" ajakku langsung ke kursi.
    "Aku belum keramas tadi." ungkapnya sambil tersenyum geli.
    "Lho, kenapa?"
    "Sengaja." jawabnya. "Aku ingin kamu yang mencuci rambutku." Aku menggeleng heran dan segera mengikutinya ke tempat keramasan. "Enak, Ga. Kerasan dikit, ya!" pintanya saat aku mencuci rambutnya.
    Seperti Ichal. Selesai merapikan rambutnya, kubilas lagi rambut mas Candra dan kuberi conditioner untuk kemudian ku pijat sekedarnya. Tapi mas Candra malah keenakan dan meminta lebih lama.
    "Ga!"
    "Ya?"
    "Tolong cium rambutku! Masih bau sulfur gak?"
    "Sepertinya enggak, mas."
    "Cium dulu!" tanpa curiga, aku pun menurutinya. Begitu kubungkukkan badanku untuk mencium rambutnya lebih dekat, mas Candra menangkap kepalaku dan ditariknya mendekati wajahnya. "Aku mau minta bonus." dan langsung dikecupnya bibirku cepat dan lembut.
    "Mas!" umpatku geram.
    Bukannya minta maaf, Mas Candra justru tertawa senang. "Habisnya kamu menggodaku."
    "Siapa yang menggoda?" sanggahku merasa tak melakukannya.
    "Pijatanmu membuatku terlena." jawabnya santai. "Habis ini aku yang mencuci rambutmu."
    "Aku udah keramas tadi." jawabku jujur. "Enggak!!!" lanjutku lagi setelah sadar akan maksudnya.
    Dia menekuk bibirnya saat kukeringkan rambutnya. "Aku kan ingin membalas budimu." rajutnya. "Sekali saja! Itung-itung belajar."
    Itu orang kalau sudah manyun, paling susah menenangkannya selain mengikuti apa yang jadi keinginannya. Awalnya aku merasa bersalah dan malu dengan dugaanku yang tidak-tidak tadi. Kukira dia akan macam-macam denganku saat mencuci rambutku, tapi ternyata dia terus bertanya dan meminta saran sampai proses membersihkan busa shampo dirambutku.
    "Tuang conditioner secukupnya, mas! Kalau kurang ambil lagi!" tuntunku sambil memejamkan mata. "Pijat sekedarnya saja! Mas masih ingat gak gerakan pijatku tadi?"
    "Enggak. Tapi kukira kalau hanya memijat, aku bisa." jawabnya pelan.
    "Kurang keras dikit mas!" tegurku karena pijatan mas Candra terlalu ringan. Setelah agak mendingan, aku berusaha menikmatinya sejenak sebelum kurasakan hembusan nafas yang menggelitik hidungku. "Mas?" seruku pelan dan sedikit bergetar. Otakku mulai kacau saat itu mendapati wajahnya yang hanya berjarak 2 centi dari wajahku.
    "Aku..." dia tak meneruskan kalimatnya, hanya sentuhan lembut bibirnya yang melanjutkannya. Dari posisinya yang semula membungkuk dibelakangku, dia memutar tubuhku menaikiku yang tidur terlentang ditempat keramas.
    "Jangan aneh-aneh, mas!" jantungku hampir meledak saat itu. Susah payah aku bertahan untuk menjaga hasratku, mas Candra justru membuatku goyah dengan ciumannya.
    "I love you." desahnya sebelum kembali menyatukan bibir kami.
    'Jangan, Ga! Ingat! Dia sudah punya istri sekarang!' selalu itu yang terngiang di telingaku. "Mas! Cukup!" desahku memintanya berhenti sambil melepas pelukanku, berharap dia mau beranjak dari menindihku. "Dengarkan aku!"ucapku lembut. "Ingat janjimu dulu! Aku tak mau merusaknya." dengan aku yang berada di undakan dan dia dilantai, tinggi kami bisa sejajar sekarang. Kusatukan hidung pesekku dan hidung mancungnya, merasakan hembusan keras nafasnya. "Aku juga mencintaimu, sangat mencintaimu. Percayalah.... aku tak kalah kerasnya berjuang menahan semua ini." Kami berdua sama-sama berusaha mengendalikan diri dengan mengatur nafas kami berdua.
    Mas Candra merengkuh tubuhku erat dan semakin erat. "Aku menicintaimu... aku mencintaimu... aku mencintaimu..." dia terus menggumamkan kalimat itu seolah mencari pegangan untuk bertahan.
    Entah kenapa? Melihatnya berusaha keras mengendalikan diri seperti itu membuatku iba. Hatiku sakit dan mataku nanar mendengarnya.
    Kuraih kedua sisi wajahnya untuk mempertemukan kedua mata kami. "Maafkan aku!" isakku. Melihat wajahnya yang berusaha bertahan seperti itu sungguh menyakiti hatiku. "Aku juga mencintaimu."
    'Maafkan aku, Tuhan! Aku tak bisa...' rintihku dalam hati. Kukecup bibirnya lembut, membiarkannya meluapkan seluruh perasaannya padaku. Kalau boleh aku mengambil dosa itu sendiri, aku akan mengambilnya. Aku yang menyebabkannya seperti itu. Akulah yang salah. Aku menjebaknya. Aku yang berdosa, Tuhan. Hukum aku, tapi jangan dia. Ampunilah dosanya. 'Maafkan aku telah membuatnya menyukaiku!'

    Aku terbangun mendengar suara Qiro'ah subuh. Segera aku bangun dan memperbaiki selimut mas Candra. Kukecup bibirnya lembut dan ringan. "Aku mencintaimu." ucapku tanpa suara. Kuusap rambutnya pelan dan kutinggalkan dia sendiri di kamar tamu.
    Setelah mandi besar dan menunaikan tugasku, aku membangunkan Ichal yang tidur dikamarku. "Chal, bangun! Ayo sholat dulu! Katanya mau jalan-jalan."


    "Ichal pengen tinggal disini sama kakak." ucap Ichal tiba-tiba saat kami menikmati sunrise di tepi pantai.
    "Kenapa?" tanyaku yang tak urung kaget mendengar penuturannya.
    "Ichal mau tinggal sama kakak saja."
    "Kenapa, Chal?" aku berhenti di depannya dan kuraih kedua bahunya. "Ada apa?"
    "Gak boleh ya?" Ichal menundukkan wajahnya yang sendu.
    "Chal. Kamu masih kecil." tuturku sehalus mungkin supaya dia bisa mengerti maksudku. "Kakak akan dengan sangat senang hati menerima kamu disini. Tapi keluarga ayahmu gak akan membiarkan kakak. Mereka pasti gak akan mengijinkanmu. Lagipula... kamu kan masih bisa liburan kesini?"
    "Tapi Ichal maunya sama kakak saja. Kenapa kakak gak pulang ke rumah?"
    "Kakak gak bisa, Chal." 'apalagi dengan sudah adanya Reny disana.' lanjutku dalam hati. "Kakak janji! Kamu boleh kesini saat liburan sekolah, dengan seijin ayahmu tentunya."
    "Kakak masih sayang sama Ichal kan?"
    Aku tersenyum mendengarnya. "Kamu kenapa?"
    "Ichal gak mau pulang." jawabnya lugu. "Ichal mau disini saja sama kakak."
    Kalau aku terus meladeni, Ichal bisa makin sulit diajak pulang nanti. "Ayo pulang!" kurangkul punggungnya meninggalkan pantai di sebelah utara pelabuhan penyebrangan Jawa-Bali itu dengan perasaan sedih bercampur bahagia. Sedih karena nanti malam mereka akan balik ke Surabaya dan bahagia mengetahui mereka masih mencintaiku sebegitu besarnya.
    Siang ini, aku menemani Ichal tidur dikamarku. Sebelum pulang, dia ingin aku menemaninya tidur bersama. Mas Candra juga ikut bergabung. Kebiasaan yang dulu selalu kami lakukan hampir tiap malam di Surabaya.
    "Dia selalu menyebut namamu dalam tidurnya." ucap mas Candra lembut disampingku.
    "Apa Reny tau tentang itu?"
    "Dulu dia pernah menanyakan tentang siapa orang yang dia sebut kakak. Kujawab kalau itu kamu. Orang yang pernah merawatnya dan tinggal dirumah."
    "Lalu?"
    "Reny tak banyak bertanya setelah itu." entah kenapa aku menangkap nada getir dalam suaranya.
    "Coba kamu biasakan Ichal bersama ibunya, mas! Tadi dia bilang ingin tinggal bersamaku."
    "Dia selalu mengatakan itu padaku." ucapan mas Candra membuatku diam. "Aku bisa saja mengijinkannya, tapi keluargaku tidak."
    "Aku tau."
    "Seandainya dulu kamu tak pergi.."
    "Maaf!" potongku merasa sangat bersalah.
    "Bukan begitu." mas Candra mencegahku memotong ucapannya. "Sejak kepergianmu, dia jadi pendiam, Ga. Dan setelah dia bisa bertemu lagi denganmu, dia sering takut kalau kamu akan menghilang lagi." lagi-lagi aku terbungkam. "Aku pun begitu. Kami berdua takut kehilanganmu."
    Lama tak ada suara diantara kami setelah itu.
    "Kuharap kamu tak menghilang lagi! Setidaknya demi anakku." ucapnya mempererat dekapannya dipinggangku.
    Kutatap nanar wajah belia dan lugu anak yang sudah kuanggap anak kandungku itu. Tidurnya nampak tenang sekali. Sesekali dia tersenyum dalam tidurnya. Entah mimpi apa yang dialaminya? Kuusap lembut rambut dan pipinya. "Kakak sayang padamu." ucapku pelan hampir tak bersuara. Lambat laun, kantuk pun meliputi kami berdua. Hujan yang turun siang itu menambah nyenyak tidur kami bertiga.
    Baru sekitar jam 7 malam, mereka balik ke Surabaya. Sudah kuduga hal ini pasti akan terjadi.
    "Kak! Ichal gak mau pulang..." dan tangisnya pun pecah dipelukanku.
    "Hey... adik kakak yang paling tampan. Kenapa menangis?" kuusap lembut punggungnya. "Nanti kan bisa kesini lagi." tetap saja ucapanku tak bisa menenangkannya. Aku hampir menyerah menahan bendungan air di mataku, tapi aku tak boleh menangis sekarang. "Kakak janji tak akan pernah menghilang lagi. Dan kamu juga harus berjanji! Belajarlah yang rajin. Nanti kalau nilaimu bagus, kamu kan bisa minta liburan kesini."
    "Janji ya, kak!" tagihnya sesenggukan.
    "Janji!" kukaitkan jari kelilingkingku dengannya. "Udahan, ya! Kamu keliatan jelek kalo nangis." candaanku tak berhasil menghiburnya, karena itu kubimbing dia masuk ke dalam mobil.
    Begitu duduk di dalam, Ichal kembali menarikku dalam pelukannya. "Ichal sayang kakak."
    "Kakak jauh lebih sayang kamu." kukecup lembut keningnya dan kuusap rambutnya. "Baik-baik di sana, ya! Kakak akan selalu merindukanmu."
    Segera kututup pintu mobil sebelum tangisku pecah. Tapi saat berbalik, aku tak mampu menahan tangisku melihat orang yang kucintai menatapku dengan mata sendunya. Kupeluk erat pinggangnya tak perduli kalau-kalau ada yang melihat kami. "Maafkan aku!"
    "Untuk apa?" tanya mas Candra lembut mempererat dekapannya.
    "Tak seharusnya aku menangis sekarang." isakku di dadanya.
    "Aku akan sangat merindukanmu." bisiknya lirih padaku.
    "Aku juga akan sangat merindukan kalian."
    "Senang mendengarnya. Kalau begitu, aku pergi dulu." pamitnya melepasku.
    Setelah masuk ke dalam mobil, mas Candra membuka kaca mobilnya. Kulihat Ichal masih menangis saat melihatku. "Kakak sayang padamu." ucapku lirih padanya ,berharap itu bisa membuatnya tenang. "Hati-hati di jalan, mas! Kalau tak keberatan, tolong kabari aku sampai mana saja nanti, supaya aku tak khawatir!" ucapku pada mas Candra.
    "Pasti!" sanggupnya. "Kamu juga jaga diri dengan baik!" lama dia memandangku dalam diam. "Maaf untuk semalam!" ucapnya lirih.
    Kugelengkan kepalaku. "Aku yang minta maaf. Ayo jalan!" jawabku tak kalah pelan.
    "Kakak baik-baik ya di sini!" pesan Ichal dengan suara seraknya.
    "Pasti! Kalian juga."
    "Assalamu'alaikum."
    "Walaikumsalam." dan itulah akhir kebersamaan singkat kami bertiga. Hari-hari berikutnya, kujalani hidupku kembali sendiri tanpa Ichal anakku dan mas Candra kekasih hatiku. 'Aku beruntung memiliki kalian berdua. Maafkan aku atas semua keterbatasanku dan terima kasih sudah hadir dalam hidupku. I love you."


  • maaf ya!
    saya gak bisa tag in, hehe...
    takutnya yg aku tag in sudah baca, karena cerita ini juga sudah lama saya posting di blog pribadi, hehe..
  • huaaaaa kangennya ama kisah ini!! entah berapa galon air mata yg terkuras karena kisah indah ini.. hueee kenapa ending-nya harus begitu TTATT *nangisdipojokan*

    btw, cerita lepasnya ada lagi gak nih?? kisah perjalanan cinta Chandra-Yoga itu bikin candu ♡♥

    ehh kepikiran jangn2 si Ichal minta tidur cepet karna 'mengerti' keinginan ayah n kakak tersayangnya... hihihi :p
  • gue masih ingat betul crita ini dulu, dan trnyata skrg ada lanjutannya yg bikin galau :((
  • nah ketemuuu.. d save dulu kak @chi_lung.. nti br d baca..
  • tetap aja membuat hati saya nyeri membacanya mas..
  • tetap aja membuat hati saya nyeri membacanya mas..

    hehe....
    maaf ya!!! :p
  • buat yg sudah menyempatkan utk baca. saya ucapkan terima kasih. :)
  • muhamuhamuha..
    bikin yg hepi hepi napa..
  • yuzz wrote: »
    muhamuhamuha..
    bikin yg hepi hepi napa..

    gak bisa neng.
    candra di banyuwangi sekarang. :'(
  • iyaw td sempet bc status fbmu bik..
    cuzzz ditemuinnn.... masa dianggurinn..
    *emot semangat bbm
  • yuzz wrote: »
    iyaw td sempet bc status fbmu bik..
    cuzzz ditemuinnn.... masa dianggurinn..
    *emot semangat bbm

    pengen banget yuzz. tapi takut. takut salah tingkah. :'(
Sign In or Register to comment.