Eksekusi terpidana mati kasus pembunuhan keluarga Letkol Marinir Purwanto di Dukuh Kupang genap 20 tahun—benar-benar menarik perhatian saya. Sungguh, saya baru tahu cerita tentang Sumiarsih dan Sugeng setelah heboh diberitakan oleh media. Rasa penasaran membuat saya mencari tahu cerita dibalik tragedi 19 tahun silam tersebut. Nama Sumiarsih— Sugeng menjelma menjadi legenda. Dua dekade sila pembunuhan yang dia rancang begitu menggemparkan.
Betapa tidak, satu keluarga habis berkat rencana keji yang dibuat Sumiarsih.
Ternyata pembunuhan sadis terencana berawal dari Gang Dolly—sebuah kawasan pelacuran. Cerita kisah sadis dan pilu ini kembali saya ambil dari
http://www.jawapos.co.id
DUA puluh tahun bukanlah waktu yang pendek untuk sebuah penantian. Apalagi, menunggu ajal dari bidikan proyektil para eksekutor. Namun, itulah kenyataan yang harus dihadapi Sumiarsih dan Sugeng. Manusiawikah bahwa seorang wanita tua dan anaknya yang rambutnya mulai memutih harus menerima ajal di
hadapan regu tembak Brimob Polda Jatim?
Kebanyakan orang yang belum tahu peristiwa 20 tahun silam tentu akan berpikir lain tentang keputusan hukuman mati di ujung senjata itu. Namun, mereka yang tahu persis peristiwa kelam pada 13 Agustus 1988
itu bukan tidak mungkin akan mafhum agar kedua terpidana mati tersebut segera dieksekusi.
.
“Kalau teringat peristiwa saat itu,
sadisnya bukan main,” kenang Ramli,
warga Pujon, yang ikut proses evakuasi
korban pembantaian yang dibuang di
jurang Songgoriti, Batu, Jawa Timur,
itu.
”Sampai sekarang pun saya masih
terngiang-ngiang bagaimana ketika
saya membantu petugas kepolisian
mengangkat para korban,” kata pria
itu. Kelima korban bersama mobil
Daihatsu Taft GT yang dijatuhkan dari
atas setelah disulut api itu adalah
Letkol (Mar) Purwanto, Sunarsih (istri
Purwanto), Haryo Bismoko (anak),
Haryo Budi Prasetyo (anak), dan
Sumaryatun (keponakan).
.
Ramli yang mengaku berhasil mengangkat tiga di antara lima korban bersama tim penolong, mengaku masih belum bisa melupakan ”keganasan” Sumiarsih cs. Terutama saat dirinya mengangkat tubuh korban yang rata- rata gosong dan baunya menyengat. Dia mengangkut korban bersama tiga rekannya ke ambulans.
.
”Mayatnya bau busuk karena
pembunuhannya kan pagi hari. Darah
yang mengalir dari kepala korban juga
dibiarkan. Baunya masa ampun,”
tuturnya.
.
Selain semua mayat kepalanya pecah akibat pukulan benda tumpul, Ramli melihat kulit tubuh korban banyak
yang mengelupas akibat luka bakar. Bahkan, kepala Purwanto -kepala Primkopal- saat ditemukan masih terbungkus kresek hitam. Karena meleleh, kresek itu menyatu dengan kulit kepalanya. Sementara genangan darah di tas kresek mulai mengering. “Ngeri sekali,” ucap Ramli.
.
Yang tak kalah ngeri saat dia mengevakuasi tubuh Haryo Budi Prasetyo. Tubuh putra bungsu Letkol Purwanto itu terjepit bagian belakang onggokan mobil Taft yang hancur. Luka di kepala penuh darah dan sebagian mulai mengering dan gosong.
.
”Sadis pokoknya, Mas,” katanya lagi.
Sejak peristiwa itu, untuk beberapa
lama warga Pujon, Malang, dan
sekitarnya sampai tidak berani melalui
jalur maut tersebut. “Mereka pada
ketakutan,” kenangnya.
.
Terlebih lagi di jalan itu tak ada pagar pembatas. Badan jalan berhampiran dengan jurang menganga. Lerengnya ditumbuhi banyak tanaman perdu. Dalam rekonstruksi terungkap bahwa sebelum mobil “diterjunkan” ke jurang, seluruh permukaan mobil dan tumpukan lima mayat disiram bensin. Sebagai penyulut, Serda (pol) Adi Saputro - menantu Sumiarsih yang sudah dieksekusi mati-menyiapkan obor berupa tangkai kayu yang ujungnya dibalut gombal dan dibasahi bensin.
Caranya, mobil milik Purwanto itu dihentikan di bibir jurang dengan posisi moncong menghadap ke jurang. Mesin dimatikan. Setelah rem tangan dilepas, mobil didorong. Adi Saputro di sebelah kiri dan Sugeng di kanan. Saat didorong, pintu kiri ditutup, dan pintu kanan terbuka lantaran Sugeng harus melepas rem tangan. Saat mobil meluncur, Adi lantas menyulutnya dengan api lewat jendela pintu depan yang kacanya sengaja dibuka.
.
Begitu mobil terbakar dan meluncur ke juran, keduanya pergi meninggalkannya. Para pelaku berharap aga skenario seakan-akan Purwanto meninggal karena kecelakaan berlangsung mulus. Mereka kembali ke Surabaya mengendarai Suzuki Carry yang sengaja dibawa dari rumah. Suzuki itu dikendarai Daim dan Nano (keduanya bebas setelah menjalani hukuman masing-masing 15 tahun dan 12 tahun penjara).
.
Petugas identifikasi Polres Malang, Jamhuri, mengakui betapa sulitnya mengevakuasi para korban dari jurang saat itu.
.
”Mereka seperti paham lokasi
yang tepat dengan karakteristik
tertentu, termasuk kedalaman jurang
itu,” komentar Jamhuri kala itu.
Hal itu terbukti dengan lamanya tim
evakuasi mengangkat kelima korban dan
mobil Taft. Meski dimulai pagi, evakuasi
baru tuntas setelah azan Magrib.
Sebab, mobil terjepit di celah relung
jurang dengan posisi bagian roda di
atas.
Tak satu pun roda kendaraan itu
tersisa. Semuanya ludes dilahap api.
”Beruntung waktu itu, meski musim
kering, tanaman-tanaman di sana
tidak meranggas, sehingga tidak sampai
membakar hutan di kawasan itu,” ujar
Jamhuri.
Truk katrol untuk menarik mobil Taft
tersebut juga masih sederhana. Truk itu
milik seorang petani di Pujon. Truk
tersebut memang biasa digunakan
untuk mengangkat mobil-mobil yang
masuk jurang di kawasan Pujon dan
sekitarnya. Truk itu dimodifikasi
sedemikian rupa, sehingga layak untuk
mengatrol mobil yang terjerumus ke
jurang. ‘Truk itu warnanya putih
seperti milik polisi lalu lintas,” tandas
Jamhuri.
.
Bukan hanya evakuasi mobilnya yang repot. Evakuasi para korban juga merepotkan banyak pihak. Mayat mayat itu tidak bisa diangkut langsung menuju jalan raya. Akibatnya, tim evakuasi menempuh jalan memutar, lewat jalan lebih ke bawah sehingga jaraknya dua sampai tiga kali lipat lebih jauh.
Pembunuhan itu memang dirancang cukup apik. Tapi, tetap tidak sempurna. Penyidik menemukan banyak kejanggalan, sehingga menyimpulkan korban meninggal bukan karena kecelakaan, tapi karena benturan benda tumpul di kepala.
.
.
Dihabisi dengan Brutal
Sebelum skenario membuang mayat di jurang Songgoriti, Malang, pagi itu (13 Agustus 1988), lima orang keluar dari sebuah rumah di Kupang Gunung Timur, Surabaya. Mereka adalah Djais Adi Prayitno, 54; didampingi istri, Sumiarsih, 40; Daim, 27; Nano; Sugeng
(anak Sumiarsih), 24; dan Serda Pol Adi Saputra (menantu Prayitno).
Dari rumah Prayit -panggilan Djais Adi Prayitno- mereka naik Suzuki Carry menuju rumah Letkol Marinir Purwanto di Dukuh Kupang Timur XVII. Waktu berada di mobil yang dikemudikan Daim itu, Prayitno membagikan alu (antan) dan kaus tangan kepada Adi Saputr, Sugeng, Nano, dan Daim.
.
Sebelum sampai di rumah Purwanto, mobil tersebut berputar-putar. Sebab, saat itu banyak anak bermain voli di depan rumah Purwanto. Prayit merasa tidak aman apabila banyak orang di depan rumah korban.
Beberapa bulan sebelumnya, Purwanto dan Prayit memang dekat. Bahkan, pembangunan rumah Purwanto di Dukuh Kupang Timur itu pun dipercayakan kepada Prayit. Tapi, hubungan kedua sahabat itu agak renggang karena Purwanto sering menagih utang Prayit sebesar Rp 36 juta.
.
(Bagi warga Gang Dolly, lokalisasi terkenal di Surabaya, Prayit bukan nama yang asing. Dia germo di kompleks pelacuran itu. Sejak sebelum 1980, Prayit sudah tinggal di kawasan lampu merah itu).
.
Sekitar pukul 10.00, rombongan tersebut sampai di rumah Purwanto. Kedatangan mereka dianggap kunjungan biasa. Karena itu, kepala Primkopal (koperasi milik Angkatan Laut) yang sedang menunggu kelahiran anak keempat pun menemui mereka di ruang tamu.Ruang tamu sedang sepi. Ketiga anak Purwanto tidak ada di rumah. Haryo Bismoko (siswa kelas I SMA Trimurti) dan Haryo Budi Prasetyo (siswa SD
kelas VI) sedang bermain di depan rumah. Sementara, Haryo Abrianto mengikuti pendidikan di Akabri. Sunarsih, istri Purwanto yang dalam kondisi hamil, memasak di dapur.
.
Setelah merasa aman, lima orang tersebut menghabisi Purwanto. Mereka memukul Purwanto dengan alu di bagian belakang kepalanya. Perwira Marinir itu dikabarkan sempat melawan. Sebab, ditemukan memar di beberapa bagian di tubuhnya. Selain itu, tulang iga
Purwanto patah. Tubuh Purwanto dibawa ke garasi.
Mendengar keributan itu, Bismoko dan Budi Prasetya pun menuju garasi. Di sana mereka dipukul Adi Saputra.
Ternyata dia malah berlarian sambil berteriak. Salah satu dari mereka kemudian ditangkap dan dipukul Sugeng.
Sunarsih mendengar keributan itu. Bersama Sumaryatun, keponakan Purwanto, dia masuk garasi. Di
belakang mereka Prayit dan Sumiarsih sudah berjaga-jaga. Selanjutnya, Adi dan Sugeng menyambut Sunarsih.
Mereka berdua mencekik Sunarsih dengan alu . Sementara, Daim kebagian membunuh Sumaryatun. Lengkap sudah. Kelima korban tersebut tewas seketika.
Lima orang itu pun menyeret lima tubuh tak bernyawa ke garasi. Mereka memasukkannya ke mobil Daihatsu Taft milik korban.
Dari rumah, mobil berisi mayat itu dibawa dua orang (Adi dan Sugeng) ke daerah Songgoriti, Batu. Mobil dan
kelima jenazah tersebut dibuang, seakan-akan korban kecelakaan. Malamnya, ketika kabar kecelakaan tersebut menyebar, Prayit menyiapkan skenario lain.
Sebelum mayat dibawa ke rumah duka, Prayit mempersiapkan rumah Purwanto. Dia membersihkan, menata kursi, dan menyuruh orang-orang mengganti lampu neon. ”Itu dilakukan dengan duitnya sendiri,” kata salah seorang tetangga.
Anak pertama Purwanto, Haryo Abrianto pun datang. Dia tampak terpukul dengan kejadian itu. Prayit sebagai kerabat dekat keluarga itu ikut menenangkannya. Layaknya pembunuh berdarah dingin, Prayit-lah orang pertama yang membuka peti mati
para korban. Bahkan, dia masih bisa merekam gambar kedatangan jenazah itu dengan kamera video.
.
sumber:
http://renimaldini.wordpress.com/2008/07/22/tas-kresek-bungkus-kepala-purwanto/
Comments
kasian itu mas haryo jd tinggal sendirian
smoga ga binan karna dia satu2nya penerus keluarga..
apa kabarnya?
btw pujon blw bisa dilewatin yak?
Bangkai kok disimpan yo mambu kabeh nooo !
Akhirnya waktu juga yang menjawab kan? !
Tuhan Memang adil !
.
[ Sabtu, 19 Juli 2008 ]
Haryo Abrianto, satu-satunya korban selamat kasus pembunuhan keluarga Letkol Purwanto, ikhlas mengubur tragedi yang menyebabkan dia kehilangan ayah, ibu, dua adik, dan seorang kerabat. Meski memaafkan, dia sudah lama menunggu eksekusi terhadap Sumiarsih dan Sugeng.
TIDAK mudah menjadi seorang Haryo Abrianto. Sekitar 20 tahun lalu, sebelum hari nahas itu, dia adalah harapan keluarga. Sulung dari tiga anak pasangan Letkol Marinir Purwanto-Sunarsih itu digadang-
gadang menjadi penerus karir militer sang
ayah. Pada 1988, dia memasuki tahun kedua menjadi kadet di Akademi Angkatan Laut (AAL) di Surabaya.
Hari itu, 13 Agustus, ada berita mengejutkan yang sampai ke kampusnya di Bumi Moro Krembangan, Surabaya.
Saat pulang ke rumahnya di kawasan Dukuh Kupang Timur XVII, dia menyadari sudah menjadi anak sebatang kara.
Akibat pembunuhan sadis yang dirancang Sumiarsih dan
kawan-kawan, ayahnya, Letkol Purwanto; ibuny Sunarsih yang sedang mengandung adiknya ketiga; kedua saudara laki-lakinya, Haryo Bismoko (kelas 1 SMA) dan Haryo Budi Prasetyo (kelas VI SD); serta sepupunya, Sumaryatun, tewas mengenaskan.
.
Ayok -panggilan akrab Haryo Abrianto- yang saat itu berusia 19 tahun tentu shock menghadapi kenyataan tersebut. Kejadian itu mengubah segala-galanya. Dia gagal meraih impiannya diwisuda sebagai perwira TNI-AL. Karena konsentrasi belajarnya terganggu, Ayok dikeluarkan dari AAL. Sejak itu, Ayok memilih lebih banyak diam. Bahkan, dia menegaskan tidak memendam rasa dendam pada pembataian keluarganya yang dilakukan Sumiarsih bersama suami, anak, menantu, dan dua sanak kelurga yang lain.
Tentang rencana eksekusi terhadap Sumiarsih, Ayok sudah lima tahun lalu mendengarnya. Namun, eksekusi itu terus tertunda. Sebab, setiap grasinya ditolak presiden, Sumiarsih mengajukan grasi lagi.
.
”Kalau memang pemerintah
menganggap (eksekusi terhadap
Sumiarsih) itu (pilihan) yang terbaik,
silakan saja. Toh , saya sudah mulai
melupakan semuanya,” kata Ayok
kepada Jawa Pos sebelumnya (saat
grasi kedua Sumiarsih ditolak presiden).
.
Sebagai manusia, Ayok mengatakan malah kasihan terhadap Sumiarsih dan Sugeng. Sebab, bagaimanapun, pasangan ibu dan anak itu makhluk Allah yang masih berharap bisa melanjutkan hidup. Apalagi, keduanya telah menjalani hukuman badan hampir 20 tahun.
.
”Sebenarnya saya ya kasihan juga. Siapa sih yang senang mati dengan cara seperti itu,” katanya.
Ayok mengaku sudah memaafkan Sugeng dan Sumiarsih sejak lama. Alsannya, rasa dendam justru akan menyakiti diri sendiri dan tidak baik untuk kehidupan keluarganya. Namun, maaf yang dia berikan semata-mata dalam konteks hubungan antarmanusia yang setiap saat bisa berbuat salah. Bukan menghapus hukuman yang harus diterima Sumiarsih dan Sugeng.
.
”Kalau maaf yang saya berikan itu dijadikan
alasan untuk membebaskan mereka,
itu jelas mustahil. Nanti masyarakat
bertanya, di mana letak ketegasan
hukum,” kata Ayok, yang selalu
berbicara dengan nada rendah.
.
Meski sudah melupakan peristiwa itu, Ayok tetap berharap agar tragedi pembunuhan terhadap keluarganya dijadikan pelajaran siapa pun. ”Saya berharap, masyarakat Surabaya menjadikan pelajaran. Siapa menanam, dialah yang menuai,” katanya.
Setelah keluar dari taruna AAL, Ayok memilih pindah ke Jakarta, ikut salah seorang keluarga dari ayahnya. Pada Oktober 1991, dia menikah di Jakarta. Setahun kemudian dia kembali ke Surabaya. Selama setahun dia menempati rumah peninggalan orang tuanya di Dukuh Kupang Timur XVII. Lantaran dianggap terlalu besar, rumah itu dia jual dan pindah ke Bratang Binangun yang lebih kecil.
Selain mengurusi bengkel di Kawasan Rungkut, Surabaya, Ayok aktif belajar agama. Selama beberapa lama dia aktif mengaji di pesantren Kemlangi, Kandangan, Mojokerto.
.
Rumah keluarga Ayok di kawasan Bratang Binangun VII, Surabaya, yang sempat ditempati bersama istri dan kedua anaknya itu pun sudah dijual.
”Sudah empat tahun rumah ini saya tempati,” kata Hendrik kepada Jawa Pos tadi malam.
Menurut Hendrik, rumah yang berdiri di atas lahan 200 meter persegi itu (10 x 20 meter) itu dibeli dari Haryo Abrianto Rp 525 juta. Sejak transaksi penjualan rumah itu, Hendrik yang wiraswastawan itu mengaku tidak tahu di mana Ayok kini. Namun, Hendrik membenarkan bahwa dirinya mendengar Ayok pindah ke kota istrinya di Jakarta. Berbeda dengan rumah Ayok di Bratang Binangun yang cepat laku, rumah Ayok tinggalan sang
ayah yang menjadi TKP pembunuhan di kawasan Dukuh Kupang Timur nomor 24-26 itu sulit laku. Rumah megah yang kini menjadi milik orang lain seluas sekitar 480 meter persegi itu sempat tidak berpenghuni 18 tahun.
Rumah tersebut sekarang dipisah. Yang nomor 26 sudah terjual sekitar dua tahun lalu. Namun, yang nomor 24
belum ada pembeli. Beberapa waktu lalu di depan pagar besi itu tertempel dua papan dari agen penjual rumah. Satu bertulisan "Dijual" satu lagi "Disewakan" dengan nama agen penjual yang berbeda. Namun, papan itu kemarin sudah dicopot.
.
"Sementara pemiliknya tidak menwarkannya lagi," kata Irwan dari Ray White, agen properti, saat dihubungi
tadi malam.
.
Saat dikunjungi Jawa Pos tadi malam, rumah tersebut kelihatan sepi. Sumiarsih dan Sugeng mungkin menyesal pernah mengunjungi rumah itu sehingga mereka harus berhadapan dengan regu tembak.
disimpan di dasar relung laut yuzz, yang terhimpit oleh gunung2 berapi. Namun lantaran ada kekuatan yang maha dasyat #ntah dr mana berasalnya kekuatan tersebut!, akhirnya semua misteri yang tersimpan itu terkuak ke permukaan !
titatnic
tau tau tau