It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Sejak kejadian di malam tahun baru itu, sudah hampir dua minggu ini Habibi tidak mau bertemu dengannya. Jangankan untuk bertatap muka, sekedar membukakan pintu apartemen untuknya saja ia tidak mau. Ia tidak tahu harus melakukan apalagi agar Habibi mau memaafkannya. Bahkan sms dan telepon darinya pun tidak pernah sekalipun di jawab olehnya.
Setelah mengetahui kejadian yang sebenarnya, ia menjadi merasa bersalah telah bertindak konyol dengan sudah memukul wajah Ishikawa Hiro, pria yang baru beberapa hari di kenalnya lewat acara makan bersama di malam natal di apartemen Haruka waktu itu.
Dengan perasaan bersalah ia pergi menemui Ishikawa Hiro dirumah yang pernah ia datangi di malam pergantian tahun. Dengan agak ragu dan malu, ia meminta maaf pada pria itu. Awalnya Ishikawa Hiro kaget dengan kedatangan Akio, tapi ia bisa dengan segera mengontrol dirinya. Walaupun pelipisnya masih sakit dan agak memar, tapi akhirnya ia pun memaafkannya.
"Apa mungkin yang dikatakan Daniel itu benar ya? Apa benar sekarang orientasiku berubah? Aaahh... Tidak mungkin? Ini tidak mungkin terjadi. Pasti ada kesalahan. Aku yakin, pasti ada kesalahan. Mana mungkin menyukai Habibi?" pikirnya mencoba melawan perasaannya sendiri.
Tapi akio tidak bisa menyembunyikan kegelisahan hatinya yang sangat kacau karena Habibi belum mau memaafkannya. Saat ia ingin bersikap acuh, perasaannya malah semakin uring - uringan. Setiap kali ia keluar dari apartemennya, matanya selalu terfokus pada pintu apartemen yang ada di depannya. Berharap pintu itu terbuka dan menampakkan sosok pria yang sangat ia rindukan sambil tersenyum indah kearahnya.
Tapi sayang, harapannya itu sia - sia. Pintu itu tidak pernah terbuka untuknya. Ingin rasanya ia berteriak agar tetangganya itu tahu kalau ia benar - benar menyesal dengan perbuatannya malam itu.
"Tolong katanya padanya kalau aku benar - benar menyesal." sahutnya pada Haruka yang memergokinya tengah menatap pintu apartemen Haruka.
"Aku ingin minta maaf padanya." sambungnya lagi dengan wajah sedih. Penampilannya sangat kacau dengan kantong mata yang agak hitam karena kurang tidur.
"Baiklah, aku akan sampaikan kepadanya." jawab Haruka sesaat sebelum ia masuk ke dalam apartemen Habibi.
Tadinya ia ingin menerobos masuk saat Habibi membukakan pintu untuk gadis itu. Tapi dengan cepat gadis itu mencegahnya. Ia pun mengurungkan niatnya dan memilih untuk menunggu kabar dari gadis itu. Harapannya kini bergantung pada Haruka. Ia berharap Haruka mau membujuknya sehingga ia mau menemui dan memaafkannya.
* * * Habibi * * *
"Ceritakan padaku tentang Yamada Hachiro." pintanya pada Ishikawa Hiro saat mereka janji bertemu disalah satu cafe di Omotesando, Harajuku.
Setelah tiga minggu tidak mau bertemu, akhirnya ia menelepon seniornya itu dan mengatur janji untuk bertemu di cafe tempat Haruka bekerja.
"Apa yang harus aku ceritakan?" tanyanya pada Habibi yang duduk di depannya.
"Semuanya. Ceritakan semua yang kau ketahui tentang dia."
Ishikawa Hiro menarik napas panjang dan membuangnya perlahan dari mulutnya. Ia mencoba mengatur napasnya agar dapat bernapas dengan teratur.
"Baiklah." jawabnya.
"Aku mendengarkan." sahutnya sambil membenarkan posisi duduknya.
Haruka memilihkan tempat duduk agak privasi, agar mereka dapat berbicara dengan leluasa tanpa harus terganggu oleh orang lain. Dari kejauhan, gadis itu sesekali memperhatikan kedua pria tersebut sambil terus melayani pelanggan.
"Aku mengenal Yamada Hachiro saat ia berpacaran dengan Hana sekitar delapan tahun yang lalu. Yang aku tahu, saat ia berumur lima belas tahun, ia ikut kedua orang tuanya pindah ke Seoul, Korea Selatan dua bulan setelah saudara kembarnya meninggal dunia."
"Saudara kembar?" selanya.
"Iya. Aku pernah memberitahumu kan?" Habibi mengangguk mengiyakan.
"Siapa nama saudaranya?"
"Aku tidak ingat namanya siapa. Yang jelas, setiap tahun dia akan pulang ke Jepang untuk berkunjung ke makam saudara kembarnya itu."
"Apa pekerjaannya?" tanyanya antusias.
"Dokter. Dia seorang dokter di Seoul. Hana bertemu dengannya saat ia berlibur bersama teman - temannya di Korea Selatan."
"Apalagi? Apalagi yang kau tahu tentang dia? Apa ia pernah bercerita kalau dulu ia pernah bertemu dengan pemuda dari Indonesia?" tanyanya penuh harap. Ishikawa Hiro menggelengkan kepalanya.
Habibi menahan airmatanya. Hatinya sesak dan terasa berat hingga untuk bernapas saja terasa sulit. Ia memegang dadanya mencoba untuk mengontrol diri agar tetap tenang. Ia tidak ingin terlihat semakin menyedihkan di mata seniornya.
"Maafkan aku. Cuma itu yang aku ketahui tentang dia."
"Tidak apa - apa." jawabnya lirih berusaha tersenyum namun gagal.
"Aku tahu bagaimana perasaanmu saat ini, Habibi-chan. Tapi itu bukan berarti kau harus menyiksa dirimu seperti ini. Kau perlu makan agar tetap hidup." ocehnya saat Habibi tak menyentuh sedikit pun makanan yang telah dibuatnya.
"Aku tidak selera makan, oneechan." jawabnya lemah semakin merapatkan selimut tebal yang menyelimuti tubuhnya.
"Apa kau ingin mati, ha?" ujarnya kesal.
"Mungkin itu yang aku butuhkan." jawabnya datar mencoba kembali memejamkan mata. Tapi Haruka kembali menganggunya dengan menarik selimutnya.
"Dasar gila. Apa kau kira dengan kau mati, maka masalahmu akan selesai?"
"Setidaknya aku tidak akan memikirkan ini lagi." ia kembali menarik selimutnya tapi Haruka mencegahnya.
"Kau harus mengikhlaskannya pergi."
"Apa kau menyuruhku untuk melupakannya?" tanynya spontan bangkit dari tidurnya dan mulai duduk di atas tempat tidurnya.
"Aku tidak menyuruhmu untuk melupakan Yamada Hachiro, karena itu tidak mungkin kau lakukan. Aku hanya menyuruhmu untuk mengikhlaskan dia pergi. Dengan begitu hatimu akan menjadi tenang." ujarnya berusaha bersikap bijak.
"Tidak ada gunanya kau menyesali apa yang telah terjadi. Bagaimana pun juga, Yamada Hachiro tidak akan bisa hidup lagi. Sekarang yang harus kau pikirkan adalah masa depanmu."
"Masa depan?"
"Iya masa depanmu. Cobalah untuk membuka hatimu untuk seseorang."
"Aku tidak bisa melupakannya."
"Kau tidak harus melupakannya. Yang harus kau lakukan adalah menyimpannya di dalam lubuk hatimu yang dalam. Dan biarkan seseorang untuk mengisi belahan hatimu yang lainnya."
"Apakah ada yang mau denganku?" tanyanya setelah hening beberapa saat.
"Pertanyaannya bukan itu. Tapi seharusnya, apakah kau mau membuka hatimu untuk seseorang yang baru?" Habibi kembali terdiam sambil merenungi perkataan tetangga wanitanya itu.
"Untuk saat ini, kau tidak perlu memikirkan itu dulu. Yang harus kau lakukan sekarang adalah mengisi perutmu dengan makanan." Ujarnya sambil meraih mangkok yang berisikan bubur buatannya. Lalu ia menyendok sedikit bubur dan mengarahkan pada pria di hadapannya.
"Sekarang buka mulut, aaa..." ujarnya membujuk Habibi untuk membuka mulutnya.
"Aku tidak berselera makan, oneechan." tolaknya dengan membuang mukanya.
"Aish... Bagaimana kau bisa memikirkan masa depanmu, kalau perutmu kosong?" ujarnya agak ketus. Habibi tetap diam tidak membuka mulutnya.
"Hei, Habibi-chan. Apa aku harus menciuammu dulu baru kau mau membuka mulutmu?"
"Itu tidak lucu, oneechan." sahutnya membuang muka.
"Memang tidak lucu, tapi lumayan bisa mengobati rasa penasaranku selama ini." Habibi menoleh bingung kepadanya. Yang ditatap malah tertawa nyengir.
"Selama ini aku penasaran, bagaimana rasanya berciuman denganmu? Hehehe." Habibi agak terkejut lalu mendesah lirih sambil memutar bola matanya dengan malas.
"Ayolah sedikit saja." bujuknya sekali lagi sambil menyodorkan bubur tepat di dekat mulut Habibi.
Dengan terpaksa Habibi membuka mulutnya lalu membiarkan sendot yang berisikan bubur masuk ke dalam mulutnya.
"Rasanya hambar." komentarnya.
"Aku memang sengaja tidak memberikan bumbu penyedap pada buburnya. Aku ingin tahu, apakah kau akan mengomentarinya atau tidak." Habibi menatapnya bingung.
"Kalau aku tidak mengomentarinya, bagaimana?"
"Berarti aku harus siap - siap membawamu ke dokter ahli kejiwaan. Hahaha." Habibi tertawa mendengarnya.
*****
"Pertama - tama kau harus menemui Akio." sahut Haruka sambil membereskan mangkok dan gelas air minum bekas makanan Habibi. Jiwa pembantunya kumat. Hehehe ...
"Menemui Akio?" tanyanya menyandarkan punggungnya ke dinding kamar tidurnya.
"Iya. Kau harus memaafkannya. Walaupun apa yang dilakukannya itu salah, tapi ia sudah mengakuinya kan. Lagipula, kau pernah bilang padaku kalau dalam agamamu, orang yang tidak mau memaafkan orang lain lewat dari tiga hari. Maka ia akan berdosa, iyakan?" sahutnya agak berteriak dari arah dapur. Suara air mengalir terdengar dari westafel.
"Oneechan masih ingat itu? Kan sudah lama sekali?" tanyanya datang menghampir Haruka yang tengah mencuri bekas makanannya di dapur.
"Aku kan pengemarmu, Habibi-chan." jawabnya dengan suara manja. Matanya ia kedip - kedipnya sambil tersenyum lebar padanya.
Habibi mendesah lirih.
"Tapi, masih ada yang menganggu pikiranku?"
"Apa?" Haruka menyimpan bekas makanan Habibi yang sudah di cucinya di laci penyimpanan. Ia kemudian mengeringkan tangannya yang basah dengan celemek yang masih di pakainya.
"Untuk apa Akio datang malam itu? Darimana ia tahu rumah Ishikawa senpai?" tanyanya agak lirik. Matanya menerawang. Mereka memilih untuk duduk di ruang tengah.
"Itu juga yang menganggu pikiranku sampai sekarang." Habibi kembali mendesah lirih.
"Apa yang ia katakan padamu malam itu?" tanya Haruka. Habibi mencoba mengingat - ingat kejadian sesaat setelah Akio menyeretnya masuk kedalam mobil dan membawanya pergi dari rumah Ishikawa Hiro.
"Melindungimu?" sahut Haruka. Habibi mengangguk.
"Untuk apa dia melindungimu?"
"Itu yang aku tidak tahu." jawabnya sambil mengangkat bahu.
"Bukankah kau juga seorang laki - laki, sama sepertinya? Jadi, buat apa dia melindungimu? Seorang laki - laki melindungi laki - laki lain?" tanyanya tambah bingung.
"Yang jelas dia bukan bodyguard ku." sahut Habibi dengan cepat.
* * * Habibi * * *
Sebenarnya ia masih ragu bila harus menemui Akio. Tapi, Haruka mendesaknya untuk datang menemuinya. Ia juga bingung dengan teman wanitanya itu. Bukankah Akio yang bersalah? Lalu, kenapa harus ia yang menemui Akio? Kenapa bukan pria itu yang datang menemuinya. Pikirnya agak kesal.
"Memaafkan jauh lebih baik kan?" jawabnya dengan senyum lebarnya.
Karena itulah, akhirnya ia sekarang ada di depan pintu apartemen Akio. Ia menarik napas panjang dan membuangnya perlahan. Ia harus menenangkan hatinya yang tiba - tiba berdebar sangat kencang. Kenapa setiap kali berurusan dengan tetangganya itu, jantungnya selalu berdebar kencang. Rasa gugup mulai menyerang pertahanannya.
Sudah beberapa kali ia mengetuk pintu apartemen Akio, tapi tidak ada balasan dari pria itu. Apa dia tidur? Atau sedang keluar ya? Atau jangan - jangan..?
Ia mencoba menepis pikiran buruknya terhadap Akio.
"Habibi?" sahut seorang pria di belakangnya. Suara itu sangat dikenalinya. Ia segera berbalik kearah sumber suara itu.
"A.. Ak.. Akio.." ujarnya gagap. Jantungnya semakin berdebar kencang saat tiba - tiba Akio memeluk erat tubuhnya sampai - sampai ia susah bernapas.
"Akhirnya kau keluar juga." sahutnya girang.
"Aku..." ujarnya tertahan.
"Aku minta maaf, Habibi. Aku tahu aku salah. Tolong maafkan aku." mohonnya agak terisak. Tubuhnya masih menempel ditubuh mungil Habibi.
"Aku.. T.. Tidak bisa bernapas, Akio." Seketika Akio yang sadar lalu segera melepaskan pelukannya.
"Alhamdulillah, aku bisa bernapas lagi." sahutnya dalam bahasa Indonesia.
"Maaf. Aku terlalu bahagia melihatmu." sahutnya tersenyum gembira sambil berkacak pinggang.
"Kau darimana? Aku daritadi mengetuk pintu apartemenmu? Aku sudah kedinginan sampai tubuhku membeku karena menunggumu." ujarnya mengeluh.
"Aku tadi pergi keluar sebentar." jelasnya. Mulut Habibi membentuk huruf O.
"Apa kau sudah mau memaafkanku?" tanyanya hati - hati.
"Aku..."
"Aku tahu kau masih marah padaku karena sikapku yang bodoh malam itu. Kau berhak menghukumku, Habibi. Tapi setelah itu aku mohon, tolong maafkan aku." ujarnya dengan wajah memelas sambil menatap wajah Habibi.
Untuk beberapa saat mata mereka saling beradu. Habibi ingin mencari sesuatu dari sorot matanya. Sesuatu yang beberapa hari ini selalu menganggu pikirannya.
"Aku sudah memaafkanmu, Akio."
"Benarkah? Kau mau memaafkanku?" tanyanya tak percaya. Habibi mengangguk mengiyakan.
"Terima kasih. Terima kasih, Habibi." sekali lagi ia memeluk tubuh mungil Habibi. Tapi kali ini pelukannya penuh kelembutan. Habibi bisa merasakan kelembutan itu.
"Tapi, aku ingin bertanya satu hal padamu?" ucapnya sambil melepaskan pelukan Akio.
Kali ini mereka berbicara dalam bahasa Indonesia. Ia sengaja menggunakan bahasa Indonesia, karena ia melihat Haruka tengah menguping pembicaraannya dengan Akio dari pintu apartemennya.
"Apa?" jawab Akio juga berbahasa Indonesia.
"Kenapa kau mau melindungiku malam itu?"
Akio terdiam. Matanya menatap penuh arti pada pria yang ada di hadapannya itu?
"Kenapa kau begitu peduli padaku?" sambungnya.
Akio mengcoba menarik napas lalu secara perlahan ia mengeluarkan napasnya melalui mulut sehingga asap putih keluar dari mulutnya. Ia mengontrol agar detak jantungnya tetap berdetak normal, tapi gagal. Jantungnya berdetak sangat kencang.
"Apa alasanmu Akio?" tanyanya tidak sabar.
Akio menelan ludahnya sendiri. Rasa gugup sangat kuat menyerangnya. Ia tidak tahu harus mulai darimana mengatakannya. Ia menatap wajah Habibi yang serius menanti jawaban darinya.
"Kenapa diam saja? Jawab. kenapa?" desaknya.
"Aku tahu ini akan membuatmu terkejut, tapi..."
"To the point aja." potongnya. Akio kembali diam.
"Jawab." sahutnya kesal.
"Alasannya karena aku mencintamu." jawaban itu keluar begitu saja dari mulutnya.
Habibi sangat terkejut mendengarnya.
"A.. Ap.. Apa? Kau bilang apa tadi?" tanyanya ingin memastikan.
"Iya. Aku menyukaimu, Habibi. I love you." jawabnya mantap sambil memegang tangan Habibi.
Sentuhan jemari tangan Akio membuatnya merasa hangat.
"Tapi..."
"Jangan tanyakan padaku, mengapa aku bisa jatuh cinta kepadaku. Karena aku juga tidak tahu jawabannya. Yang aku tahu, aku mencintaimu dan itu sudah cukup."
Habibi tidak bisa berkata apapun. Ia sama sekali tidak menyangkah kalau Akio bisa mencintainya.
"Tapi aku..."
"Aku tahu kau mencintai orang lain." Habibi menatap heran pada Akio.
"Kau masih belum bisa melupakan Yamada Hachiro kan?" sahutnya datar agak lirih.
"Darimana kau bisa tahu?" tanyanya heran tak percaya kalau Akio bisa tahu tentang cinta pertamanya itu.
"Kalian sedang membicarakan apa? Kenapa pakai bahasa Indonesia? Jangan bikin aku penasaran." tanya Haruka dengan memakai bahasa isyarat mata.
"Tidak apa - apa. Nanti akan aku ceritakan." balas Habibi juga dengan bahasa isyarat mata.
Terkadang ia merasa heran sendiri. Bagaimana mungkin, ia dan Haruka bisa berkomunikasi lewat isyarat mata. Padahal mereka tidak ada hubungan keluarga sama sekali. Tapi, mengapa mereka bisa melakukan itu seperti anak kembar yang mempunyai kekuatan teletapi.
"Dari Ishikawa Hiro." jawabnya datar.
"Ishikawa senpai?" tanyanya dengan dahi berkerut. Ia melepaskan gengaman tangan Akio dari tangannya.
"Iya. Aku pergi menemuinya untuk meminta maaf padanya. Lalu ia menceritakan padaku tentang kejadian malam itu." jelasnya.
"Jadi, Ishikawa senpai yang memberitahumu?" sahutnya lirih. Akio mengiyakan.
"Habibi." seruhnya.
Akio kembali meraih jemari Habibi lalu mengenggamnya erat penuh kehangatan. Habibi kembali merasakan kehangatan sentuhannya menjalar keseluruh tubuhnya.
"Aku tidak akan memintamu untuk melupakan cinta pertamamu. Aku hanya ingin kau mengizinkan aku masuk ke dalam hatimu agar kau bisa merasakan betapa aku sangat mencintaimu."
Itu dia. Itu yang sedari tadi ia cari dari tatapan matanya. Kini ia menemukannya. Menemukan cinta disana. Matanya memancarkan cahaya cinta. Mata itu seakan tengah berbicara kepadanya kalau Akio serius dengan ucapannya. Akio benar - benar menyukainya.
Karena saking terpesonanya dengan cahaya yang dipancarkan oleh mata Akio, tanpa ia sadari sesuatu yang kenyal telah menempel di bibirnya. Akio menciumnya. Seakan tersihir, ia memejamkan matanya mencoba merasakan ciuman pertamanya. Akio melumat bibir bawahnya dengan lembut seolah ingin memberitahukan kalau ia tulus mencintainya.
Baru kali ini ia merasakan yang namanya berciuman, dan ternyata itu sangat nikmat. Rasanya manis seperti madu. Tidak, ini bahkan lebih manis daripada madu. Rasa nikmat itu mampu membuatnya hilang kesadaran bahkan mampu membuatnya lupa, kalau daritadi Haruka melihat mereka yang tengah berciuman.
To be Continue :-)
Dan buat pengunjung baru, aku ucapkan selamat datang dan terima kasih udah mau membaca hasil karyaku. :-) :-D
@erickhidayat
@kimo_chie
@d_cetya
@Cowoq_Calm
@YogaDwiAnggara
@awanwanku
@TigerGirlz
@tarry
@babehnero
@jacksmile
@Zazu_faghag
@WYATB
@Agova
@eizanki
@half_blood
@agungrahmat
@Hantuusil
@yubdi
@Ricky89
@sugarpova
@arifinselalusial
@Gege_Panda17
@san1204
@Irfandi_Rahman
@kizuna89
@adzhar
@sinjai
@Hananta
@tialawliet
@sasadara
@dheeotherside
@Bintang96
@Jokerz
@alvaredza
@Gabriel_Valiant
@angelsndemons
@EdryEdrya
@iansunda
@bayumukti
@adjie_
@Yo_sap89
@nakashima
@rizky_27
@t1ar
@FransLeonardy_FL
@amira_fujoshi
@Yohan_Pratama
@Dimz
@Dafazartin
@Marohmar
@rizkyagusto
@ajunjulian
Kissing.
Awawaw
Thanks @Prince_Manager