BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Maaf cerita dihapus

edited September 2018 in BoyzStories
:-h
«1

Comments

  • ceritax bagus,di tunggu cerita yg lainx !
  • Nice....^^
  • nyesek tp bagus yaaaahhh walaupun benar katamu, mungkin judulnya gak nyambung :-bd
  • @Dimz makasih sudah mampir, kalo cerita yang nanti deh kalo ada inspirasi
    @kimo_chie makasih sudah berkunjung
    @diyuna memang gak nyambung yah hahaha, bingung sih nyari judulnya..
  • Diamu Diaku
    Jadinya yaaa .... Dia Dia Diaaaaa tlah mencuri hatikuuuuu :D
  • diyuna wrote: »
    Diamu Diaku
    Jadinya yaaa .... Dia Dia Diaaaaa tlah mencuri hatikuuuuu :D

    boleh lah... :-?
  • Kalo emang boleh, ayo silahkan dilanjut bang ;;)
  • Yah, boleh lah jadi cerbung juga hehehe *ngelunjak*
  • TigerGirlz wrote: »
    Yah, boleh lah jadi cerbung juga hehehe *ngelunjak*

    makasih udh komen
    kalo cerpen evolusi ke cerbung, kayanya masih belum siap..
    belum punya ide soalnya... nanti deh kalo stok idenya memadai.. ;))
  • Ini cerpen kedua (malas bikin trit baru)
    yang mau boleh baca.. yang gak mau gak maksa :)>-

    Judulnya emang gak banget, tapi toh biarlah..
    satu lagi, ini juga CERPEN jadi jangan minta dilanjut..oke :D



    Dua Jam Lebih Dekat


    Menurut lo, apa jadinya kalau lo terjebak dalam suasana yang paling tidak menyenangkan bersama orang yang paling lo benci?

    Well..itu yang gue alami.


    Pukul 19.20 WIB.

    “Ini semua gara-gara lo!”

    “Lo nyalahin gue?! Lo gak nyadar, lo yang ngedorong gue!” ini gue.

    “Itu karena lo sengak! Ngapain lo nunjuk-nunjuk wajah gue tadi, hah?!”

    “Karena lo ngeremehin gue! Ngapain tadi lo senyum sinis sama gue?!”

    Ehmm... jangan berpikir kalau gue dan dia siap adu jontos, sambil membawa sejata tajam, tumpul, atau sejenisnya, salah besar. Dia menggenggam tangan gue dan gue balas dengan mengenggam tangannya. Bukan... bukan... kita juga gak lagi adu panco kok, murni pegangan saja. Ini karena situasi.

    “Kapan sih ne lift kebuka, sesak nafas gue,” Arif, setahu gue itu namanya.

    “Lo kira lo aja, gue juga kali.”

    “Bodo! Tapi awas kalo lo jadi bangke.”

    “Lo aja sono ke neraka!”

    Kami terjebak sudah lebih dari setengah jam dan selama itu pula gak ada siapa pun di antara kami berdua yang berniat melepaskan pegangan tangan yang spontan kami lakukan saat lift mendadak mati. Gak Arif... gak juga gue.

    Kejadiannya sederhana, gue mau turun ke lantai dasar, pas lift kebuka Arif mau masuk dan seperti yang gue bilang, dia senyum sinis sama gue, kentara banget kalo lagi ngeremehin. Gue gak terima donk! Dilecahkan itu pantang bagi gue. Jadilah gue nunjuk-nunjuk wajah Arif karena kesal, eh.. dia gak terima, malah ngedorong gue dan pintu lift ketutup. Tiba-tiba lift berhenti dan mendadak lampunya mati. Gue panik... Arif panik.. jadilah spontan kita saling mendekat dan berakhir dengan pegangan tangan.

    “Nama lo Arif, kan?” gue mulai bicara.

    “Itu lo tahu,” jawabnya sengak. “Kenapa emang?”

    “Gak.. kali aja nama lo cunguk.”

    “Kampret lo!”

    “Sarap!”

    “Udah ah, bosan gue ribut sama lo.”

    “Lo yang mulai..”

    Percaya atau gak, selama kejadian ini belum ada satu pun dia antara kami yang membahas kenapa kami rela-rela saja saling menggenggam tangan lawan, padahal jelas kami ini adalah musuh. Gue penasaran, tapi gue tunda untuk sementara. Gue lebih memilih mengingat alasan kenapa gue dan Arif bisa saling benci.

    Waktu itu gue pegang gir, Arif pegang rantai, di tengah jalan masih pakai seragam, gue SMA 2, Arif SMA 5, kami tawuran. Masalah waktu itu gue agak rancu, kalo gak salah teman gue sama teman Arif rebutan pacar. Dan sebagai teman, gue solidaritas donk, dan gue rasa Arif juga. Gir gue bikin siku Arif berdarah dan rantai Arif bikin lengan gue juga berdarah. Gak tahu siapa yang menang, karena berikutnya kami bubar oleh polisi.

    “Nama lo Alif, kan?” gantian Arif yang duluan nanya.

    “Kok tahu,” jawab gue bego.

    “Yeah.. gue sampat baca nama di seragam lo pas kira ribut dulu,” jelasnya kikuk. “Tapi depannya aja,” tambahnya lagi.

    “Alif Nurahman,” entah kenapa gue tertarik menyebutkan nama lengkap gue. “Kalo lo?”

    “Arif Hermawan,” katanya, gue mengangguk-angguk saja, walau jelas Arif gak lagi liatin gue. “Oya.. kenapa lo bisa tahu nama gue?” tanya Arif lagi.

    “Gue gak sengaja denger temen lo manggil nama lo.”

    “Oh..” cuma itu komentar Arif.

    Pukul 20.17 WIB, gue liat di layar ponsel gue. Selama hampir satu jam ini, kami masih bergandengan tangan, menautkan jemari, persis seperti pasangan kekasih sedang kasmaran yang takut pacarnya di bawa kabur orang. Menggelikan, bukan?

    Gue dan Arif lagi sandaran di dinding lift, penerangannya cuma dari hape kami masing-masing. Dan yang jelas kami gak saling pandang, ogah banget liatin mukanya yang sengak, bikin naik darah, juga kolesterol.

    “Gimana kabar temen lo itu? setahu gue, cewek itu milih temen lo kan?”

    “Sudah putus,” jawab Arif, spontan membuat gue menoleh.

    “Kenapa?” bukannya gue kepo, kejadian itu baru tiga minggu yang lalu, luka gue aja masih ada bekasnya.

    “Ceweknya selingkuh.”

    “Waw...” gue bingung mau komentar.

    “Padahal gue sama anak-anak di skorsing tiga hari.”

    “Sama.”

    Hening. Untuk beberapa waktu kami berdua diam, lebih memilih sibuk sendiri, gue juga bingung mau bicara apa. Sepintas gue melirik Arif, tangan kanannya yang bebas menggenggam hapenya. Wajahnya tampak serius menatap layar ponsel, angry bird, dia lagi main game. Kalo gue definisikan, Arif ini masuk kategori cowok cantik. Wajahnya itu sebenarnya kurang cocok kalo harus memasang tampang garang, aneh, lebih pantas kalo dia tersenyum seperti sekarang –dia menang game– lucu dan menggemaskan.

    BUK

    Gue memukul kepala gue sendiri, pikiran tadi terlalu ngaco dan menggelikan.

    “Kenapa?” rupanya suara pukulan gue menarik Arif untuk bertanya.

    “Nyamuk.”

    “Oh..”diam sebentar. “Teman lo sendiri gimana?” Arif bertanya, kembali ke tofik sebelumnya.

    “Kalo dia sih udah punya kecengan baru, sudah jadian malah, dua minggu setelahnya,” kata gue, lalu tertawa geli. “Kalo di pikir-pikir, apa gunanya kita berantem?”

    “Bisa santai di rumah kan,” jawab Arif. “Dapat ceramah tiap hari,” sambungnya lagi .

    “Bonus potong uang saku,” tambah gue, lalu kami tertawa bersama.

    “Yap.. kurang lebih,” Arif diam sebentar. “Kalo lo sendiri sudah punya pacar?” tanyanya membuat gue mengerutkan dahi. “Aneh ya pertanyaan gue?”

    “Sedikit... kenapa? Mau daftar?” gue menggodanya dengan menaik-turunkan alis. “Mumpung gue lagi jomblo,” Arif tergelak.

    Tawa Arif mengundang gue untuk memandangnya lebih dalam, meneliti detail garis wajahnya dengan seksama. Sinar dari layar hape yang gak sempurna membuat beberapa bagian dari wajahnya membayang, justru membuatnya semakin menarik. Dari tempat gue barada, gue bisa dengan jelas melihat hidungnya yang lumayan mancung, bulu matanya agak panjang dan sedikit lentik, lesung pipit di sebelah pipi kirinya saat dia tersenyum dan bibir tipis yang mungil, juga rambut poninya yang agak berantakan. Keseluruhannya Arif memang manis.

    BUK.. BUK.. BUK..

    “Kenapa? Nyamuk lagi?”

    “Emm.. iya,” gue kelimpungan. “Lo gak di gigit?” tanya gue asal.

    “Gak,” jawab Arif sambil menggeleng. “Dosa lo kali yang kebanyakan,” Arif tertawa. Mau gak mau gue ikut tertawa, lebih kepada tawanya yang bikin gue tertawa, aneh bukan? “Memangnnya tipe lo seperti apa?” tanya Arif setelah tawanya reda.

    Gue sedikit menimbang untuk menjawab. “Memangnya lo pengen tahu?”

    “Kenapa engga,” ucapnya sambil mengangkat kedua bahunya.

    Sebelum menjawab, gue menatap Arif lebih dulu dan pandangan kami bertabrakkan selama gue bicara. “Gue suka yang bibirnya tipis,” kata gue, Arif manggut-manggut.”Gue suka yang bulu matanya lentik,” Arif kembali manggut-manggut. “Gue suka yang berponi,” bibir Arif membentuk huruf O. “Dan gue suka yang berlesung pipit.” Arif diam. Apakah kata-kata gue cukup mengarah? Seenggaknya, Arif sekarang menatap gue dengan serius, seolah mencari sesuatu di bola mata gue.

    “Apa gue masuk hitungan?” tanyanya tiba-tiba, tersenyum sendiri oleh kalimatnya.

    “Apa lo mau daftar?” gue balas bertanya. Konyol memang, tapi kami berdua tertawa, seolah ada keasyikan tersendiri dari percakapan kami. “Kalo lo.. suka yang seperti apa?” tanya gue lagi.

    “Gue suka yang hidungnya mancung,” kata Arif, gue tersenyum. “Gue suka yang matanya tajam,” lagi-lagi gue tersenyum. “Gue suka yang hitam manis,” gue tertawa kecil. “Dan gue suka yang rambutnya cepak,” katanya, lalu tertawa.

    Gue rasa sinyal-sinyalnya sudah jelas. “Masih ada formulir?” gue manatapnya tajam, Arif gak menjawab, hanya tersenyum.

    Percayalah, matanya yang bening menimbulkan sebuah ketegangan yang berubah menjadi debaran, juga senyumnya yang menawan seolah menghipnotis, mengajak untuk lebih mendekat, mencicipi seperti apa rasa manisnya. Gue bahkan lupa kalo senyuman itu sebelumnya sangat gue benci. Dan buruknya, gue terpesona. Anggap saja gue gila atau mungkin kesurupan jin, terserah apapun itu, gue gak peduli. Yang jelas, keheningan yang berkuasa berevolusi menjadi suasana yang romantis dan gue terbawa arus, cukup menjelaskan, bukan?

    Gue dan Arif masih di posisi yang sama seperti sebelumnya, bersandar pada dinding lift yang dinging. Tapi kali ini suasananya sedikit berubah, tangan gue gak cuma menggenggam tangannya saja, tapi memberikan remasan-remasan kecil, membuat sesuatu dalam diri gue menghangat dan menegang. Arif gak menghindari tatapan gue, dia seolah membeku di tempatnya. Gue mendekatkan wajah gue ke wajahnya.

    “Lo takut gelap ya?” tanya gue pelan, semakin mendekatkan wajah gue.

    Arif tertawa kecil. “Iya, lo juga kan?”

    Gue ikut tersenyum. “Apa perlu gue jawab?”

    Arif menggeleng kecil, seyumnya memudar seiring semakin dekat wajah gue ke wajahnya. Nafasnya yang memburu terasa hangat di wajah gue. Umpan yang berbalas. Arif memejamkan matanya memberikan gue keleluasaan, kepasrahan yang membuat gue semakin berani. Detak jantung gue sudah gak normal lagi, menggila. Ini saatnya! Gue membasahi bibir gue sebelum merasakan bibirnya–

    CLING...

    Sejengkal.. hanya tinggal sejengkal bibir kami akan menempel. Tapi dengan kurang ajarnya lampu lift ini menyala. Sesaat kemudian pintu liftnya terbuka, dengan cepat gue menarik diri. Seorang bapak berdiri tampak cemas, matanya menjelah ke dalam lift terlebih dahulu sebelum akhirnya menatap kami berdua, lalu menarik nafas panjang.

    “Kalian tidak apa-apa?” tanya bapak itu, dari seragam dan tongkat yang di bawanya, gue bisa menebak kalo dia adalah security. Iman Danuar, nama yang tertera pada seragamnya.

    “Iya pak,” jawab gue dan Arif berbarengan. Ada rasa jengkel dan kecewa mendadak.

    “Syukurlah..” ekspresi lega terlihat jelas dari wajah pak Iman, gue jadi penasaran.

    “Memangnya ada apa pak?” tanya gue.

    Pak Iman menarik nafas duhulu sebelum menjawab. “Tadi ada perampokan, makanya lampu gedung ini mati total. Untunglah polisi datang dan cepat bertindak sehingga tidak ada korban jiwa dan perampoknya sudah dibawa ke kantor polisi.”

    Gue kaget mendengarnya. Ternyata itu alasan kenapa gue harus terjebak bersama Arif selama hampir dua jam. Gue dan Arif berpandangan lalu sama-sama terseyum, seolah dengan senyuman itu kami saling mengatakan ‘ternyata ini bukan salah kita.’

    “Sebaiknya kalian pulang sekarang, sudah malam,” bapak security itu menyela momen kami.

    “Iya pak, terimakasih..” ucap gue yang di balas dengan anggukan kepala oleh pak Iman.

    Pukul 21.20 WIB.

    Gue berjalan keluar gedung lebih dulu, di ikuti Arif sedikit di belakang gue. Ada rasa keengganan untuk berpisah, entah kenapa, rasanya sangat berat mengakhiri momen ini. Gue berhenti melangkah dan berbalik menghadapnya, seketika itu juga Arif menghentikan langkahnya. Mata kami bertumbuk, lalu tersenyum canggung.

    “Gue pulang dulu,” ucapnya, setelah kediaman kami beberapa detik.

    “Oke.. hati-hati,” kata gue sambil menggaruk belakang kepala, namun gak ikhlas.

    Arif mengangguk, dia sedikit gelisah, tapi dengan cepat mengatasi keadaannya. Setelah itu Arif mengambil langkahnya menjauhi gue menuju parkiran mobil. Gue gak kesana karena memang gue gak bawa mobil sendiri, gue menunggu jemputan kakak gue.

    Seiring dengan langkahnya yang sebentar lagi akan terhalang tembok, gue menimbang-nimbang untuk mengenal Arif lebih dalam, entah karena dorongan apa. Sedikit kesimpulan gue tentang Arif, dia baik, dia manis, dia lucu dan gue suka. Gue memantapkan keinginan gue, ya, gue pengen kenal Arif lebih dekat.

    “Rif!” gue sedikit berteriak. Arif berbalik dan menatap bingung, kedua alisnya terangkat. “Bisa minta nomor telpon lo?” pinta gue mantap.

    Arif tersenyum sebelum menjawab “Tentu.”

    Dan gue tersenyum senang.


    Well.. inilah cerita gue.

    Menurut lo, apa jawaban dari pertanyaan gue sebelumnya? Silakan jawab sendiri.


    FIN
  • jambak jambak’an keleeeess =))
  • @elul ternyata cerita2 mu bagus, semoga selalu bisa terus berkarya yea,,, THANX.
  • Cerpen Ўğ menarik, saya suka :)


    Teruskan judul lainnye ;)
  • Suka geregetan klo ada cerita yg menarik tp endingnya gantung n gak diterusin ( cerita pertama ).moga ada kelanjutannya ya...
    Cerita ke 2 menarik n lucu menurut aku..
    Ditunggu karyamu selanjutnya n pesen 1 tempat mention ya #kasih tatapan mata berbinar
  • KOK GITUSI CERITANYA
Sign In or Register to comment.