Aku menyesap Latte yang sudah dingin. Thanks to Seattle’s coffee shop yang sudah menjamur di Indonesia dan salah satunya di gedung kantorku. Diandra sudah lama beranjak dari kursi didepanku yang kini bergatikan pemandangan seorang gadis dengan shawl warna jingga terang sedang memainkan handphonenya. Aku menyesap Latte yang sudah tinggal separuh. Three pumps classic adalah senjataku. Aku tidak terlalu doyan dengan kopi-kopi fancy yang bercampur dengan banyak flavor syrup. Dan Diandra adalah sahabat kopiku yang paling asyik. Barista disini sudah hapal dengan minuman kami – yes, they should know the returnee guests favorite’s: Diandra dengan venti Asian Dolce dan aku dengan tall Caffe Latte atau Americano on the rock with milk and three pumps classic of course.
Pandanganku berganti kea rah pintu masuk. Melirik angka jam di handphoneku. Sebuah pesan masuk, tak perlu dibuka aku sudah tahu dari siapa. Aku meraih paper cup dan tas yang dari tadi menggantung di bawah meja. Berjalan ke arah lobby dan sebuah sedan berwarna hitam berhenti didepanku. Aku tersenyum masuk ke dalam sedan itu.
“Macet?”, tanyaku sambil memasang safety belt.
Pria yang kutanya mengangguk kuat. “What’s for dinner? Sepertinya naga di perutku sudah mengamuk.”, ujarnya sambil mengelus perutnya yang buncit. Ia mengarahkan sedannya menuju pintu keluar.
“Banyak minum di Kuala Lumpur?”
“Minum apa? Fuji Water?”
“Walker, Daniel, whatever.”
Dia tertawa. “Semalam gala dinner, sayang. Aku hanya minum Champagne.”
“Good, then.”
“So, what for dinner?”
“ Kamu mau makan apa?”
“Pecel ayam.”
“Ya sudah.”
Dia tersenyum. Aku mengelus pipi tembamnya. My lovely Ganendra.
*
Ganendra mengendarai sedannya dengan santai dan tenang. Kami sudah menembus jalan tol Cipularang menuju arah Kota Kembang untuk menghadiri pernikahan rekan kerja Ganendra. Aku mengayunkan kaki mengikuti beat lagu Pharrell Williams. Ganendra menyesap minumannya dan bergidik sendiri.
“Minumanku kok aneh ya?”
“Aneh gimana? Aku pesan minuman yang sama kok.”, aku meraih paper cup dari tangan Ganendra dan menyesapnya. “Ini bukan minumanmu!”
“Pantes, minumanmu kan customize banget.”, Ganendra mengambil paper cup minumannya. Caramel Macchiato dengan cinnamon powder.
Aku menggeleng. “Dasar pabrik gula.”
Ganendra menurunkan kacamatanya, “Apa? Mau diturunin disini?”
Aku memasang tampang tidak bersalah andalanku. Ganendra mencubit pipiku gemas.
“Dasar customer rese!”, ucapnya gemas.
Ganendra memarkir sedannya dibawah pohon rindang. Ia tampak makin ganteng dengan balutan kemeja batik Sasirangan berwarna biru dengan cufflink bulat hadiah ulang tahun dariku. Sementara aku memakai kemeja batik bermotif Kawung gaya Jogja. Kami sempat istirahat dan berganti pakaian di sebuah café langgananku ketika kuliah di kawasan Jalan Riau. Aku mengedarkan pandangan, biasanya status social orang yang punya hajat tampak dari karangan bunga yang memenuhi pelataran gedung dan aku yakin kalau yang rekan kerja Ganendra yang menikah hari ini adalah crème de la crème-nya Bandung. Lihat mobil pengantin itu, Rolls Royce berwarna putih dengan karangan bunga berwarna senada.
Balai pertemuan di kawasan Supratman ini dipadati undangan, hampir semuanya pasangan muda. Yang ganteng memakai jas atau batik lengan panjang menggamit si cantik dengan balutan dress atau kebaya modifikasi. Aku menyamai langkah Ganendra, ia berjalan menuju kerumunan – should I type “kerumunan”? dan aku mengenali seseorang. Kiran, seorang gadis dengan paras ayu Jawa sedang tertawa lepas bersama beberapa orang disana. Ia tampak cantik dengan balutan kebaya kutubaru berwarna peach dan kain endek Bali berwarna ungu muda. Rambutnya ia kuncir pony tail, membuatnya bergoyang mengikuti anggukan kepalanya.
“Hey guys!”, Ganendra menyapa kerumunan itu.
“Hey man!”, ucap seorang pria sambil membalas hi-five yang dilayangkan Ganendra.
“Gue kira nggak dateng lo!”, ucap yang lainnya.
Total ada lima pria dan tiga wanita di kerumunan itu. Aku menyapa Kiran, memberinya pelukan dan melayangkan air kiss. Ganendra memisahkan diri dengan tiga pria yang sempat kudengar menyebut “Projek”, “Dana cair” dan “Investor”.
“Berangkat jam berapa tadi, Ndra?”, Kiran bertanya sambil menyesap mocktail dari sedotan.
“Jam enam, lumayan padet sampai Cikarang tadi. Lo udah dari kemarin disini?”
“Iya, gue sama Shanti semalem udah disini. Shanti ini sepupunya Regha, orangtuanya ga bisa datang jadi kamar jatah orangtuanya kita pakai deh!”, Kiran menggamit seorang gadis yang tersenyum. Ia memakai dress dengan warna yang senada dengan pesta resepsi ini. Warna panitia keluarga, turquoise.
“I see. Nginep dimana sih?”
“Hilton. Nanti malam jalan yuk kita!”
“Belum tahu deh, Ganendra mau langsung pulang katanya.”
“Giling yah Ganendra. Nggak capek apa?”
“Padahal gue pengen makan Surabi depan kampus.”
Kiran tertawa. “Yaudah ntar gue bujuk laki lo.”
Kiran memang tahu hubunganku dengan Ganendra. Ia satu divisi di kantor Ganendra sebelum pindah ke perusahaan tempat ia bekerja sekarang dan bisa dibilang masa-masa awal aku berhubungan dengan Ganendra, Kiran selalu hadir diantara kami. Makan malam di Social House atau hanya melepas penat di lounge milik adik Kiran di kawasan Senopati. Kiran menggamitku keluar dari gedung. Aku sempat mengambil satu porsi dimsum sambil mengikuti langkah Kiran. Sesampainya diluar, Kiran mengeluarkan sebatang rokok dan menyulutnya.
“Lo jaga Ganendra ya. Gue ada feeling nggak enak sama bisnis barunya. Kalau lo bisa narik dia keluar dari bisnis ini, gue akan berterima kasih. Tapi setidaknya lo coba bicara sama dia.”
Aku menautkan alis. “Gue ga paham.”
“Lo tau dua orang yang ngobrol sama Ganendra? Mereka itu ada proyek di Kalimantan. Biasa, eksploitasi hutan. Mereka ada main dengan pemerintah setempat. Jangan sampai gue liat berita da nada nama Ganendra ditangkap KPK.”, Kiran mengepulkan asap rokoknya.
“Kok gue ngga tahu apa-apa mengenai ini ya?”, ucapku.
“Belum. Ganendra belum join memang. Dia masih memastikan investor yang akan menyokong proyek ini serius apa enggak. Pokoknya gue minta lo jaga dia ya.”, Kiran mematikan rokoknya. Menepuk lenganku dan melangkah masuk kedalam gedung. Sementara aku hanya bisa melongo. Investor? Dana? Eksploitasi? KPK?
Sepertinya aku harus mulai membaca surat kabar langganan Ganendra deh tiap pagi.
*
Comments
Yeahhh bitter back!
btw perasaan yg kmrn blm dilanjutin deh..
baca besok deh,xixixi
Ya kalau males di skip aja to.. Jangan drama kaya Mischa dehh...
dan tema kali ini sepertinya ga berfokus pada makanan,
ahh ayo bikin tema cerdas!
*malah ga terlalu ngeh ada adegan pegang2an pipi
titip mensyen yak
Lanjut.