It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Aku gemetar. Pantas saja dari tadi Bowo diam saja. Duduknyapun terlihat sangat kaku. Jadi ini rupanya yang hendak dia utarakan? setelah lebih dari tiga tahun kita berpacaran.
"Kamu.. putusin aku?" tanyaku tak percaya.
"Sewa apartemen ini sudah aku berhentikan. Aku sudah punya tempat baru untuk pindah, jadi sebaiknya... sebelum akhir bulan ini kamu sudah ada tempat lain untuk tinggal.."
BYURRR!
Wajah Bowo mendadak basah oleh air teh yang dengan gemas kusiramkan pada wajahnya. Dia tidak bereaksi. Sementara nafasku naik turun menahan amarah.
"Siapa orangnya? Evan temen ngegym kamu? atau Rudy? cowok yang katanya partner bisnis online kamu?" tanyaku dengan nada tinggi.
"Aku enggak selingkuh, Dly... Bukan karena itu."
Bowo menjumput beberapa helai tisu di atas meja lalu mencoba mengeringkan wajah dan bajunya.
"Jadi kenapa??" aku berteriak.
Bowo berdiri dari tempatnya dengan tenang. Dia melempar tisu basah yang dipegangnya ke atas meja dengan kesal.
"Masih nanya? semua keluhan aku soal sikap kamu setahun ini... apa kamu coba perbaiki sikap kamu? aku enggak ngelihat itu..." ujar Bowo.
"A.. apa?" tanyaku gelagapan.
Bowo tak menjawab. Dia melewatiku berjalan menuju kamar. "Aku pergi malam ini juga, aku bawa sebagian pakaian kerjaku dulu..." katanya dingin.
***
Mendadak aku menjadi limbung. Keluhan Bowo? Ya! aku dan Bowo sudah berpacaran lebih dari tiga tahun. Kami tinggal bersama. Tak ada yang curiga karena kami awalnya memang bersahabat sejak kuliah. Bahkan orangtua kami juga menyetujui kami tinggal bersama di sebuah apartemen yang kami sewa berdua. Yah, awalnya memang kami berdua patungan untuk menyewa apartemen. Tapi sudah lebih dari setahun ini Bowolah yang membayar seluruh sewa tempat tinggal kami. Kami sama-sama bekerja. Tapi kuakui, aku memang boros. Kartu kreditku terpakai hingga limit maksimal hingga aku tak sanggup membayar tagihannya. Tapi Bowo dengan ikhlas membantuku melunasi hutang-hutangku. Awalnya aku memang merasa tak enak dengan bantuan Bowo. Tapi itu tak mengurangi kebiasaanku belanja, clubbing, dan mentraktir teman-teman satu gengku. Lama kelamaan, rasa tak enak itu mulai hilang. Rengekanku tak lagi ikhlas. Aku tinggal meminta pada Bowo dan dia kembali membantuku.
Latar belakangku memang tak seberuntung Bowo. Bisa dibilang sebenarnya tanpa bekerja keraspun Bowo masih bisa hidup dengan sangat layak karena keluarganya yang pengusaha masih memberikannya allowance tiap bulan. Belum lagi pembagian keuntungan setiap tahunnya atas kepemilikan saham yang dimilikinya. Tapi Bowo tak suka hidup berleha-leha. Dia tipikal pekerja keras. Dengan modal sendiri dia merintis bisnis konsultasi online jasa desain interior. Dia tak pernah menghamburkan uang untuk keperluan tak jelas. Akupun mengakui, diriku menjadi seperti benalu pada hidup Bowo. Karena merasa dicintai, aku tak segan selalu meminta 'pertolongan' Bowo. Berkali-kali Bowo mengingatkanku agar merubah kebiasaanku yang tidak baik, namun nasihatnya seperti udara mengalir di telingaku begitu saja. Rupanya hal itu seperti sumbu dinamit panjang yang tersulut semakin dekat dengan ledakan. Dan hari inilah ledakan itu terjadi. Bowo akhirnya meninggalkanku.
Setelah Bowo pergi. Mendadak hidupku terasa hampa. Tak ada lagi perhatian dan kemesraan yang diberikan oleh Bowo. Apartemen ini terasa sunyi. Aku hanya punya waktu tak sampai dua minggu untuk segera pindah. Aku kehilangan. Kehilangan kekasih, sekaligus pria yang menyokong seluruh kebutuhan nafsu hedonisku. Aku harus tinggal di mana? Siapa yang membayar iuran keanggotaan pusat kebugaran? siapa yang akan membayar tagihan kartu kreditku bulan depan? padahal seingatku aku membeli setelan termahal yang belum pernah kubeli seumur hidupku dan masih percaya bahwa Bowo akan 'menyelesaikan tagihannya'.
***
"Maaaa!! Om Fadly datang Maaaa!!" teriaknya.
Kak Rissa dan suaminya membolehkan aku tinggal di rumahnya sementara waktu saat kujelaskan aku tak lagi memiliki uang untuk menyewa tempat. Agak sulit jika aku harus tinggal di rumah orangtuaku. Mereka tinggal di pinggiran kota. Artinya, aku akan membebani lagi diriku dengan ongkos transportasi ke kantor.
Aku lalui hari-hariku dengan murung. Berangkat kerja tidak semangat, lalu menutup kamarku rapat-rapat sepulang kerja. Malam itu aku tiduran sambil mengamati sebuah botol bening berisi cairan. Aku mendapatkannya dari seseorang di pasar gelap. Aku putus asa. Akalku menyempit. Jika memang tak ada lagi kesempatan bagiku untuk kembali pada Bowo, atau aku semakin terlilit hutang, lebih baik aku mengakhiri hidup.
Aku menghela nafas dan meletakkan botol indah berwarna keperakan itu di atas meja, lalu aku pergi ke kamar mandi.
Betapa terkejutnya saat aku selesai mandi, kulihat Riana, gadis cilik keponakanku itu sedang memegang botol kecil di atas meja yang tadi kutinggalkan.
"Riana! jangan!" teriakku panik. Aku langsung merebut benda itu dari tangannya.
Terkejut dengan hardikanku, Riana menangis. Aku mulai menenangkannya.
"Om Fadly udah enggak sayang sama Riana... Om Fadly galak.. sekarang udah enggak mau main lagi sama Riana.." tangisnya tersedu-sedu.
Aku memeluk Riana. Ah.. betapa aku sudah berubah. Semua kehidupan hura-hura dan pacaran yang kujalani bersama Bowo membuatku jauh dari keluarga dan juga tak lagi punya waktu untuk mengunjungi keponakanku sesering dulu. Padahal aku biasanya sering mengajak Riana bermain bersama. Entah itu ke mall, taman, atau sekedar menemaninya bermain di rumah.
"Maafin Om ya sayang... ini obat punya Om.."
Riana menghentikan tangisnya walau masih sedikit terisak.
"Obat apa Om? Om sakit?" tanya si cilik khawatir.
"Om enggak sakit. Cuma lagi sedih aja. Nah.. ini obatnya Om bakalan minum kalau Om bener-bener ngerasa sedih... belum terbuka kan? karena emang belum Om minum.. kan Om nya enggak sedih.." ujarku menghibur Riana.
Riana tersenyum senang.
"Nah, sekarang kamu ganti baju dulu gih.. Om mau ajak kamu beli eskrim..." kataku.
"Es krim? asikkk... makasih Om.." ujar Riana sambil memelukku.
***
Karena kehabisan ongkos untuk uang taksi, aku terpaksa berjalan kaki menuju rumah dari halte busway yang jaraknya lumayan jauh. Padahal sudah hampir tengah malam dan mulai gerimis. Aku tadi terpaksa lembur di kantor hingga harus pulang larut.
Saat melewati jalan sepi, aku mendengar suara rintihan anak kucing. Sebenarnya aku terlalu lelah untuk peduli, namun rasa iba membuatku memutuskan mencari asal muasal suara tersebut. Apalagi saat itu entah mengapa tak ada satu manusiapun terlihat sedang lewat. Setelah aku mencari, kudapati seekor anak kucing berwarna putih merintih sedih karena kakinya tersangkut sebuah papan dan tak bisa keluar. Awalnya anak kucing itu terlihat takut ketika aku hendak menolongnya membebaskan diri. Tapi aku tetap nekad menarik papan pagar kayu tersebut hingga copot dan kaki mungilnya akhirnya bisa lolos.
"Nah, ayo sana! cari induk kamu!" kataku sambil menyuruh anak kucing itu pergi.
Tapi anak kucing itu diam saja. Dia malah menatapku lama. Tiba-tiba aku melihat keanehan di tubuhnya. Bulunya yang putih mendadak berubah menjadi merah muda. Matanya semakin membesar, dan BUM! suara ledakan diiringi asap merah jambu menghalangi pandanganku. Anak kucing itu berubah menjadi sosok seorang pemuda bersayap bertubuh jangkung dan kekar. Matanya biru dan wajahnya sangat tampan. Dia hanya mengenakan selembar kain yang menutupi bagian bawah pusarnya hingga area pahanya yang kokoh.
Aku terbatuk-batuk dan melangkah mundur karena terkejut. Aku melihat ke sekelilingku. Ke mana orang-orang? apa aku sedang bermimpi? masa aku hanya berdua saja dengan mahluk ini? pikirku.
"Siapa kamu?" tanyaku.
"Aku? aku dewa asmara..." sahutnya tenang. Senyum indahnya mengembang.
"Cu.. cupid?" tebakku.
"Bukan! Dia saudara kembarku," ujarnya dengan nada tak suka. "Omong-omong.. terima kasih telah menyelamatkan aku. Sebenarnya, tahun ini aku ditugaskan untuk mencari orang yang beruntung bisa mendapatkan panah cintaku..."
Aku mencubit lenganku sangat kencang untuk meyakinkan diriku bahwa ini bukan mimpi.
"Panah cinta?" tanyaku.
"Ya! orang itu haruslah lulus ujian dariku, aku akan tes apakah dia memiliki kasih sayang dan rasa iba. Rupanya, tahun ini adalah giliranmu, walau..." ujarnya tiba-tiba terlihat ragu.
"Walau apa?"
"Walau sepertinya kamu bukanlah orang baik dan tulus..." ucapnya menyelidik.
Aku tak merespon.
"Tapi sudahlah! akan kuberikan sebuah busur dan satu anak panah untukmu sebagai hadiah..." kata mahluk itu sambil mengepakkan sayapnya yang menempel di punggung dengan antusias. Mendadak dari udara muncul sebuah busur berwarna merah dan anak panah berwarna sama yang terlihat berkilauan dan terbang perlahan hingga jatuh di atas tanganku.
"Dengan ini.. kau bisa mendapatkan cinta siapa saja yang kau suka. Arahkan panah ini, dan orang itu akan jatuh cinta padamu..." ujarnya penuh misteri sambil melayang mendekat dan mengangkat daguku.
"Be..benarkah?" tanyaku mencoba meyakinkan. Langsung berkelebat bayangan skenario di otakku. Jika memang benar, aku akan bisa mendapatkan kembali cinta Bowo. Dia akan menyayangiku selama-lamanya tanpa pernah protes akan semua tindakanku.
"Tapi ingat... semua pilihan yang kau tentukan ada konsekuensinya. Kau pilih dengan hati jernih, kebahagiaan akan datang. Sebaliknya.. kau pilih dengan hati yang buruk, malapetaka akan menimpamu..." ujar mahluk itu terseyum licik yang tampak semakin memudar dan akhirnya menghilang dari hadapanku.
Aku masih tak yakin bahwa kejadian tadi bukanlah mimpi. Namun saat aku menunduk, aku masih menggenggam busur kecil dan anak panah berkilauan itu di tanganku.
***
Benar saja. Setengah jam menunggu akhirnya Bowo tiba. Dia tidak sendiri. Dia bersama Rudy, partner bisnisnya yang juga desainer interior berbakat. Biasanya aku selalu menolak untuk ikut menemani Bowo bertemu temannya dan lebih memilih untuk clubbing bersama teman-temanku, karena yakin Rudy bukanlah orang yang kuanggap saingan dan bisa merebut hati Bowo. Tapi akhirnya aku sadar. Rudy terlihat sangat tampan. Dia juga berasal dari keluarga terpandang. Pekerja keras, sama seperti Bowo. Memikirkan bahwa di sela-sela pekerjaan mereka Bowo sesekali mengeluh akan sifatku kepada pria itu dan mendapat penghiburan darinya membuatku cemburu.
Jangan-jangan.. Rudy lah yang mendorong Bowo untuk segera memutuskan hubungan denganku. Tiba-tiba aku merasa sangat marah. Kulihat dari kejauhan mereka berbicara sangat akrab dengan laptop yang terbuka di hadapan mereka masing-masing. Aku merasa iri melihat kebahagiaan mereka. Padahal aku sendiri tak yakin apakah mereka kini berpacaran atau tidak. Cemburu mulai merasuki pikiranku. Tanpa pikir panjang, aku menarik busur dan anak panah itu dari bawah koran dan mengarahkannya pada sasaranku.
Kulihat anak panah kecil itu melesat di udara. Tampaknya tak ada orang lain yang bisa melihatnya kecuali diriku. Dengan mulus anak panah itu berkilau membelah udara dan, zlap! mengenai sasarannya...
*bersambung*
remi coklatnya mana???#plak
Aku memang sengaja memilih Rudy sebagai sasaranku. Entah mengapa, aku lebih suka melihat Bowo cemburu dan hendak mempermainkannya. Apa jadinya jika sahabatnya itu, yang mungkin sudah dipacarinya malah jatuh cinta dengan ku yang jelas-jelas adalah mantannya sendiri.
Kulihat Rudy bergerak seperti orang kebingungan. Dia menoleh ke kiri dan ke kanan. Astaga! dia melihat ke arahku. Bowo juga ikut melihat ke mejaku dan terkejut menyadari aku ada di sini. Rudy tersenyum aneh. Matanya kosong dan berdiri lalu berjalan menghampiriku.
"Halo Fadly... apa kabarnya? kita pernah ketemu kan?" ujar Rudy ramah sambil menyodorkan tangannya.
"Oh.. eh... i.. iya.. apa kabar Rud?" jawabku gelagapan. Kulirik Bowo yang ikut menghampiriku. Wajahnya nampak keheranan dan menatapku penuh curiga.
"Baik Fad.. baik... belum pernah sebaik ini..." katanya. Rudy terus menjabat tanganku seolah tak ingin dia lepaskan. Aku menjadi salah tingkah saat Rudy terus menatapku lekat-lekat.
"Rud! Rudy! elo kenapa sih, bro?!" ujar Bowo sambil mencolek bahunya.
"Ah, kau ini bro.. ganggu orang yang sedang melepas rindu aja," protes Rudy.
"Kita masih ada kerjaan!" ujar Bowo gusar. Dia kemudian menarik lengan Rudy.
"Ayo kita gabung saja, gimana?" tawar Rudy yang seolah enggan meninggalkanku.
"Oh.. ehm.. lain kali aja ya?" ujarku tak enak hati. Beberapa orang mulai memandangi kami bertiga.
"Baiklah kalau gitu... aku minta nomor telepon kamu ya?" pintanya memelas.
"Oke.. oke.. ini..." ujarku buru-buru sambil mengeluarkan selembar kartu nama dari dompetku.
Sambil kembali ke mejanya, Rudy tak berhenti tersenyum menatapku. Bowo memandangku kesal seolah berkata 'kau harus jelaskan ini semua!'. Dan aku yang tak ingin membuat lebih banyak keributan, segera pergi dari tempat itu. Tapi aku baru sadar. Busur indah itu juga telah menghilang. Rupanya memang hanya bisa dipakai sekali saja. Tapi aku tak menyesal dengan pilihanku. Senyum kemenangan menghiasi wajahku.
Benar saja. Tak butuh waktu lama untuk Rudy menghubungiku. Secara intensif dia terus menelepon, mengajakku bertemu, kencan, dan yang paling membuatku senang adalah melihat tatapan ketidaksukaan di mata Bowo setiap kali melihat kedekatan kami.
Aku menikmati hidupku bersawa Rudy. Hartanya tak kalah banyak dengan Bowo. Dia begitu tergila-gila padaku sampai semua keinginanku dia penuhi. Waktunya mengurus bisnisnya bersama Bowo semakin berkurang. Aku senang bisa menyiksa Bowo seperti ini. Seluruh permasalahan tagihan kartu kreditku sudah berakhir. Rudy dengan senang hati mengikuti nafsu belanjaku dan kegemaranku clubbing bersama teman-teman. Hanya saja, aku belum tinggal bersama dengan Rudy. Toh, aku masih menikmati kencan dengannya tanpa harus ada tuntutan bercinta dengan pria itu. Aku masih bisa mengelak saat Rudy meminta kemesraan yang lebih. Harusnya aku bahagia, karena memiliki calon pacar seperti Rudy yang memilih bersamaku bersenang-senang. Tapi setiap kali aku melihat tatapan Bowo, terus terang aku sedikit tertekan. Apakah aku bisa membuatnya cemburu dan hendak merebutku kembali dari tangan Rudy?
"Beb, nanti hari valentine kita dinner ya?" tanyaku mengganggu konsentrasi Rudy dan Bowo yang sedang serius mempelajari sebuah proyek. Saat itu kami bertiga sedang berada di kafe biasa.
"Iya sayang...." ujar Rudy sabar.
Bowo menatapku kurang senang, lalu berkonsentrasi lagi pada pekerjaannya.
"Beb.. bawain aku coklat ya?" tanyaku lagi sambil melirik Bowo untuk melihat reaksinya.
"Iya sayang..."
"Bisa enggak sih, diem dulu?" bentak Bowo.
"EH, enggak usah marah-marah gitu sama pacar gue, bro..." sahut Rudy sambil mendorong Bowo tak suka.
Bowo mendengus kesal.
"Kalau enggak ada yang konsen, lebih baik bahas proyeknya minggu depan aja!" ujar Bowo sambil membanting layar laptopnya.
Aku terdiam. Rudy rupanya juga sudah kesal dengan Bowo dan setuju untuk menunda pekerjaan mereka. Kemudian Rudy mengantarku hingga depan rumah Kak Rissa
"Love you too.. tidur yang nyenyak ya!" balas Rudy mesra.
Baru saja aku hendak masuk, seseorang rupanya menungguku di balik bayangan dinding dan menarik lenganku. Bowo.
"Apa-apaan sih?" protesku.
"Kamu apain si Rudy, hah? pelet? santet? guna-guna? kenapa dia bisa kayak gitu?" cecar Bowo.
"Kamu pikir aku percaya yang klenik-klenik gitu, apa? enggak! dia emang suka sama aku! dan kamu harus mulai terima kenyataan itu!" sahutku kesal.
"Aku enggak nyangka, Dly.. kupikir kamu bisa berubah setelah putus sama aku. Ternyata memang kamu keterlaluan... aku jijik sama kamu..." desis Bowo tajam.
"TERSERAH!" ujarku galak.
Bowo kemudian berlalu menuju mobilnya yang diparkir agak jauh dari depan rumah. Terus terang, ucapan Bowo membuatku terluka. Semua yang kulakukan hanyalah untuk mendapatkan perhatiannya kembali. Ah, aku sedikit menyesal. Jika saja aku tak terbawa emosi untuk membalas Bowo, aku pasti sudah mendapatkan cintanya kembali dengan mengarahkan anak panah itu padanya. Mendadak aku menjadi sangat sedih. Mataku memerah oleh airmata saat hendak menuju ke kamarku.
"Om Fadly kenapa?"
Rupanya Riana melihat kedatanganku. Aku tersenyum padanya sambil mengusap airmata, "Gak papa sayang.." ujarku. Lalu aku bergegas menuju kamar dan menguncinya.
***
Hari Valentine tiba. Walau aku tak sepenuhnya bahagia, aku tetap menepati janjiku untuk berkencan dengan Rudy. Kencan itu terasa hambar karena aku tak bersemangat meladeni Rudy yang terus menerus memujiku. Bahkan coklat yang dibawanya pun tak kusentuh. Rupanya hal itu membuatnya kesal.
"Kamu ini kenapa beb? aku udah ngelakuin semuanya buat kamu tapi respon kamu ke aku enggak menyenangkan..." protes Rudy. Kami berdua berada dalam mobilnya yang masih terparkir di depan sebuah restoran.
"Maaf say, aku... aku masih perlu waktu buat berpikir..." ujarku.
"Enggak bisa sayang.. aku pengen jadi pacar kamu! aku pengen bercinta sama kamu! dan aku rasa malam ini momen yang tepat sayang..." kata Rudy. Dia beringsut mendekatiku berusaha untuk menciumku.
Aku yang tak bersemangat berusaha menepis tangannya. Rupanya Rudy tak terima. Dia sepertinya sangat bernafsu ingin bercumbu denganku.
"Beb..? say..? Rudy!!!" aku menghardiknya sambil mendorong tubuhnya.
Badan Rudy yang lebih besar dan kekar dariku menguntungkan dirinya. Tak peduli dengan keadaan sekitar dia terus berusaha menciumku. Hampir putus asa rasanya ketika seseorang membuka pintu mobil dan menarik Rudy keluar dan memukulinya.
"Jangan paksa dia!" raung orang itu. Rupanya Bowo yang menarik Rudy keluar dari mobilnya dan memukulnya beberapa kali hingga pingsan.
"Wo! Bowo! udah Wo!" sahutku sambil keluar dari mobil berusaha menghentikan tindakan Bowo.
Tubuh Rudy yang tak sadarkan diri melorot di sisi mobil. Aku menghampirinya sambil berdoa, "Ya Tuhan! hentikan! hentikan pengaruh panah itu! aku mohon... sudahi semua ini..." ujarku dalam hati sambil memukul-mukul tubuh Rudy.
Aku menatap Bowo dengan sedih. Kupinta dirinya untuk membaringkan Rudy yang masih pingsan di dalam mobilnya dan mengajaknya pergi ke sebuah taman tak jauh dari restoran itu untuk mengajaknya bicara.
"Dan kamu mau aku percaya cerita itu?" dengus Bowo sambil menahan tawa.
"Iya. Itu benar... aku pikir, setelah pengaruh panah itu hilang, dia enggak akan ingat apa-apa lagi. Aku harap begitu," kataku.
"Daripada menjelaskan dengan cerita semacam itu, aku lebih percaya kalau dia kamu pelet pakai guna-guna," ujar Bowo sambil terkekeh.
Aku tertawa. "Mungkin benar, aku berkhayal terlalu jauh sampai-sampai lupa kalau telah datang ke orang pintar dan mengguna-gunai Rudy dan berfantasi soal kedatangan Dewa Asmara,"
"Kalau saja kamu tahu, Dly. Seandainya anak panah itu kamu arahkan kepadaku, itu enggak akan merubah apapun..." ujar Bowo.
"Maksud kamu?" tanyaku bingung.
"Walau aku marah sama sikap kamu, di sini ini... tak perlu ditembus anak panah dewa asmarapun aku masih cinta sama kamu..." kata Bowo sambil memukul dadanya.
Mendengar kata-kata Bowo aku menjadi terharu.
"Makasih ya, Wo... aku minta maaf selama ini sudah bersikap enggak baik saat jadi pacar kamu..."
"Udahlah..." ujar Bowo sambil menepuk pundakku.
"Oh, iya. Mumpung masih suasana hari Valentine..." ujar Bowo seperti teringat sesuatu. Dia kemudian membuka kancing kemejanya dan mengeluarkan sebuah kotak dari dalamnya.
"Maaf agak rusak. Tadi aku terpaksa taruh di balik baju pas mau ngehajar Rudy," ucap Bowo sambil menyerahkan kotak yang ternyata berisi coklat berbentuk kepingan hati yang ukurannya nyaris sebesar telapak tangan itu.
"Coklat! makasih ya Wo.. tadi aku enggak mau makan coklat dari Rudy karena.. yah, karena sikapnya dia aneh," ujarku gembira sambil membuka bungkus coklat itu.
"Mm.. enak.." kataku saat memakan sepotong kepingan coklat yang kupatahkan dari kotaknya.
"Kamu masih sedih?" tanya Bowo.
"Umm.. sudah berkurang, sih... hehehe.. kenapa memangnya?" kataku sambil terus mengunyah coklat itu.
"Bagus dong. Berarti coklat dari Riana memang ajaib, ya?" kata Bowo sambil terkekeh.
"Riana? maksud kamu?" tanyaku tak mengerti.
"Iya. Kamu enggak heran kenapa aku bisa tahu kamu di mana? barusan aku mau bicara sama kamu sebelum kamu berangkat kencan. Sayang, kata kakakmu, Rudy sudah jemput kamu lebih dulu. Nah, pas aku mau pergi, Riana titip coklat itu sama kamu," jelas Bowo panjang lebar.
"Ini coklat dari Riana?" tanyaku.
Bowo mengangguk.
"Dia sih pesan supaya enggak bilang, tapi dia kayaknya khawatir sama kamu. Dia bilang, Om Bowo, kalau ketemu sama Om Fadly kasihkan coklat ini ya? tadi Riana bikin sendiri. Trus, dia bilang kalau kamu lagi sedih, makanya dia diam-diam ambil obat sedih kamu dan dicampur ke dalam coklat, biar sedihnya hilang katanya.. lucu ya anak itu?" lanjut Bowo lagi sambil tertawa.
Obat sedih? Tiba-tiba tenggorokanku terasa sulit menelan. Pikiranku langsung tertuju pada botol perak berisi cairan beracun yang tadinya akan kugunakan untuk mengakhiri hidup dalam keadaan putus asa. Dadaku terasa panas dan aku mulai kesulitan bernafas hingga terbatuk-batuk.
"Dly? kamu kenapa?" tanya Bowo khawatir melihatku yang lemas sambil memegangi dadaku dan terus menerus terbatuk-batuk.
"Wo.. maafin gue ya..." ujarku sambil mencengkeram tangan Bowo. Kurasakan air mata meleleh mengalir di pipiku. Aku menatap wajah Bowo yang berteriak-teriak panik. Pandanganku kabur, aku tak bisa lagi mendengar apa yang dikatakan oleh Bowo.
Maafin gue Wo... Konsekuensi... inilah yang kudapatkan dari pilihan yang kubuat. Duniaku terasa semakin gelap. Dalam keheningan aku bisa mendengar di kejauhan suara Dewa Asmara menertawakan kebodohanku.
TAMAT
NB: Sori, gue lagi jomblo di Valentine's Day. Jadinya bikin cerita tragis. )
@adinu : dia yang namanya tak boleh disebut. Lol
@kimo_chie : nih coklatnya, ambil ndiri.. hohoho
@Zazu_faghag : meoong...
@eizanki : kenapa gak kepikiran ya? hahaha
@blackshappire : cerita baru dan langsung tamat. Hehehe
Sedih krn ceritanya berakhir tragis.ketawa krn kepolosan Riana yg gk tau coklatnya dicampur ma racun.
Ceritanya ringan n menghibur.makasih atas ceritanya.
tragis setragis diriku
td org2 pada panik gegara gunung kelud meletus eh ane malah baca ni crita
*ngook
*masih berasa sesak napas gara2 abu yg bertebaran