Gue punya beberapa temen gay di Jakarta. Rata-rata dari mereka adalah pramugara di maskapai tempat gue bekerja, sisanya adalah penari-penari line dance yang sering latihan di rumah Bude pacar gue. Gue menjalin hubungan baik dengan para gay ini, dan gue justru merasa nyaman dengan kehadiran mereka, menambah pengalaman baru gue tentang salah satu sisi metropolitan Jakarta yang gak pernah gue rasakan sebelumnya. Tapi gue pernah punya pengalaman gak enak dengan ‘kaum’ yang satu ini. Gue pernah dibuat patah hati oleh seorang gay dari di penerbangan Jakarta - Surabaya.
Saat itu gue in charge sebagai FA 3, dimana posisi duduk gue pada saat lepas landas dan mendarat berada di tengah-tengah cabin pesawat, dekat mid exit door, salah satu pintu darurat yang terdapat di tipe pesawat B 737-900 ER. Penumpang yang duduk di dekat pintu dan jendela darurat disebut ABP (Able Bodied Passenger). Salah seorang ABP yang duduk di depan gue saat itu adalah cowok muda berkisar 24-28 tahun yang masuk kategori ganteng banget. Kulit putih mulus, rambut hitam legam dengan potongan spike, barang branded dari atas sampai bawah, dan aroma parfum mewah yang maskulin. Kondisi gue saat itu adalah ‘PRAJA’ alias pramugari jomblo galau, jadi mendapati cowok seganteng itu di dekat gue, radar dan sensor gue berbunyi dengan berisiknya. Jantung gue deg-degan gak karuan, dan tangan gue gemeteran kaya naik bajaj.
Pada saat lepas landas, gue melakukan prosedur-prosedur yang biasa kami sebut ‘one minute silent review’, konsentrasi gue terganggu ketika Lex (bukan nama sebenarnya) menanyakan perkiraan waktu kedatangan kami di Surabaya,
‘Perjalanan 1 jam 10 menit, perkiraan mendarat pukul 9.30 local time Mas,’ jawab gue grogi. Gue memperhatikan Lex dari atas sampai bawah, dan gak ada satu cacatpun yang gue temukan. I mean, he’s perfect for physicly, sangat sayang untuk dilewatkan. ‘Orang Surabaya ya?’
‘Bukan Mbak, saya ada urusan di Surabaya. Saya orang Manado, tapi udah 3 tahun kerja di Jakarta. Mbak? Oh, I see, u must be Balinese!’ jawabnya ramah. Gue agak kaget ketika Lex berhasil dengan tepat menebak asal gue. Padahal banyak yang bilang gue lebih terlihat seperti orang Jawa, dan lagipula, gue udah kehilangan logat khas Bali gue.
‘How do-‘
‘I see from your name plate,’ potongnya sembari menunjuk name plate di seragam gue. Ya, name plate gue mencantumkan nama ‘Ketut’ which is nama khas orang-orang Bali.
‘Haha, okay. Just call me Dinna. You?’ sambung gue yang mulai bisa mengendalikan diri dan terlihat tenang.
‘Lex. Or whatever you want to call me, I don’t care. By the way, nice watch. Tapi kayanya terlalu sederhana buat dipakai seorang pramugari. Saya biasa lihat pramugari pakai yang mewah, dengan taburan mutiara dan kilauan emas,’ gue melirik jam tangan gue. Jam tangan hitam merk abal-abal yang gue beli di kios-kios jam murah dipinggir jalan.
‘Ya, I bought this only Rp. 30.000,00. It doesn’t matter with fashion, price, I just need watch to show me the time, not to show off,’ kata gue sambil tertawa kecil.
Gak lama, lampu tanda kenakan sabuk pengaman mati, gue segera melepas seatbelt untuk pergi ke galley belakang.
‘I need to go. Glad to have a talk with you,’ kata gue sebelum pergi. Ia hanya membalas dengan senyum. Gue akhirnya percaya, sebuah senyum tipis dari cowok ganteng itu bisa bikin cewek jelek kaya gue ketawa-ketiwi saat melayang di tengah cabin pesawat. Yap, gue bener-bener dibikin melayang, sampe bikin adegan bak di ruang hampa udara segala.
Sampai di galley belakang, gue langsung heboh dengan crew gue lainnya. FA 2 gue saat itu adalah seorang pramugara senior bernama Aron, dan FA 5 gue adalah junior gue beberapa angkatan yang gak terlalu jauh, bernama Fina. Gue langsung gembar-gembor tentang Lex, dimana ternyata mereka berdua sudah menyadarinya.
‘Ngobrol gak Mbak? Sumpah lo, ganteng banget. Bukan artis kan? Anggota boyband kali,’ celetuk Fina yang berpendapat sama tentang kegantengan Lex.
‘Awas lo, jangan centil ama penumpang!’ kata Aron sambil bercanda.
‘Yaelah Mas, ngobrol biasa doank kok. Tapi kalo dia minta pin BB gue sih, gak bakal gue tolak. Pantang nolak rejeki,’
‘Pegang omongan gue, dia gak bakal minta pin BB lo,’
‘Ih,Mas kok bilang gitu? Kalo dia gak naksir, dia gak bakal ngajakin gue ngobrol. Liat aja, gue yakin kok, dia pasti minta pin BB gue,’
‘Well, just wait and see then,’
Gue memutuskan untuk cepat-cepat melakukan sky sale. Gue menarik trolly jualan gue, dan Mas Aron mendorongnya dari belakang. Gue terus berjalan di tengah cabin dan ketika melewati Lex, gue segera melempar senyum termanis yang gue punya. Lex pun balas tersenyum kepada gue, dan tersenyum lebih tipis kepada Aron.
Singkat cerita, saat mendarat telah dekat. Gue kembali ke station gue, dan duduk berhadapan lagi dengan Lex. Sebelumnya, gue udah mempersiapkan diri dengan touch up pol-polan dengan tujuan mempercakep diri. Eh, sayangnya, yang mau dipancing lagi enak tiduran. Gue berharap banget pesawatnya masuk turbulence, dan goyang dombret sekalian, biar Lex kebangun. Sayangnya itu impossible banget, secara kondisinya pesawat gue udah sangat dekat dengan daratan, awan udah tertinggal jauh di atas. Jadilah gue duduk manis dan dengan anteng melongo ngeliat mahluk cakep di depan gue yang meskipun tidurnya pake mangap-mangap-sekseh, tetep aja bikin gue keringet dingin gak karuan.
Finally, pesawat touch down di landasan Bandar udara Juanda di Sidoarjo- Surabaya. Lex terbangun dan dengan ekspresi imut (gak sadar kalo tadinya doski tidur dengan mulut mangap kaya kuda nil) ngucek-ngucek matanya.
‘Landingnya gak mulus yah? Pilotnya dulu sopir bajaj apa yah?’ komentarnya pedes.
‘Well, kondisi landasan dan tipe pesawat kita sangat tidak memungkinkan untuk smooth landing. Bukan berarti gak bisa sih, tapi high risk. Memang harus dibuat agak kasar supaya gak kebablasan atau overshoot. Kan kita cari aman dulu, baru cari nyaman,’ jawab gue membela Pak Pilot. FYI, pesawat gue yang panjang ini emang agak riskan untuk bisa smooth landing. Sayangnya, banyak penumpang gak tau hal ini dan berujung menyalahkan keterampilan para pilot yang sebenernya hanya mengutamakan keselamatan penumpang.
‘Oh, gitu yah?’ ia mengeluarkan handphonenya, dan belum sempat gue tegur, dia udah buru-buru menunjukkan hpnya dan menjelaskan, ‘masih flight mode kok, Mbak. Saya Cuma mau liat pin BB saya, gak hapal soalnya. Tenang aja, saya gak sebodoh itu untuk membahayakan penerbangan dimana saya menjadi penumpangnya,’ jelasnya sambil tersenyum. Aduuhh, ini nih gue demen! Penumpang yang cerdas dan menghargai profesi gue, bukan malah nantangin dengan sengaja telfonan di depan pramugari.
Gak lama, ia menulis pin BB dibalik sebuah kartu nama dan menyodorkan kepada gue. Gue jelas bahagia luar biasa. Seandainya di pesawat itu, semua penumpang gue buta+tuli, mungkin gue udah goyang ngecor sambil nyanyi Putri Panggung di tengah cabin pesawat. Gue menerima kartu nama itu dan dengan ekpresi terkejut yang manis berbasa-basi kepada Lex,
‘Ini maksudnya apa ya?’ kata gue sok bego, walaupun di dalem hati gue udah ada bayangan gue dan Lex joget india di balik pohon beringin bareng kuntilanak dan genderuwo sebagai penari latarnya.
‘Ini, titip buat Mas pramugara yang tadi jualan sama Mbak,’ ucapnya gak kalah manis. Gue membatu. Bayangan gue dan Lex dengan baju sari ala India pun otomatis lenyap, lengkap dengan penari latar gue dari alam kubur sana.
‘Hah? Apa??’ kata gue shock. Lex terlihat bingung. Sukurnya gue segera menyadari apa yang terjadi disini dan menguasai diri gue lagi. ‘Ehm, jadi ini kartu nama Mas buat pramugara saya?’ tanya gue meyakinkan, walaupun masih berharap dia bakal ketawa ngakak dan bilang ‘ya enggaklah Mbak, itu buat Mbak!’
‘Iya, titip ya Mbak? Doski ganteng banget ya, bo? Sekong ga sih? Kalo gak pun, kenalan juga gapapa. Lumayan lah, ada kenalan pramugara dari maskapai lain,’ jawabnya yang semakin memperjelas kondisi ‘kehomoannya’. Gue speechless, gak bisa ngomong apa-apa lagi. Rasanya gue pengen menyalahkan Tuhan, kenapa cowok seganteng dan tanpa cacat seperti Lex malah tertarik dengan sesama pria? Gimana kalo nanti, semua cowok cakep pada homo, dan Cuma cowok jelek yang normal dan mau naksir cewek? Apa gue harus menerima cowok jelek, atau banting setir jadi lesbi? Oh My God Pangkat Empat!!! Demi apapun, gue bener-bener ngeri kalo sampe itu kejadian.
‘Mbak? Haloo?’ Lex menjentikkan jari di depan mata gue, membuat gue tersadar. Pupus sudah harapan gue menanggalkan status PRAJA dengan ngegebet penumpang seganteng Lex.
‘Eh, iya Mas. Tenang aja, ntar saya sampaikan,’ kata gue akhirnya lesu.
‘Well, okay. Thank’s a lot!’ balasnya.
Setelah semua penumpang keluar, gue menyeret badan gue lemes ke galley belakang. Mas Aron menepuk bahu gue, ‘Gimance? Let me guess! Pasti dia gak nanyain pin BB ke elo? Bener gak?
‘Dia emang gak nanyain pin BB aku Mas, tapi dia ngasi kartu namanya sekaligus pin BB dia ke aku.’
‘Are u serious? I think he’s a kind like me,’ kata Mas Aron kaget.
‘Kind like what?’ tanya gue gak ngerti.
‘Kind like a homosexual, or people usually knows by gay. So, he’s normal. Ciye, ada yang dapet gebetan penumpang nih yeee,’ gue makin shock. Ternyata senior gue yang ganteng ini juga seorang gay? WHAT THE ****!
‘HAH?’ seru gue kaget.
‘Woo, selow. Gak usah kaget gitu napa? Perasaan lo udah 3 bulan terbang, tapi belum terasah juga ya, buat bisa ngenalin mana gay, mana bajingan tulen. Masa lo ngira gue normal? Astagaaa… Kayanya seluruh dunia tau deh, kalo gue sekong. Ckckck.’
Gue diem. Sedetik kemudian, gue buka pintu darurat dan terjun bebas dari sana.
Comments
Tapi tetep aja ngakak
Hahahaha
☺°˚ ˚°◦ha:D ☺°˚ ˚°
. <=D
> k=))k=))k=))k
Tp beneran ada ga sih kejadian spt itu???
Hahaha
Apa jangan-jangan.. :-O
gina? dinna mungkin ya?