Selamat sore menjelang malam semuanya nakama! Disini gue ingin berbagi sebuah cerpen, bukan cerpen tapi lebih kepada cerita cerpen yang panjang, yang baru saja gue bikin. Sebenernya sih gue udah lama banget pengen bikin cerita di Boyzforum, cuma mungkin sekarang baru kesampean. Ide cerita ini sebenarnya muncul dari sebuah karakter di sebuah manga bertema bajak laut. Rabu kemaren itu sebenarnya chapter terbaru dari manga favorit gue itu terbit, buru-buru ngibrit langsung aja gue baca itu chapternya dan gue kesel banget sama karakter itu karena dia sempet bikin gue kecewa dengan chapter yang baru terbit itu. Dari situ muncul ide untuk bikin cerita yang mungkin gue rasa kurang memuskan. Entahlah. Gue terlalu banyak pake perasaan untuk membayangkan sebuah cerita.
Silahkan dinikmati para nakama. Semoga bisa mengobati kerinduan yang mendalam dari para nakama semua.
Comments
“Jadi, kapan kamu mau menyatakan perasaanmu padanya?” Aku terdiam seketika, masih dengan segelas jus alpukat yang ku pegang. Viola menatapku datar, tapi dengan aura yang ku rasa sangat memojokkanku.
Ah benar, pertanyaan seperti itu pada waktunya akan muncul juga. Sulit sekali rasanya menjawab pertanyaan seperti itu, dengan jawaban yang mungkin aku tak tahu bagaimana harus menjelaskan. Mungkin tak ada jawaban untuk pertanyaan seperti itu atau mungkin hanya aku yang tak ingin mengetahui jawaban apa yang seharusnya aku katakan. Jika diberi kesempatan, mungkin aku tak mau mendapat pertanyaan itu dan juga tak ingin menjawabnya.
Hanya ada dua jawaban untuk pertanyaan seperti itu. Pertama, memendam terus perasaan itu sampai benar-benar tak ada lagi kalimat yang bisa untuk menyatakannya. Kedua, aku hanya perlu menyatakannya. Aku menyukai pilihan kedua, sayangnya hatiku tak sependapat dengan pilihanku. Kedua pilihan itu sebenarnya sama-sama tak menguntungkan, wait or action. Menunggu sampai benar-benar perasaan itu hilang, tapi mungkin saja perasaan itu tak akan benar-benar hilang atau meluapkan segala kenyataan yang selama ini ada di hatiku.
“Mau sampai kapan kamu memendamnya?” Viola menarik nafas setelah pertanyaan itu ia lontarkan, mungkin saja sejak tadi aku sudah ambruk karena dua pertanyaan ini; seolah-olah itu menarik semua oksigen yang ada di paru-paruku.
Harusnya sekarang aku sedang merayakan pesta, berkat bakatku dalam menyembunyikan perasaan. Ini merupakan sebuah rekor baru dimana, aku, orang yang mampu menyembunyikan perasaannya selama dua tahun. Itu bukan waktu yang lama dan bukan juga waktu yang sebentar. Tapi tetap saja itu semua perlu diapresiasi, berkat kerja kerasku selama dua puluh empat bulan. Dengan logika normal, mana ada orang yang sanggup menahan perasaannya selama dua tahun, kecuali aku yang up normal.
Terlalu banyak godaan yang kuhadapi selama dua tahun ini. Ingin selalu memandangi wajah kalem itu. Ingin selalu menatap sepasang bola mata coklat kebiruan nan redup. Ingin selalu menikmati setiap detail senyum dan tawa, serta lesung pipi yang terbentuk ketika ia tertawa dan tersenyum karena sesuatu hal. Aku sangat ingin dan selalu ingin menikmati semua itu dari hari ke hari. Sepertinya itu merupakan salah satu “narkotika” yang membuat pikiran dan ingatanku kecanduan.
Viola mengatakan jika aku telah salah mengambil pilihan, dia mengatakan bahwa pilihan yang selama dua tahun kebelakang ini aku pilih; hanya membuat aku semakin terpuruk dengan perasaanku sendiri. Dia benar, sekarang aku benar-benar tak tahu lagi bagaimana caranya mengendalikan perasaanku. Pikiranku tak bisa lepas dari baying wajahnya. Hari ke hari selalu aku lewati dengan kenyataan bahwa aku menemukan semangat lain jika dapat menatapnya, bersentuhan dan beraktifitas bersamanya.
Aku ingat bagaimana perasaan itu pertama kali tumbuh, ketika tiga tahun silam aku menyelamatkan dia saat sebuah minibus hendak menabraknya.
Aku telat bangun hari ini, otomatis aku juga pasti akan telat datang ke sekolah. Lalu, di sekolah ketika guru biologiku meminta murid-muridnya untuk mengumpulkan tugas yang dia berikan dua hari yang lalu; sebenarnya aku tak khawatir karena aku sudah mengerjakannya semalam, ketika aku ingin mengumpulkan tugas itu, ternyata bukunya tak ada dalam tasku. Aku baru ingat jika buku itu belum aku masukkan kedalam tas, langsung saja guru biologi menghukumku dan mengatakan aku harus mengumpulkan rangkuman isi dari buku biologi dengan total ada enam sub-bab pembahasan. Ketika pulang sekolah, sudah satu jam aku menunggu angkot untuk pulang tapi ternyata tak ada satupun yang lewat. Kurang sial apa aku hari ini?
Aku pulang berjalan kaki saja, daripada harus kering-kerontang menunggu angkot yang tak kunjung datang. Ketika sudah berjalan beberapa kilometer, perhatianku tertuju pada seorang anak laki-laki berjaket tapi dengan celana abu-abu yang kutaksir seumuranku. Dia berjalan di seberang jalan namun lama-kelamaan langkahnya semakin mengarah ke tengah-tengah jalan. Aku perhatikan dia tak sadar dengan langkah, karena dia asik bermain dengan tabletnya dan sebuah headphone bertengger di telinganya.
Aku lihat kearah kiri dan kanan, apakah ada mobil yang melintas. Ternyata sebuah mini bus melaju kencang dari arah kiri, mini bus itu mengklakson berkali-kali karena anak laki-laki itu masih berjalan di tengah jalan. Sepertinya suara klakson mini bus tak terdengar olehnya, akupun berteriak-teriak agar dia minggir ke tepi jalan. Namun hasilnya nihil, dia tak juga mendengar teriakanku. Minibus itu masih melaju kencang ke arah anak itu. Refleks aku berlari kencang ke araha anak itu, lalu menariknya ke pinggir jalan. Sekilas aku dapat melihat wajah anak itu kaget. Bukkkkkkk…
Aku terpental ke pinggir jalan, begitu pun anak itu. Kepalaku sempat menghantam permukaan jalan. Badanku terkulai lemas, aku mencoba merangkak untuk melihat keadaan anak itu yang masih tergeletak tak bergerak. Namun, tak satupun dari bagian tubuhku yang dapat digerakkan. Ketika aku mencoba menggerakkan tangan atau kaki, semuanya terasa nyeri di sekujur tubuhkan ditambah dengan rasa pusing yang hebat di kepalaku. Aku dapat merasakan darah mengucur dari pelipis kanan kepalaku. Aku tidak kuat lagi, tak lama kemudian aku tak sadarkan diri.
Ketika sadar aku sudah berada dirumah sakit. Anak itu dan seorang pemuda yang wajahnya agak mirip tersenyum. Aku melihat ada perban di kepala anak itu serta di tangan kanannya. Pemuda itu mengatakn jika aku sudah dua hari tak sadarkan diri, dia tak dapat menghubungi keluargaku karena dia tak menemukan identitas apapun tentangku. Aku baru ingat jika aku tak membawa dompet, pantas aja pemuda itu tak dapat mengetahui identitasku. Dia mengucapkan terimakasih karena aku sudah menyelamatkan adik laki-lakinya, juga anak itu berterimakasih kepadaku karena telah diselamatkan nyawanya. Dia juga mengatakan, jika lusa aku dapat pulang kerumah jika keadaanku makin membaik.
Semenjak kejadian itu beberapa kali anak itu sering menjengukku, dari pertemuan itu aku tahu jika namanya Kevin Pramudya Pratama dan aku juga tahu jika dia satu sekolah dan seangkatan denganku tapi berbeda jurusan. Ketika aku sudah bisa kembali beraktifitas kembali dan dapat bersekolah lagi, Kevin mengatakan jika dia ingin berangkat bersamaku. Kami berdua makin akrab satu sama lain dan saling mengetahui kebiasaan satu sama lain. Ketika Ujian Nasional sudah menanti, kami belajar bersama. Aku membantunya di pelajaran yang tak dia mengerti, meskipun kami berbeda jurusan ada beberapa mata pelajaran kami yang hampir sama materinya. Kami gembira karena lulus Ujian Nasional dengan nilai yang lumayan memuaskan, terutama Kevin; dia sangat senang karena nilainya yang lumayan dan berterimakasih karena aku sudah membantu dalam pelajaran sehingga dia bisa mendapat nilai bagus. Setelah selesai, kami berdua memutuskan untuk menlajutkan ke perguruan tinggi. Dia belum menentukan Universitas mana yang akan dia pilih, sedangkan aku sudah memilih Universitas mana yang cocok. Langsung saja dia berkata jika dia ingin satu Universitas denganku. Aku bertanya kenapa harus satu Univeritas denganku. Dia hanya menjawab, “Kita adalah sahabat. Aku hanya ingin bersama sahabatku. Lagipula jurusan aku yang pilih ada di Universitas itu.”
Hari-hari setelah kecelakaan itu selalu kami lalui bersama. Kamipun sudah mengetahui satu sama lain kebiasaan-kebiaasan yang tak pernah orang sekitar tahu. Rasanya sangat menyenangkan bersamanya, ada kebahagian tersendiri yang meluap di hatiku. Aku menganggap itu karena hanya dia merupakan salah satu sahabat ku yang sangat mengerti kondisiku. Lama-kelamaan aku mulai menyadari ada sesuatu yang salah, sesuatu yang benar-benar seharusnya tak terjadi. Rasa kagumku akan sosok dan perhatiannya malah melebar jauh, semua tentangnya selalu membayang-bayang di kepalaku seolah itu menjadi candu tersendiri. Rasa sepi ketika aku tak bersamanya, rasanya hampa ketika aku tak melihatnya dan rasa-rasa lain yang tak bisa kugambarkan, semuanya menjadi satu bagai sebuah kerinduan yang dalam. Akhirnya bangun dari kepolosanku dan menyadari jika aku menyayangi bukan sebagai sahabat melainkan sebagai kekasih.
Pengecut, mungkin itu merupakan salah satu gelar yang pantas kusandang. Hanya pengecut yang tak berani menghadapi kenyataan, lalu menyimpan perasaannya dengan waktu selama itu. Jika aku diberi suatu kemampuan, mungkin aku akan meminta suatu keberanian untuk dapat mengungkapkan sesuatu tanpa jawaban apa yang ku dapat. Hanya ada dua jawaban dari usaha menyatakan perasaan, diterima atau ditolak. Semua orang selalu ingin perasaan yang mereka ungkapkan diterima, begitupun aku. Lalu jika pada akhirnya aku ditolak, aku akan apa? Apa aku sudah siap?
‘Sampai kapan aku akan bertahan dan menyembunyikan perasaanku?’
Aku terus meyankinkan diriku, jika sekarang adalah waktu yang tepat; seperti yang dikatakan Viola. Aku hanya perlu menyiapkan mental jika pada akhirnya, jawaban Kevin tak seperti yang kuharapkan. Selalu ada resiko dari setiap langkah yang kuambil, begitupun langkah yang kuambil saat ini. Dia akan selalu mendukung setiap pilihan yang aku ambil, aku hanya perlu menerima hasilnya dengan lapang dada. Aku mencoba membuka hatiku, supaya pada akhirnya tak ada penyesalan atas pilihan yang aku ambil.
Aku meminta Viola membantu untuk membuat sesuatu, agar aku dapat meluapkan perasaanku pada Kevin dengan mudah. Sahabatku yang satu ini selalu bersedia mendengar setiap keluh kesahku dan memberikan solusi yang mungkin baik untukku. Aku berencana akan bertemu Kevin lusa, jadi besok aku tak akan menemuinya dahulu. Besok aku dan Viola akan focus untuk membuat sesuatu yang akan keberikan pada Kevin. Aku hanya berharap dengan ini, Kevin mau mengerti bagaimana perasaanku terhadapnya.
Aku dan Kevin berjanji untuk bertemu di suatu Café saat waktu makan malam, karena ada sesuatu hal yang sangat penting yang ingin dia katakana padaku. Aku sangat nerveous malam ini, setelah dua tahun aku menyembunyikan perasaanku lalu malam ini aku akan mengungkapkannya. Aku merasa seperti remaja yang sedang jatuh cinta dan ingin ‘menembak’ orang yang disukai. Ini akan menjadi malam panjang bagiku, dengan segala rasa nervous yang luar biasa di dalam kepalaku.
Malam ini aku mengenakan kemeja kotak-kotak lengan panjang berwarna merah, celana jeans berwarna hitam dan sepatu kets hitam, tak lupa juga aku memakai kacamata berlensa minus yang selalu kukenakan disetiap aktifitas yang aku lakukan. Setelah semua persiapan siap, aku pergi ke café itu dengan menaiki ojek. Sepanjang perjalanan aku mencoba menenangkan diri dan meyankikan semuanya akan baik-baik saja.
Akhirnya aku sampai juga di café tempat telah aku dan Kevin sepakati. Tiap malam café ini selalu ramai dengan pengunjung yang datang, terlebih lagi jika malam minggu tak banyak tempat kosong yang bisa ditempati. Aku masuk ke dalam café, melihat ke segala penjuru arah untuk menemukan dimana Kevin berada. Rata-rata pengunjung café ini adalah muda-mudi, namun aku bisa melihat ada beberapa pengunjung yang sudah berkeluarga datang kesini juga mengajak anak-anak mereka. Tepat di sebelah kananku yang berjarak tiga meja dari tempatku, aku melihat seseorang melambaikan tangannya padaku; itu Kevin.
Aku beranjak pergi ke meja itu dan menemukan Kevin yang sepertinya sudah lebih dahulu sampai di café ini. Malam ini Kevin menggunakan kemeja coklat dengan motif garis-garis berlengan pendek, serta celana hitam. Rambut model spike nya, serta bekas cukuran dari jambang sampai ke bawah dagu membuat dia terlihat sangat cool malam ini. Aku sangat terpesona melihat penampilannya malam ini, meskipun kami telah bersahabat selama tiga tahun, selalu saja penampilannya membuatku terus mengaguminya.
Kevin terlebih dahulu memulai pembicaraan. Dia juga memuji penampilan ku malam ini, karena tak biasanya aku berpenampilan rapi seperti ini. Kami mengobrol sambil bersendagurau malam ini, obrolan tentang masa-masa SMA membuat aku memflashback tentang kenangan kami berdua sewaktu SMA. Aku merasa dia terlihat sangat senang, entah apa yang membuatnya begitu senang. Tapi sewaktu kami berbicara, beberapa kali aku melihat dia memandangi seorang gadis yang sedang duduk bersama teman wanitanya, yang tak jauh dari tempat kami. Entahlah, aku tak mau berpikir terlalu menduga.
Café ini selalu mengajikan live music. Lagu-lagu yang dibawakan kebanyakan adalah lagu-lagu yang bertemakan cinta, walaupun tak jarang lagu-lagu yang dibawakan band café ini temanya di luar dari cinta. Mungkin ini merupakan salah satu alasan kenapa café ini ramai dikunjungi oleh pengunjung.
“Jadi kamu memberitahu hal penting apa?” Tanyaku penasaran.
“Nanti juga kamu tahu, apa yang sebenarnya ingin aku beritahu.” Dia tersenyum, seolah dia ingin memberikan suatu kejutan padaku.
“Sebenarnya ada hal ingin aku kasih tau ke kamu. Sesuatu yang sudah lama aku simpan.” Aku menundukkan kepala, karena aku tak ingin terlihat nervous dihadapannya.
“Maaf aku ke toilet dulu ya sebentar.” Dia langsung beranjak pergi dari meja yang kami tempati.
Bodoh. Seharusnya aku tadi tak menundukkan kepala. Aku merasa sekarang rasa gugupku makin melipat ganda. Aku menarik nafas sejenak untuk menenangkan diri agar aku bisa focus untuk mengutarakan perasaanku. Aku mengambil sebuah kotak kecil yang sudah kebungkus dengan kertas kado tanpa motif berwarna merah pucat. Aku ingin memberikan kotak ini padanya, berharap dia mau menerimanya. Tiba-tiba beberapa lampu di café ini padam, sekarang suasana disini terasa lebih redup.
“Selamat malam. Malam ini adalah satu malam yang spesial, karena malam ada seseorang ingin menyatakan perasaannya dan disaksikan oleh kita semua. Orang ini ingin menyatakan perasaannya, karena dia merasa jika sekarang adalah waktu yang tepat setelah sekian lama dia menyukai seseorang.” Suara vokalis band itu menyebar ke segala punjuru café ini. Sepertinya malam ini ada yang ingin mengutarakan perasaannya juga sepertiku, tapi orang ini lebih memiliki keberanian yang begitu besar sehingga berani mengungkapkannya di depan umum.
“Jadi, kami persilahkan untuk kamu yang ingin mengungkapkan perasaannya.”
Aku melihat seorang laki-laki naik ke atas panggung. Aku tak dapat melihat seperti apa sosoknya karena suasana café ini yang redup. Sepertinya ini semua sudah dipersiapkan sejak awal. Laki-laki itu sudah berada di panggung dan vokalis band itu memberikan mic padanya. Dari gerak tubuhnya, terlihat dia sangat gugup. Aku mulai merasa gelisah kareana sejak tadi Kevin belum juga balik dari kamar mandi. Mungkin saja dia lama di toilet karena ada masalah dengan perutnya, pikirku.
“Maaf untuk semuanya karena saya telah menggangu acara kalian semua. Saya berada disini sekarang, karena saya ingin mengungkapkan perasaan saya pada seseorang. Meskipun saya belum lama mengenal orang ini, tapi saya merasa nyaman bersamanya. Saya bisa merasakan kebahagiaan lain yang belum pernah saya rasakan ketika bersamanya. Saya merasa menjadi orang yang sangat bodoh ketika bersamanya, karena saya bingung mau bersikap seperti apa ketika berada dihadapannya. Ketika tak bersamanya saya merasakan kehilangan sedikit kebahagiaan, ada rasa rindu yang mengalir di sekejur tubuh.
Untuk kamu yang sekarang ada disini. Aku tahu aku belum lama mengenal kamu. Tapi aku merasa kita satu sama lain saling melengkapi. Rasa nyaman, rasa rindu gugup, rasa rindu dan semua rasa yang aku rasakan ketika bersama kamu, maupun ketika tak bersama kamu meyankinkanku satu alasan. Satu alasan kuta yang membuat aku untuk terus ada disamping. Aku mungkin tidak tahu sebenarnya bagaimana perasaan kamu padaku, tapi cukup yakin untuk dapat menerima dengan lapang jawaban apa yang akan ke keluar dari bibirmu.”
Aku mengenal suara ini, jelas sekali aku mengenal suara ini. Suara yang selama tiga tahun ini mengisi hari-hariku. Suara yang pemiliknya sangat aku kagumi, aku sukai dan tentunya aku menyayanginya.
“Aku mohon kepada seorang gadis yang selalu membuatku payah di hadapannya untuk maju kesini. Kepada Olivia Prastya Rahayu untuk maju ke oanggung ini.”
Lampu-lampu di café ini kembali menyala. Aku bisa melihat gadis yang dipandangi Kevin saat kami mengobrol maju perlahan-lahan ke atas panggung dan jelas aku bisa melihat sosok Kevin diatas panggung. Setelah gadis itu sampai di panggung, dan mereka berdua saling berhadapan. Kevin memegang tangannya.
“Kamu sekarang sudah tahu perasaan aku ke kamu, jadi aku ingin tahu bagaimana perasaanku ke kamu. Apakah kamu mau menerima aku menjadi salah satu kebahagiaan di hidupmu?” Kevin terlihat memandangi gadis itu dengan tatapan serius. Gadis itu hanya diam tak bergerak, lalu tak lama kemudian dia menganggukkan kepalanya.
“Aku pasti menerima satu lagi kebahagiaan yang hadir di hidupku.” Katanya sambil tersenyum. Kevin terlihat sangat bahagia, lalu refleks memeluk gadis itu dengan erat.
Semua persendian dan seluruh bagian tubuhku kaku. Aku tak bergerak atau bergeming sama sekali. Rasa kosong tiba-tiba menyelimuti seluruh ronggga kepala dan hatiku. Semua terasa begitu cepat, sampai tak ada jeda waktu bagiku untuk bernafas dan mencerna kenyataan ini lebih menyeluruh. Rasa sakit yang tiga tahun lalu kurasakan, kembali datang ditubuhku. Rasa sakit di kepala, serta rasa nyeri di persendian kaki dan tanganku kembali terasa. Tapi kali ini rasanya semua terasa lebih sakit. Ada satu rasa sakit yng lain dai hatiku. Rasa pedih yang perlahan-lahan mengikis semua kenyataan yang selama ini kusimpan.
Maaf Viola, sepertinya kesiapan mental yang sudah kusiapkan tak dapat menahan semua kenyataan yang lebih dulu menyerangku. Aku tak bisa lagi membedakan rasa sakit fisik atau bathin yang kurasakan saat ini. Tak ada lagi batas antara logika dan perasaan, batas itu sudah menghilang. Ketakutan yang selama ini aku hindari, akhirnya terjadi. Semua ini terasa bagai tendangan dan pukul yang menghantam tubuhku. Tak ada lagi bagian tubuhku yang tak pernah merasakan sakit. Kepala, badan, tangan, kaki serta hatiku semuanya merasakan sakit. Lengkap sudah kejutan yang Kevin tunjukkan kepada. Sekarang aku benar-benar sudah menjadi pecundang yang telah dipecundangi.
“Hei, kamu melamun?” Kevin menepuk pundakku. Sekarang dia telah berada dihadapanku bersama gadis itu, tangannya masih menggenggam tangan gadis itu.
“Engga kok. Oh ya, selamat ya untuk kalian berdua. Kevin benar-benar member kejutan yang tak pernah kuduga.” Aku tersenyum pahit atas kata-kata yang baru saja keluar dari bibirku. Sekarang aku merasa mata ku sangat berat, sepertinya ada sesuatu yang ingin menerobos keluar. Aku menundukkan kepalaku, berharap saja benda itu tak akan pernah keluar.
“Aku belum kenalin ke kamu ya, dia Olivia Prastya Rahayu. Gadis yang benar-benar membuat menajdi orang yang bodoh.” Kevin tersenyum mengenalkan kekasih hatinya padaku, gadis itu juga tersenyum manis padaku.
“Jadi, tadi apa yang ingin kamu bicarakan?” Dia masih penasaran dengan hal tadi ingin aku ungkapkan. Aku menarik tangan kanan ku perlahan yang menggenggam kotak kecil biru tadi, lalu menempatkan tangan kananku dibawah meja.
“Maaf Kevin, aku harus pergi sekarang. Ada hal mendadak yang perlu kuurus. Maaf ya. Selamat untuk kalian, semoga kalian bahagia.” Aku beranjak dari tempat itu dengan tergesa-gesa. Akhirnya aku bisa pergi dari meja penghakiman yang membuatku sangat tersiksa. Aku harus cepat-cepat keluar dari tempat ini, karena bisa saja aku roboh di tempat mengerikan ini.
“Tunggu. Andre tunggu.” Aku bisa mengendengarnya teriak memanggilku, tapi aku tak peduli dan terus beranjak pergi dari café ini.
Aku menabrak beberapa pengunjung saat aku beranjak keluar dari café ini. Aku tidak bisa lagi berpikir secara jernih, fokus ku sudah hilang entah sejak kapan. Yang lebih parah, aku sempat menabrak pelayan yang sedang membawa hidangan, tentu saja pelayan itu jatuh dan hidangan yang ada di tangannya tumpah kemana-mana. Dia berteriak kesal padaku, tapi sama sekali aku tak peduli. Yang aku pedulikan saat ini aku ingin keluar dari tempat ini. Akhirnya aku sampai juga di pintu keluar café ini, aku harus cepat bergegas pergi. Hatiku sudah sangat pedih menerima kenyataan ini. Andai saja, aku terus menjadi pengecut dengan menyembunyikan perasaanku, mungkin sekarang aku tidak akan merasa sesakit ini.
Setelah keluar dari café ini, aku terus berlari tanpa peduli lagi keadan sekitarku. Aku berlari melewati jalan raya yang kondisinya tak begitu padat dengan kendaraan yang lalu lalang. Aku melewati jalan raya itu, tanpa sadar jika ada mobil yang sedang melaju kencang ke arahku. Aku masih sempat mendengar Kevin berteriak, sebelum akhirnya BUKKKKK…
Kevin POV
Aku pergi mengejar Andre yang terburu-buru meninggalkan café ini. Sempat beberapa kali dia menabrak pengunjung dan pelayan di café ini. Dia masih berlari tergesa-gesa, aku binging hal apa yang membuatnya sampai tergesa-gesa seperti ini. Saat aku baru keluar dari café, Andre sudah lari dan dia akan menyebrang jalan jalan raya. Aku masih mengejarnya, sampai aku melihat ada sebuah mobil yang melaju kencang dari arah belakangnya tapi sepertinya dia tak menyadari itu.
“Andrea awassssss…” Aku berteriak sekencang mungkin untuk memperingatinya.
BUKKKKK… Aku melihat tubuh kecil itu tertabrak mobil, sehingga Andrea terpelanting ke pinggir jalan dengan bersimbah darah. Aku sekuat tenaga berlari mengejar Andrea. Aku panik sekali ketika mendapati Andre tak sadarkan diri. Aku meletakkan tubuh kecil itu di pangkuan. Darah segar terus mengalir dari kepala. Aku kalut sekali, bagaimana mungkin ini bisa terjadi. Bagaimana mungkin kecelakaan ini menimpa sahabatku sendiri.
Aku ingat dulu ketika dia menyelamatkan nyawaku, tapi sekarang aku malah tak bisa menyelamatkan nyawanya. Ingat bagaimana dia mengorbankan dirinya, meskipun saat itu kami tak kenal satu sama lain. Sejak saat itu aku mengganggapnya penolong di hidupku. Aku melalui hari-hariku sampai saat ini selalu bersamanya. Aku belum sempat membalas apa yang telah dia lakukan di masa lalu. Harusnya aku bisa menyelamatkannya saat ini, atau paling tidak mungkin aku bisa menggantikannya agar aku saja yang harus tertabrak.
Tangannya bergerak, lalu aku melihat wajahnya. Dia masih sadarkan diri.
“Ndre, kamu jangan tinggalin aku ndre.” Air mataku jatuh, aku mulai terisak. Aku benar-benar tak ingin kehilangan dia.
“Maaf ya Kevin. Aku terlalu takut, bahkan untuk mengungkapkan perasaanku.” Dia berkata pelan.
“Aku selalu menyayangi kamu sampai kapanpun.” Dia tersenyum kepadaku, masih dengan keadaan yang mengenaskan. Dia menggenggam tangan ku dengan lemah, lalu memberikan sebuah kotak kecil berwarna merah. Perlahan-lahan senyumnya memudar, lalu kedua matanya menutup. Tubuhnya tak bergerak. Aku mengecek denyut nadinya, hasilnya nihil.
Badanku bergetar hebat. Aku diam membisu, tak ada lagi bagian dari tubuhku yang dapat digerakkan. Rasanya tubuhku bagai disambar petir, melihat orang yang selama ini sahabat, aku juga mengangapnya sebagai saudaraku tewas mengenaskan di depan mataku. Aku benar-benar kehilangan sosok seorang sahabat yang selalu menemani hari-hariku. Ada bagian dari dadaku yang benar-benar terasa nyeri. Otakku tak bisa berpikir, yang ada dipikiranku sekarang hanya Andre. Tubuh kecil itu telah benar-benar diam tak bergeming, tanpa jiwa. Yang sentuh sekarng hanya sekedar raga, tanpa entah kemana jiwa si empunya nya. Dada ku sesak, terasa sesak yang luar biasa yang tak bisa kuungkapkan dengan kata-kata. Aku merasa sebentar lagi badan, yang menopang semua beban di dadaku akan roboh. Perlahan, dunia sekitarku terlihat lebih gelap, lalu kemudian kegelapan menyelimuti semuanya. Aku tak bisa merasakan apapun sekarang.
Tiga hari, tujuh puluh dua jam sesudah itu.
Sudah tiga hari aku masih duduk meringkuk di tempat tidurku. Aku diam, lalu diam dan terus diam. Aku tak ingin melakukan apapun selain tetap diam dalam kondisi ini. Tiga hari itu pula aku tak makan ataupun sekedar mengisi tenggorokkan yang telah haus. Aku haus, tapi tubuh dan pikiranku tetap tak bereaksi atas dahaga yang sedang kurasakan. Selama tiga hari itu juga pikiran ku selalu mem-flashback kenanganku akan sahabatku, Andre. Mengingat setiap detail memori saat bersamanya, tak ada satupun yang terlewatkan di pikiranku. Mengumpulkan kembali setiap memori itu lalu menyusunnya kembali, menjadi satu puzzle yang utuh. Tiap memori yang terputar di otakku, memberikan suatu rasa perih di dadaku. Semua itu terasa sangat kontras jika aku terus menerus memutar semua memori yang ada. Aku butuh anastesi, agar setiap memori yang kuputar tak memberikan rasa sakit sama sekali.
Andre menyukai warna merah, aku sangat hafal warna favoritnya itu. Apapun yang berwarna merah, terlihat sangat menarik di depan matanya. Aku ingat, waktu itu ketika ulang tahunnya ada salah seorang teman yang memberikan sebuah kado padanya. Aku kira isi kado itu adalah barang mewah, tapi ternyata hanya secarik kertas yang berisi ucapan ulang tahun ditulis dengan tinta berwarna merah dengan model tulisan tangan yang indah. Dia sangat menyukai hadiah. Dia berkata bahwa dari semua hadiah yang dia terima, kertas ucapan itu adalah favoritnya. Anak bodoh itu rela membiarkan semua hadiah yang dia dapat, demi secarik kertas itu.
Sudah tiga hari itu juga aku masih belum membuka kotak kecil berwarna merah yang Andre berikan padaku, sebelum ia meninggal. Aku melihat kotak itu masih berada di tempat yang sama saat aku meletakkannya, di atas sebuah meja kecil disebelah tempat tidur. Hati kecilku tergerak ingin tahu, apa yang sebenarnya ingin ia berikan padaku. Aku berpikir mungkin saja malam itu Andre ingin memberikannya pada, tapi dia membatalkannya lalu pergi dari hadapanku.
Aku bangkit perlahan dari tempat tidur perlahan, tubuh rasanya sulit sekali digerakkan. Aku mengambil kotak kecil, lalu dengan perlahan membukanya. Flashdisk. Isinya hanya sebuah flashdisk. Entah sebenarnya apa yang ingin dia beritahukan pada lewat flashdisk ini. Aku mengambil notebook yang kuletakkan disamping kotak kecil itu. Kuhidupkan notebook, aku menunggu sebentar lalu mencolokkan flashdisk itu ke notebook. Ku buka flashdisk itu dengan mengkliknya. Hanya ada sebuah video yang tersimpan disana. Aku sebenarnya ragu untuk memutar video itu, tapi karena rasa penasaran yang amat sangat besar, lalu aku memutarnya.
Aku melihat seorang seorang laki-laki berkacamata datang membawa sebuah tempat duduk dan duduk di depan kamera. Aku mengenal laki-laki berkacamat itu, dia Andre. Tak lama kemudian, datang seorang gadis berambut pendek memegang gitar, menyerahkan gitar pada Andre, lalu mengambil tempat duduk dan duduk disebelahnya. Gadis ini, aku mengenalnya. Dia Viola, salah seorang sahabat Andre yang lain. Satu kelas bersama Andre, namun beda fakultas denganku. Andre mengambil nafas, lalu menengok ke arah Viola; yang tersenyum kepadanya. Perlahan tapi pasti, Viola mulai memetik gitarnya dan mengalun sebuah lagu yang samar-samar kukenal. Setalah masuk din intro, Andre mulai menyanyikan sebuah lagu.
Loving him is like driving a new
Maserati down a dead end street
Faster than the wind,
Passionate as sin, ending so suddenly
Loving him is like trying to change your mind
Once you’re already flying through the free fall
Like the colors in autumn
so bright, just before they lose it all
Suaranya yang terasa lembut menyentuh telinga dengan petikan gitar dari Viola, seolah menghipnotisku untuk tetap diam mendengarkan dia bernyanyi. Dengan senyum yang selalu terpancar dai wajahnya, dia terus menyanyikan lalu. Aku merasa seperti ada suatu emosi yang mengalir ketika dia menyanyikan lagu ini.
Losing him was blue, like I’ve never known
Missing him was dark grey, all alone
Forgetting him was like trying to know somebody you never met
But loving him was red
Loving him was red
Touching him was like realizing all you ever wanted was right there in ront of you
Memorizing him was as easy as knowing all the words to your old favorite song
Fighting with him was like trying to solve a crossword and realizing there’s no right answer
Regretting him was like wishing you’d never found out that love could be that strong
Losing him was blue, like I’ve never known
Missing him was dark grey, all alone
Forgetting him was like trying to know somebody you never met
But loving him was red
Oh, red Burning red
Remembering him comes in flashbacks, in echoes
Tell myself it’s time now, gotta let go
But moving on from him is impossible
when I still see it all in my head
Burning red
Loving him was red
Oh, losing him was blue, like I’ve never known
Missing him was dark grey, all alone
Forgetting him was like trying to know somebody you never met
‘Cause loving him was red Yeah, yeah red
Burning red
And that’s why he’s spinning round in my head
Comes back to me, burning red
Yeah, yeah
‘Cause love was like driving a new Maserati down a dead end street
Entah apa yang ingin dia utarakan lewat lagu ini, aku masih belum munegrti apa yang ingin ia utarakan. Tapi satu yang pasti dia menyanyikan lagu ini dengan penuh penghayatan, serta emosi yang sangat terasa. Ketika di bagian akhir lagu ini, dia sempat menitikkan air mata. Mungkin ini merupakan salah satu ciri jika ia sangat menghayati lagu ini. Selesai menyanyi ia menghapus air mata itu dengan telunjuknya. Viola beranjak dari tempat duduknya dan pergi dari rekaman layar kamera. Hanya tinggal Andre yang masih duduk di layar kamera itu. Dia masih diam bergeming dan menundukkan kepala. Beberapa saat kemudian, dia menaikkan kepalanya lalu menatap layar kamera dengan pandangan serius; tak seperti saat ia bernyanyi tadi.
“Jika kamu sekarang menyaksikan aku bernyanyi dan sekarang melihatku berdiri di depan layar kamera ini, itu pasti tandanya kamu telah membuah sebuah kotak yang aku berikan padamu.” Ia menghela nafas sebentar, lalu kembali berbicara. Aku masih memperhatikannya .
“Kamu ingat tiga tahun yang lalu, bagaimana kita bisa kenal satu sama lain sampai saat ini. Iya, itu dimulai ketika aku menyelamatkan dari minibus yang hampir menabrakmu. Kita terluka karena menghindari minibus itu dan semenjak itu kita saling mengenal bukan? Menghabiskan waktu bersama selama tiga tahun, membuat aku tahu tentang kebiasaan. Itu membuat kita saling mengenal lebih dalam satu sama lain.
Aku sudah menyimpan beberapa rahasia kecil yang tak kamu tahu selama kita bersahabat. Berarti sudah hampir tiga tahun aku menyimpan rahasia itu? Apa itu bisa masuk catatan rekor? Hehehe, aku juga berpikir tidak. Aku minta maaf karena telah merahasia ini darimu selama tiga tahun. Bukan karena aku tak ingin memberitahukan itu kepadamu, hanya saja aku belum mempunyai alasan yang kuat untuk memberitahu waktu itu. Tapi sekarang aku sudah mempunyai alasan yang kuat untuk memberitahumu.
Kamu tahu selama kita bersama ada kebahagiaan kecil yang aku rasakan? Kebahagian kecil kecil, ketika aku mempunyai seorang sahabat yang bisa mengerti kondisi seperti kamu. Namun lama-kelamaan ada suaturasa lain yang hinggap antara rasa persahabatan itu. Waktu itu aku berpikir mungkin itu hanya rasa nyaman ketika aku bersamamu. Rasa itu tumbuh dan berkembang menjadi satu perasaan yang berbeda. Perasaan yang selalu ingin bersamamu, tak ingin jauh darimu, lalu ada suatu rindu yang mengalir di tubuhku ketika aku tak melihatmu. Aku tahu ini salah, sesuatu yang salah yang seharusnya tak terjadi. Aku mencoba menangkis perasaan itu dan coba menyembunyikannya.
Namun bagai menabur angin dalam badai, perasaan itu makin kuat melekat dalam hatiku. Berkali aku mencoba membuangnya, berkali lipat pula perasaan itu datang kembali. Yang bisa kulakukan saat ini hanya memendamnya. Pada akhirnya, aku sampai pada titik dimana aku tak lagi mampu menahannya. Sepertinya semua langkah yang kuambil malah membuat tersesat. Beberapa kali ada sebuah pikiran untuk menyatakan perasaanku padamu, tapi ragu. Aku terlalu takut menerima kenyataan jika pada akhirnya kamu membenci, karna hal ini. Aku terlalu pengecut untuk mengakui perasaan padamu, juga aku tak ingin mengambil resikonya.
Tapi sekarang, aku sudah menyiapkan mentalku. Sekarang ini aku duduk disini ingin jujur padamu. Aku tak ingin lagi menjadi pengecut, yang hanya mampu menyembunyikan perasaannya. Dinding yang sudah kubangun, siap menahan suatu kenyataan jika pada akhirnya kamu akan membenciku. Aku yang dulu pernah berkata bahwa kamu adalah sahabatku, ingin memperbaiki kata ‘sahabat’ itu. Aku ingin memperbaiki kata itu menjadi ‘orang yang mencintaimu.’ Ya, aku benar-benar mencintaimu. Aku sudah mencoba cara agar ini tak benar-benar terjadi, tapi ternyata hasilnya nol. Aku bahkan tak bisa lari dari dari perasaanku.
Aku tak peduli jika pada akhirnya kamu akan membenci. Kamu seharusnya tahu apa yang sebenarnya terjadi disini. Aku benar-benar tulus mencintai kamu. Aku tak berharap kamu akan membalas perasaanku. Melihatmu tertawa, tersenyum, menangis dan bahagia itu merupakan ari cinta yang sesungguhnya. Terlalu egois jika aku harus memaksakaan perasaan, tapi dengan begini pun; aku sudah cukup bahagia dengan yang cinta yang kumiliki untukmu.
Lagu yang kunyanyikan itu merupakan salah satu cara mengekspresikan bagaimana sesungguhnya perasaanku. Kamu seperti warna merah yang selalu bisa membuatku tersenyum dan berkata “Semuanya akan baik-baik saja.”, ketika aku menemui suatu masalah di hidupku. Semuanya terasa mudah ketika aku tahu jika aku memilikimu, walapun hanya sebatas seorang sahabat. Tapi aku bersyukur karena Tuhan telah memberikanku kebahagiaan yang lain.
Sepertinya untuk mengutarakan perasaanku saja, aku harus sampai curhat sepanjang ini. Hehehe. Semoga kamu berkenan mendengarkan curhatan konyolku ini. Meskipun suatu saat nanti jika kita terpisah, aku selalu ingat bahwa kamu pernah menjadi bagain hidupku yang lain. Terimakasih banyak untuk segelintir kebahagian yang kamu buat untukku, Kevin Pramudya Pratama.”
Aku terlalu terkejut untuk mengetahui semua kenyataan ini. Kenyataan yang selama hampir tiga tahun ini dipendamnya. Bodoh sekali! Harusnya aku tahu apa yang ingin dia sampaikan. Harusnya aku lebih peka. Membiarkan bagian terpenting dihidupku, memendam perasaanya selama itu. Otakku tak bisa mencerna apa-apa lagi. Yang kutahu sekarang, apa aku bisa membalas perasaan itu. Membalas setiap memori yang dia rasakana, lalu dipendamnya sendiri.
Tanpa batas yang jelas, aku baru menyadari sepertinya ada perasaan lain yang timbul tanpa sepengatahuan nalarku. Rasa kehilangan yang begitu menyiksa ini membuatku sadar, seperti apa harusnya aku menempatkan Andre di hidupku. Percuma! Semuanya sudah terlambat untukku. Jika aku diberi kesempatan untuk menemuinya lagi, mungkin aku akan mengatakan jika dia salah kebahagiaan yang hadir dalam hidup dan mengisi hari-hariku. Andrean Naufal, maafkan aku karena aku belum sempat membalas perasaanmu.
Aku belajar sesuatu semua yang telah terjadi, karena semua hal itu membuatku sadar jika cinta selalu daang dalam kondisi dan waktu yang tak selalu tepat. Dia selalu hadir karena orang-orang membutuhkannya. Disisi lain aku menyadari, jika seharusnya cinta itu harusnya diperjuangkan. Aku hanya bisa berharap, semoga tak ada lagi orang-oarang diluar sana yang membiarkan perasaan mereka terpendam sia-sia karena rasa takut akan kegagalan.
Maklumin ya gan, karya pertama ane. Wk.
Iya gan. Udah dapet ide cerita, mungkin minggu depan mau ngepost cerita baru.
gimana rasanya kalau di tambah 1 tahun lagi ? Yup aku mulai menyukai sesama sahabat ku sejak kelas 2 Sd pas tamat sd kami pisah sampai sekarng gak pernah ketemu
#hehe curhat sedikit, soal nya teringat masa lalu